Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Kamis, 10 November 2011

CONFERENCE, ATAU FREE FIGHT COMPETITION?

Sejarah berulang kembali?
Pelaku bisnis yang berusia di atas 60 tahun mungkin masih mengalami masa di mana perusahaan-perusahaan pelayaran dunia bertarung dengan sengit dalam mengupayakan perolehan uang tambang maksimal melalui pengangkutan barang dagangan dunia, di mana banyak diantaranya merupakan "base materials" seperti biji kopi, batubara, karet slabs. Angkutan barang manufacture memang sudah mulai ada namun masih terbatas sebab pada periode pra Perang Dunia II tersebut perkembangan metode produksi manufactur belum seperti sekarang. Begitu sengitnya perang antara perusahaan pelayaran tersebut, perusahaan bermodal kuat tidak segan-segan mengoperasikan satu atau dua unit "fighting ship" yaitu kapal yang dioperasikan pada trayek yang sama yang juga dijalani oleh perusahaan lain namun kapal "fighting ship" ini menarik biaya angkutan dengan tarip yang "dibanting hsbis" agar kapal-kapal lain yang beroperasi pada jalur yang sama menjadi tidak tahan dan mengundurkan diri. Setelah jalur pelayaran ditinggalkan oleh kapal-kapal yang tidak bisa menurunkan biaya operasinya lebih rendah lagi, maka tinggallah "kapal tempur" beresama kelompoknya yang dapat beroperasi, lalu tarip mulai dinaikkan lagi.
Dengan adanya praktek "pembunuhan" sesama perusahaan pelayaran seperti itu maka pihak-pihak yang peduli kepada operasi kapal secara normal, mengambil prakarsa untuk membentuk asossiasi pelayaran dengan tujuan utama menyelanggarakan sistem pengangkutan laut secara teratur, baik dari sisi jadwal pelayarannya, penetapan tarip angkutan, syarat pengangkutan dan hal-hal lain yang tidak ada pada usaha pelayaran tramping karena pelsayaran tramping "alergi" terhadap keteraturan. Pelayaran tramp di mana kapal tramper mencari muatan satu kapal penuh (bulk cargo) dengan tarip dan syarat pengangkutan yang ditetapkan sesuai hasil negosiasi individual. Dalam perkembangannya, saat ini pihak-pihak merasakan bahwa biaya angkutan dalam sistem pelayaran yang dikoordinasikan oleh Freight Conference dirasakan sangat tinggi, terlalu mahal, suatu hal yang terjadi disebabkan antara lain karena "fixed cost" pada kapal-kapal yang menjalankan operasi liner service di bawah koordinasi Conference ditetapkan terlalu tinggi.
Pada tahun 1998 Amerika Serikat telah meloloskan undang-undang tentang reformasi angkutan laut (OSRA: Ocean Shipping Reform Act)yang mengatur tentang operasi pelayaran "full liner service" tanpa melibatkan campur tangan asosiasi "liner conference". Dalam konsiderancenya dalam undang-undang OSRA tersebut dikatakan bahwa sejak awal tahun 1950 pelayaran liner service mendapat kenikmatan karena mendapat pembebasan penuh dari ketentuan undang-undang tentang "anti trust" dan "anti competition". Masih diperlukan waktu sepuluh tahun bagi countert USA, yaitu Eropa untuk menanggapinya dengan menghentikan operasi Far East Freight Conference, asosiasi pelayaran yang mengatur operasi pelayaran antara Eropa dengan Asia Timur (Hongkongf/Cina - Korea). Apakah trend baru ini bertujuan mengembalikan situasi pada kondisi tahun 1930 - 1950 yang penuh dengan kompetisi bebas, saling membunuh antara perusahaan-perusahaan pelayaran dunia? Blogger sendiri tidak yakin akan hal itu karena walaupun dalam undang-undang OSRA itu disebutkan bahwa operasi pelayaran liner service harus bebas dari campur tangan Conference namun kalau perusahaan pelayaran melakukan penyimpangan, tentunya negara di mana wilayah lautnya dilewati oleh kapal yang beroperasi mengangkut komoditas perdagangan dunia, tentunya akan mengambil tindakan yang perlu. Mari kita lihat saja bagaimana perkembangannya di waktu ke depan namun yang pasti adalah bahwa harkat untuk menekan biaya angkutan menjadi lebih rendah tentu disambut positif oleh semua pihak.
Sebagai diketahui biaya angkutan (freight) yang berlaku pada perusahaan pelayaran yang beroperasi di bawah kordinasi Freight Conference memang terlalu tinggi walaupun hal itu memang ada pembenarannya karena Conference mengatur segala sesuatunya, sampai-sampai jadwal pelayaran kapal anggota juga harus disetujui Conference, hal-hal yang mau tidak mau pasti meningkatkan biaya operasi kapal.
Minggu, 06 November 2011

Shipping Concerence: menghitung hari?

