Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Kamis, 24 Juni 2010

Benahi transportasi umum Jakarta

Penulis artikel dalam blog ini sebenarnya mengkhususkan diri dalam penyampaian masalah-masalah maritim dengan lebih mengkhususkan lagi angkutan laut, tetapi penulis terkadang tergoda ikut nimbrung urun rembug masalah transpor darat (udara tidak, karena tidak mengerti substansinya). Maka ijinkanlah penulis menyampaikan hal-hal berikut ini:

Akhir-akhir ini marak lagi tuntutan untuk membenahi transportasi jakarta yang kondisinya memang sangat dan sangat memprihatinkan.

Kemacetan di mana-mana dan banyak orang cenderung berpikir bahwa kemacetan pada ruas-ruas jalan tertentu memang suatu situasi yang tidak dapat dihindari. Bagaimana lagi, pertambahan panjang jalan di Jakarta hanya sekian persen per tahun sementara tambahan kendaraan beberapa kali lipat lebih banyak.

Sebenarnya kalau orang mau berpikir "nuchter" kemacetan di Jakarta mempunyai beberapa karakter yang berbeda: ada kemacetan yang terjadi memang karena kondisi ruas jalannya yang menyempit pada satu ruas, vlomue lalulintas yang terlalu besar pada ruas jalan tertentu, tetapi ada juga kemacetan yang terjadi karena "kebaikan hati" Dinas Perhubungan dan atau Pemeritan Daerah setempat.

Tengoklah misalnya kemacetan pada jam sekolah pada ruas Jalan Pemuda dan jl. Kalilio/Senen yang terjadi karena Dishub dan Pemda Jaktim terlalu baik hati membiarkan mobil pengantar jemput anak sekolah berparkir tiga lapis sehingga pelintas jalan tidak kebagian jalur lagi. Solusi atas situasi ini sebenarnya cukup sederhana yaitu pada jam sibuk sekolah itu ditempatkan petugas pada jarak 50 meter sehingga parkir tidak akan lebih dari satu baris.

Lho, kasihan anak sekolahnya kan, harus berjalan jauh mencari mobil pengantarnya. Solusi untuk keluhan ini juga cukup sederhana: para orang tua yang mengantarkan anaknya sekolah, pasti melengkapi supirnya dengan telepon seluler (HP). Nah, biarkan supir mencari lokasi parkir entah di mana, nanti kalau anak sudah kelas kan ibu (yang mengantar anaknya dan menunggu di luar gedung), segera dapat memanggil supir ke lokasi anak menunggu.

Wah, mahal itu biayanya, tambah bensin lagi begitu barangkali diargumentasikan. Alasan ini kurang pas, mengingat bahwa orang tua itu tidak ragu-ragu membeli mobil seharga ratusan juta rupiah untuk keperluan antar anak sekolah, mosok masih memikirkan tambahan beli bensin satu dua liter.

Yang pasti, kalau di depan gedung sekolah mobil-mobil hanya parkir satu baris, semua pengguna jalan raya dapat terlayani haknya melintas, tidak seperti situasi sekarang di mana sekian ratus pengguna jalan raya harus dikalahkan oleh sepuluh duapuluh mobil pengantar jemput anak sekolah.

Ada satu wacana lagi dalam hajatan membenahi transportasi kota Jakarta, yaitu "eliminasi" kendaraan transport umum yang sudah berusia 10 tahun. Ini tentu niatan luhur, tetapi apakah sudah dipertimbangkan hal-hal lain, terutama non-teknis, yang sebenarnya lebih dominan dalam upaya mengatasi masalah transport umum itu? Masalah pembagian trayek angkutan kota misalnya?

