Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Selasa, 31 Agustus 2010

MENYELUNDUPKAN EMAS

Sudah cukup lama tidak terdengar berita tentang kasus penyelundupan emas, apakah para penjahat sudah sadar? Biasanya penyelundup amatir berusaha mea emas gelap dengan cara ditipiskan dan dijahitkan pada vest yang dikenakan di bawah jacket yang dikenakannya.
Atau: langkah ini merupakan kamuflase, untuk mengalihkan perhatian karena di tempat lain, atau pada waktu lain yang dekat, dilakukan penyelundupan yang lebih besar. Cobalah anda hitung berapa atau apa yang anda peroleh dengan menyelundupkan dua kilogram emas, dengan mempertimbangkan selisih harganya di tempat asal dan di tempat tujuan, dikurangi lagi dengan biaya tiket pesawat terbang, ongkos hotel berbintang dan biaya-biaya operasional lainnya?
Penyelundupan dengan modus operandi seperti ini tergolong sebagai penyelundupan kelas teri karena kalau berhasil, perolehannya tidak lebih untuk memenuhi kebutuhan dapur, padahal risiko tertangkap sangat besar seperti yang akan diungkapkan sebentar lagi.
Juga ada penyelundupan kelas “memenuhi kebutuhan dapur” lain seperti yang dilakukan pilot pesawat terbang dengan membawa satu atau paling banyak dua buah jam tangan Rolex all gold. Konon kabarnya, di kalangan kepabeanan ada pameo: Pabean tahu tentang pilot yang “nyangking” jam tangan rolex satu buah tetapi dibiarkan saja (Bea dan Cukai tutup mata) karena ulah itu hanya dianggap untuk menjaga supaya asap dapur tetap ngebul.
Baru kalau pilot merasa bahwa Bea dan Cukai tidak tahu “kenakalannya” itu lalu membawa duapuluh unit jam tangan Rolex all gold itu, dia harus kecele karena ditangkap. Di kalangan kepabeanan, pilot menenteng 20 buah jam tangan Rolex tinggal jemput saja. Koq bisa begitu? Ketahuilah, petugas-petugas lapangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (ada yang) mendapat latihan khusus untuk dapat membaca perubahan urat tubuh manusia yang menegang karena membawa beban yang melebihi “daya angkut” tubuhnya.
Lho, bukankah emas murni dipipihkan menjadi setebal kertas dan dijahitkan pada pakaiannya itu hanya menimbulkan tambahan beban dua kilogram yang tidak terlalu membebani tubuh manusia. Ketahuilah lagi, pelatihan khusus itu bukan untuk membaca urat yang besar/kasar, karena kalau hanya untuk itu tidak perlu latihan khusus, orang bisa berlatih sendiri dengan mengamati urat yang menonjol pada batang leher seperti yang terjadi saat orang menyanyikan lagu seriosa.
Yang dilatihkan kepada (sebagian) petugas lapangan itu adalah materi untuk membaca urat halus yang sebenarnya menonjol kalau orang membawa beban sedikit melebihi bawaannya yang dia tenteng, misalnya jaket yang dilapisi lembaran emas seberat 2 atau 2,5 kilogram itu.
Sedangkan pengenalan pilot yang “nyangking” arloji emas Rolex lebih banyak dilakukan melalui metode psikologi, dari raut wajah orang yang merasa bersalah membawa barang impor tanpa melalui prosedur. Bagi pilot yang membawa duapuluh buah arloji gelap, dari caranya menenteng traveling bag sangat jelas terlihat. Begitu juga kalau dia menghela tas beroda (trolley).
Penyelundupan bohong-bohongan, kamuflase untuk menutupi langkah penyelundupan yang lebih besar, acap kita temukan pada kurun waktu tahun delapan puluhan di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya di mana ada impor sampah domestik (sampah dari restoran besar, rumah tangga), bukan sampah khusus seperti aki bekas (mudah-mudahan sekarang tidak ada lagi).
Dalam kesempatan itu memang betul-betul ada impor sampah domestik dan untuk meyakinkan masyarakat, penyelundup sengaja memanggil kameraman TVRI untuk menyorot peti kemas yang sejak pintunya dibuka, pemulung berebutan, sampai ke dinding peti kemas pada ujung lainnya terlihat, memang hanya sampah sayur, kaleng minuman sampai kulit ikan dan segala macam limbah dapur.
Maka keesokan harinya ketika di pelabuhan Tanjung Priok ada impor serupa, pemeriksa Bea dan Cukai sengaja disodori batang besi yang ujungnya diruncingkan untuk memeriksa peti kemas berisi sampah, untuk mencolok-colokkan sampah itu, tidak menyentuh benda keras, maka seketika itu pula dia menandatangani dokumen pemeriksaan sambil menutup hidung.
Seketika kemudian amanlah tindak penyelundupan mobil Jaguar yang dibungkus kantong plastik tebal besar dan diposisikan pada bagian dalam peti kemas dan ditimbuni sampah domestik. Tentu saja colokan besi runcing sepanjang dua meter itu tidak menemukan keanehan karena ruang dalam peti kemas sekitar 11,5 meter dan panjang mobil Jaguar kira-kira 5 meter. Maka dengan demikian hasil pemeriksaan menyebutkan conform (sesuai) dan “sampah impor” itu sudah sah memenuhi prosedur impor dan kepabeanan, maka segera pula peti kemas diperintahkan keluar dari pelabuhan untuk menuju ke ........ rumah mewah di kawasan Pondok Indah.
Kembali ke sinyalemen bahwa penyelundupan dua (atau bahkan: lima) kilogram emas adalah kamuflase, penulis pernah didekati gembong penyelundup untuk menyelundupkan emas sebanyak dua ton. Jangan salah, dua ton emas murni. Anda bercanda barangkali, begitu mungkin komentar anda. Tidak, saya tidak bercanda dan hitung-hitungan tindak kejahatan itu sudah dibuat tetapi sayang pada saat terakhir saya seperti ada yang mengingatkan untuk tidak jadi ikut dalam program gila itu.
Sudah barang tentu gembong penyelundup marah besar tetapi sebagai gembong, tidak marah meledak-ledak menggebrak meja. Dia hanya bertanya dengan santai: “Bapak sadar dengan apa yang bapak katakan?” Maka jawab saya juga dengan tenang: “Anak saya enam orang pak, saya dengan sadar menimbang apa yang harus saya lakukan. Untuk itu saya akan diam tidak bicara mengenai apapun kepada siapapun, paling tidak untuk lima tahun mendatang”.
Sesungguhnya yang saya katakan adalah: “Tindak penyelundupan besar ini pak, pada pelaksanaannya memang bisa kita atur untuk tidak diketahui oleh siapapun kecuali kita berdua dan mungkin satu dua orang dari pihak bapak (dia menggelengkan kepala) tetapi setelah dua juta gram emas gelap masuk pasar, pasti reserse ekonomi dapat mengendusnya. Masalahnya adalah, berapa lama polisi akan mengendus kasus besar ini?
Kalau kebetulan pada saat itu sedang ada penggantian Kapolda (atau barangkali bahkan Kapolri), mungkin dalam hitungan hari sudah akan terungkap karena pejabat baru biasanya berusaha menunjukkan prestasinya yang spektakuler tetapi pada situasi lain, mungkin diperlukan waktu satu, dua minggu atau sebulan baru kasus terungkap. Atau bakhan tidak pernah terungkap. Mencegah spekulasi, saya kan harus bersembunyi karena kalau bapak kan sudah mengatur persembunyian sejak sebelum bergerak.
Di sinilah masalah besar yang saya hadapi, yaitu bagaimana saya harus menyembunyikan enam orang anak yang sudah sekolah (dan satu isteri)? Kalau anak saya satu tau paling banyak dua orang, senang diajak sembunyi di hotel berbintang (dalam waktu terbatas). Tinggal memasang pengawal tiga lapis, untuk menangkal datangnya anggota Polisi peringkat rendah, menengah dan tinggi. Maka itu dalam dialog penutup yang mengecewakan gembong penyelundup, saya tekankan tentang anak saya yang enam orang itu. Di samping itu saya tergolong orang yang takut masuk penjara sebagai napi (beda dengan Artalyta Suryani ya?)
Tetapi ngomong-ngomong, bagaimana ceritanya saya bisa masuk ke “sarang penyamun” itu? Begini: Awal tahun 1980 saya sebagai Import Manager PT.Australia-Indonesian Milk Industry, PT. Indomilk, perusahaan joint venture antara The Australia Dairy Produce Board, ADPB, sejenis BULOG khusus produksi persusuan Australia, yamg berpatungan dengan investor Indonesia, sembilan orang bersaudara kandung, marga Zahiruddin – Tanjung asal desa Sorkam kabupaten Sibolga Sumater Utara.
Tiga orang wanita dari clan itu hanya aktif dalam pembagian dividen (dan rapat pemegang saham, board meeting) tentunya. Biasanya rapat pemegang saham diadakan di Jakarta. Sementara itu saudara yang ditengah-tengah, Akbar Tanjung tidak pernah ikut mengurusi bisnis namun dalam rapat direksi (management meeting) biasanya hadir karena beliau menjabat sebagai Direktur dalam perusahaan patungan itu). Seperti kita ketahui pak Akbar Tanjung berkonsntrasi pada kegiatan perpolitikan.
Lima orang laki-laki dalam clan itu, adalah anggota DPR/MPR. Tetapi saudara tertua, Usman Zahiruddin Tanjung, yang disebut “pak Datuk” tercatat meninggal bunuh diri dengan cara gantung diri pada kusen pintu di rumahnya. Saya sebenarnya tidak yakin orang sebesar dia harus bunuh diri dengan cara “primitif” itu “secara sukarela” tetapi kalau saya katakan dia dipaksa bunuh diri (untuk menghentikan pengusutan lebih lanjut), saya toh tidak punya buktinya.
Hanya saja yang pasti, “pak Datuk” meninggalkan surat wasiat yang dimuat dalam surat kabar BERITA YUDHA (atau BERITA BUANA?) terbitan Agustus 1973. Saya masih ingat wasiatnya berbunyi kurang lebih: “Saya kecewa, perusahaan yang saya bangun dengan susah payah, dibuat begini oleh adik-adik saya”. Mungkin Redaksi salah satu dari surat kabar tersebut berkenan mengungkapkannya kembali?
Pada awal tahun 1980 tersebut saya sudah menghitung untung ruginya keluar dari perusahaan itu; masalahnya adalah kalau saya tidak keluar, akan menjadi saksi kunci dalam kasus manipulasi bea masuk (jilid II) yang melibatkan Nasrul Zahiruddin, abangnya Akbar Tanjung dan atasan langsung saya (sebagai Direktur Administrasi dan Keuangan). Nah, kalau saya menjadi saksi kunci, Nasrul (alm) “berpotensi” masuk penjara padahal saat itu Akbar Tanjung sebagai Ketua KNPI sudah santar diberitakan akan dipromosikan menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga.
Mungkinkah Akbar Tanjung tetap mulus menjadi Menteri kalau abangnya masuk penjara? Dihantui pikiran ini maka dengan tanpa ragu saya memutuskan minta berhenti dari Indomilk dan mendengar itu ibu saya marah sejadi-jadinya: “Kamu cari apa sih, sudah manajer gaji besar, tiap Jumat dapat susu gratis dua kaleng, kok keluar”. Saya tidak menemukan jawaban atas kemarahan ibu itu.
Membuat hitung-hitungan itu, herankah anda kalau saya, di satu sisi mempertimbangkan keluar saja dari Indomilk dan di sisi lainnya tergiur ikut serta dalam penyelundupan emas dengan peluang memperoleh bagian mencapai duaratus juta uang tahun 80! Modus operamdi penyelundupan itu cukup sederhana dan tidak diketahui oleh siapapun, juga tanpa berkolusi dengan Bea dan Cukai kecuali sedikit menipunya.
Anda mungkin pernah menonton film action di mana pastor palsu membezuk napi dengan membawa kitab injil setebal bantal di mana ternyata lembar-lembar kitab injil sudah dilubangi untuk menyembunyikan pistol yang diselundupkan kepada si napi.
Saya terperosok dalam rencana yang saya batalkan itu mungkin karena bos penyelundup atau anggotanya, mengamati bahwa saya sering mentransfer uang dalam jumlah besar ke Hongkong, kadang USD.150.000.- atau paling tidak puluhan ribu. Itu adalah uang untuk membayar hutang Indomilk kepada Financial Manager di Hongkong yang mengurusi pendanaan untuk operasi Indomilk. Asal anda tahu saja, management fee yang harus dibayar oleh Indomilk untuk bantuan finansial itu sebesar 5% dari omzet perusahaan (bayangkan dari omzet, bukannya dari laba bersih ataupun laba kotor).
PT. Indomilk sebagai produsen susu kental manis dengan membuat sendiri kaleng susunya, setiap bulan mengimpor duaratus ton tinplate, lembaran tipis logam bersalut timah putih; satu lembar plat berukuran kurang lebih 100 x 100 milimeter, beratnya satu kilogram per lembar.
Satu collie tinplate, yang paling kecil beratnya 600 kilogram dan paling besar 2500 kilogram. Nah kalau limaratus kilogram emas murni dicor ke dalam kemasan yang besarnya 2000 kilogram (2 ton), untuk menyelundupkan 2 ton emas murni hanya dibutuhkan beberapa collie tinplate impor. Operasionalnya juga melibatkan tidak lebih dari lima orang sehingga kebocoran informasi mudah diatasi.
Setelah barang selundupan dibongkar dari kapal, mengangkutnya ke gudang pabrik yang berstatus TPB, tempat penimbunan berikat dengan fasilitas penundaan pembayaran bea masuk, cukup gampang tanpa perlu berkolusi dengan pengawas dari Ditjen Bea dan Cukai, cukup menyediakan truck yang bernomor polisi sama dengan truck yang membawa peti kemas berisi barang selundupan. Truck abal-abal yang diisi tinplate yang sudah dilengkapi dokumen palsu namun (dibuat) sesuai dengan dokumen impornya, diperintahkan mogok di suatu posisi yang akan dilewati oleh truck yang membawa emas gelap yang dibongkar dari kapal di Tanjung Priok .
Setelah truck berisi emas selundupan sudah melewati truck yang “mogok” tersebut maka truck abal-abal diperintahkan melanjutkan perjalanan menuju gudang TPB di pabrik sementara truck berisi emas selundupan menuju arah yang sudah direncanakan’.
Selesailah sudah operasi kejahatan menyelundupkan emas murni kaliber super jumbo tersebut, sayang saya tidak mempunyai cukup nyali untuk menghadapi risikonya.
Selasa, 24 Agustus 2010

