Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Senin, 19 Desember 2011

NEGARA MARITIM MINIM KAPAL


Judul yang dikutip di atas dapat dibaca pada harian Kompas, 16 Desember 2011 halaman 29 dengan bahasan utama kecelakaan kapal tenggelam, karam pada minggu-minggu terakhir tahun ini, termasuk yang menewaskan seorang wakil bupati kawasan Sulawesi Tengah. Di perairan Merauke,  Kompas melaporkan, enam kecelakaan terjadi, meliputi kapal tenggelam dan juga ada kasus tabrakan kapal.
Dikatakan lebih lanjut: “apapun faktornya, setiap terjadi kecelakaan di laut, negara tidak bisa melepaskan tanggung jawab begitu saja. Bukankah konstitusi menjamin setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan rasa aman dalam melakoni aktivitas sehari-hari”. Mengenai hal yang dikutip dalam kalimat terakhir ini, rasanya setiap insan Indonesia mengamini, termasuk mereka yang masih duduk di kelas terakhir sekolah dasar. Yang luput dari pengamatan bukanlah  ideal dari kewajiban Negara menjamin keamanan warganya, melainkan bagaimana aplikasi atas tanggung jawab Negara tersebut sehari-hari.
Bahwa setiap kecelakaan dalam sistem angkutan baik darat, laut maupun udara dapat dipicu oleh “human error”, juga oleh “technical error” atau karena “musibah murni”, namun selama ini langkah perbaikan  yang dilakukan oleh aparat pemerintahan adalah setelah peristiwa terjadi sementara menyangkut upaya pencegahan (agar kecelakaan tidak terjadi), seribu satu excuse ditampilkan sedangkan  langkah penanganannya minim kalau tidak boleh dikatakan tidak ada. Lihatlah contohnya (menyangkut angkutan jalan raya): jalan di sebelah kanan terminal Pulo Gadung Jakarta, arah Cakung, bertahun-tahun lamanya dibiarkan menjadi kawasan tidak bertuan di bawah penguasaan preman dan calo bis, angkutan kota dan lain-lain. Mobil pribadi tidak dapat melintas melalui penggal jalan itu yang dipenuhi gerobak dagangan lontong sayur dan entah apa lagi. Mengapa bisa begitu padahal ada Dinas Perhubungan, Polantas dan entah instansi apa lagi. Bagaimana bisa pimpinan instansi-instansi tersebut membiarkan situasi tanpa penanganan oleh aparat itu bisa berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada tindakan untuk mengembalikannya  pada fungsi yang sebenarnya.
Memang ada satu dua petugas lapangan dari Dinas Perhubungan berdiri di penggal jalan yang panjangnya hanya beberapa ratus meter itu, tetapi aktivitasnya tidak lebih dari mengutip uang receh Rp.500.- (limaratus rupiah) dari setiap sopir angkot yang melintas, tidak lain. Tidak ada Kepala Seksi mengontrol atau mengarahkan kerja anak buahnya, Kepala Terminal Pulo Gadung juga entah mengerjakan apa selain berkomunikasi dengan supir bis antar kota tanpa perduli melihat segala macam angkot bis kota dan entah apa lagi antri berderet-deret ratusan unit dalam jarak sejengkal antara satu mobil dengan yang di depannya, situasi yang tidak memberi peluang pejalan kaki melintas. Bagaimana fasilitas yang dibiayai dengan bermilyar-milyar uang pajak yang dibayar rakyat, diperlakukan dengan cara seperti itu.
Banyak instansi pemerintah yang mempunyai pegawai lebih dari cukup, tetapi pegawai-pegawai tidak  menjalankan apa yang ditugaskan kepada mereka itu “in person” melainkan diwakilkan kepada kalimat, kepada gambar dan lambang, yang tidak efektif. Pelaku lalu lintas  (dalam hal ini lalu lintas darat), adalah manusia. Bagaimana manusia yang punya hati nurani, diatur oleh gambar sepeda motor dan tulisan: “motor jalan di jalur kiri dan pakai helm”. Di  setiap instansi pemerintah pasti bekerja  ahli psikologi, psikiater, sosiolog. Apakah mereka tidak pernah diminta advis bahwa menertibkan manusia haruslah oleh manusia dan bukan oleh tulisan dan lambang. Manusia kalau diatur dan ditertibkan oleh manusia, dapat mengapresiasi kegiatan itu tetapi kalau penertiban “dilakukan” oleh spanduk, rambu dan benda mati lainnya tanpa ada manusia yang hadir di situ, mereka – sebagai manusia – merasa dilecehkan. Maka segala macam perintah, himbauan dan lain-lain yang misalnya berbunyi: “lampu menyala merah berhenti di belakang garis putih” cenderung tidak dihiraukan oleh pelaku lalu liontas jalan raya kecuali kalau disertai oleh petugas yang mengawasi instruksi tertulis itu, in person dan pengawasan itu dilakukan secara terus menerus sampai masyarakat sudah mempunyai kesadaran pribadi untuk mematuhi aturan.
Tindakan hangat-hangat cirit ayam, hanya berupa razia tidak akan efektif di luar saat razia karena factor manusia yang mempunyai hati rurani. Kalau hati nurani merasa dilecehkan, mereka cenderung sengaja melanggar aturan dan kalau kebetulan terkena tindakan penertiban karena sedang razia, dianggap saja sebagai kesialan. Tidak ada urusan dengan kesadaran, dengan disiplin . Sial saja kena razia, toh petugas tidak pernah melakukan pembinaan secara terus-menerus sampai orang yakin bahwa melanggar aturan tidak mengenakkan.  Apakah situasi ini akan dibiarkan terus, ataukah pemerintah mau menyadari bahwa menjalankan tugas “in person” seperti diamanatkan dalam “job description” merupakan suatu keharusan. Tindakan itu harus dilakukan terus menerus, sdatu tahun, lima tahun atau sepuluh tahunsecara terus-menerus setiap hari sampai petugas merasa yakin bahwa masyarakat tidak perlu lagi ditertibkan karena sudah tertib. Menyangkut angkutan laut, beberapa waktu terakhir ini memang kita menyaksikan Syahbandar Pelabuhan menahan kapal agar tidak berlayar karena tidak ada manifest penumpang atau jumlah penumpang yang sudah naik ke kapal jauh melebihi angka yang tercatat pada manifest. Bravo, tetapi diharapkan langkah itu sudah merupakan suatu keputusan baku yang akan dijalankan di semua tempat, di semua situasi dan bukannya karena sifat pribadi syahbandar semata-mata.
Dalam hal lain: sesaat setelah Presiden SBY mencanangkan seratus hari kabinet Indonesia Bersatu Jilid I beberapa tahun yang lalu, saya menulis artikel dalam blog ini memprediksi bahwa langkah pertama yang akan diambil oleh SBY adalah memanggil Kapolri dan memerintahkannya  untuk mengatur agar anggota Polantas yang bertugas di perempatan jalan memprkatekkan “diplomasi jari telunjuk”, konkritnya: anggota Polantas berdiri di depan garis putih pembatas kendaraan berhenti menunggu lampu dan kalau ada mobil atau motor berhenti di depan garis, pak Polantas mengacungkan jari telunjuk kepada supir atau pengendara agar  memundurkan kendaraannya. Pengemudi yang mengerti aturan lalu lintas  pasti mengerti perintah tak diucapkan itu dan memundurkan kendaraannya sampai di belakang garis atau kalau tindakan  itu tidak dimungkinkan, dia terpaksa  menjalankan kendaraannya dan mengarahkannya belok kiri sehingga dia merasa rugi. Kalau hal terakhir ini tidak dilakukan, Polantas harus mengambil tindakan paksa belok kiri, termasuk memberikan surat tilang. 
