Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Senin, 19 Desember 2011

NEGARA MARITIM MINIM KAPAL


Judul yang dikutip di atas dapat dibaca pada harian Kompas, 16 Desember 2011 halaman 29 dengan bahasan utama kecelakaan kapal tenggelam, karam pada minggu-minggu terakhir tahun ini, termasuk yang menewaskan seorang wakil bupati kawasan Sulawesi Tengah. Di perairan Merauke,  Kompas melaporkan, enam kecelakaan terjadi, meliputi kapal tenggelam dan juga ada kasus tabrakan kapal.
Dikatakan lebih lanjut: “apapun faktornya, setiap terjadi kecelakaan di laut, negara tidak bisa melepaskan tanggung jawab begitu saja. Bukankah konstitusi menjamin setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan rasa aman dalam melakoni aktivitas sehari-hari”. Mengenai hal yang dikutip dalam kalimat terakhir ini, rasanya setiap insan Indonesia mengamini, termasuk mereka yang masih duduk di kelas terakhir sekolah dasar. Yang luput dari pengamatan bukanlah  ideal dari kewajiban Negara menjamin keamanan warganya, melainkan bagaimana aplikasi atas tanggung jawab Negara tersebut sehari-hari.
Bahwa setiap kecelakaan dalam sistem angkutan baik darat, laut maupun udara dapat dipicu oleh “human error”, juga oleh “technical error” atau karena “musibah murni”, namun selama ini langkah perbaikan  yang dilakukan oleh aparat pemerintahan adalah setelah peristiwa terjadi sementara menyangkut upaya pencegahan (agar kecelakaan tidak terjadi), seribu satu excuse ditampilkan sedangkan  langkah penanganannya minim kalau tidak boleh dikatakan tidak ada. Lihatlah contohnya (menyangkut angkutan jalan raya): jalan di sebelah kanan terminal Pulo Gadung Jakarta, arah Cakung, bertahun-tahun lamanya dibiarkan menjadi kawasan tidak bertuan di bawah penguasaan preman dan calo bis, angkutan kota dan lain-lain. Mobil pribadi tidak dapat melintas melalui penggal jalan itu yang dipenuhi gerobak dagangan lontong sayur dan entah apa lagi. Mengapa bisa begitu padahal ada Dinas Perhubungan, Polantas dan entah instansi apa lagi. Bagaimana bisa pimpinan instansi-instansi tersebut membiarkan situasi tanpa penanganan oleh aparat itu bisa berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada tindakan untuk mengembalikannya  pada fungsi yang sebenarnya.
Memang ada satu dua petugas lapangan dari Dinas Perhubungan berdiri di penggal jalan yang panjangnya hanya beberapa ratus meter itu, tetapi aktivitasnya tidak lebih dari mengutip uang receh Rp.500.- (limaratus rupiah) dari setiap sopir angkot yang melintas, tidak lain. Tidak ada Kepala Seksi mengontrol atau mengarahkan kerja anak buahnya, Kepala Terminal Pulo Gadung juga entah mengerjakan apa selain berkomunikasi dengan supir bis antar kota tanpa perduli melihat segala macam angkot bis kota dan entah apa lagi antri berderet-deret ratusan unit dalam jarak sejengkal antara satu mobil dengan yang di depannya, situasi yang tidak memberi peluang pejalan kaki melintas. Bagaimana fasilitas yang dibiayai dengan bermilyar-milyar uang pajak yang dibayar rakyat, diperlakukan dengan cara seperti itu.
