Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Senin, 19 Desember 2011

NEGARA MARITIM MINIM KAPAL


Judul yang dikutip di atas dapat dibaca pada harian Kompas, 16 Desember 2011 halaman 29 dengan bahasan utama kecelakaan kapal tenggelam, karam pada minggu-minggu terakhir tahun ini, termasuk yang menewaskan seorang wakil bupati kawasan Sulawesi Tengah. Di perairan Merauke,  Kompas melaporkan, enam kecelakaan terjadi, meliputi kapal tenggelam dan juga ada kasus tabrakan kapal.
Dikatakan lebih lanjut: “apapun faktornya, setiap terjadi kecelakaan di laut, negara tidak bisa melepaskan tanggung jawab begitu saja. Bukankah konstitusi menjamin setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan rasa aman dalam melakoni aktivitas sehari-hari”. Mengenai hal yang dikutip dalam kalimat terakhir ini, rasanya setiap insan Indonesia mengamini, termasuk mereka yang masih duduk di kelas terakhir sekolah dasar. Yang luput dari pengamatan bukanlah  ideal dari kewajiban Negara menjamin keamanan warganya, melainkan bagaimana aplikasi atas tanggung jawab Negara tersebut sehari-hari.
Bahwa setiap kecelakaan dalam sistem angkutan baik darat, laut maupun udara dapat dipicu oleh “human error”, juga oleh “technical error” atau karena “musibah murni”, namun selama ini langkah perbaikan  yang dilakukan oleh aparat pemerintahan adalah setelah peristiwa terjadi sementara menyangkut upaya pencegahan (agar kecelakaan tidak terjadi), seribu satu excuse ditampilkan sedangkan  langkah penanganannya minim kalau tidak boleh dikatakan tidak ada. Lihatlah contohnya (menyangkut angkutan jalan raya): jalan di sebelah kanan terminal Pulo Gadung Jakarta, arah Cakung, bertahun-tahun lamanya dibiarkan menjadi kawasan tidak bertuan di bawah penguasaan preman dan calo bis, angkutan kota dan lain-lain. Mobil pribadi tidak dapat melintas melalui penggal jalan itu yang dipenuhi gerobak dagangan lontong sayur dan entah apa lagi. Mengapa bisa begitu padahal ada Dinas Perhubungan, Polantas dan entah instansi apa lagi. Bagaimana bisa pimpinan instansi-instansi tersebut membiarkan situasi tanpa penanganan oleh aparat itu bisa berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada tindakan untuk mengembalikannya  pada fungsi yang sebenarnya.
Memang ada satu dua petugas lapangan dari Dinas Perhubungan berdiri di penggal jalan yang panjangnya hanya beberapa ratus meter itu, tetapi aktivitasnya tidak lebih dari mengutip uang receh Rp.500.- (limaratus rupiah) dari setiap sopir angkot yang melintas, tidak lain. Tidak ada Kepala Seksi mengontrol atau mengarahkan kerja anak buahnya, Kepala Terminal Pulo Gadung juga entah mengerjakan apa selain berkomunikasi dengan supir bis antar kota tanpa perduli melihat segala macam angkot bis kota dan entah apa lagi antri berderet-deret ratusan unit dalam jarak sejengkal antara satu mobil dengan yang di depannya, situasi yang tidak memberi peluang pejalan kaki melintas. Bagaimana fasilitas yang dibiayai dengan bermilyar-milyar uang pajak yang dibayar rakyat, diperlakukan dengan cara seperti itu.