Kukatakan juga bahwa kalau “diplomasi jari telunjuk” dijalankan, beberapa keuntungan strategis dapat diperoleh. Pertama, keteraturan sistem berlalu lintas terlaksana, Kedua, kesemrawutan di perempatan jalan raya dapat diatasi, khususnya di Jakarta. Ketiga, menaikkan kewibawaan Polri secara keseluruhan. Lebih lanjut bukan hanya kewibawaan Polri saja yang dapat ditegakkan tetapi dengan melihat ketegasan anggota Polantas tersebut, masyarakat akan menilai bahwa sekarang Pemerintah benar-benar menegakkan aturan, berbeda dari yang sebelumnya. Maka masyarakat, kalau tergoda melanggar aturan, minimal akan rugi seperti kasus pengemudi yang dipaksa berbelok ke kiri padahal tujuannya dekat ke arah lurus.
Sayang harapan saya bertepuk sebelah tangan, yang terjadi justru sebaliknya yaitu motor-motor puluhan unit bergerombol di depan garis putih dan sebelum lampu pada sisi itu menyala hijau, motor dan ada juga mobil sudah tancap gas karena lampu hijau pada sisi lain jalan akan menyala merah satu dua detik berikutnya. Sebenarnya, dalam negara demokrasi yang tidak bersifat paternalistis, keputusan untuk menjalankan “diplomasi jari telunjuk” cukup ditetapkan oleh Kapolsek bahkan Kapolpos setempat, tidak perlu melibatkan pimpinan tertinggi. Sayangnya pengendara motor sudah tidak tahu lagi bahwa di Indonesia berlaku sistem lalu lintas jalur kiri, mereka seenaknya saja berjalan di sisi kiri atau kanan dan anggota Polantas tidak merasa perlu menertibkannya  karena melihat contoh keberingasan warga menghakimi polisi. Lebih nyaman bersembunyi di tempat terlindung untuk menjebak pengendara melakukan kesalahan dan mengutip pungli.
Sementara itu dalam bahasan “Negara Maritim Minim Kapal” tersebut, para penghimpun  bahan kajian (APA/ENG/ZAL/TH/RWN/SEM) juga menyampaikan tentang minimnya fasilitas pemeliharaan kapal yang melayani angkutan penyeberangan. Bayangkan kapal-  fery yang melayani angkutan penyeberangan di kepulauan Maluku harus docking di Sorong atau Bitung karena galangan di Maluku hanya mampu melayani docking kapal sebesar 500 gross ton atau kurang.
Blogger tidak habis pikir, bagaimana para petinggi Negara di Jakarta, terutama yang asal Maluku, “sampai hati” membiarkan hal itu berjalan begitu selama puluhan tahun? Apakah di antara para petinggi pemerintahan terutama yang asal Maluku itu tidak ada yang mempunyai nuansa bahari/maritime  yang tentunya mengerti tentang pentingnya docking bagi kapal yang beroperasi? Mudah-mudahan setelah para petinggi membaca bahasan Kompas tersebut, plus membaca artikel ini, tergerak hatinya untuk meningkatkan fasilitas docking yang ada di Maluku dan merencanakan untuk, tidak lebih lambat dari tahun 2012 membangun minimal satu galangan yang dapat melayani kapal besar, di Maluku. Maaf kalau ancangan ini menyinggung petinggi wilayah/daerah Maluku, anggaplah ini crash program saja.
Mungkin kalau dihitung secara “cost accounting” fasilitas docking kapal besar di Maluku tidak menguntungkan tetapi kalau pemikiran seperti ini betul ada, hal itu tentu cukup naïf karena fasilitas docking   tidak hanya untuk melayani kapal yang beroperasi di perairan Maluku melainkan juga kapal lintas Papua – Nusa Tenggara – Jawa dan lain-lain yang menggunakan kapal 1.000 gross ton atau lebih besar. Kapal manapun boleh docking di Maluku sesuai jadwal atau saat akan melintas di Maluku.  
Dalam mengamati laporan tentang Negara Maritim Minim kapal, blogger  merasa bahwa staf peneliti Kompas kurang lengkap dalam mengumpulkan bahan, utamanya untuk mengisi bahasan di bawah sub judul “Galangan Kapal”. Bahasan di bawah sub judul tersebut  hanya melaporkan tentang fasilitas docking kapal dan terlupa tentang pembangunan kapal baru. Telah beberapa kali saya laporkan dalam blog ini, biaya pembangunan kapal baru di galangan Indonesia memang sangat, sangat mahal karena galangan Indonesia, sekalipun telah menerapkan metode kerja pembangunan kapal per modul namun tiap galangan “bekerja mandiri” yaitu satu galangan membangun kapal dari mulai menyiapkan modul, “menyambungnya” menjadi satu unit kapal utuh, dikerjakan sendiri saja sehingga masa pembangunan tetap lama (satu tahun atau lebih lama). Biaya modal bagi pembangunan menjadi mahal.
Ini berbeda dengan metode yang diterapkan pada Negara-negara maritime maju, yang sejak lama menerapkan metode kerja “secara keroyokan”: satu unit kapal yang dipesan, dikerjakan oleh lima atau empat galangan yang masing-masing mengerjakan satu modul kapal selama tiga bulan, lalu diantarkan kepada “galangan penyambung” yang akan mempersatukan semua modul menjadi kapal yang utuh dalam waktu satu bulan. Pada akhir bulan keempat mesin-mesin kapal yang sudah dipesan secara terpisah, dipasang di kapal, juga dalam waktu satu bulan. Ditambah satu bulan lagi untuk “sea trial” dan sertifikasi kapal  maka pada akhir bulan keenam kapal sudah dapat diserahkan kepada pemesan.
Pembangunan kapal baru selalu melibatkan penyandang dana berbagai fungsi pemberian kredit; tidak ada pemesan kapal yang mendanai pembangunan kapal baru dengan dana sendiri (equity capital), semua menggunakan dana dari kredit investasi atau kredit hipotik kapal, menggunakan bentuk hire purchase (sewa beli) atau gabungan berbagai bentuk kredit yang lazim digunakan dalam bisnis. Kalau masa pembangunan hanya enam bulan, bunga modal yang harus dibayar tentunya jauh lebih rendah daripada satu ahun atau lebih.
Dalam kaitan dengan pengadaan armada bagi pembinaan usaha pelayaran di Indonesia, namun demikian blogger tetap menyarankan agar pengadaan kapal-kapal “plat merah” tetap melalui pemesanan kepada galangan Indonesia. Mengapa demikian? Kapal “plat merah” yang akan dioperasikan sebagai kapal perambuan, kapal penjaga pantai dan lain-lain, yang pengadaannya dibiayai oleh APBN, tidak layak kalau dipesan pada galangan asing, melainkan harus pada galangan Indonesia, berapa tinggipun harga yang dipasang oleh galangan Indonesia. Pemesanan “kapal plat merah” pada galangan Indonesia, mempunyai beberapa tujuan strategis antara lain: 1. Mendorong peningkatan produksi kapal oleh galangan Indonesia; 2. Mendorong produksi plat baja pada pabrik besi baja, 3. Mendorong produksi mesin-mesin untuk kapal serta produksi alat-alat pelayaran lainnya, 4. Meningkatkan kinerja galangan-galangan di Indonesia agar galangan kapal di Indonesia semuanya, suatu saat kelak kinerjanya sama sehingga pada posisi itu, metode pembangunan kapal “secara keroyokan” (lebih tepat: secara gotong royong) sudah dapat dimulai.
Jangan lupa, Negara-negara maritime maju sejak empatpuluh limapuluh tahun yang lalu sudah memulai kegiatan meningkatkan kinerja galangan termasuk dan terutama mempersamakan kinerja galangan-galangan nasional di negaranya dan hasilnya seperti dapat kita lihat: membangun kapal “hanya” memerlukan waktu enam -  tujuh bulan, bukannya satu, dua bahkan lebih dari dua tahun seperti berlaku di Indonesia. Bagaimana Indonesia dapat mengejar ketertinggalan ini kalau sampai saat ini belum juga ada niat memulai penyamaan kinerja galangan-galangan Indonesia, suatu upaya untuk memungkinkan membangun kapal secara goong royong, suatu metode kerja yang terbukti telah sangat menekan masa pembangunan kapal, sekaligus menekan biaya pembangunan kapal melalui penekanan cost of money ?