Banyak instansi pemerintah yang mempunyai pegawai lebih dari cukup, tetapi pegawai-pegawai tidak  menjalankan apa yang ditugaskan kepada mereka itu “in person” melainkan diwakilkan kepada kalimat, kepada gambar dan lambang, yang tidak efektif. Pelaku lalu lintas  (dalam hal ini lalu lintas darat), adalah manusia. Bagaimana manusia yang punya hati nurani, diatur oleh gambar sepeda motor dan tulisan: “motor jalan di jalur kiri dan pakai helm”. Di  setiap instansi pemerintah pasti bekerja  ahli psikologi, psikiater, sosiolog. Apakah mereka tidak pernah diminta advis bahwa menertibkan manusia haruslah oleh manusia dan bukan oleh tulisan dan lambang. Manusia kalau diatur dan ditertibkan oleh manusia, dapat mengapresiasi kegiatan itu tetapi kalau penertiban “dilakukan” oleh spanduk, rambu dan benda mati lainnya tanpa ada manusia yang hadir di situ, mereka – sebagai manusia – merasa dilecehkan. Maka segala macam perintah, himbauan dan lain-lain yang misalnya berbunyi: “lampu menyala merah berhenti di belakang garis putih” cenderung tidak dihiraukan oleh pelaku lalu liontas jalan raya kecuali kalau disertai oleh petugas yang mengawasi instruksi tertulis itu, in person dan pengawasan itu dilakukan secara terus menerus sampai masyarakat sudah mempunyai kesadaran pribadi untuk mematuhi aturan.
Tindakan hangat-hangat cirit ayam, hanya berupa razia tidak akan efektif di luar saat razia karena factor manusia yang mempunyai hati rurani. Kalau hati nurani merasa dilecehkan, mereka cenderung sengaja melanggar aturan dan kalau kebetulan terkena tindakan penertiban karena sedang razia, dianggap saja sebagai kesialan. Tidak ada urusan dengan kesadaran, dengan disiplin . Sial saja kena razia, toh petugas tidak pernah melakukan pembinaan secara terus-menerus sampai orang yakin bahwa melanggar aturan tidak mengenakkan.  Apakah situasi ini akan dibiarkan terus, ataukah pemerintah mau menyadari bahwa menjalankan tugas “in person” seperti diamanatkan dalam “job description” merupakan suatu keharusan. Tindakan itu harus dilakukan terus menerus, sdatu tahun, lima tahun atau sepuluh tahunsecara terus-menerus setiap hari sampai petugas merasa yakin bahwa masyarakat tidak perlu lagi ditertibkan karena sudah tertib. Menyangkut angkutan laut, beberapa waktu terakhir ini memang kita menyaksikan Syahbandar Pelabuhan menahan kapal agar tidak berlayar karena tidak ada manifest penumpang atau jumlah penumpang yang sudah naik ke kapal jauh melebihi angka yang tercatat pada manifest. Bravo, tetapi diharapkan langkah itu sudah merupakan suatu keputusan baku yang akan dijalankan di semua tempat, di semua situasi dan bukannya karena sifat pribadi syahbandar semata-mata.
Dalam hal lain: sesaat setelah Presiden SBY mencanangkan seratus hari kabinet Indonesia Bersatu Jilid I beberapa tahun yang lalu, saya menulis artikel dalam blog ini memprediksi bahwa langkah pertama yang akan diambil oleh SBY adalah memanggil Kapolri dan memerintahkannya  untuk mengatur agar anggota Polantas yang bertugas di perempatan jalan memprkatekkan “diplomasi jari telunjuk”, konkritnya: anggota Polantas berdiri di depan garis putih pembatas kendaraan berhenti menunggu lampu dan kalau ada mobil atau motor berhenti di depan garis, pak Polantas mengacungkan jari telunjuk kepada supir atau pengendara agar  memundurkan kendaraannya. Pengemudi yang mengerti aturan lalu lintas  pasti mengerti perintah tak diucapkan itu dan memundurkan kendaraannya sampai di belakang garis atau kalau tindakan  itu tidak dimungkinkan, dia terpaksa  menjalankan kendaraannya dan mengarahkannya belok kiri sehingga dia merasa rugi. Kalau hal terakhir ini tidak dilakukan, Polantas harus mengambil tindakan paksa belok kiri, termasuk memberikan surat tilang. 