TENTANG SURAT SUBROGASI.

Jika barang dagangan yang dikapalkan dengan menggunakan kapal laut mengalami kerusakan dan atau kehilangan selama dalam proses pengangkutannya di laut, tentu penerima barang tersebut (consignee, importir barang) tidak bersedia menerima barang tersebut begitu saja karena, tentunya, eksportirnya telah mengirimkan barang – dalam jumlah cukup sesuai pesanan – yang kondisinya baik yang mungkin dibuktikan dengan Survey Report yang diterbitkan oleh independent surveyor terpercaya. Atau, ada sertifikat yang diterbitkan oleh instansi pemerintah yang berwenang di negara eksportir.
Barang ekspor-impor itupun diasuransikan sebagaimana mestinya karena negara-negara di dunia menetapkan ketentuan tentang kewajiban pengasuransian barang dalam perdagangan tersebut, agar pelaku bisnis ekspor-impor tidak berhenti bisnisnya karena barang yang diperdagangkan tidak diterima oleh pembeli (importir), atau diterima dalam kondisi yang tidak semestinya.
Ada mekanisme penuntutan dan pemberian ganti kerugian yang harus diikuti oleh pem ilik barang impor yang diangkut dengan kapal laut dan olehnya diasuransikan dalam persetujuan Marine Cargo Insurance yang biasa. Salah satu bagian dalam prosedur pemberian ganti rugi oleh perusahaan asuransi maritim umum adalah apa yang dikenal sebagai subrogasi (subrogation) yang dapat dipahami melalui penjelasaan tentang hak sobrogasi sebagai berikut: penanggung yang telah membayar ganti rugi kepada tertanggung mengambil alih hak tertanggung untuk mengajukan tun tutan ganti rugi kepada pihak ke-3.
Bagi penanggung (underwriter, the insurer) pengangkut (ocean carrier) dinyatakan sebagai pihka ke-3 karena penanggung tidak mempunyai hubungan hukum dengan pengangkut itu padahal tertanggung (the insured) mempunyai hubungan hukum dengan pengangkut dan juga dengan penanggung. Dalam prosedur pengangkutan melalui laut pemilik barang yang diangkut -- dalam hal ini dia berstatus sebagai penerima barang yang diangkut itu, consignee – berhak menerima ganti rugi dari pengangkut jika barang yang diimpornya diterima dalam keadaan rusak atau hilang. Di sisi lain sebagai tertanggung dia berhak mendapat ganti rugi dari underwriter karena dia telah menutup persetujuan Marine Cargo Insurance dengan perusahaan asuransi sebagai underwriter.
Kalau begitu apakah hal ini berarti: untuk suatu kerugian yang dialaminya, pemilik barang itu dapat memperoleh ganti rugi dari dua perusahaan; kelihatannya demikian tetapi peluang ini dihalangi oleh ketentuan tentang subrogasi dan prinsip dasar indemnity dalam bisnis asuransi. Ketentuan tentang subrogasi telah disinggung di muka sedangkan ketentuan tentang prinsip dasar indmenity menetapkan demikian: (1) tertanggung hanya dapat memperoleh ganti rugi sebesar kerugian yang dideritanya (2) tertanggung hanya dapat memperoleh ganti rugi satu kali.
Dengan adanya pembatasan tersebut maka tertanggung, jika sebagai consignee telah memperoleh ganti rugi dari pengangkut melalui prosedur angkutan laut, tidak dapat mengajukan claim kepada penanggung karena untuk diterimanya claim oleh penanggung, tertanggung harus melampirkan surat subrogasi, dalam surat mana tertanggung menyatakan bahwa hak claimnya kepada pengangkut dialihkan kepada penanggung. Jadi secara efektif berarti bahwa pemilik barang (sebagai consignee sekaligus sebagai the insured) harus memilih apakah akan mengajukan claim kepada pengangkut atau kepada penanggung.
Sebagai orang yang berpikir praktis, importir tentu akan memilih untuk mengajukan claim kepada penanggung dan men-drop saja claim kepada pengangkut karena untuk mengurus claim kepada pengangkut lebih ribet sementara claim kepada penanggung cukup dengan melampirkan surat perjanjian penutupan asuransi (polis asuransi). Tetapi persoalan belum selesai, karena surat claim kepada penanggung harus dilampiri dengan surat subrogasi. Jadi bagaimana ini, serba kontroversial.
Hal-hal yang sifatnya kontroversial tersebut ternyata solusinya juga cukup praktis yaitu: importir/pemilik barang sebagai consignee tetap mengajukan surat claim kepada pengangkut tetapi tidak usah ditindak-lanjuti asalkan dia mendapatkan surat bukti penerimaan surat claim tersebut dari pengangkut (agen perusahaan pelayaran). Dengan adanya tanda bukti penerimaan surat claim dari pengangkut tersebut maka underwriter mempunyai dasar hukum untuk berhubungan dengan pengangkut, untuk memproses claim yang diajukan oleh consignee dan belum ditindak-lanjuti. Bukankah consignee (dalam hal ini sebagai tertanggung) telah mengalihkan hak claimnya itu kepada penanggung?
Maka surat subrogasi merupakan sarana bagi penanggung untuk “masuk” ke dalam hubungan hukum dengan pengangkut yang tadinya tidak dimilikinya tetapi sekarang dimiliki karena ada surat sobrogasi; dalam hal itu secara hukum juga dapat dilihat bahwa penanggung menindak-lanju
Jumat, 20 Agustus 2010