NEGARA MARITIM MINIMM KAPAL

Kamis, 15 Desember 2011

ADAB MARITIM

Harian Kompas, Rabu 7 Desember 2011 memuat artikel berjudul “Manusia Maritim Indonesia” tulisan Radhar Panca Dahana, budayawan yang juga dikenal sebagai pengamat politik yang kerap muncul di layar kaca. Dalam karangannya itu bung Radhar lebih banyak mengecam bangsa Indonesia yang lebih menampilkan diri sebagai bangsa yang beradab daratan, padahl mendiami negara nusantara yang luas wilayahnya 70% adalah lautan dan daratan yang didiami tidak sampai `20% saja.
Sayang dalam tulisan itu Radhar tidak merinci seperti apa konkritnya adab maritime yang, menurutnya, seyogyanya direpresentasikan oleh warga Indonesia yang hidup di Negara maritim, kecuali dalam akhir tulisannya Radhar menyebutkan: “sesungguhnya, di dalam identifikasi eksistensial dan kultural itu, kita akan menemukan kenyataan yang mungkin tak terduga: demokrasi yang sesungguhnya karena lahir dan tumbuh di negeri yang penuh “rayuan pulau kelapa” ini. (Apa hubungannya? blogger).
Sebagai perbandingan, blogger menyimak tampilan yang berbeda sebagaimana disiarkan dalam internet satu dua hari belakangan ini: perusahaan pelayaran Mediteranian Shipping Company (MSC) yang membuka jalur pelayaran niaga antara Australia dengan Amerika Serikat. Kantor pusat MSC berdomisili di Hamburg, Jerman teapi karena namanya “Mediteranean Shipping Company” blogger menduga bahwa stake holdernya adalah orang Timur Tengah. Kalau dugaan ini benar, cukup layak kekaguman blogger atas visi maritime warga dari Negara non-kepulauan ini, juga kagum melihat pilihan jalur pelayarannya.
Menurut Shipping Australia Limited (SAL) yang merupakan otoritas pelayaran niaga Australia yang penting, MSC mengambil dua “loop” operasi pelayaran penting yaitu: loop I Australia – Nea Zealand – Pantai Pacific (panai barat) USA dan loop II: Australia – Oseania,- menyeberang Panama Canal menuju Pantai Alantic (panai imur, pelabuhan Savannah dan Philadelphia).
Pilihan jalur pelayaran ini, demikian juga penggunaan sarana pengangkutnya pastinya sudah melalui penelitian yang mendalam; kapal peti kemas yang akan digunakan untuk operasi pada kedua jalur pelayaran tersebut juga tidak besar-besar amat, hanya berkapasitas 2.500 – 3.500 TEU (satu TEU, yaitu peti kemas twentyfoot equivalent unit dapat diisi 15 – 24 ton muatan general cargo).
Menurut rencana kedua jalur pelayaran iu akan mulai beroperasi sekitar hari Natal ahun ini namun melihat bahwa kampanye pemasarannya sudah mulai gencar dijalankan sejak November lebih mengundang apresiasi lagi. Langkah kemaritiman ini ditempuh oleh warga negara daratan Timur Tengah; kantor pusat perusahaan ini di Jerman (Hamburg) namun perusahaan, yang menyandang nama Timur Tengah ini, “tidak lupa” menggandeng perusahaan Jerman yang terkenal kampiun dalam pelayaran niaga yaitu Hamburg Sud sementara di Australia bekerjasama dengan Shipping Ausrtalia Limited yang blogger sebutkan mempunyai otoritas kuat. Pengambilan SAL sebagai mitra kerja juga cukup strategis karena Australia dipilih sebagai basis operasinya.
Inilah bentuk konkrit dari adab maritime, visi maritime yang, “celakanya” direpresentasikan oleh warga dari negara daratan (maaf blogger tidak/belum menemukan informasi negara Timur Tengah manakah itu namun pastinya bukan negara daratan seperti Swiss atau Austria. Negara Timur Tengah tersebut pastinya ada nuansa maritimnya. Blogger yakin negara tersebut mempunyai garis pantai. . Bagaimana warga Negara Indonesia? Masihkah orang Indonesia hanya cukup puas dengan menyanyikan lagu nenek moyangku orang pelaut, yang liriknya juga sudah tidak dihafal dengan tepat lagi?
Lebih lanjut Radhar menulis tentang kasus Papua: misalnya, kata Radhar, sudah hampir setengah abad kita tidak berhasil mendapatkan penyelesaian yang komprehensif karena menggunakan pendekatan daratan (sekali lagi sayang tidak ada rincian uraian). Lebih lanjut Radhar menulis: korban berjatuhan dan persoalan justru semakin luas dan kompleks. Padahal dalam adab dan kultur maritime, penyelesaian masalah Papua bahkan juga tidak dapat diselesaikan dengan sekedar pendekatan kesejahteraan karena masalahnya bukan di sana.
Di sini sekali lagi Radhar bahkan tidak menyebut tentang adab maritime yang dijadikan dasar penulisan atrikelnya. Blogger mencoba merumuskan sedikit tentang adab maritime bagi manusia Indonesia, yang oleh Tuhan Yang Maha Esa dititahkan mendiami negara kepualauan paling besar sedunia itu. Marilah kita tengok negara Jepang, yang sejak dilepaskan dari statusnya sebagai “occupied Japan” (Jepang yang diduduki oleh sekutu) akhir dasawarsa enampuluhan, segera memulai pembinaan system industry kemaritimannya. Di setiap pulau Jepang di mana pasti ada galangan kapal, juga ada pelabuhan, maka semua galangan kapal yang ada itu diberdayakan, didorong dan dibantu sampai semua berkembang dan mempunyai kinerja yang kurang lebih sama. Hasilnya: membangun kapal baru hanya memerlukan waktu enam bulan, berapa besarpun onase kapal yang dibangun.
Di saat kita, warga yang menghuni negara maritime terbesar sejagad ini masih terlena dengan ajaran guru SD bahwa membangun kapal adalah pertama-tama meletakkan lunas kapal (keel) lalu memasang gading-gading dan dilanjutkan dengan memasang lambung kapal, negara Jepang sudah lama meninggalkan metode itu diganti menjadi system pembangunan kapal dengan menyiapkan modul-modul bangunan oleh galangan yang berbeda-beda, lalu digabungkan menjadi kapal seutuhnya.
Di Indonesia memang system modul dalam pembangunan kapal juga sudah berlangsung namun system kerja “keroyokan” oleh beberapa galangan kapal seperti yang dipraktekkan di negara-negara maritime maju masih belum menemukan bentuknya. Maka tetap saja kalau kapal-baru dibangun di Indonesia, diperlukan waktu selama satu tahun bahkan lebih sebelum kapal dapat diluncurkan ke air. Di Negara-negara mariim maju standard waktu pembangunan kapal, seperti disebut di muka, adalah enam bulan berapa besarpun tonase kapal yang dibangun.
Berapa kerugian bunga pinjaman harus ditanggung oleh pengusaha Indonesia jika membangun kapal di galangan Indonesia, sementara di negara lain hanya perlu membayar bunga pinjaman selama enam bulan karena bulan keujuh kapal sudah mulai dapat beroperasi dan bulan ke delapan uang hasil operasi sudah mulai dapat diterima. Di seluruh dunia tidak ada pengusaha membangun kapal menggunakan modal sendiri (equity capital), semua menggunakan model pinjaman secara ekstensif.
Kembali pada operasi kapal-kapal MSC ke Amerika yang perlu diamati adalah kadar visi kemaritiman para stake holder perusahaan itu. Apakah para insan maritim Indonesia tidak merasa perlu menyimak itu?. Bayangkan: nama perusahaannya, walaupun mengambil domisili di Hamburg, Jerman namun nama “Timur Tengah diyakini terisi oleh orang(2) warga sana, tetapi mengambil jalur pelayaran dari Australia – New Zealand – Oceania ke pantai barat dank e pantai timur Amerika Serikat. Bukankah kenyataan itu berasal dari kenyataan lain bahwa masih ada ceruk perdagangan yang dapat dibidik tetapi kenyataan lain pula mengapa bukan oleh pengusaha Indonesia.
Benarkah sinyalemen Radha Panca Dahana bahwa orang Indonesia, walaupun mendiamai Negara mariim kepulauan tetapi berperilaku warga daratan? Wallahualam.
.
Kamis, 10 November 2011

CONFERENCE, ATAU FREE FIGHT COMPETITION?