Banyak instansi pemerintah yang mempunyai pegawai lebih dari cukup, tetapi pegawai-pegawai tidak  menjalankan apa yang ditugaskan kepada mereka itu “in person” melainkan diwakilkan kepada kalimat, kepada gambar dan lambang, yang tidak efektif. Pelaku lalu lintas  (dalam hal ini lalu lintas darat), adalah manusia. Bagaimana manusia yang punya hati nurani, diatur oleh gambar sepeda motor dan tulisan: “motor jalan di jalur kiri dan pakai helm”. Di  setiap instansi pemerintah pasti bekerja  ahli psikologi, psikiater, sosiolog. Apakah mereka tidak pernah diminta advis bahwa menertibkan manusia haruslah oleh manusia dan bukan oleh tulisan dan lambang. Manusia kalau diatur dan ditertibkan oleh manusia, dapat mengapresiasi kegiatan itu tetapi kalau penertiban “dilakukan” oleh spanduk, rambu dan benda mati lainnya tanpa ada manusia yang hadir di situ, mereka – sebagai manusia – merasa dilecehkan. Maka segala macam perintah, himbauan dan lain-lain yang misalnya berbunyi: “lampu menyala merah berhenti di belakang garis putih” cenderung tidak dihiraukan oleh pelaku lalu liontas jalan raya kecuali kalau disertai oleh petugas yang mengawasi instruksi tertulis itu, in person dan pengawasan itu dilakukan secara terus menerus sampai masyarakat sudah mempunyai kesadaran pribadi untuk mematuhi aturan.
Tindakan hangat-hangat cirit ayam, hanya berupa razia tidak akan efektif di luar saat razia karena factor manusia yang mempunyai hati rurani. Kalau hati nurani merasa dilecehkan, mereka cenderung sengaja melanggar aturan dan kalau kebetulan terkena tindakan penertiban karena sedang razia, dianggap saja sebagai kesialan. Tidak ada urusan dengan kesadaran, dengan disiplin . Sial saja kena razia, toh petugas tidak pernah melakukan pembinaan secara terus-menerus sampai orang yakin bahwa melanggar aturan tidak mengenakkan.  Apakah situasi ini akan dibiarkan terus, ataukah pemerintah mau menyadari bahwa menjalankan tugas “in person” seperti diamanatkan dalam “job description” merupakan suatu keharusan. Tindakan itu harus dilakukan terus menerus, sdatu tahun, lima tahun atau sepuluh tahunsecara terus-menerus setiap hari sampai petugas merasa yakin bahwa masyarakat tidak perlu lagi ditertibkan karena sudah tertib. Menyangkut angkutan laut, beberapa waktu terakhir ini memang kita menyaksikan Syahbandar Pelabuhan menahan kapal agar tidak berlayar karena tidak ada manifest penumpang atau jumlah penumpang yang sudah naik ke kapal jauh melebihi angka yang tercatat pada manifest. Bravo, tetapi diharapkan langkah itu sudah merupakan suatu keputusan baku yang akan dijalankan di semua tempat, di semua situasi dan bukannya karena sifat pribadi syahbandar semata-mata.
Dalam hal lain: sesaat setelah Presiden SBY mencanangkan seratus hari kabinet Indonesia Bersatu Jilid I beberapa tahun yang lalu, saya menulis artikel dalam blog ini memprediksi bahwa langkah pertama yang akan diambil oleh SBY adalah memanggil Kapolri dan memerintahkannya  untuk mengatur agar anggota Polantas yang bertugas di perempatan jalan memprkatekkan “diplomasi jari telunjuk”, konkritnya: anggota Polantas berdiri di depan garis putih pembatas kendaraan berhenti menunggu lampu dan kalau ada mobil atau motor berhenti di depan garis, pak Polantas mengacungkan jari telunjuk kepada supir atau pengendara agar  memundurkan kendaraannya. Pengemudi yang mengerti aturan lalu lintas  pasti mengerti perintah tak diucapkan itu dan memundurkan kendaraannya sampai di belakang garis atau kalau tindakan  itu tidak dimungkinkan, dia terpaksa  menjalankan kendaraannya dan mengarahkannya belok kiri sehingga dia merasa rugi. Kalau hal terakhir ini tidak dilakukan, Polantas harus mengambil tindakan paksa belok kiri, termasuk memberikan surat tilang. 
Kukatakan juga bahwa kalau “diplomasi jari telunjuk” dijalankan, beberapa keuntungan strategis dapat diperoleh. Pertama, keteraturan sistem berlalu lintas terlaksana, Kedua, kesemrawutan di perempatan jalan raya dapat diatasi, khususnya di Jakarta. Ketiga, menaikkan kewibawaan Polri secara keseluruhan. Lebih lanjut bukan hanya kewibawaan Polri saja yang dapat ditegakkan tetapi dengan melihat ketegasan anggota Polantas tersebut, masyarakat akan menilai bahwa sekarang Pemerintah benar-benar menegakkan aturan, berbeda dari yang sebelumnya. Maka masyarakat, kalau tergoda melanggar aturan, minimal akan rugi seperti kasus pengemudi yang dipaksa berbelok ke kiri padahal tujuannya dekat ke arah lurus.