HENDRA RAHARDJA

Pasti anda masih ingat siapa “tokoh” ini, koruptor besar penggaruk uang negara yang lari ke Australia dan sedang diusahakan ekstradisinya ke Indonesia namun keburu meninggal dunia di tanah pelarian sebelum prosedur ekstradisi rampung diurus.
Apa yang dikemukakan di dalam blog ini? Mungkin anda tertarik untuk mengikuti kiat pak Hendra (alm) membangun emporium bisnisnya dengan core business keagenan tunggal sepeda motor merk Yamaha (PT. Harapan Motor), juga Bank Harapan Santosa yang merupakan sumber utama dia mengeruk uang negara secara tidak sah, dan entah apa lagi; ternyata beliau membangun emporium bisnis itu melalui hasil menipu bank asing raksasa; penipuannya berlatar pidana kategori delik aduan sehingga bank asing tersebut, yang sempat membuat laporan penipuan ke Polda Metro Jaya terpaksa mencabut kembali laporannya itu setelah Hendra melunasi utangnya.
Kisah selengkapnya begini, tetapi sebelumnya ijinkan saya menyitir kisah serupa yang dijalankan oleh mantan anak didik saya namun dia tidak sampai menjalankan tindak perdana melainkan hanya “kenakalan ank muda” saja. Nama anak didik itu (inisial saja): ADT masuk menjadi taruna (mahasiswa AMI, Akademi Maritim Indonesia) tahun 1969. Sejak duduk di tingkat I dia rajin mengikuti kegiatan senat walaupun dia sadar bahwa sebagai taruna tingkat I belum dapat menjadi anggota senat.
Begitu naik ke tingkat II tentu saja dia menjadi anggota senat taruna, jabatan tidak dia anggap penting, yang penting bisa mengikuti kegiatan dan tidak hanya disuruh-suruh oleh senior. Begitulah, pada hari trakhir kegiatan mapram (orientasi studi) dan besoknya penutupan dengan api unggun, dia melompat ke atas drum yang disediakan, berpidato dengan suara lantang: “Adik-adik catar, besok pagi pada penutupan mapram, adik-adik diminta membawa dua lembar karung goni (saat itu belum ada karung plastik) dan dua botol bir. Kalau tidak ada botol bir, boleh botol kecap tetapi yang baik”. Semua calon taruna berseru untuk apa senior?
Pertanyaan tidak langsung dijawab tetapi dia mengambil karung beras yang sudah disediakan dan gunting besar, baru menjelaskan: “Satu karung dipotong begini, untuk baju kalian lalu karung yang kedua juga dipotong begini untuk celana”. Saya minta juga adik mencari pinjaman gunting besar untuk mempercepat penggutingan, kami perlu kira-kira sepuluh gunting. Yang ada baru dua buah. Sudah barang tentu semua catar bergumam tetapi tidak berani membantah karena aturan disiplin di perguruan tinggi itu tidak memungkian adanya amandemen.
Keesokan harinya semua catar sebanyak 600 orang sudah berkumpul dan karung serta botol disiapkan di samping kakinya masing-masing. ADT naik lagi ke mimbar lalu berpidato: “Adik-adik, perhatian, acara api unggun dengan mengenakan baju karung goni dibatalkan, ulangi dibatalkan” yang mengundang komentar horree yang membahana. Setelah situasi reda seorang catar memberanikan diri berani bertanya “karung dan botol kosong diapakan senior?” dan dijawab “tolong bawa ke sana” sambil menunjuk dua unit truck yang sudah disiapkan.
Kenek truck membantu memuat barang-barang, lalu kedua berangkat menuju Pasar Senen untuk menjual barang-barang itu sesuai instruksi pak ADT (waktu itu nama keluarga “T” belum dicantumkan dalam administrasi ketarunaan).
Keesokan harinya AD (belum pakai T) saya panggil: “Wir, kenapa kau perlakukan anak orang begitu”, dijawab dengan enteng “Percuma saya menjadi urang awak pak kalau tidak dapat memanfaatkan peluang menghimpun piti (uang)”.
Lebih hebatnya lagi sebagian (kecil tentunya) uang hasil menjual karung goni dan botol kosong itu disumbangkan untuk kas Senat Taruna sehingga ketua makin saya kepadanya. Saya sendiri kebagian tip ala kadarnya.
Demikianlah ADT berhasil menghimpun modal untuk menjadi anggota DPRD Jakarta, sampai mendirikan tiga gerai sepeda motor Suzuki dan lebih lanjut berkembang menjadi Ketua KADIN Jakarta Raya. Pada pemilu tahun 1992 dia juga mendaftarkan diri menjadi anggota DPR tetapi dia sangat sadar bahwa kalau masuk melalui GOLKAR peluangnya sangat kecil karena jalur GOLKAR sudah “terlalu penuh”; maka dia masuk melalui KADIN yang cukup sepi sehingga dapat melenggang manjadi anggota komisi yang membidangi ekonomi. Hebat, brilian.
Sebagai anggota DPR yang mengurusi bidang ekonomi ADT sadar bahwa banyak orang mencari dia. Bagaimana cara menghindari orang yang tidak ingin ditemui? Gampang: beliau rumah di real estat Pulau Gebang sebanyak empat unit yang saling beradu belakang lalu keempat rumah disatukan aksesnya tetapi orang luar tidak tahu supaya kalau ada yang di depan pintu tertentu dia bisa keluar dari pintu lain dan pada jalan yang lain.
Nah itulah kisah orang yang membangun bisnisnya dengan memanfaatkan otaknya yang cerdas dan sangat inovatif, tanpa melanggar undang-undang, apalagi sampai berindak pidana seperti yang dipraktekkan oleh Hendra Rahardja yang awalnya memang tindak yang diyakini sebagai perdata, tetapi sesungguhnya merupakan tindak pidana dari kategori “delik aduan”.
Begini kisah lengkapnya: tahun 1969 Hendra Rahardja melalui PT. Harapan Motor, mengimpor 400 unit sepeda motor Yamaha twin 125cc CKD. Untuk itu Hendra membuka Sight L/C with 40/60% cash deposit pada Bank of America di jalan Kali Besar Barat.
Sepeda motor tersebut sebanyak 200 unit sudah dibeli oleh Departemen Dalam Negeri dengan syarat pembayaran “cash and carry” (belum musim tender-tenderan). Ke 200 unit sepeda motor dirakit dengan kecepatan kilat dan diserahkan kepada DDN dalam waktu kurang dari 2 minggu.
Sesuai prosedur yang berlaku, L/C 40/60 dibuka dengan setoran 40% dari nilai L/C yang dibayar tunai saat L/C dibuka. Sisanya sebanyak 60% merupakan bridging loan yang diberikan oleh Bank pembuka L/C supaya eksportirnya, saat negosiasi dokumen mendapat pembayaran penuh 100% dari nilai L/C karea PT. Harapan Motor mengimpor motor Yamaha CKD tersebut secara tunai (supaya harganya murah dan pak Hendra mendapat credit point karena mengimpor barang sebanyak itu secara tunai.
Adapun dana talangan 60% tersebut harus dilunasi oleh importir saat mengambil dokumen impor pada Bank pembuka L/C. Alkisah, sepeda motor CKD sudah dikeluarkan dari gudang pelabuhan Tanjung Priok menggunakan dokumen-dokumen copy yang didukung oleh Shipping Guarantee yang, seyogyanya, diterbitkan oleh Bank yang menerbitkan L/C (tetapi kalau prosedur lurus ini ditempuh oleh Hendra Rahardja, tidak ada cerita yang dapat diungkapkan di sini dan dia tidak perlu buron ke Australia).
Bank of America yang taat menjalankan etika bisnis, tidak menghubungi agen kapal untuk menanyakan tentang pengeluaran barang tetapi mengajukan pengaduan ke Polda Metro Jaya bahwa bank telah ditipu oleh importir yang telah mengeluarkan barang padahal dokumen-dokumen impornya masih dipegang oleh Bank dan belum ditebus oleh importir. Sementara itu Hendra Rahardja yang telah menyerahkan sepeda motor pesanan kepada Departemen Dalam Negeri dan mendapat pembayaran tunai, tergopoh-gopoh datang ke Bank of America untuk membayar lunas hutang talangannya sambil tidak lupa dengan takzim mohon maaf terlambat membayar hutang berhubung banyak kesibukan.
Sebenarnya kesempatan membayar hutang talangan dalam prosedur L/C 40/60% tersebut masih diberi waktu sampai hari ke 75 setelah tanggal Bill of Lading dan seandainya importir masih juga belum dapat melunasi hutang itu pada hari ke 76, dapat diatasi dengan membuka hutang baru (kredit komersial) tetapi uangnya tidak dicairkan melainkan langsung digunakan untuk membayar hutang talangan sebesar 60% dari nilai L/C tersebut dan dokumen-dokumen impor yang selama itu masih ditahan bank dapat diserahkan kepada importir untuk mengurus inklaring barang impornya. Namun kalau prosedur baku ini depenuhi, bukan Hendra Rahardja namanya.
Nah anda melihat bukan, ada “anak nakal” yang berhasil menghimpun modal melalui kecerdasan otaknya dan sedikit kenakalan tetapi ada juga yang dengan “keberanian” menipu bank besar melalui tindak pidana dari kategori delik aduan.
Senin, 16 Agustus 2010