Kukatakan juga bahwa kalau “diplomasi jari telunjuk” dijalankan, beberapa keuntungan strategis dapat diperoleh. Pertama, keteraturan sistem berlalu lintas terlaksana, Kedua, kesemrawutan di perempatan jalan raya dapat diatasi, khususnya di Jakarta. Ketiga, menaikkan kewibawaan Polri secara keseluruhan. Lebih lanjut bukan hanya kewibawaan Polri saja yang dapat ditegakkan tetapi dengan melihat ketegasan anggota Polantas tersebut, masyarakat akan menilai bahwa sekarang Pemerintah benar-benar menegakkan aturan, berbeda dari yang sebelumnya. Maka masyarakat, kalau tergoda melanggar aturan, minimal akan rugi seperti kasus pengemudi yang dipaksa berbelok ke kiri padahal tujuannya dekat ke arah lurus.
Sayang harapan saya bertepuk sebelah tangan, yang terjadi justru sebaliknya yaitu motor-motor puluhan unit bergerombol di depan garis putih dan sebelum lampu pada sisi itu menyala hijau, motor dan ada juga mobil sudah tancap gas karena lampu hijau pada sisi lain jalan akan menyala merah satu dua detik berikutnya. Sebenarnya, dalam negara demokrasi yang tidak bersifat paternalistis, keputusan untuk menjalankan “diplomasi jari telunjuk” cukup ditetapkan oleh Kapolsek bahkan Kapolpos setempat, tidak perlu melibatkan pimpinan tertinggi. Sayangnya pengendara motor sudah tidak tahu lagi bahwa di Indonesia berlaku sistem lalu lintas jalur kiri, mereka seenaknya saja berjalan di sisi kiri atau kanan dan anggota Polantas tidak merasa perlu menertibkannya  karena melihat contoh keberingasan warga menghakimi polisi. Lebih nyaman bersembunyi di tempat terlindung untuk menjebak pengendara melakukan kesalahan dan mengutip pungli.
Sementara itu dalam bahasan “Negara Maritim Minim Kapal” tersebut, para penghimpun  bahan kajian (APA/ENG/ZAL/TH/RWN/SEM) juga menyampaikan tentang minimnya fasilitas pemeliharaan kapal yang melayani angkutan penyeberangan. Bayangkan kapal-  fery yang melayani angkutan penyeberangan di kepulauan Maluku harus docking di Sorong atau Bitung karena galangan di Maluku hanya mampu melayani docking kapal sebesar 500 gross ton atau kurang.
Blogger tidak habis pikir, bagaimana para petinggi Negara di Jakarta, terutama yang asal Maluku, “sampai hati” membiarkan hal itu berjalan begitu selama puluhan tahun? Apakah di antara para petinggi pemerintahan terutama yang asal Maluku itu tidak ada yang mempunyai nuansa bahari/maritime  yang tentunya mengerti tentang pentingnya docking bagi kapal yang beroperasi? Mudah-mudahan setelah para petinggi membaca bahasan Kompas tersebut, plus membaca artikel ini, tergerak hatinya untuk meningkatkan fasilitas docking yang ada di Maluku dan merencanakan untuk, tidak lebih lambat dari tahun 2012 membangun minimal satu galangan yang dapat melayani kapal besar, di Maluku. Maaf kalau ancangan ini menyinggung petinggi wilayah/daerah Maluku, anggaplah ini crash program saja.
Mungkin kalau dihitung secara “cost accounting” fasilitas docking kapal besar di Maluku tidak menguntungkan tetapi kalau pemikiran seperti ini betul ada, hal itu tentu cukup naïf karena fasilitas docking   tidak hanya untuk melayani kapal yang beroperasi di perairan Maluku melainkan juga kapal lintas Papua – Nusa Tenggara – Jawa dan lain-lain yang menggunakan kapal 1.000 gross ton atau lebih besar. Kapal manapun boleh docking di Maluku sesuai jadwal atau saat akan melintas di Maluku.  