Sayang harapan saya bertepuk sebelah tangan, yang terjadi justru sebaliknya yaitu motor-motor puluhan unit bergerombol di depan garis putih dan sebelum lampu pada sisi itu menyala hijau, motor dan ada juga mobil sudah tancap gas karena lampu hijau pada sisi lain jalan akan menyala merah satu dua detik berikutnya. Sebenarnya, dalam negara demokrasi yang tidak bersifat paternalistis, keputusan untuk menjalankan “diplomasi jari telunjuk” cukup ditetapkan oleh Kapolsek bahkan Kapolpos setempat, tidak perlu melibatkan pimpinan tertinggi. Sayangnya pengendara motor sudah tidak tahu lagi bahwa di Indonesia berlaku sistem lalu lintas jalur kiri, mereka seenaknya saja berjalan di sisi kiri atau kanan dan anggota Polantas tidak merasa perlu menertibkannya  karena melihat contoh keberingasan warga menghakimi polisi. Lebih nyaman bersembunyi di tempat terlindung untuk menjebak pengendara melakukan kesalahan dan mengutip pungli.
Sementara itu dalam bahasan “Negara Maritim Minim Kapal” tersebut, para penghimpun  bahan kajian (APA/ENG/ZAL/TH/RWN/SEM) juga menyampaikan tentang minimnya fasilitas pemeliharaan kapal yang melayani angkutan penyeberangan. Bayangkan kapal-  fery yang melayani angkutan penyeberangan di kepulauan Maluku harus docking di Sorong atau Bitung karena galangan di Maluku hanya mampu melayani docking kapal sebesar 500 gross ton atau kurang.
Blogger tidak habis pikir, bagaimana para petinggi Negara di Jakarta, terutama yang asal Maluku, “sampai hati” membiarkan hal itu berjalan begitu selama puluhan tahun? Apakah di antara para petinggi pemerintahan terutama yang asal Maluku itu tidak ada yang mempunyai nuansa bahari/maritime  yang tentunya mengerti tentang pentingnya docking bagi kapal yang beroperasi? Mudah-mudahan setelah para petinggi membaca bahasan Kompas tersebut, plus membaca artikel ini, tergerak hatinya untuk meningkatkan fasilitas docking yang ada di Maluku dan merencanakan untuk, tidak lebih lambat dari tahun 2012 membangun minimal satu galangan yang dapat melayani kapal besar, di Maluku. Maaf kalau ancangan ini menyinggung petinggi wilayah/daerah Maluku, anggaplah ini crash program saja.
Mungkin kalau dihitung secara “cost accounting” fasilitas docking kapal besar di Maluku tidak menguntungkan tetapi kalau pemikiran seperti ini betul ada, hal itu tentu cukup naïf karena fasilitas docking   tidak hanya untuk melayani kapal yang beroperasi di perairan Maluku melainkan juga kapal lintas Papua – Nusa Tenggara – Jawa dan lain-lain yang menggunakan kapal 1.000 gross ton atau lebih besar. Kapal manapun boleh docking di Maluku sesuai jadwal atau saat akan melintas di Maluku.  
Dalam mengamati laporan tentang Negara Maritim Minim kapal, blogger  merasa bahwa staf peneliti Kompas kurang lengkap dalam mengumpulkan bahan, utamanya untuk mengisi bahasan di bawah sub judul “Galangan Kapal”. Bahasan di bawah sub judul tersebut  hanya melaporkan tentang fasilitas docking kapal dan terlupa tentang pembangunan kapal baru. Telah beberapa kali saya laporkan dalam blog ini, biaya pembangunan kapal baru di galangan Indonesia memang sangat, sangat mahal karena galangan Indonesia, sekalipun telah menerapkan metode kerja pembangunan kapal per modul namun tiap galangan “bekerja mandiri” yaitu satu galangan membangun kapal dari mulai menyiapkan modul, “menyambungnya” menjadi satu unit kapal utuh, dikerjakan sendiri saja sehingga masa pembangunan tetap lama (satu tahun atau lebih lama). Biaya modal bagi pembangunan menjadi mahal.