CERITA TENTANG PORNOGRAFI

Tidak, bukannya blogger mau mengungkapkan tentang tingkah laku pornografi karena aku masih menghargai larangan tentang hal-hal tidak pantas itu. Tetapi ikuti saja dulu, mungkin nanti anda akan tertawa mengikuti kisah ini.
Adalah abang kandungku, Eddy Mulyono (alm) yang pada akhir tahun 1973 berkirim surat kepadaku menanyakan prosedur apa yang harus dipenuhi kalau akan pulang kembali ke Indonesia dengan membawa mobil bekas yang di USA sana harganya ibarat sama dengan harga sebungkus kacang goreng. Abangku, yang pernah menjabat Dekan Fakultas Kedokteran Hewan UGM satu periode itu saat itu ada di kota Gainsville USA menempuh pendidikan S2 dan akan segera selesai.
Karena saya sudah mengetahui keputusan Pemerintah RI yang akan segera menetapkan larangan impor mobil built up (baca: Robby Tjahjadi) maka surat cepat kubalas jangan bawa mobil karena mulai 1 Januari 1974 impor mobil built up dilarang, termasuk mobil yang dibawa ke Indonesia sebagai removal goods. Kalau mas kurang yakin dengan inforamsiku, tanyalah kepada Kedutaan Besar R.I. di sana, atau konsulat, mereka pasti sudah mendapat instruksi yang lengkap.
Surat dijawab dengan penuh rasa kecewa karena dia membeli mobil bekas FIAT 1100 seharga US$.200.- yang direkondisi sendiri (dia hobi otomotif), koq tidak bisa dibawa pulang.
Demikian korespondensi berakhir begitu saja dan dalam dua tahun sesudahnya saya tidak mendapat kabar dari mas itu sempai suatu hari di tahun 1976 saat staf UGM datang menemui saya menyerahkan dokumen-dokumen pengiriman removal goods Bapak Eddy Mulyono, PhD.
O, rupanya beasiswanya diperpanjang menjadi untuk mengambil program Doktor. Staf UGM tersebut menyerahkan begitu saja dokumen-dokumen itu tanpa pesan apapun dan saya sebetulnya ingin bertanya sesuatu kepada mas tetapi tidak jadi, takut dianggap meminta seuatu barang dan lain dan karena sebagai Import Manager kebertulan saya sedang sibuk maka dokumen cepat kuserahkan kepada Customs Agent perusahaan kami, PT. EMKL Kamang Murni dengan pesan tolong diurus inklaring barang pindahan abang saya.
Formalitas inklaring diurus tetapi apa yang terjadi, pada kesempatan pertama behandel barang (pemeriksaan barang untuk dicocokkan dengan dokumennya), yang pertama dipungut oleh petugas pemeriksa adalah poster wanita telanjang seukuran orang. Yah beginilah kalau orang terlalu lama di Amerika, tidak tahu lagi kalau gambar telanjang seperti ini di Indonesia diharamkan, komentar seseorang yang sedikit mengerti budaya Amerika, saat ikut menyaksikan behandel barang.
Anda tentu tahu bahwa pegawai pemeriksa Pabean berpendidikan tidak terlalu tinggi, mendapati hasil behandel seperti itu jadi semakin “bernafsu” dan ternyata memang ditemukan banyak majalah Playboy yang seronok-ronok. Lebih lanjut pemerikaan menemukan slides foto banyak sekali, tetapi semuanya gambar telanjang sapi-sapi karena saat berangkat ke Amerika mas (almarhum) sudah dokter hewan.
Temuan itu menimbulkan kecurigaan pemeriksa Pabean. Ah, ini pasti kamuflase, ayo kita cari lagi, pasti banyak foto perempuan telanjang, kata pemeriksa sambil membuang foto sapi yang ditemukan jadi berserakan tidak karuan (di kemudian hari seorang sahabat bercerita pak Eddy Mulyono menangis mendengar kabar bahwa hasil penelitiannya selama berbulan-bulan berupa enam ratus lembar slides sapi, hilang semuanya dibuangi oleh pemeriksa Pabean yang tidak berpendidikan itu).
Lain cerita lagi tetapi masih dalam tahun yang sama, anak buah saya menelpon dari Bandara Halim Perdanakusuma bahwa barang ditahan oleh Bea Cukai karena saat benhadel di dalam karton kiriman suku cadang mesin pabrik yang inklaringnya sedang dia urus, ditemukan dua eksemplar majalah Men Only, sejenis Playboy terbitan London. Untuk membuktikan kebenaran laporannya, anak buah segera pulang ke pabrik di Cibubur membawa salah satu majalah dan diserahkan kepada saya.
Bagaimana solusinya, tanya saya. Ya punglilah pak, apa lagi jawabnya sambil menjelaskan bahwa waktunya masih cukup untuk mengeluarkan barang kalau saya segera kembali ke Halim membawa uang pungli. Segera saya menerobos masuk ke kamar General Manager di mana tiga orang manajer bule sedang berbincang dengan manajer-manajer lainnya. Saya kemukakan situasi yang dihadapi anak buah saya di lapangan, lalu seorang bule bertanya: how much, kujawab one hundred thousand rups. Mendengar jawaban itu bule yang paling senior bangkit menggebrak meja, it’s crazy katanya; dua bule lainnya asyik menyimak majalah Mungkin mereka berdeua berlangganan majalah itu dan senang mendapat kiriman edisi terbaru.
Menanggapi kemarahan manajer senior tersebut saya tenang-tenang saja sambil nyeletuk “You can take it or leave it. It is the fact here in Indonesia Sir”, celoteh saya.
Chief Accountant (orang Indonesia) yang ikut dalam pertemuan yang saya terobos itu bertukar kedipan dengan manajer Indonesia lainnya, lalu menggamit saya untuk dibawa ke ruangannya. Keluar dari situ saya mengantongi uang seratus ribu Rupiah yang secara demonstratif langsung saya serahkan kepada anak buah. Sore hari sebelum bubaran kantor anak buah sudah kembali dengan membawa carton box berisi suku cadang mesin yang saya minta supaya langsung dibawa ke gudang peralatan sementara saya menelpon Chief Engineer memberitahu bahwa barang sudah tiba.
Kembali ke meja saya, anak buah menunjukkan gerakan seperti akan mencabut uang dari kantongnya tetapi saya cegah, lalu kutanya: berapa kau kasihkan punglinya, dijawab limapuluh pak. Ini sisanya saya serahkan kepada bapak. Saya cegah lagi, mau diapakan uang itu, kata saya; kalau dikembalikan ke kasir, takut ditafsirkan kita ikut memakan uang itu karena disangka yang dikembalikan hanya sebagian. Maka sebaiknya kita manfaatkan saja uang haram itu. Besok saat lunch time kamu bisa kemari apa tidak, dijawab bisa.
Nah beres itu, kita ajak teman-teman makan siang bersama di restoran Padang dengan uang sisa pungli itu, beres kan. Tapi jangan sampai manajer tahu. Iya deh pak, sampai besok.
Minggu, 15 Agustus 2010