Dalam mengamati laporan tentang Negara Maritim Minim kapal, blogger  merasa bahwa staf peneliti Kompas kurang lengkap dalam mengumpulkan bahan, utamanya untuk mengisi bahasan di bawah sub judul “Galangan Kapal”. Bahasan di bawah sub judul tersebut  hanya melaporkan tentang fasilitas docking kapal dan terlupa tentang pembangunan kapal baru. Telah beberapa kali saya laporkan dalam blog ini, biaya pembangunan kapal baru di galangan Indonesia memang sangat, sangat mahal karena galangan Indonesia, sekalipun telah menerapkan metode kerja pembangunan kapal per modul namun tiap galangan “bekerja mandiri” yaitu satu galangan membangun kapal dari mulai menyiapkan modul, “menyambungnya” menjadi satu unit kapal utuh, dikerjakan sendiri saja sehingga masa pembangunan tetap lama (satu tahun atau lebih lama). Biaya modal bagi pembangunan menjadi mahal.
Ini berbeda dengan metode yang diterapkan pada Negara-negara maritime maju, yang sejak lama menerapkan metode kerja “secara keroyokan”: satu unit kapal yang dipesan, dikerjakan oleh lima atau empat galangan yang masing-masing mengerjakan satu modul kapal selama tiga bulan, lalu diantarkan kepada “galangan penyambung” yang akan mempersatukan semua modul menjadi kapal yang utuh dalam waktu satu bulan. Pada akhir bulan keempat mesin-mesin kapal yang sudah dipesan secara terpisah, dipasang di kapal, juga dalam waktu satu bulan. Ditambah satu bulan lagi untuk “sea trial” dan sertifikasi kapal  maka pada akhir bulan keenam kapal sudah dapat diserahkan kepada pemesan.
Pembangunan kapal baru selalu melibatkan penyandang dana berbagai fungsi pemberian kredit; tidak ada pemesan kapal yang mendanai pembangunan kapal baru dengan dana sendiri (equity capital), semua menggunakan dana dari kredit investasi atau kredit hipotik kapal, menggunakan bentuk hire purchase (sewa beli) atau gabungan berbagai bentuk kredit yang lazim digunakan dalam bisnis. Kalau masa pembangunan hanya enam bulan, bunga modal yang harus dibayar tentunya jauh lebih rendah daripada satu ahun atau lebih.
Dalam kaitan dengan pengadaan armada bagi pembinaan usaha pelayaran di Indonesia, namun demikian blogger tetap menyarankan agar pengadaan kapal-kapal “plat merah” tetap melalui pemesanan kepada galangan Indonesia. Mengapa demikian? Kapal “plat merah” yang akan dioperasikan sebagai kapal perambuan, kapal penjaga pantai dan lain-lain, yang pengadaannya dibiayai oleh APBN, tidak layak kalau dipesan pada galangan asing, melainkan harus pada galangan Indonesia, berapa tinggipun harga yang dipasang oleh galangan Indonesia. Pemesanan “kapal plat merah” pada galangan Indonesia, mempunyai beberapa tujuan strategis antara lain: 1. Mendorong peningkatan produksi kapal oleh galangan Indonesia; 2. Mendorong produksi plat baja pada pabrik besi baja, 3. Mendorong produksi mesin-mesin untuk kapal serta produksi alat-alat pelayaran lainnya, 4. Meningkatkan kinerja galangan-galangan di Indonesia agar galangan kapal di Indonesia semuanya, suatu saat kelak kinerjanya sama sehingga pada posisi itu, metode pembangunan kapal “secara keroyokan” (lebih tepat: secara gotong royong) sudah dapat dimulai.
Jangan lupa, Negara-negara maritime maju sejak empatpuluh limapuluh tahun yang lalu sudah memulai kegiatan meningkatkan kinerja galangan termasuk dan terutama mempersamakan kinerja galangan-galangan nasional di negaranya dan hasilnya seperti dapat kita lihat: membangun kapal “hanya” memerlukan waktu enam -  tujuh bulan, bukannya satu, dua bahkan lebih dari dua tahun seperti berlaku di Indonesia. Bagaimana Indonesia dapat mengejar ketertinggalan ini kalau sampai saat ini belum juga ada niat memulai penyamaan kinerja galangan-galangan Indonesia, suatu upaya untuk memungkinkan membangun kapal secara goong royong, suatu metode kerja yang terbukti telah sangat menekan masa pembangunan kapal, sekaligus menekan biaya pembangunan kapal melalui penekanan cost of money ?








0 komentar:

Posting Komentar