Ini berbeda dengan metode yang diterapkan pada Negara-negara maritime maju, yang sejak lama menerapkan metode kerja “secara keroyokan”: satu unit kapal yang dipesan, dikerjakan oleh lima atau empat galangan yang masing-masing mengerjakan satu modul kapal selama tiga bulan, lalu diantarkan kepada “galangan penyambung” yang akan mempersatukan semua modul menjadi kapal yang utuh dalam waktu satu bulan. Pada akhir bulan keempat mesin-mesin kapal yang sudah dipesan secara terpisah, dipasang di kapal, juga dalam waktu satu bulan. Ditambah satu bulan lagi untuk “sea trial” dan sertifikasi kapal  maka pada akhir bulan keenam kapal sudah dapat diserahkan kepada pemesan.
Pembangunan kapal baru selalu melibatkan penyandang dana berbagai fungsi pemberian kredit; tidak ada pemesan kapal yang mendanai pembangunan kapal baru dengan dana sendiri (equity capital), semua menggunakan dana dari kredit investasi atau kredit hipotik kapal, menggunakan bentuk hire purchase (sewa beli) atau gabungan berbagai bentuk kredit yang lazim digunakan dalam bisnis. Kalau masa pembangunan hanya enam bulan, bunga modal yang harus dibayar tentunya jauh lebih rendah daripada satu ahun atau lebih.
Dalam kaitan dengan pengadaan armada bagi pembinaan usaha pelayaran di Indonesia, namun demikian blogger tetap menyarankan agar pengadaan kapal-kapal “plat merah” tetap melalui pemesanan kepada galangan Indonesia. Mengapa demikian? Kapal “plat merah” yang akan dioperasikan sebagai kapal perambuan, kapal penjaga pantai dan lain-lain, yang pengadaannya dibiayai oleh APBN, tidak layak kalau dipesan pada galangan asing, melainkan harus pada galangan Indonesia, berapa tinggipun harga yang dipasang oleh galangan Indonesia. Pemesanan “kapal plat merah” pada galangan Indonesia, mempunyai beberapa tujuan strategis antara lain: 1. Mendorong peningkatan produksi kapal oleh galangan Indonesia; 2. Mendorong produksi plat baja pada pabrik besi baja, 3. Mendorong produksi mesin-mesin untuk kapal serta produksi alat-alat pelayaran lainnya, 4. Meningkatkan kinerja galangan-galangan di Indonesia agar galangan kapal di Indonesia semuanya, suatu saat kelak kinerjanya sama sehingga pada posisi itu, metode pembangunan kapal “secara keroyokan” (lebih tepat: secara gotong royong) sudah dapat dimulai.
Jangan lupa, Negara-negara maritime maju sejak empatpuluh limapuluh tahun yang lalu sudah memulai kegiatan meningkatkan kinerja galangan termasuk dan terutama mempersamakan kinerja galangan-galangan nasional di negaranya dan hasilnya seperti dapat kita lihat: membangun kapal “hanya” memerlukan waktu enam -  tujuh bulan, bukannya satu, dua bahkan lebih dari dua tahun seperti berlaku di Indonesia. Bagaimana Indonesia dapat mengejar ketertinggalan ini kalau sampai saat ini belum juga ada niat memulai penyamaan kinerja galangan-galangan Indonesia, suatu upaya untuk memungkinkan membangun kapal secara goong royong, suatu metode kerja yang terbukti telah sangat menekan masa pembangunan kapal, sekaligus menekan biaya pembangunan kapal melalui penekanan cost of money ?