ROBBY TJAHJADI

Sosok Robby Tjahjadi boleh disebut sebagai icon (negatif) kiprah penjahat ulung yang mengambil spesialisasi pada penyelundupan mobil, berpetualan hanya dalam waktu tidak lebih dari tiga atau empat tahun (1969-1973) tetapi “keperkasaan”-nya sedemikian rupa sehingga pemerintah otoriter Orde Baru dapat dipaksa menetapkan larangan impor mobil built up mulai tanggal 1 Januari 1974. Duapuluh tahun lebih larangan ini berlaku dan baru dicabut kembali tahun 1996, bertepatan dengan diterbitkannya undang-undang kepabeanan nasional yaitu UU.no.10 tahun 1995 tentang kepabeanan (sudah diamandemen dengan UU.no.17 tahun 2006).
Pada saat keputusan tersebut mulai berlaku, di suatu pelataran di kawasan Plumpang Tanjung Priok berpuluh-puluh atau mungkin lebih dari 100 unit mobil bekas teronggok sia-sia, karena orang yang membawa mobil-mobil tersebut tidak bersedia melakukan reekspor sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah tentang larangan impor mobil builtup itu. Sebagian besar mobil bekas itu dibawa sebagai “barang pindahan” (removal goods) oleh orang yang tadinya bermukim di luar negeri, pindah ke Indonesia.
Pada masa itu di Indonesia masih berlaku peraturan pabean berdasarkan undang-undang kepabeanan Hindia Belanda sebagai peraturan induk yaitu Indische Tariefs Wet dengan peraturan turunannya Rechten Ordonnantie (Ordonansi Bea) tahun 1931, Staatsblad no.471 (dikenal dengan singkatannya RO).
Dalam sistem perundang-undangan nasional Indonesia ordonansi (Ordonnantie) tidak dikenal dan padanan sebagai pengganti pengganti ordonansi pada umumnya berupa undang-undang karena memang kadar ordonansi sedikit di bawah undang-undang. Dalam sistem perundang-undangan kerajaan Belanda, selain ada Wet juga ada Keputusan Ratu (Koninklijke Regering), lalu Ordonnantie, Reglemen dan seterusnya peraturan yang tingkatnya lebih rendah.
Dalam undang-undang kepabeanan warisan Belanda tersebut aturan tentang barang pindahan menetapkan bahwa yang boleh dibawa pindah ke Indonesia dengan mendapat fasilitas pembebasan bea masuk adalah barang-barang inventaris rumah tangga yang terbawa pindah ke Indonesia karena pemiliknya pindah tempat kediaman ke Indonesia. Barang-barang tersebut haruslah berupa barang bergerak dengan pengecualian bahwa perahu pesiar (yacht) juga termasuk barang yang boleh dibawa pindah sebagai barang pindahan. Dalam ketentuan hukum dagang sebenarnya kapal dinyatakan sebagai barang tidak bergerak. Pengecualian ini mungkin untuk memberi kemudahan kepada orang Belanda yang pindah ke Indonesia karena orang Indonesia umumnya, waktu itu, tidak merasa perlu menggunakan perahu pesiar.
Untuk dapat diakui sebagai pindah ke Indonesia, seseorang harus sudah menetap di luar negeri selama dua tahun dan untuk dapat diakui sebagai inventaris rumah tangga yang boleh dibawa pindah ke Indonesia dengan mendapat fasilitas bebas bea, barang harus sudah dimiliki enam bulan sebelum saat kepindahan. Selanjutnya ditetapkan bahwa untuk dapat diakui sebagai bagian dari barang pindahan yang bebas bea, masih harus dipenuhi syarat-syarat:
1. Kalau si orang pindah memiliki beberapa unit barang yang sama (dan semua dibawa pindah), hanya satu unit yang memperoleh pembebasan bea.
2. Barang harus sudah tiba di pelabuhan Indonesia paling lambat tiga bulan setelah kedatangan anggota keluarga yang terakhir di Indonesia (biasanya anggota keluarga tidak datang bersamaan karena tergantung situasi, misalnya karena ada yang masih harus menyelesaikan semester dalam pendidikannya di luar negeri sehingga harus berangkat belakangan).
3. Barang harus tetap menjadi bagian inventaris rumah tangga dalam waktu dua tahun setelah masuk ke Indonesia (alangkah bagusnya semua ketentuan tersebut, yaitu untuk membuktikan bahwa barang memang betul-betul inventaris rumah tanggan dan bukannya barang dagangan). Kalau barang sudah pindah tangan sebelum dua tahun, bea harus dibayar.
Lalu bagaimana modus operandi kejahatan penyelundupan mobil oleh Robby Tjahjadi (dan komplotannya tentunya) tersebut dijalankan. Sebenarnya kiprah kejahatan Robby Tjahjadi berawal dari (ironisnya!) penderitaan dan keprihatinan pegawai negeri sipil (PNS) yang serius, tekun dan penuh kejujuran menjalankan tugas negara di negeri orang.
Ketentuan harus sudah tinggal di luar negeri selama dua tahun, pada waktu itu dijalankan dengan penuh tanggung jawab, sampai pada suatu saat ketika seorang PNS yang ditarik kembali ke Indonesia setelah bertugas di luar negeri selama 18 bulan. Jadi kurang 6 bulan lagi sebelum dia seharusnya dapat pindah ke Indonesia dengan mendapat fasilitas bebas bea masuk atas barang-barang rumah tangganya yang akan dibawa pindah ke Indonesia.
Untuk mengajukan permohonan perpanjangan masa tugas tidak mungkin, maka sebagai PNS yang bekerja tekun penuh kejujuran namun dia merasa belum dapat mengumpulkan harta benda; satu-satunya harta yang bisa diandalkan untuk “dijadikan uang” setibanya kembali dia ke Indonesia adalah mobil bekas yang dibelinya beberapa bulan sebelumnya dengan harga (sangat) murah. Mengingat semua syarat untuk pindah ke Indonesia belum dapat dipenuhi, maka si PNS mengajukan surat permohonan kepada atasannya untuk diberi dispensasi dari peraturan tersebut, supaya dia dapat mengumpulkan sedikit uang dari penjualan mobil bekasnya di Indonesia kelak.
Singkat cerita sang atasan bersimpati kepada anak buahnya itu dan mengurus segala sesuatunya sampai keluar ijin membawa barang pindahan, lengkap dengan daftar barang-barang yang akan dibawa, yang diverifikasi oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai sebagai pejabat tertinggi yang berwenang mengambil keputusan dalam urusan kepabeanan.
Adanya dispensasi tersebut didengar oleh PNS lain yang juga dirundung masalah ditarik kembali ke Indonesia sebelum masa tugasnya genap 2 tahun. Maka diapun mengajukan surat permohonan dispensasi sampai akhirnya Robby Tjahjadi yang “jenius” itu mencium peluang mendaya(nyalah)gunakan dispensasi itu.
Terlalu panjang untuk diceritakan di sini bagaimana Robby membangun komplotan dan menyusun strategi mengelabui jajaran Ditjen Bea dan Cukai untuk memungkinkan pelaksanaan kejahatan yang brutal itu, tetapi sudah menjadi sejarah yang kelam bahwa komplotan itu berhasil meminjam banyak paspor dari orang-orang, bukan hanya PNS, yang baru turun dari pesawat terbang di bandara Kemayoran, untuk digunakan sebagai sarana mengajukan permohonan pembebasan bea masuk atas mobil barang pindahan. Favoritnya kala itu adalah mobil merk Mercedes Benz tipe 180, 170 atau lainnya yang bangunnya serba bulat, warna hitam yang gampang dijual dengan harga tinggi.
Sampai suatu saat (tahun 1973) seorang PNS yang baru pulang dari tugas di luar negeri mengajukan permohonan pembebasan bea masuk atas mobil yang dibawanya. Permohonan ditolak oleh pejabat Bea dan Cukai karena pada saat itu pegawai tersebut terbukti telah dua kali membawa mobil. Ijin bebas bea hanya diberikan satu kali, jadi untuk mobil yang dibawa kedua kalinya harus bayar bea masuk.
Si PNS bersumpah-sumpah baru pertama kali itu dia membawa pulang mobil; dua setengah tahun yang lalu memang dia ditugaskan di luar negeri tetapi hanya enam bulan dan dia pulang tidak membawa barang berharga. Argumentasi segera dipatahkan oleh pejabat Bea dan Cukai dengan menunjukkan lembaran paspor yang mencatat pada waktu yang lalu itu dia memasukkan mobil dengan bebas bea.
Nah apanya yang kurang dari kejahatan si Robby Tjahjadi yang jenius itu?
Rabu, 11 Agustus 2010

DEMURRAGE, DESPATCH (2)

