Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Senin, 02 Agustus 2010

D H L

Tentunya anda mengenal nama (inisial) tersebut bukan, anda sering melihatnya pada arena balapan motor/mobil, lapangan sepakbola atau pada bis kota yang melintas di depan anda. Tetapi pernahkah anda tergerak mempertanyakan apa kepanjangan atau apa nama lengkap DHL itu? Nah, setelah saya mengajukan pertanyaan itu mungkin baru anda “ngeh: “Iya, ya apa lengkapnya nama DHL? Semua perusahaan yang mengiklankan inisialnya, dapat diketahui nama langkapnya. Ada FEDEX, Federal Express, ada UPS, Uinted Parcel Service, ada TIKI, Titipan Kilat, BRI, Bank Rakyat Indonesia, tetapi DHL, apa”?
Penulis pernah berdiri di halte bus, kebetulan di situ juga ada tiga orang yang semuanya mengenakan seragam DHL, menjawab dengan macam-macam jawaban saat kutanya soal itu dengan catatan umumnya menyangka Jerman (Deutschland untuk huruf D-nya).
Begini, tahun 1975 penulis bekerja pada perusahaan yang menjadi salah satu pelanggan pertama DHL. Perusahaan DHL sendiri didirikan tahun 1973 di Sydney, Australia oleh seorang entrepreneur yang dengan jeli melihat peluang berbisnis pada bidang yang belum dilirik orang lain, yaitu jasa pengiriman dokumen-dokumen bisnis. Anda jangan lupa, satu bank, setiap hari kerja mengirimkan berkarung karung dokumen yang ada kaitannya dengan L/C (Letter of Credit) dan pada waktu itu pengiriman dokumen memakan waktu dua minggu, sepuluh hari atau paling cepat tujuh hari. Maka adanya perusahaan kurir yang menjamin kiriman dokumen dalam tiga hari, menarik antusiame pengusaha ikut jadi pelanggan.
Pada tahun 1975 itu penulis mengunjungi kantor DHL yang berlokasi di “Office Park” di kawasan Pengadegan Jakarta untuk mencari dokumen-dokumen impor yang barangnya sudah dikapalkan beberapa hari sebelumnya dan pihak eksportir memberi tahu bahwa dokumen-dokumen sudah dikirim hari kemarin. Staf DHL yang melayani saya memberitahu bahwa dokumen sudah tiba dan sedang disortir. Disarankan supaya saya kembali saja dua arau tiga jam lagi, daripada terlalu lama menunggu. Kujawab tidak apa saya menunggu dua atau tiga jam karena kalau saya pulang ke kantor tanpa membawa dokumen, akan ribut dengan manajer teknik (Chief Engineer), orang bule warganegara Inggeris yang sudah menunggu-nunggu.
Tolong saya diijinkan menunggu di sini baca-baca majalah atau kalau saya capek, bisa tidur di sofa ini, kata saya. Tak lama kemudian ada seseorang datang tergopoh-gopoh membawa carton box tipis, minta supaya barangnya segera dikirimkan karena sudah ditunggu oleh pemesannya di London sana. DHL sendiri mencanangkan slogan: kiriman dari mana dan ke manapun, dijamin tiba dalam tiga hari. Staf DHL membaca surat pengantar atas kiriman itu, segera berkomentar: maaf mas, kami tidak dapat menerima parcel ini karena tidak sesuai dengan ijin yang kami miliki. Si pengantar barang menyahut sambil bermohon, aduh tolonglah mas barang ini sudah sangat ditunggu, kami bersedia membayar biaya yang lebih tinggi asal kiriman segera diterima di London.
Bukan itu masalahnya mas, ijin kami adalah menyelenggarakan pengiriman dokumen bisnis sedangkan yang mas kirimkan ini barang, bukan dokumen. Kalau kiriman ini kami terima, bisa dicabut ijin kami, jadi pengangguran saya, timpal staf DHL.