NEGARA MARITIM MINIMM KAPAL

Kamis, 15 Desember 2011

ADAB MARITIM

Harian Kompas, Rabu 7 Desember 2011 memuat artikel berjudul “Manusia Maritim Indonesia” tulisan Radhar Panca Dahana, budayawan yang juga dikenal sebagai pengamat politik yang kerap muncul di layar kaca. Dalam karangannya itu bung Radhar lebih banyak mengecam bangsa Indonesia yang lebih menampilkan diri sebagai bangsa yang beradab daratan, padahl mendiami negara nusantara yang luas wilayahnya 70% adalah lautan dan daratan yang didiami tidak sampai `20% saja.
Sayang dalam tulisan itu Radhar tidak merinci seperti apa konkritnya adab maritime yang, menurutnya, seyogyanya direpresentasikan oleh warga Indonesia yang hidup di Negara maritim, kecuali dalam akhir tulisannya Radhar menyebutkan: “sesungguhnya, di dalam identifikasi eksistensial dan kultural itu, kita akan menemukan kenyataan yang mungkin tak terduga: demokrasi yang sesungguhnya karena lahir dan tumbuh di negeri yang penuh “rayuan pulau kelapa” ini. (Apa hubungannya? blogger).
Sebagai perbandingan, blogger menyimak tampilan yang berbeda sebagaimana disiarkan dalam internet satu dua hari belakangan ini: perusahaan pelayaran Mediteranian Shipping Company (MSC) yang membuka jalur pelayaran niaga antara Australia dengan Amerika Serikat. Kantor pusat MSC berdomisili di Hamburg, Jerman teapi karena namanya “Mediteranean Shipping Company” blogger menduga bahwa stake holdernya adalah orang Timur Tengah. Kalau dugaan ini benar, cukup layak kekaguman blogger atas visi maritime warga dari Negara non-kepulauan ini, juga kagum melihat pilihan jalur pelayarannya.
Menurut Shipping Australia Limited (SAL) yang merupakan otoritas pelayaran niaga Australia yang penting, MSC mengambil dua “loop” operasi pelayaran penting yaitu: loop I Australia – Nea Zealand – Pantai Pacific (panai barat) USA dan loop II: Australia – Oseania,- menyeberang Panama Canal menuju Pantai Alantic (panai imur, pelabuhan Savannah dan Philadelphia).
Pilihan jalur pelayaran ini, demikian juga penggunaan sarana pengangkutnya pastinya sudah melalui penelitian yang mendalam; kapal peti kemas yang akan digunakan untuk operasi pada kedua jalur pelayaran tersebut juga tidak besar-besar amat, hanya berkapasitas 2.500 – 3.500 TEU (satu TEU, yaitu peti kemas twentyfoot equivalent unit dapat diisi 15 – 24 ton muatan general cargo).
Menurut rencana kedua jalur pelayaran iu akan mulai beroperasi sekitar hari Natal ahun ini namun melihat bahwa kampanye pemasarannya sudah mulai gencar dijalankan sejak November lebih mengundang apresiasi lagi. Langkah kemaritiman ini ditempuh oleh warga negara daratan Timur Tengah; kantor pusat perusahaan ini di Jerman (Hamburg) namun perusahaan, yang menyandang nama Timur Tengah ini, “tidak lupa” menggandeng perusahaan Jerman yang terkenal kampiun dalam pelayaran niaga yaitu Hamburg Sud sementara di Australia bekerjasama dengan Shipping Ausrtalia Limited yang blogger sebutkan mempunyai otoritas kuat. Pengambilan SAL sebagai mitra kerja juga cukup strategis karena Australia dipilih sebagai basis operasinya.
Inilah bentuk konkrit dari adab maritime, visi maritime yang, “celakanya” direpresentasikan oleh warga dari negara daratan (maaf blogger tidak/belum menemukan informasi negara Timur Tengah manakah itu namun pastinya bukan negara daratan seperti Swiss atau Austria. Negara Timur Tengah tersebut pastinya ada nuansa maritimnya. Blogger yakin negara tersebut mempunyai garis pantai. . Bagaimana warga Negara Indonesia? Masihkah orang Indonesia hanya cukup puas dengan menyanyikan lagu nenek moyangku orang pelaut, yang liriknya juga sudah tidak dihafal dengan tepat lagi?