Dikatakan bahwa tarip demurrage pada persetujuan voyage charter adalah sebesar 100% dari biaya eksploitasi kapal sehari, sedangkan tarip despatch setengah dari jumlah itu (lihat artikel sebelumnya). Apakah sebabnya demikian, mengapa tidak dibuat sama saja, toh kalau kapal menyelesaikan pekerjaan pemuatan atau pembongkaran lebih lambat dari waktu laycan (laydays) yang disepakati dan dituangkan dalam charter party, shipowner (pemilik kapal) mengalami kerugian sebesar satu kali biaya eksploitasi sehari dan kalau pekerjaan diselesaikan lebih cepat, tentunya mendapat keuntungan satu hari?
Begini, biaya eksploitasi kapal dalam sehari mudah dihitung dengan menyimak komponen-komponen biaya eksploitasi itu. Penulis sebutkan beberapa komponen yang penting, yaitu:
1. Biaya pembangunan kapal dibagi (15 x 365); umur teknis kapal dipersepsikan 15 tahun sejak pembangunannya;
2. Biaya asuransi kapal dalam satu tahun dibagi 365;
3. Total gaji seluruh crew dalam satu tahun dibagi 365;
4. Biaya depresiasi kapal dalam satu tahun dibagi 365;
Dan seterusnya biaya-biaya nyata bagi pengoperasian kapal dalam satu hari, dapat diketahui; total biaya-biaya tersebut membentuk biaya eksploitasi kapal dalam satu hari.
Dalam persetujuan voyage charter seorang/perusahaan mempunyai sejumlah muatan yang ada di pelabuhan tertentu (atau: dapat disiapkan di pelabuhan itu) yang perlu diangkut ke pelabuhan lain dalam satu kali pengangkutan. Pada umumnya jenis muatan yang memerlukan pengangkutan seperti itu adalah muatan curah (bulk cargo) karena biayanya akan lebih murah daripada jika diangkut dengan cara lain, misalnya dikapalkan menggunakan kapal liner service.
Pemilik muatan sebagai pencharter kapal, boleh dikatakan tidak berkepentingan dengan kegiatan pemuatan serta kegiatan pembongkaran muatan itu, sepanjang kegiatan itu dikerjakan dengan cara yang normal dan berlangsung dalam waktu yang normal. Demikian juga dia relatif tidak concern mengenai lamanya waktu kapal berlayar menyeberangkan barang muatannya itu dari pelabuhan pemuatan ke pelabuhan tujuan, asalkan waktu layar itu tidak berlarut larut.
Bagaimana halnya dengan pemilik kapal? Bagi pemilik kapal setiap hari keterlambatan pekerjaan pemuatan demikian juga setiap hari keterlambatamn waktu layar dapat merupalan kerugian yang cukup signifikan. Mengenai hal yang terakhir ini pencharter memang betul-betul, bukan lagi relatif, tidak berkepentingan karena dia tidak berpartisipasi dalam pengoperasian kapal.
Keterlambatan waktu layar kapal, segala hambatan dalam pelayaran itu, semata-mata merupakan risiko shipowner. Namun perhitungan waktu yang dapat dialokasikan bagi kapal untuk menyelesaikan pekerjaan pemuatan dan pekerjaan pembongkaran, ikut menjadi concern charterer karena adanya ancaman (baca: risiko) bagi charterer untuk dikenakan denda demurrage kalau kegiatan pemuatan (dan) atau pembongkaran terlambat dari waktu yang dialokasikan untuk keperluan itu (waktu laycan/laydays) dan dituangkan dalam klausul charter party yang bersangkutan.
Keterlambatan waktu pemuatan dapat terjadi karena adanya gangguan dalam pemasokan barang dari hinterland ke pelabuhan pemuatan padahal masalah pemasokan barang tidak ada urusannya dengan shipowner.
Lamanya waktu laycan yang dapat dialokasikan kepada kapal untuk menyelesaikan pekerjaan pemuatan dihitung dari banyaknya muatan yang harus dimuat ke kapal dibagi dengan kecepatan kerja pemuatan (dalam shipping, istilah terakhir ini secara teknis disebut (loading rate) sedangkan lamanya waktu untuk menyelesaikan pembongkaran muatan itu dihitung dari banyaknya muatan yang harus dibongkar dibagi dengan kecepatan pembongkaran (discharging rate).
Sudah barang tentu kedua macam kecepatan kerja tersebut tidak sama untuk pelabuhan-pelabuhan sebab kecepatan kerja ditentukan oleh banyak faktor antara lain ketersediaan sarana pendukung, ketrampilan kerja TKBM (tenaga kerja bongkar muat) dan lain-lain.
Shipowner menetapkan denda demurrage sebesar satu kali biaya eksploitasi kapal satu hari, berdasarkan pemahaman bahwa satu hari kapal terlambat berlayar keluar dari pelabuhan (karena pekerjaan pemuatan belum selesai), shipowner merugi satu hari biaya eksploitasi kapal; maka kerugian ini harus diganti oleh charterer dalam bentuk denda demurrage itu. Shipowner juga sering menetapkan maximum demurrage days, terutama kalau charterer hanya menyewa kapal itu satu satu kali saja padahal sehipowner sudah mempunyai prospek penyewaan lain, setelah kontrak yang ini sudah berakhir.
Menyangkut hal yang terakhir ini mungkin pengunjung blog yang sudah sepuh teringat pada praktek di Sulawesi Utara dasawarsa enampuluhan yang lalu. Pada masa itu Indonesia merupakan pemasok kopra dunia paling unggul, bersaing dengan Philipina (kalau Indonesia nomor satu, Philipina nomor dua, begitu bulan sebaliknya).
Pelabuhan ekspor utama Indonesia adalah Bitung dan beberapa pelabuhan kecil di Sulawesi Utara dan juga Maluku. Pemuatan kopra berlangsung dalam waktu yang lama sekali, dua minggu, sering sampai empat minggu karena pemuatannya dilakukan dengan cara yang sangat sederhana: kopra dalam karung dipanggul ke kapal yang lego jangkar beberapa ratus meter dari pantai dan TKBM harus meniti papan setelah menyeberangi air laut sampai sekitar paha orang dewasa.
Sesampai di tepi lubang palka, jahitan karung dibuka lalu kopra dicurahkan ke dalam palka (mungkin praktek ini yang merupakan “cikal bakal” timbulnya istilah nuatan curah sebagai padanan dari bulk cargo). Mungkin pengunjung blog sepuh tersebut merasa heran bagaimana charterer bisa mendapat laba dari bisnis mencharter kapal yang pelaksanaan pemuatannya super lama tersebut yang tentunya charterer terkena denda demurrage besar?
Rahasianya adalah bahwa eksportir kopra dalam wadah IKKI (Ikatan Koperasi Kopra Indonesia) memegang semacam monopoli di mana importir kopra di Jepang selalu memesan darinya dan oleh sebab itu eksportir tidak ragu membayar denda demurrage atas pelaksanaan pemuatan yang lamanya dapat mencapai satu bulan tersebut.
Pemilik kapal juga tidak keberatan memotong denda demurrage karena mendapat jaminan bahwa kapalnya akan dipakai terus dalam pengangkutan kopra ekspor ke Jepang itu, yang sangat kencang waktu itu dan baru mulai surut pada akhir dasawarsa.
Menyangkut “anugerah” despatch money, mengapa taripnya hanya separo dari tarip demurrage, didasarkan pada kenyataan bahwa kapal yang lebih cepat menyelesaikan pekerjaan pemuatan (atau pembongkaran) tidak memberikan manfaat satu hari penuh bagi shipowner, melainkan kurang dari itu. Bayangkanlah kapal yang, sesuai laycan, seharusnya menyelesaikan pemuatan pada tanggal 15 jam 14.00 namun ternyata pekerjaan diselesaikan tanggal 14 jam 12.00. Apakah setelah pemuatan tersebut selesai, kapal dapat berangkat meninggalkan pelabuhan pada saat itu juga? Pasti tidak mungkin karena masih ada prosedur administratif yang harus diselesaikan (penyelesaian manifest muatan, ijin berlayar dan lain-lain). Manfaat yang dapat diperoleh shipowner tidak sampai satu hari walaupun kapal menyelesaikan pekerjaan 26 jam lebih cepat. Oleh karena itu dianggap adil kalau tarip despatch money hanya 50% dari demurrage. Sudah barang tentu charterer boleh menawar, karena persetujuan charter merupakan bentuk persetujuan bebas berdasarkan negosiasi yang juga bebas.
Selasa, 10 Agustus 2010