Kita mengamati di seputar Jabodetabek bahwa banyak trayek yang pemilihannya didorong oleh pengusaha transport sementara Dishub lebih berperan "tut-wuri handayani". Tengoklah trayek Senen-Lebak Bulus, mengapa yang pertama kali membuka trayek itu adalah pengusaha bus sedang Kopaja, padahal trayeknys angat panjang dan gemuk. Mengapa bukannya perusahaan bus besar yang diberi "jatah". Bus besar justru mengekor Kopaja, setelah melihat suksesnya tentunya tetapi tentu saja tidak berani menempuh jalur yang sama melainkan sedikit melingkar, dengan akibat penumpang kurang menyukai sehingga keberadaan bus besar tersebut tidak lama.

Penetapan trayek juga sering dirasakan tidak realistis. Tengoklah misalnya Mikrolet trayek 53 Mangga Dua - Pulogadung melalui Pademangan, PRJ Kemayoran, Cempaka Putih lalu putr balik masuk Pampung Rawa Cempaka PUtih Tengah, menyeberang melintaasi "Jakarta Bypass" masuk ke Pulomas Kayuputih Perintis Kemerdekaan Terminal Pulogadung.
TRayek ini dirasakan kurang realistis oleh supir, yaitu setelah memasuki kawasan elit Pulomas tidak ada satupun penumpang naik karena si mbak PRT pergi kepasar naik sepeda, motor bebek atau diantar supir. Maka supir mikrolet "berinisiatif menyesuaikan jalur" menjadi: setelah keluar dari PRJ Kemayoran, masuk Galur-Letjen Soepraptor langsung ke timur sampai masuk ke terminal Pulogadung. Jalur ini juga dirasakan cukup nyaman oleh penumpang dan Dishub merestui (entah resmi atau diam-diam) dan tidak merasa perlu memaksakan agar jalur sesuai keputusan pemerintah dipatuhi.

Jadi, dari analisis panjang lebar tersebut, ininya adalah bahwa Dinas Perhubungan, dalam menangani masalah transportasi kota ini, lebih suka mengutak-atik segi teknis saja sementara segi administratif/menajemen dibiarkan berlalu tanpa kesan. Padahal kendaraan yang digunakan dalam kiprah angkutan dijalankan oleh manusia, supir bus (kendaraan) dan dia adalah manusia yang pasti mempunyai keinginan diatur oleh manusia dan bukan oleh spanduk, rambu atau gambar seperti gambar sepeda motor yang dicatkan pada permukaann jalan raya: sepeda motor wajib jalur kiri dan nyalakan lampu.

Rambu dan instruksi semacam itu memang bagus tapi kalau pelaksanaan tidak diawasi oleh manusia yang kerbetulan mengtenakan seragam Dinas Perhubungan atau Polisi Lalu Lintas yang jangan menye4sal kalau pelaku lalu lintas yang menjadi sasarannya tidak peduli dengan semua tulisan dan gambar itu. Manusia mempunyai keinginan diatur oleh manusia (yang diberi wewenang), bukan diatur oleh benda mati.

Mungkin sudah terlalu lama pola pengaturan oleh benda mati ini ditrapkan sehingga dianggap sudah cukup; bahwa pada kenyataannya tidak ada yang menghiraukan pengaturan oleh benda mati itu seharusnya mendorong pemegang kekuasaan menyadari kekeliruan sistem yang telah terjadi sekian dasawarsa lamanya itu. Mungkin para pemegang kekuasaan itu sendiri bingung dan tidak bisa mengambil kesimpulan bagaimana mengatasi masalah itu?

Jika demikian, mengapa tidak mau belajar dari negara lain yang mempunyai tradisi melaksanakan dipatuhinya peraturan melalui pengawasan oleh manusia. Malysia mislnya: mengapa di sana bisa berlaku sistem orang menunggu angkutan umum di halte yang disediakan sementara di Indonesia kalau orang menunggu bus di luar halte, selalu dicari pembenarannya? Yang salah pelaku lalu lintas yaitu supir angkutan umum dan pengguna jasa angkutan umum, atau penguasa yang tidak berusaha dipatuhinya aturan yang dibuatnya sendiri?

0 komentar:

Posting Komentar