Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Rabu, 11 Agustus 2010

DEMURRAGE, DESPATCH (2)

Dikatakan bahwa tarip demurrage pada persetujuan voyage charter adalah sebesar 100% dari biaya eksploitasi kapal sehari, sedangkan tarip despatch setengah dari jumlah itu (lihat artikel sebelumnya). Apakah sebabnya demikian, mengapa tidak dibuat sama saja, toh kalau kapal menyelesaikan pekerjaan pemuatan atau pembongkaran lebih lambat dari waktu laycan (laydays) yang disepakati dan dituangkan dalam charter party, shipowner (pemilik kapal) mengalami kerugian sebesar satu kali biaya eksploitasi sehari dan kalau pekerjaan diselesaikan lebih cepat, tentunya mendapat keuntungan satu hari?
Begini, biaya eksploitasi kapal dalam sehari mudah dihitung dengan menyimak komponen-komponen biaya eksploitasi itu. Penulis sebutkan beberapa komponen yang penting, yaitu:
1. Biaya pembangunan kapal dibagi (15 x 365); umur teknis kapal dipersepsikan 15 tahun sejak pembangunannya;
2. Biaya asuransi kapal dalam satu tahun dibagi 365;
3. Total gaji seluruh crew dalam satu tahun dibagi 365;
4. Biaya depresiasi kapal dalam satu tahun dibagi 365;
Dan seterusnya biaya-biaya nyata bagi pengoperasian kapal dalam satu hari, dapat diketahui; total biaya-biaya tersebut membentuk biaya eksploitasi kapal dalam satu hari.
Dalam persetujuan voyage charter seorang/perusahaan mempunyai sejumlah muatan yang ada di pelabuhan tertentu (atau: dapat disiapkan di pelabuhan itu) yang perlu diangkut ke pelabuhan lain dalam satu kali pengangkutan. Pada umumnya jenis muatan yang memerlukan pengangkutan seperti itu adalah muatan curah (bulk cargo) karena biayanya akan lebih murah daripada jika diangkut dengan cara lain, misalnya dikapalkan menggunakan kapal liner service.
Pemilik muatan sebagai pencharter kapal, boleh dikatakan tidak berkepentingan dengan kegiatan pemuatan serta kegiatan pembongkaran muatan itu, sepanjang kegiatan itu dikerjakan dengan cara yang normal dan berlangsung dalam waktu yang normal. Demikian juga dia relatif tidak concern mengenai lamanya waktu kapal berlayar menyeberangkan barang muatannya itu dari pelabuhan pemuatan ke pelabuhan tujuan, asalkan waktu layar itu tidak berlarut larut.
Bagaimana halnya dengan pemilik kapal? Bagi pemilik kapal setiap hari keterlambatan pekerjaan pemuatan demikian juga setiap hari keterlambatamn waktu layar dapat merupalan kerugian yang cukup signifikan. Mengenai hal yang terakhir ini pencharter memang betul-betul, bukan lagi relatif, tidak berkepentingan karena dia tidak berpartisipasi dalam pengoperasian kapal.
Keterlambatan waktu layar kapal, segala hambatan dalam pelayaran itu, semata-mata merupakan risiko shipowner. Namun perhitungan waktu yang dapat dialokasikan bagi kapal untuk menyelesaikan pekerjaan pemuatan dan pekerjaan pembongkaran, ikut menjadi concern charterer karena adanya ancaman (baca: risiko) bagi charterer untuk dikenakan denda demurrage kalau kegiatan pemuatan (dan) atau pembongkaran terlambat dari waktu yang dialokasikan untuk keperluan itu (waktu laycan/laydays) dan dituangkan dalam klausul charter party yang bersangkutan.
Keterlambatan waktu pemuatan dapat terjadi karena adanya gangguan dalam pemasokan barang dari hinterland ke pelabuhan pemuatan padahal masalah pemasokan barang tidak ada urusannya dengan shipowner.
Lamanya waktu laycan yang dapat dialokasikan kepada kapal untuk menyelesaikan pekerjaan pemuatan dihitung dari banyaknya muatan yang harus dimuat ke kapal dibagi dengan kecepatan kerja pemuatan (dalam shipping, istilah terakhir ini secara teknis disebut (loading rate) sedangkan lamanya waktu untuk menyelesaikan pembongkaran muatan itu dihitung dari banyaknya muatan yang harus dibongkar dibagi dengan kecepatan pembongkaran (discharging rate).