Sejarah berulang kembali?
Pelaku bisnis yang berusia di atas 60 tahun mungkin masih mengalami masa di mana perusahaan-perusahaan pelayaran dunia bertarung dengan sengit dalam mengupayakan perolehan uang tambang maksimal melalui pengangkutan barang dagangan dunia, di mana banyak diantaranya merupakan "base materials" seperti biji kopi, batubara, karet slabs. Angkutan barang manufacture memang sudah mulai ada namun masih terbatas sebab pada periode pra Perang Dunia II tersebut perkembangan metode produksi manufactur belum seperti sekarang. Begitu sengitnya perang antara perusahaan pelayaran tersebut, perusahaan bermodal kuat tidak segan-segan mengoperasikan satu atau dua unit "fighting ship" yaitu kapal yang dioperasikan pada trayek yang sama yang juga dijalani oleh perusahaan lain namun kapal "fighting ship" ini menarik biaya angkutan dengan tarip yang "dibanting hsbis" agar kapal-kapal lain yang beroperasi pada jalur yang sama menjadi tidak tahan dan mengundurkan diri. Setelah jalur pelayaran ditinggalkan oleh kapal-kapal yang tidak bisa menurunkan biaya operasinya lebih rendah lagi, maka tinggallah "kapal tempur" beresama kelompoknya yang dapat beroperasi, lalu tarip mulai dinaikkan lagi.
Dengan adanya praktek "pembunuhan" sesama perusahaan pelayaran seperti itu maka pihak-pihak yang peduli kepada operasi kapal secara normal, mengambil prakarsa untuk membentuk asossiasi pelayaran dengan tujuan utama menyelanggarakan sistem pengangkutan laut secara teratur, baik dari sisi jadwal pelayarannya, penetapan tarip angkutan, syarat pengangkutan dan hal-hal lain yang tidak ada pada usaha pelayaran tramping karena pelsayaran tramping "alergi" terhadap keteraturan. Pelayaran tramp di mana kapal tramper mencari muatan satu kapal penuh (bulk cargo) dengan tarip dan syarat pengangkutan yang ditetapkan sesuai hasil negosiasi individual. Dalam perkembangannya, saat ini pihak-pihak merasakan bahwa biaya angkutan dalam sistem pelayaran yang dikoordinasikan oleh Freight Conference dirasakan sangat tinggi, terlalu mahal, suatu hal yang terjadi disebabkan antara lain karena "fixed cost" pada kapal-kapal yang menjalankan operasi liner service di bawah koordinasi Conference ditetapkan terlalu tinggi.
Pada tahun 1998 Amerika Serikat telah meloloskan undang-undang tentang reformasi angkutan laut (OSRA: Ocean Shipping Reform Act)yang mengatur tentang operasi pelayaran "full liner service" tanpa melibatkan campur tangan asosiasi "liner conference". Dalam konsiderancenya dalam undang-undang OSRA tersebut dikatakan bahwa sejak awal tahun 1950 pelayaran liner service mendapat kenikmatan karena mendapat pembebasan penuh dari ketentuan undang-undang tentang "anti trust" dan "anti competition". Masih diperlukan waktu sepuluh tahun bagi countert USA, yaitu Eropa untuk menanggapinya dengan menghentikan operasi Far East Freight Conference, asosiasi pelayaran yang mengatur operasi pelayaran antara Eropa dengan Asia Timur (Hongkongf/Cina - Korea). Apakah trend baru ini bertujuan mengembalikan situasi pada kondisi tahun 1930 - 1950 yang penuh dengan kompetisi bebas, saling membunuh antara perusahaan-perusahaan pelayaran dunia? Blogger sendiri tidak yakin akan hal itu karena walaupun dalam undang-undang OSRA itu disebutkan bahwa operasi pelayaran liner service harus bebas dari campur tangan Conference namun kalau perusahaan pelayaran melakukan penyimpangan, tentunya negara di mana wilayah lautnya dilewati oleh kapal yang beroperasi mengangkut komoditas perdagangan dunia, tentunya akan mengambil tindakan yang perlu. Mari kita lihat saja bagaimana perkembangannya di waktu ke depan namun yang pasti adalah bahwa harkat untuk menekan biaya angkutan menjadi lebih rendah tentu disambut positif oleh semua pihak.
Sebagai diketahui biaya angkutan (freight) yang berlaku pada perusahaan pelayaran yang beroperasi di bawah kordinasi Freight Conference memang terlalu tinggi walaupun hal itu memang ada pembenarannya karena Conference mengatur segala sesuatunya, sampai-sampai jadwal pelayaran kapal anggota juga harus disetujui Conference, hal-hal yang mau tidak mau pasti meningkatkan biaya operasi kapal.
Minggu, 06 November 2011

Shipping Concerence: menghitung hari?

Dalam situs EH.net, sebuah website yang dimiliki dan dioperasikan oleh Conomic History Association dan beberapa lemnbaga terkait, terdapat artikel yang diposting oleh seseorang yang tidak disebutkan jati dirinya yang bertajuk Intenational Shippiung Cartels.