DEMURRAGE, DESPATCH

Blogger memberikan kuliah pada perguruan tinggi swasta (PTS) yang antara lain memberikan mata kuliah Sewa-menyewa Kapal (Ship Charter) dan, by the way, blogger juga mengarang buku dengan judul yang sama (sedang dalam persiapan penggandaan, kalau berminat mohon bersabar sedikit).
Kala itu saya sedang menjelaskan tentang time charter (penyewaan kapal untuk suatu jangka waktu tertentu) di mana dalam persetujuan ini tidak ada klausul yang menyepakati tentang demurrage yaitu pengenaan denda kepada penyewa kapal kalau dalam pelaksanaan pekerjaan pemuatan atau pembongkaran muatan kapal terjadi keterlambatan penyelesaian pekerjaan.
Begitu pula tidak ada klausul mengenai despatch yaitu pemberian anugerah (reward) kepada charterer kalau pekerjaan pemuatan atau pembongkaran muatan kapal diselesaikan lebih cepat daripada waktu laycan yang disetujui di dalam voyage charter party (surat kontrak perjanjian sewa menyewa kapal untuk satu kali perjalanan).
Berdasarkan persetujuan time charter party (surat perjanjian sewa menyewa kapal untuk suatu jangka waktu tertentu), penyewa kapal kapal menjadi operator kapal dan harus menanggung semua risiko operasi; sebaliknya dia akan menikmati semua keuntungan yang diperoleh dari operasi kapal asalkan operasi itu berlangsung sebagaimana ketetapan di dalam time charter party.
Belum selesai membahas tentang operasi kapal charteran, seorang mahasiswa yang bekerja pada perusahaan pelayaran ternama di Jakarta mengangkat tangan lalu bergegas maju ke depan sambil membawa secarik kertas, katanya: “pak, mohon petunjuk mengenai berita telex ini; sudah tiga hari manajer saya di kantor uring-uringan karena belum dapat menemukan jawaban atas usulan yang disampaikan melalui telex ini padahal sore ini atau malam nanti harus memutuskan setuju atau tidak. Kalau tidak ada jawaban, terpaksa tidak jadi mencharter kapal yang ditawarkan padahal kami sudah menghitung bahwa kalau kapal jadi dicharter, perusahaan kami akan mendapat keuntungan.
Kertas kubuka, terpampang berita antara lain: ... demurrage US$.8.450.- per WWD-SHEX-UU, DHD”.
Membaca berita itu, saya berseru sambil tertawa: “apanya yang tidak jelas, wong berita sangat gamblang bin terang benderang begini kok manajer sampeyan bingung tujuh keliling. Dia menyahut: “soal denda demurrage sekian itu kami setuju pak, juga klausul WWD-SHEX-UU tidak masalah”, katanya. Lalu cepat kupotong “apa itu” dan dia menjawab dengan mantap “weather-working day, sundays and holidays excepted unless used” yang cepat kupotong lagi “jadi artinya” yang segera pula dijawab “denda demurrage sebesar US$.8.450.- per hari kerja kalau pekerjaan dapat dikerjakan karena cuaca baik”.
Sampai di situ saya merasa belum selesai “memplonco” mahasiswa semester 4 ini, maka wawancara kulanjutkan “kalau begitu apanya yang tidak dimengerti dari telex ini”, dijawab “tiga huruf terakhir itu pak, apa maksudnya”. Pertanyaan ini saya jawab dengan memberikan penjelasan bahwa tiga huruf yaitu DHD adalah singkatan dari despatch half demurrage.
Maka secara keseluruhan bagian dari berita telex ini meminta persetujuan prospek bahwa denda demurrage akan dikenakan sebesar US$.8.450.- tiap hari kerja kalau keadaan cuaca mengijinkan dilakukannya pekerjaan pemuatan atau pekerjaan pembongkaran dan kepada pencharter akan diberikan imbalan sebesar 50% dari tarip demurrage tersebut kalau pekerjaan diselesaikan lebih cepat daripada waktu laycan yang disetujui. Singkatan SHEX-UU umumnya diinterpretasikan sebagai penegasan dari WWD kecuali diberikan rincian yang lebih lengkap.
Setelah mendengar kupasan tersebut si mahasiswa menjadi mudeng secara lengkap, maka dia langsung ngacir keluar dari kelas walaupun masih sempat pamitan “mohon ijin cari pinjaman telepon dulu pak”. Pada waktu itu sebenarnya perangkat telepon seluler sudah ada tetapi bentuknya masih “sebesar gajah” yaitu tinggi 25 centimeter, beratnya 2,5 kilogram sehingga penggunanya baru satu dua orang yang pergi ke mana-mana selalu membawa ajudan yang siap melayani panggilan tilpun untuk bosnya.
Rabu, 04 Agustus 2010

Cukupkah Kementerian Kelautan dan Perikanan?

Pagi ini blogger ikut menelpon MetroTV dengan niat ikut berpartisipasi dalam bedah editorial yang membahas event Sail Banda. Beberapa kali sambungan masuk, tidak diangkat, dan oleh computer disarankan supaya meninggalkan pesan. Sayang sampai acara selesai saya tidak bisa masuk ke sistem komunikasi MetroTV.
Sebenarnya saya ingin ikut mengamini komentar MetroTV bahwa bangsa bahari yang selama ini berperilaku seperti orang "daratan)" (seperti kutulis kemarin malam), sudah mencatat kemajuan dengan dibentuknya Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tetapi menurut saya, itu tidak cukup. Apakah yang terkandung di atas, di dalam dan di bawah laut hanya ikan? Bagi Indonesia seharusnya ada Kementerian Maritim atau tepatnya Kementerian Koordinator Maritim yang mengkordinasi beberapa kementerian lain, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan. Maka saya ingin menyarankan, mumpung salah seorang yang pernah menjabat Menteri Koordinator Maritim (Menko Maritim)masih hidup yaitu Laks. (Purn) Soedomo, mbok ada yang sowan padanya, merekam saran-saran, pendapat dan harapan beliau bagaimana seharusnya mengelola sumber daya alam kita yang kaya raya, yaitu laut.
Jangan hanya berkutat pada ikan (tangkap, budidaya) karena masih banyak yang lain. Apakah Menteri Kelautan dan Perikanan juga mengurusi geologi bawah laut, sumber daya bawah laut, industri maritim, industri angkutan laut? Maka yang lebih tepat bagi Indonesia seharusnya adalah Menko Maritim di mana Kem. Kelautan dan Ikan menjadai salah satu kementerian yang berada di bawah koordinasinya, juga Kementerian Perhubungan (atau: Perhubungan Laut), Kementerian Industri Maritim.
Pada masa orde baru, kita pernah mengalami suatu tindakan/keputusan pemerintah yang berdampak menghancurkan industri kelautan kita. Medio delapan puluhan ada kebijakan "scrapping kapal laut" yang sudah berusia 25 tahun. Kapal yang umurnya 25 tahun atau lebih tidak boleh lagi beroperasi dan harus dijadikan besi tua (di-scrap), tanpa pengecualian apapun. Tindakan penghancuran potensi maritim, scrapping ini masih dianggap belum cukup, ada lagi: larangan membangun kapal di luar negeri, larangan membeli kapal bekas. Pemesanan kapal harus pada PT. PAL, dengan masa bangun kapal-baru dua tahun bahkan lebih lama, padahal di galangan luar negeri kapal baru, berapapun tonasenya, selesai dibangun dalam enam bulan, paling lama tujuh bulan (lihat artikel lain pada blog ini).
Dengan praktek serba menyedihkan itu, bagaimana Indonesia dapat membangun potensi industri kelautannya? Menyangkut scrapping di atas, banyak derita menyedihkan dapat dicatat, diantaranya: ada seorang pemilik kapal yang baru saja selesai merenovasi kapalnya yang berusia 25 tahun dengan biaya cukup mahal, karena ada kebijakan scrapping dia membiarkan saja kapalnya itu sampai menjadi besi tua.
Ada yang menganjurkan supaya dia mengajukan permohonan dispensasi khusus kepada penguasa, ada juga yang menganjurkan supaya diam-diam kapalnya dilarikan ke Singapore dan dijual ke sana seperti dilakukan oleh banyak pemilik kapal lainnya, tetapi saran itu tidak ditanggapi. Dia malah berkomentar bahwa yang sempat melarikan kapalnya ke Singapore itu kan yang kapalnya masih beroperasi saat keputusan baru saja diumumkan, jadi sebelum saat berlakunya keputusan tiba, kapal sudah ada di sana. Lha kapal saya kan masih di dock.
Adalah harapan blogger bahwa pemerintahan presiden SBY dalam waktu dekat ini memperoleh masukan dari pembantu-pembantunya tentang pentingnya membentuk Kementerian Koordinasi Maritim untuk menangani masalah-masalah kemaritiman yang serba luas dan kompleks dan tidak sekedar masalah perikanan.