Si pengantar barang masih mencoba menghiba dan bermohon tetapi staf DHL tidak bergeming. Melihat deadlock itu saya iba hati juga, lalu saya nimbrung ikut bicara: “Kenapa tidak mas sebut saja bahwa kiriman itu adalah dokumen perjanjian jual beli, atau apapun asalkan bukan barang”. Mendengar celetukan itu dia langsung saja mau beranjak pergi sambil mengucapkan terima kasih tetapi sebelum dia sempat meninggalkan kantor DHL saya masih sempat berseru: “Jangan dikemas dalam carton box ya mas, karena tidak lazim dokumen dikirimkan menggunakan box. Kemas saja dalam amplop coklat yang besar dengan diberi ganjal potongan-potongan kertas supaya kelihatan gendut”.
Tidak sampai satu jam dia sudah kembali membawa amplop besar yang diberi tulisan: Isi dokumen-dokumen penelitian proyek pembangunan gedung perkantoran. Sesaat kemudian urusan sudah beres, pengantar kiriman palsu langsung pulang dengan perasaan puas, begitu pula staf DHL merasa puas dan mendatangi saya untuk mengucapkan terima kasih karena saya telah membantunya mencarikan solusi atas kemacetan itu. Wah gitu saja kok pakai terima kasih, tadi saya kan hanya nyeletuk, kata saya.
Begini pak, maaf tadi mulut saya sudah gatal mau mengatakan solusi seperti yang bapak tawarkan, tetapi saya masih dapat menahan diri. Kalau saran itu datang dari saya, bisa-bisa perusahaan kami dilaporkan telah melanggar ijin tetapi kalau saran dari bapak, kan jadinya yang melanggar ijin adalah si pengirim barang itu, bukan kami.
Demikianlah kisah sederhana dari perusahaan yang saat pendiriannya meminta ijin sebagai perusahaan jasa titipan pengiriman dokumen-dokumen dagang, tanpa meminta ijin untuk melakukan pengiriman barang. Slogan “tiga hari sampai” dari manapun dan ke manapun yang dilontarkan DHL rupanya cukup ampuh sehingga DHL dapat berkembang menjadi perusahaan “courier service” yang sangat besar dan kabarnya, sekarang memiliki 36 unit pesawat terbang cargo kelas jumbo jet.
Anda tidak mengerti mengapa DHL tidak men-disclose nama lengkapnya? Saya menduga pemilik DHL takut “kuwalat” kalau sekarang menyosialisasikan nama lengkapnya sebab dulu, waktu didirikan pada tahun 1973 namanya adalah “Documents Handling Limited” (sayang saya sudah tidak mempunyai lagi pertinggal untuk membuktikan bahwa DHL adalah Documents Handling Limited). Nah sekarang, setelah berkembang menjadi perusahaan jasa titipan apa saja (bukan hanya dokumen) kan tepaksa harus mengubah nama, lha ini merupakan “alternatif” rasa kuwalat yang pertama. Takut kuwalat, setelah perusahaan menjadi besar kok namanya diganti, padahal yang membawa hoki adalah nama Documents Handling Limited. Kalau nama ini tetap dipertahankan walaupun sudah ada perubahan ijin (tidak lagi hanya mengangkut dokumen) kan tidak ada hoki yang dirisikokan.
Demikian juga kalau namanya tetap seperti saat didirikan dan nama itu di-disclose tetapi sekarang juga mengangkut komoditi, bisa-bisa ditertawai oleh competitornya (ini merupakan rasa kuwalat yang kedua): “Documents Handling Limited kok mengangkut barang”. Saya tidak familiar dengan DHL tetapi berhubung mengetahui jejak rekamnya, maka “berani” menulis catatan tentang rasa kuwalat ini walaupun tidak yakin akan kebenarannya kecuali rasa aneh kenapa DHL tidak atau tidak berani men-disclose nama langkapnya padahal perusahaan lain, semuanya diketahui nama lengkapnya. Itu saja.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

wahahahaha, ganyangka kalo cerita awalnya kaya gitu.

Makasih banyak pak informasinya, semoga bapak sehat selalu!

Posting Komentar