Dalam artikel yang bernada keras tersebut penulis artikel menyebutkan berbagai hal tentang kolusi yang berkecamuk dalam kebanyakan Shipping Conference yang melayani pelayaran liner service di dunia, terutama menyangkut fixed cost yang tinggi yang dipertahankan supaya tetap sedimikian guna menghalangi perusahaan pelayaran baru agar tidak ikut memasuki kancah Conference. Juga disebutkan tentang "kesukaan" (anggota-anggota) Conference untuk hanya memilih cargo yang bernilai tinggi karena kategori cargo ini dapat dikenai biaya angkutan yang bertarip tinggi.
Analisis ini agaknya sejalan dengan pendapat penulis blog ini, yang sebagai pengarang buku "Pokok-pokok Pelayaran Niaga" telah mencanangkan bahwa biaya angkutan pada perusahaan pelayaran liner service "selalu harus lebih tinggi" dibandingkan biaya yang ditatapkan oleh perusahaan pelayaran "tramping" yang rela "membiarkan" kapalnya berlama-lama di pelabuhan demi menunggu muatan supaya penuh, baru berangkat menuju ke SATU pelabuhan tujuan sementara kapal liner service rencana pelayarannya sudah dipatok tanggal sekian harus berangkat walaupun hanya mengangkut sedikit cargo. (Di sisi lain setiap hari kita melihat pemandangan kapal peti kemas yang memuat eti kemas sampai penuh). Jangan lupa, perusahaan pelayaran Maersk Line yang dalam bisnis tertentu berkolaborasei dengan Sealand, sudah mengoperasikan delapan "sister ships" berdaya angkut 14.000-an TEU. Dalam buku tersebut saya menjelaskan tingginya tarip angkutan pada pelayaran liner service disebabkan karena: 1. Perusahaan harus mempunyai organisasi serba lengkap yang tentunya dengan biaya organisasi tinggi karena 2. Harus dilengkapi dengan kantor-kantor cabang dan atau agen di pelabuhan-pelabuhan di mana kapalnya singgah, 3. Membayar iuran Conference yang cukup tinggi dan ditambah lagi 4. Membayar biaya akomodasi bagi eksekutif perusahaan yang menghadiri rapat Conference enam bulan sekali.
Dalam kaitan dengan opersasi traamper dapat diceritakan bahwa pada tahun enampuluhan penulis pernah mengenal seorang warga-negara Philipina, di mana tiga bersaudara (laki-laki semua)menjalankan perusahaan pelayaran tramping dengan belasan kapal bulk cargo carrier ukluhan ribu DWT er unitnya. Operasi dan manajemen mereka seperti ini: si sulung menjaga "posko" di Manila, saudara nomor 2 sebagai "marketing manager" bertugas mencari muatan di pusat-pusat industri dunia dan si bungsu sebagai "operating manager" mengunjungi pelabuhan-pelabuhan untuk menyiapkan keagenan yang menangani pemuatan atau pembongkaran muatan. Si nomor 2, kalau sudah mendapat komitment pengangkutan bulk cargo dan sudah mengantongi "charter party" dan sudah mengirimkannya ke posko, terbang lagi mengunjungi eksportir yang mempunyai cargo satu kapal untuk diangkut ke pelabuhan tertentu, lalu si bungsu setelah menandatangani kontrak keagenan kapal, terbang lagi ke pelabuhan lain untuk melakukan hal yang sama.
Yang hendak dijelaskan di sini adalah bahwa perusahaan tramping tidak perlu mempunyai organisasi yang lengkap sehingga biaya organisasinya sangat-sangat rendah, karena itu biaya angkutan yang ditawarkan oleh trampers juga sangat rendah. Liner service tidak dapat menandingi ini, tetapi, seperti sudah dapat dilihat, adanya gugatan dalam situs EH.net menyadarkan kita tentang dua hal yaitu pertama pelaku bisnis sudah menyadari bahwa freight rate yang tinggi yang ditetapkan oleh Conference harus dikoreksi supaya dapat menjadi lebih rendah secara proporsional. Di sisi lain, liner service tidak mungkin menjalankan operasi model tramper karena liner service melayani banyak elaku bisnis (masyarakat umum). Di siai yang lain lagi, praktek shipment transformation yang dijalankan oleh perusahaan freight forwarder atau international shiping intermediary (NVOCC)juga, setidaknya menurut keyakinan penulis, rasanya perlu dikoreksi. Dalam praktek shipment transformation, forwarder menerima breakbulk goods dalam jumlah kecil-kecil dari banyak eksportir, lalu dikosolidasikan (digabungkan) ke dalam peti kemas dan dikapalkan sebagai FCL Shipment dengan tarip angkutan "box rate" yang (jauh) lebih murah. Memang dari sisi ekonomi umum, praktek ini membawa keuntungan berupa penekanan biaya angkutan menjadi lebih rendah dan di sisi lain perusahaan pelayarean liner service dibantu menekan biaya pelabuhan karena forwarder bekerja gesit, maka pelaku pelayaran boleh dikatakan tidak memerlukan persiaan apa-apa. Container tiba di pelabuhan, tinggal muat saja karena sudah disiapkan oleh forwarder, maka kapal hanya perlu berada di pelabuhan dalam hitungan jam. Sebagaimana diketahui, proses roduksi kapal adalah saat kapal berlayar di laut, bukannya saat ada di pelabuhan. Mungkin sahabat saya, kang Maman Permana dari MAPPEL mempunyai idee untuk di-talk showkan di TV bagaimana caranya menekan biaya angkutan melalui laut supaya dapat menjadi lebih rendah tanpa harus mengikuti pola operasi pelayaran tramping. Bagaimana kang Maman?
Rabu, 02 November 2011