KNOT

Dalam liputan event Sail Banda sore hari ini, reporter/presenter Paskalis Arini mengucapkan kata-kata antara lain: “Kapal ini kecepatannya duabelas knot per jam”. Ucapan ini mengandung kesalahan kecil yang seharusnya tidak perlu terjadi karena, event-nya sangat berkaitan dengan masalah kemaritiman. Bahkan event maritim akbar.
Bidang kemaritiman mengenal kata “knot” (dibaca: ‘not) di mana kecepatan/laju satu kapal satu knot berarti kecepatan atau laju kapal tersebut satu nautical mile per jam. Satu nautical mile (mil laut) sama dengan panjang 1.952 meter (hampir dua kilometer), maka kapal berkecepatan 12 knot (bukan 12 knot per jam) berarti kecepatan kapal itu 12 x 1.952m = 23.424 meter (=23,5 Km kurang sedikit) per jam.
Begitu juga kalau melaporkan kekuatan angin badai, taufan seyogyanya diucapkan badai ... (namanya) berkcepatan 90 knot, bukan 90 knot per jam. Karena liputan media MetroTV tersebut bersangkut paut dengan event maritim (yang besar), seyogyanya panitya Sail Banda atau panitya lomba-lomba tertentu dalam rangka hajatan Sail Banda memberikan pengarahan kepada personil yang melakukan peliputan acara itu, untuk menghindarkan terjadinya kesalahan kecil yang dirasakan mengganggu. Kaula negara maritim terbesar di dunia ini seyogyanya tidak mengulangi kesalahan elementar seperti itu lagi.
Sentilan kecil ini mungkin dapat mendorong semua pihak untuk lebih memperhatikan masalah kemaritiman, tidak seperti masa-masa lalu di mana kita yang adalah orang-orang yang hidup di kawasan maritim berupa negara kepulauan yang wilayah negaranya 2/3 bagian adalah laut tetapi kaula negara berpikiran dan berperilaku seperti kaula negara daratan. Jangan kalah dong dengan warga India yang sudah menampilkan perilaku maritim (untuk sebagian kaulanya tentunya), karena India, wilayah daratannya lebih besar daripada wilayah laut. Amin.
Senin, 02 Agustus 2010

D H L

Tentunya anda mengenal nama (inisial) tersebut bukan, anda sering melihatnya pada arena balapan motor/mobil, lapangan sepakbola atau pada bis kota yang melintas di depan anda. Tetapi pernahkah anda tergerak mempertanyakan apa kepanjangan atau apa nama lengkap DHL itu? Nah, setelah saya mengajukan pertanyaan itu mungkin baru anda “ngeh: “Iya, ya apa lengkapnya nama DHL? Semua perusahaan yang mengiklankan inisialnya, dapat diketahui nama langkapnya. Ada FEDEX, Federal Express, ada UPS, Uinted Parcel Service, ada TIKI, Titipan Kilat, BRI, Bank Rakyat Indonesia, tetapi DHL, apa”?
Penulis pernah berdiri di halte bus, kebetulan di situ juga ada tiga orang yang semuanya mengenakan seragam DHL, menjawab dengan macam-macam jawaban saat kutanya soal itu dengan catatan umumnya menyangka Jerman (Deutschland untuk huruf D-nya).
Begini, tahun 1975 penulis bekerja pada perusahaan yang menjadi salah satu pelanggan pertama DHL. Perusahaan DHL sendiri didirikan tahun 1973 di Sydney, Australia oleh seorang entrepreneur yang dengan jeli melihat peluang berbisnis pada bidang yang belum dilirik orang lain, yaitu jasa pengiriman dokumen-dokumen bisnis. Anda jangan lupa, satu bank, setiap hari kerja mengirimkan berkarung karung dokumen yang ada kaitannya dengan L/C (Letter of Credit) dan pada waktu itu pengiriman dokumen memakan waktu dua minggu, sepuluh hari atau paling cepat tujuh hari. Maka adanya perusahaan kurir yang menjamin kiriman dokumen dalam tiga hari, menarik antusiame pengusaha ikut jadi pelanggan.
Pada tahun 1975 itu penulis mengunjungi kantor DHL yang berlokasi di “Office Park” di kawasan Pengadegan Jakarta untuk mencari dokumen-dokumen impor yang barangnya sudah dikapalkan beberapa hari sebelumnya dan pihak eksportir memberi tahu bahwa dokumen-dokumen sudah dikirim hari kemarin. Staf DHL yang melayani saya memberitahu bahwa dokumen sudah tiba dan sedang disortir. Disarankan supaya saya kembali saja dua arau tiga jam lagi, daripada terlalu lama menunggu. Kujawab tidak apa saya menunggu dua atau tiga jam karena kalau saya pulang ke kantor tanpa membawa dokumen, akan ribut dengan manajer teknik (Chief Engineer), orang bule warganegara Inggeris yang sudah menunggu-nunggu.
Tolong saya diijinkan menunggu di sini baca-baca majalah atau kalau saya capek, bisa tidur di sofa ini, kata saya. Tak lama kemudian ada seseorang datang tergopoh-gopoh membawa carton box tipis, minta supaya barangnya segera dikirimkan karena sudah ditunggu oleh pemesannya di London sana. DHL sendiri mencanangkan slogan: kiriman dari mana dan ke manapun, dijamin tiba dalam tiga hari. Staf DHL membaca surat pengantar atas kiriman itu, segera berkomentar: maaf mas, kami tidak dapat menerima parcel ini karena tidak sesuai dengan ijin yang kami miliki. Si pengantar barang menyahut sambil bermohon, aduh tolonglah mas barang ini sudah sangat ditunggu, kami bersedia membayar biaya yang lebih tinggi asal kiriman segera diterima di London.
Bukan itu masalahnya mas, ijin kami adalah menyelenggarakan pengiriman dokumen bisnis sedangkan yang mas kirimkan ini barang, bukan dokumen. Kalau kiriman ini kami terima, bisa dicabut ijin kami, jadi pengangguran saya, timpal staf DHL.
Si pengantar barang masih mencoba menghiba dan bermohon tetapi staf DHL tidak bergeming. Melihat deadlock itu saya iba hati juga, lalu saya nimbrung ikut bicara: “Kenapa tidak mas sebut saja bahwa kiriman itu adalah dokumen perjanjian jual beli, atau apapun asalkan bukan barang”. Mendengar celetukan itu dia langsung saja mau beranjak pergi sambil mengucapkan terima kasih tetapi sebelum dia sempat meninggalkan kantor DHL saya masih sempat berseru: “Jangan dikemas dalam carton box ya mas, karena tidak lazim dokumen dikirimkan menggunakan box. Kemas saja dalam amplop coklat yang besar dengan diberi ganjal potongan-potongan kertas supaya kelihatan gendut”.
Tidak sampai satu jam dia sudah kembali membawa amplop besar yang diberi tulisan: Isi dokumen-dokumen penelitian proyek pembangunan gedung perkantoran. Sesaat kemudian urusan sudah beres, pengantar kiriman palsu langsung pulang dengan perasaan puas, begitu pula staf DHL merasa puas dan mendatangi saya untuk mengucapkan terima kasih karena saya telah membantunya mencarikan solusi atas kemacetan itu. Wah gitu saja kok pakai terima kasih, tadi saya kan hanya nyeletuk, kata saya.
Begini pak, maaf tadi mulut saya sudah gatal mau mengatakan solusi seperti yang bapak tawarkan, tetapi saya masih dapat menahan diri. Kalau saran itu datang dari saya, bisa-bisa perusahaan kami dilaporkan telah melanggar ijin tetapi kalau saran dari bapak, kan jadinya yang melanggar ijin adalah si pengirim barang itu, bukan kami.
Demikianlah kisah sederhana dari perusahaan yang saat pendiriannya meminta ijin sebagai perusahaan jasa titipan pengiriman dokumen-dokumen dagang, tanpa meminta ijin untuk melakukan pengiriman barang. Slogan “tiga hari sampai” dari manapun dan ke manapun yang dilontarkan DHL rupanya cukup ampuh sehingga DHL dapat berkembang menjadi perusahaan “courier service” yang sangat besar dan kabarnya, sekarang memiliki 36 unit pesawat terbang cargo kelas jumbo jet.
Anda tidak mengerti mengapa DHL tidak men-disclose nama lengkapnya? Saya menduga pemilik DHL takut “kuwalat” kalau sekarang menyosialisasikan nama lengkapnya sebab dulu, waktu didirikan pada tahun 1973 namanya adalah “Documents Handling Limited” (sayang saya sudah tidak mempunyai lagi pertinggal untuk membuktikan bahwa DHL adalah Documents Handling Limited). Nah sekarang, setelah berkembang menjadi perusahaan jasa titipan apa saja (bukan hanya dokumen) kan tepaksa harus mengubah nama, lha ini merupakan “alternatif” rasa kuwalat yang pertama. Takut kuwalat, setelah perusahaan menjadi besar kok namanya diganti, padahal yang membawa hoki adalah nama Documents Handling Limited. Kalau nama ini tetap dipertahankan walaupun sudah ada perubahan ijin (tidak lagi hanya mengangkut dokumen) kan tidak ada hoki yang dirisikokan.
Demikian juga kalau namanya tetap seperti saat didirikan dan nama itu di-disclose tetapi sekarang juga mengangkut komoditi, bisa-bisa ditertawai oleh competitornya (ini merupakan rasa kuwalat yang kedua): “Documents Handling Limited kok mengangkut barang”. Saya tidak familiar dengan DHL tetapi berhubung mengetahui jejak rekamnya, maka “berani” menulis catatan tentang rasa kuwalat ini walaupun tidak yakin akan kebenarannya kecuali rasa aneh kenapa DHL tidak atau tidak berani men-disclose nama langkapnya padahal perusahaan lain, semuanya diketahui nama lengkapnya. Itu saja.