Lebih lanjut Radhar menulis tentang kasus Papua: misalnya, kata Radhar, sudah hampir setengah abad kita tidak berhasil mendapatkan penyelesaian yang komprehensif karena menggunakan pendekatan daratan (sekali lagi sayang tidak ada rincian uraian). Lebih lanjut Radhar menulis: korban berjatuhan dan persoalan justru semakin luas dan kompleks. Padahal dalam adab dan kultur maritime, penyelesaian masalah Papua bahkan juga tidak dapat diselesaikan dengan sekedar pendekatan kesejahteraan karena masalahnya bukan di sana.
Di sini sekali lagi Radhar bahkan tidak menyebut tentang adab maritime yang dijadikan dasar penulisan atrikelnya. Blogger mencoba merumuskan sedikit tentang adab maritime bagi manusia Indonesia, yang oleh Tuhan Yang Maha Esa dititahkan mendiami negara kepualauan paling besar sedunia itu. Marilah kita tengok negara Jepang, yang sejak dilepaskan dari statusnya sebagai “occupied Japan” (Jepang yang diduduki oleh sekutu) akhir dasawarsa enampuluhan, segera memulai pembinaan system industry kemaritimannya. Di setiap pulau Jepang di mana pasti ada galangan kapal, juga ada pelabuhan, maka semua galangan kapal yang ada itu diberdayakan, didorong dan dibantu sampai semua berkembang dan mempunyai kinerja yang kurang lebih sama. Hasilnya: membangun kapal baru hanya memerlukan waktu enam bulan, berapa besarpun onase kapal yang dibangun.
Di saat kita, warga yang menghuni negara maritime terbesar sejagad ini masih terlena dengan ajaran guru SD bahwa membangun kapal adalah pertama-tama meletakkan lunas kapal (keel) lalu memasang gading-gading dan dilanjutkan dengan memasang lambung kapal, negara Jepang sudah lama meninggalkan metode itu diganti menjadi system pembangunan kapal dengan menyiapkan modul-modul bangunan oleh galangan yang berbeda-beda, lalu digabungkan menjadi kapal seutuhnya.
Di Indonesia memang system modul dalam pembangunan kapal juga sudah berlangsung namun system kerja “keroyokan” oleh beberapa galangan kapal seperti yang dipraktekkan di negara-negara maritime maju masih belum menemukan bentuknya. Maka tetap saja kalau kapal-baru dibangun di Indonesia, diperlukan waktu selama satu tahun bahkan lebih sebelum kapal dapat diluncurkan ke air. Di Negara-negara mariim maju standard waktu pembangunan kapal, seperti disebut di muka, adalah enam bulan berapa besarpun tonase kapal yang dibangun.
Berapa kerugian bunga pinjaman harus ditanggung oleh pengusaha Indonesia jika membangun kapal di galangan Indonesia, sementara di negara lain hanya perlu membayar bunga pinjaman selama enam bulan karena bulan keujuh kapal sudah mulai dapat beroperasi dan bulan ke delapan uang hasil operasi sudah mulai dapat diterima. Di seluruh dunia tidak ada pengusaha membangun kapal menggunakan modal sendiri (equity capital), semua menggunakan model pinjaman secara ekstensif.
Kembali pada operasi kapal-kapal MSC ke Amerika yang perlu diamati adalah kadar visi kemaritiman para stake holder perusahaan itu. Apakah para insan maritim Indonesia tidak merasa perlu menyimak itu?. Bayangkan: nama perusahaannya, walaupun mengambil domisili di Hamburg, Jerman namun nama “Timur Tengah diyakini terisi oleh orang(2) warga sana, tetapi mengambil jalur pelayaran dari Australia – New Zealand – Oceania ke pantai barat dank e pantai timur Amerika Serikat. Bukankah kenyataan itu berasal dari kenyataan lain bahwa masih ada ceruk perdagangan yang dapat dibidik tetapi kenyataan lain pula mengapa bukan oleh pengusaha Indonesia.
Benarkah sinyalemen Radha Panca Dahana bahwa orang Indonesia, walaupun mendiamai Negara mariim kepulauan tetapi berperilaku warga daratan? Wallahualam.
.