PEMBUBARAN FREIGHT CONFERENCE

Jaman berubah, teknologi berkembang, sistempun berkembang maju, tahun 1950 ditandai dengan bergabungnya perusahaan-perusahaan pelayaran teta internasional yang melayari jalur tertentu, ke dalam asosiasi atau perhimpunan yang berjuluk Freight Conference atau Rate Agreement.
Penggabungan itu dipicu oleh persaingan sengit di antara perusahaan-perusahaan pelayaran liner service itu sendiri di mana perusahaan yang bermodal kuat tidak segan-segan menjalankan strategi “membunuh” perusahaan lain saingannya melalui penurunan biaya angkutan agar setelah perusahaan saingannya mati, si kuat tersebut dapat hidup sendiri dan secara semena-mena menaikkan lagi tingkat freight rate setinggi mungkin. Untuk memungkinkan strateginya itu terlaksana, si kuat seringkali mengoperasikan kapal ”fighting ship” yaitu kapal yang beroperasi membayangi kapal dengan trayek sama namun dengan tingkat tarip angkutan sedemikian rendah supayta perusahaan pesaingnya tidak tahan lagi lalu bangkrut. Praktek ini berlangsung sekitar tahun 1930 – 1940 dan mencapai puncaknya menjelang tahun 1950.
Pada titik kulminasi itu pengusaha-pengusaha pelayaran internasional yang peduli “good governance” memprakarsai suatu kerjasama guna mencegah praktek persaingan yang bersifat saling membunuh tersebut. Maka dibentuklah asosiasi yang bernama Freight Conference dan Rate Agreement. Bentuk Freight Conference dipilih oleh perusahaan pelayaran yang melayari trayek pengangkutan dari dan ke Eropa serta belahan dunia lainnya kecuali Amerika. Pada bentuk asosiasi ini disepakati kerjasama dalam semua aspek pengusahaan pelayaran niaga antar Negara, antara lain:
1. Penetapan pelabuhan-pelabuhan asmudera yang boleh disinggahi oleh kapal dalam kedua kutub trayek yang dilayani;
2. Penetapan jadwal pelayaran setiap kapal yang tergabung dalam asosiasi;
3. Pembagian alokasi muatan yang boleh diangkut dari dan ke setiap pelabuhan singgahan kapal (port of call);
4. Penetapan tarip biaya angkutan (freight rate) per freight tonne;
5. Peraturan pemberian potongan biaya (rebate) di mana “cash rebate” hanya diberikan kepada pelanggan yang sudah menandatangani “contract of affreightment” (kontrak pengapalan) sedangkan pengirim lain diberikan “deffered rebate” yaitu rabat yang baru dapat dicairkan tiga bulan setelah saat pengapalan, itupun kalau selama waktu itu si pengirim barang mengapalkan barangnya hanya dengan menggunakan kapal anggota Conference yang bersangkutan;
6. Bentuk Rate Agreement dipilih oleh perusahaan pelayaran yang berbasis di USA dan negeri-negeri di benua Amerika lainnya yang hanya membuat kesepakatan mengenai dua aspek saja, yaitu tentang freight dan rabat, aspek-aspek lain dibebaskan menurut kehendak setiap anggota Conference.
Selama kurun waktu setengah abad lebih perusahaan-perusahaan pelayaran liner service menikmati pendapatan freight yang tinggi tanpa saingan yang berarti karena negurus Conference selalu menjaga kinerja anggota-anggotanya dalam memberikan service prima kepada pelanggannya, termasuk ketepatan dalam melaksanakan jadwal pelayaran yang sudah ditetapkan, pelayanan claim yang cepat dan nyaman dan seterusnya. Bertahun-tahun para pemerhati mengecam praktek kartel ini tetapi Freight Conference dan Rate Agreement tetap saja berjalan dengan nyaman karena para pebisnis dalam general merchandise merasa tidak terganggu karena bagi mereka kepastian pelayaran dan kepastian penyamaian barang ke tujuan lebih penting dariada freight yang lebih rendah.
Adapun tarip biaya angkutan yang tinggi itu diantaranya adalah iuran Conference yang besar, biaya organisasi yang juga besar karena harus membuka kantor cabang dan atau agen di pelabuhan-pelabuhan yang disinggahi kapal-kapalnya dan juga karena Conference, setiap enam bulan sekali mengadakan rapat anggota, berpindah-pindah di kota-kota yang bernuansa pariwisata berkelas.
Satu dua perusahaan pelayaran liner service yang peduli untuk mengenakan biaya angkutan yang lebih rendah, diposisikan supaya tidak tahan, menyerah dan terpaksa bergabung ke Conference. Yang terkenal di antaranya adalah perusahaan pelayaran Evergreen Line dan Yang Ming Line yang keduanya berbasis di Asia Timur. Kedua perusahaan itu beroperasi sebagai “Non Conference Liner” sehingga tidak terkena pembayaran iuran yang mahal, bebas biaya rapat semesteran, maka taripnya dapat ditekan rendah. Terbukti kedua perusahaan tersebut “tidak tahan” dan terpaksa masuk mernjadi anggota FEFC (Far East Freight Conference) dan ternyata Conference tersebut sudah dibubarkan per 2008.
Sebenarnya payung hukum yang mendasari penutupan Conference sudah dikeluarkan cukup lama tetapi cukup menarik bahwa pembubaran FEFC baru berlangsung sepuluh tahun kemudian. Pada tahun 1998 negara USA mengeluarkan undang-undang Ocean Shipping Reform Act (OSRA) yang segera diikuti oleh counterpartnya di Eropa.
Dengan dibubarkannya Conference menyusul undang-undang reformasi shipping, apakah praktek “fighting ship” akan berulang lagi, perusahaan pelayaran ada yang mati lalu timbul conference lagi, begitu seterusnya? Penulis yakin sejarah tidak akan berulang dengan cara seperti itu karena masa kini hubungan antar Negara sudah berjalan lebih baik. Walaupun demikian penulis merasa terketuk hati dengan praktek diferensiasi tarip biaya angkutan dalam system angkutan peti kemas yang kita alami sekarang.
Sebagaimana kita amati, kalau eksportir mengapalkan “less than container load” LCL breakbulk shipment, dikenai biaya angkutan berdasarkan tarip individual rate per tonne atau per 40 cubic feet. Tetapi kalau barang ekspor miliknya itu oleh eksportir diserahkan kepada freight forwarder dan perusahaan terakhir ini men-stuff/konsolidasikannya ke dalam peti kemas lalu dikapalkan sebagai FCL shipment, dikenakan biaya angkutan berdasarkan tarip “box rate” yang jauh lebih rendah. Tidak ada yang salah dalam praktek ini walaupun pihak freight forwarder mendapat “margin” yang aduhai dan di samping itu pihak shipping line juga diuntungkan dalam hal masa singgah kapal di pelabuhan atau “turn round time” yang lebih pendek. Hanya saja, bagi pemerhati shipping rasanya kok ada yang tidak pas dalam hal ini, pak Maman Permana dari Mappel (Masyarakat Peduli Shipping), mungkin tergerak menggelar talk show khusus di TV seperti yang aca kali kita simak. Bagaimana
Selasa, 01 November 2011