Sudah barang tentu kedua macam kecepatan kerja tersebut tidak sama untuk pelabuhan-pelabuhan sebab kecepatan kerja ditentukan oleh banyak faktor antara lain ketersediaan sarana pendukung, ketrampilan kerja TKBM (tenaga kerja bongkar muat) dan lain-lain.
Shipowner menetapkan denda demurrage sebesar satu kali biaya eksploitasi kapal satu hari, berdasarkan pemahaman bahwa satu hari kapal terlambat berlayar keluar dari pelabuhan (karena pekerjaan pemuatan belum selesai), shipowner merugi satu hari biaya eksploitasi kapal; maka kerugian ini harus diganti oleh charterer dalam bentuk denda demurrage itu. Shipowner juga sering menetapkan maximum demurrage days, terutama kalau charterer hanya menyewa kapal itu satu satu kali saja padahal sehipowner sudah mempunyai prospek penyewaan lain, setelah kontrak yang ini sudah berakhir.
Menyangkut hal yang terakhir ini mungkin pengunjung blog yang sudah sepuh teringat pada praktek di Sulawesi Utara dasawarsa enampuluhan yang lalu. Pada masa itu Indonesia merupakan pemasok kopra dunia paling unggul, bersaing dengan Philipina (kalau Indonesia nomor satu, Philipina nomor dua, begitu bulan sebaliknya).
Pelabuhan ekspor utama Indonesia adalah Bitung dan beberapa pelabuhan kecil di Sulawesi Utara dan juga Maluku. Pemuatan kopra berlangsung dalam waktu yang lama sekali, dua minggu, sering sampai empat minggu karena pemuatannya dilakukan dengan cara yang sangat sederhana: kopra dalam karung dipanggul ke kapal yang lego jangkar beberapa ratus meter dari pantai dan TKBM harus meniti papan setelah menyeberangi air laut sampai sekitar paha orang dewasa.
Sesampai di tepi lubang palka, jahitan karung dibuka lalu kopra dicurahkan ke dalam palka (mungkin praktek ini yang merupakan “cikal bakal” timbulnya istilah nuatan curah sebagai padanan dari bulk cargo). Mungkin pengunjung blog sepuh tersebut merasa heran bagaimana charterer bisa mendapat laba dari bisnis mencharter kapal yang pelaksanaan pemuatannya super lama tersebut yang tentunya charterer terkena denda demurrage besar?
Rahasianya adalah bahwa eksportir kopra dalam wadah IKKI (Ikatan Koperasi Kopra Indonesia) memegang semacam monopoli di mana importir kopra di Jepang selalu memesan darinya dan oleh sebab itu eksportir tidak ragu membayar denda demurrage atas pelaksanaan pemuatan yang lamanya dapat mencapai satu bulan tersebut.
Pemilik kapal juga tidak keberatan memotong denda demurrage karena mendapat jaminan bahwa kapalnya akan dipakai terus dalam pengangkutan kopra ekspor ke Jepang itu, yang sangat kencang waktu itu dan baru mulai surut pada akhir dasawarsa.
Menyangkut “anugerah” despatch money, mengapa taripnya hanya separo dari tarip demurrage, didasarkan pada kenyataan bahwa kapal yang lebih cepat menyelesaikan pekerjaan pemuatan (atau pembongkaran) tidak memberikan manfaat satu hari penuh bagi shipowner, melainkan kurang dari itu. Bayangkanlah kapal yang, sesuai laycan, seharusnya menyelesaikan pemuatan pada tanggal 15 jam 14.00 namun ternyata pekerjaan diselesaikan tanggal 14 jam 12.00. Apakah setelah pemuatan tersebut selesai, kapal dapat berangkat meninggalkan pelabuhan pada saat itu juga? Pasti tidak mungkin karena masih ada prosedur administratif yang harus diselesaikan (penyelesaian manifest muatan, ijin berlayar dan lain-lain). Manfaat yang dapat diperoleh shipowner tidak sampai satu hari walaupun kapal menyelesaikan pekerjaan 26 jam lebih cepat. Oleh karena itu dianggap adil kalau tarip despatch money hanya 50% dari demurrage. Sudah barang tentu charterer boleh menawar, karena persetujuan charter merupakan bentuk persetujuan bebas berdasarkan negosiasi yang juga bebas.

0 komentar:

Posting Komentar