SEJARAH MARITIM Indonesia (3) Masa Pra Sejarah, sampai sebelum tahun 500 Masehi

Tidak banyak sumber yang dapat digali untuk menampilkan sejarah pelayaran Indonesia dalam masa pra sejarah, kecuali dari penuturan lisan dan relief yang tergambar pada candi-candi baik candi Hindu maupun Budha yang banyak dibangun setelah tahun 500 Masehi, seperti candi Prambanan, candi Borobudur dan lain-lain.

Dari relief pada candi dapat dilihat bahwa sesungguhnya pada masa itu sudah berlangsung pelayaran niaga, pada dua versi pelayaran yang dijalani oleh nenek moyang kita orang pelaut tersebut. Perlayaran ini merupakan wujud aktivitas migrasi penduduk dalam jarak pendek, di samping migrasi pada kawasan yang lebih jauh, sampai perhubungan laut bagi pengangkutan barang dagangan.

Dari sini dapat dilihat bahwa sesungguhnya, pada masa pra sejarah itu masyarakat nusantara Indonesia sudah memiliki pranata yang memungkinkan terjadinya hubungan perdagangan itu, demikian juga bahwa orang Indonesia masa dulu sudah mendapat manfaat dari aktivitas perdagangan yang memanfaatkan laut sebagai medium pengangkutannya.

Lihatlah lukisan-lukisan yang terdapat di dalam gua-gua batu seperti yang ada di Ohoidertawun di pulau Keil Kecil (Buton), di pulau Irian (Papua) dan lain-lain. Dari lukisan itu dapat disimak tentang sudah adanya pengenalan dan ketrampilan ilmu pelayaran pada nenek moyang kita dahulu. Memang bentuknya masih amat sederhana, sesuai teknologi yang ada pada masanya, namun sisa-sisa system pelayaran yang serba kuno itupun sampai saat ini masih banyak yang digunakan oleh kaum nelayan dan kaum pelayar pada umumnya, pada masa kini.

Di sisi lain ahli sejarah Wolters, van Leur dan yang lain menemukan bukti di luar Indonesia yang dapat menjelaskan peran pelaut Indonesia dalam pelayaran dan perdagangan internasional pada masa lampau. Dalam buku berjudul Early Indonesian Commerce, sebuah study yang mempelajari tentang terbentuknya kerajaan maritime Sriwijaya, Wolters menceritakan bahwa pelayaran internasional yang melewati perairan Indonesia merupakan bukti tentang pentingnya jalur pelayaran itu, jauh sebelum kerajaan Sriwijaya terbentuk. Wolters memanfaatkan berita-berita dari India dan Cina sebagai sumber informasi bagi pemaparan itu, yang diyakini dapat mnenambah khasanah pengetahuan tentang pelayaran niaga Indonesia dalam masa yang masih dini.

Dari India berita-berita dikutip dari kitab-kitab agama Budha, karya sastera dan laporan perjalanan pejabat negara dan pedagang, yang semuanya menunjukkan bahwa di Indonesia sejak jaman dahulu potensi pelayarannya telah dikenal oleh para pelayar Indonesia (sejak permulaan abad Masehi). Di samping itu, di Negara-negara lain itu juga dijumpai keterangan mengenai perdagangan berbagai komoditas utama, juga tentang perdagangan dalam bidang apa saja yang berlangsung antara India dengan Indonesia, jenis komoditas apa yang dihasilkan Indonesia. Sumber Cina juga menyajikan informasi yang serupa dengan itu, dari mana dapat diperoleh pengetahuan/informasi mengenai jalur perdagangan antara Cina dengan Indonesia, masa layar dari Cina ke Indonesia dan seterusnya. Para ahli berkesimpulan bahwa hubungan pelayaran niaga antara India dengan Indonesia telah berlangsung lebih awal daripada hubungan serupa antara Indonesia dengan Cina.

Dalam kitab Jataka yang memuat kisah kehidupan Budha Gautama, terdapat uraian tentang usaha orang-orang India untuk melakukan perjalanan laut yang berbahaya menuju Suvannabhumi (Tanah Emas) yang terletak di sebelah timut Teluk Benggala. Menurut para ahli mungkin Suvannabhumi adalah Suvarnadwipa yang di kemudian hari berkembang menjadi nama Sumatra atau Sumatera.

Di dalam kisah Ramayana, dalam bab khusus Kiskinda Kanda, disebut juga tentang Suvarnadwipa. Juga dalam puisi Tamil, antara lain Pattin appalai yang diciptakan pada awal abad Masehi, digambarkan adanya suatu wilayah perdagangan yang makmur antara India dengan Kalagam. Wilayah Kalagam ini pada jaman dahulu digunakan sebagai sebutan bagi Kedah saat ini.

Memang, sumber-sumber sejarah tersebut sampai saat ini kebenarannya masih menjadi bahan perdebatan bagi para ahli sejarah namun keterangan tentang adanya informasi itu dapat diperbandingkan dengan sumber lain yang lebih kuat, seperti Periplous tes Erythras Thalasses yang merupakan kumpulan keterangan mengenai pelayaran di Erythras (sekarabg: Samudera Hindia). Kitab ini ditulis pada pertengahan abad I Masehi oleh seorang nakhoda Yunani-Mesir yang sering melakukan pelayaran ke Asia Barat dan India.

SEJARAH MARITIM (2)

Pernah ditulis di dalam blog ini bahwa nenek moyang kita yang orang pelaut, pada masa kerajaan Sriwijaya sudah berprestasi melayarkan perahu layar sampai ke Madagaskar bahkan sampai ke Negara di Afrika Timur, mengangkut barang dagangan ekspor dan impor. Bukan hanya itu, para pelayar nenek moyang kita itu juga sudah mengenal tentang kapal catamaran atau kapal berlunas ganda.

Lunas ganda berfungsi untuk meningkatkan laju kapal melalui hembusan angin yang sangat kuat menerobos di bawah tubuh kapal dan mempunyai efek mengangkat kapal sehingga demngan demikian laju kapal ditingkatkan secara signifikan. Pada jaman modern konstruksi lunas ganda banyak dijumpai pada perahu lomba yang dalam siaran TV banyak mengalami kecelakaan terangkat tinggi ke udara dan jatuh berkeping-keping.

Nenek moyang kita mengerjakan konstruksi kapal (perahu) catamaran dengan cara sederhana, seiring dengan tingkat teknologi pada masanya, begini: dua unit perahu kayu yang sama sebangun, dijajarkan lalu pada ship’s railing kedua kapal itu dipakukan papan-papan tebal sehingga kedua kapal tersebut menyatu menjadi bentuk kapal (perahu) yang mempunyai dua lunas. Tentu pada bagian-bagian tertentu di atas lunas masing-masing kapal, dipasangkan balok atau papan tebal sebagai penguat agar dua kapal tersebut betul-betul menjadi satu unit kapal yang kokoh.

Janganlah meng-under estimate kemampuan dan kreasi nenek moyang kita dalam desain dan rekayasa pembangunan kapal karena kreasi mereka tidak ada habisnya, yang penting kita mendorong kemampuan dan kinerja galangan kapal Indonesia untuk dapat membangun kapal dengan biaya terjangkau, jangan seperti sekarang di mana kemampuan teknis dan manajerial OK punya namun kapal dalam financial performance.

Mudah-mudahan para pihak yang peduli pada peningkatan shipping business secepatnya dapat menemukan jalan bagi peningkatan itu.

Senin, 31 Oktober 2011

PENERBITAN BUKU MARITIM

Tanggal 16 Mei 2911 blogger memposting artikel dengan judul tersebut di atas dan sejak saat itu, sampai beberapa hari yang lalu, mohon maaf, berhenti melakukan posting yang mungkin ditunggu penggemar. “For ready reference”, artikel yang cukup pendek tersebut bersama ini disalin di sini: quote Mungkin anda mengenal, bahkan memiliki buku berjudul POKOK-POKOK PELAYARAN NIAGA yang oleh Departemen Pendidikan pernah dinyatakan sebagai buku nasional yang memberikan tuntunan di bidangnya.

Blogger pernah bertemu mantan anak didik yang mengelola perusahaan pelayaran yang selalu membawa buku tersebut dalam tasnya; menghadapi masalah tertentu dan tidak berhasil menemukan solusi, ternyata setelah dicari di buku solusi itu ditemukan. Mengapa buku itu sekasrang hilang dari peredaran, begitu mungkin anda bertanya. Kesulitan pengedaran karena terjadinya “korslet” antara pengarang dengan penerbit dan seperti anda duga pengarang memilih untuk mundur dari arena (pengarang lain yang mengalami hal serupa, memilih untuk membiarkan situasinya dalam status quo tetapi engarang ini “sukses” menarik kembali hak terbit dari enerbit).

Sekarang naskah tiga buku saya yang pernah diterbitkan oleh penerbit formal, aman tersimpan di dalam flash disc dan sedang dalam proses revisi ulang. Gambar-gambar yang diperlukan dalam ilustrasi uraian belum selesai siunduh dari internet (saat ini sudah lengkap). Mudah-mudahan akhir tahun ini selesai dan siap untuk diedarkan. Doakan saja unquote.

Mengapa posting blog terhenti, adalah karena blogger mengkonsentrasikan diri pada penyelesaian penulisan buku-buku, termasuk men-scan naskah yang sudah pernah diterbitkan dan akan diedarkan lagi, termasuk juga browsing materi termasuk gambar-gambar terkait uraian buku, dari internet. Juga ada naskah buku yang sudah lengkap diketik, tinggal melengkapi gambar, saat ini dalam proses scanning, yaitu buku ENSIKLOPAEDIA MARITIM.

Puji Tuhan, semua kegiatan tersebut kini sudah selesai dan dua judul buku yaitu POKOK-POKOK PELAYARAN NIAGA dan SISTEM ANGKUTAN ETI KEMAS, saat ini sedang dalam proses computer printing yang dilakukan oleh seorang kerabat penulis. Secepatnya print out sudah siap, akan dibawa kepada penerbit dan seandainya penerbit terpercaya.