Dalam situs EH.net, sebuah website yang dimiliki dan dioperasikan oleh Conomic History Association dan beberapa lemnbaga terkait, terdapat artikel yang diposting oleh seseorang yang tidak disebutkan jati dirinya yang bertajuk Intenational Shippiung Cartels.
Dalam artikel yang bernada keras tersebut penulis artikel menyebutkan berbagai hal tentang kolusi yang berkecamuk dalam kebanyakan Shipping Conference yang melayani pelayaran liner service di dunia, terutama menyangkut fixed cost yang tinggi yang dipertahankan supaya tetap sedimikian guna menghalangi perusahaan pelayaran baru agar tidak ikut memasuki kancah Conference. Juga disebutkan tentang "kesukaan" (anggota-anggota) Conference untuk hanya memilih cargo yang bernilai tinggi karena kategori cargo ini dapat dikenai biaya angkutan yang bertarip tinggi.
Analisis ini agaknya sejalan dengan pendapat penulis blog ini, yang sebagai pengarang buku "Pokok-pokok Pelayaran Niaga" telah mencanangkan bahwa biaya angkutan pada perusahaan pelayaran liner service "selalu harus lebih tinggi" dibandingkan biaya yang ditatapkan oleh perusahaan pelayaran "tramping" yang rela "membiarkan" kapalnya berlama-lama di pelabuhan demi menunggu muatan supaya penuh, baru berangkat menuju ke SATU pelabuhan tujuan sementara kapal liner service rencana pelayarannya sudah dipatok tanggal sekian harus berangkat walaupun hanya mengangkut sedikit cargo. (Di sisi lain setiap hari kita melihat pemandangan kapal peti kemas yang memuat eti kemas sampai penuh). Jangan lupa, perusahaan pelayaran Maersk Line yang dalam bisnis tertentu berkolaborasei dengan Sealand, sudah mengoperasikan delapan "sister ships" berdaya angkut 14.000-an TEU. Dalam buku tersebut saya menjelaskan tingginya tarip angkutan pada pelayaran liner service disebabkan karena: 1. Perusahaan harus mempunyai organisasi serba lengkap yang tentunya dengan biaya organisasi tinggi karena 2. Harus dilengkapi dengan kantor-kantor cabang dan atau agen di pelabuhan-pelabuhan di mana kapalnya singgah, 3. Membayar iuran Conference yang cukup tinggi dan ditambah lagi 4. Membayar biaya akomodasi bagi eksekutif perusahaan yang menghadiri rapat Conference enam bulan sekali.
Dalam kaitan dengan opersasi traamper dapat diceritakan bahwa pada tahun enampuluhan penulis pernah mengenal seorang warga-negara Philipina, di mana tiga bersaudara (laki-laki semua)menjalankan perusahaan pelayaran tramping dengan belasan kapal bulk cargo carrier ukluhan ribu DWT er unitnya. Operasi dan manajemen mereka seperti ini: si sulung menjaga "posko" di Manila, saudara nomor 2 sebagai "marketing manager" bertugas mencari muatan di pusat-pusat industri dunia dan si bungsu sebagai "operating manager" mengunjungi pelabuhan-pelabuhan untuk menyiapkan keagenan yang menangani pemuatan atau pembongkaran muatan. Si nomor 2, kalau sudah mendapat komitment pengangkutan bulk cargo dan sudah mengantongi "charter party" dan sudah mengirimkannya ke posko, terbang lagi mengunjungi eksportir yang mempunyai cargo satu kapal untuk diangkut ke pelabuhan tertentu, lalu si bungsu setelah menandatangani kontrak keagenan kapal, terbang lagi ke pelabuhan lain untuk melakukan hal yang sama.
Yang hendak dijelaskan di sini adalah bahwa perusahaan tramping tidak perlu mempunyai organisasi yang lengkap sehingga biaya organisasinya sangat-sangat rendah, karena itu biaya angkutan yang ditawarkan oleh trampers juga sangat rendah. Liner service tidak dapat menandingi ini, tetapi, seperti sudah dapat dilihat, adanya gugatan dalam situs EH.net menyadarkan kita tentang dua hal yaitu pertama pelaku bisnis sudah menyadari bahwa freight rate yang tinggi yang ditetapkan oleh Conference harus dikoreksi supaya dapat menjadi lebih rendah secara proporsional. Di sisi lain, liner service tidak mungkin menjalankan operasi model tramper karena liner service melayani banyak elaku bisnis (masyarakat umum). Di siai yang lain lagi, praktek shipment transformation yang dijalankan oleh perusahaan freight forwarder atau international shiping intermediary (NVOCC)juga, setidaknya menurut keyakinan penulis, rasanya perlu dikoreksi. Dalam praktek shipment transformation, forwarder menerima breakbulk goods dalam jumlah kecil-kecil dari banyak eksportir, lalu dikosolidasikan (digabungkan) ke dalam peti kemas dan dikapalkan sebagai FCL Shipment dengan tarip angkutan "box rate" yang (jauh) lebih murah. Memang dari sisi ekonomi umum, praktek ini membawa keuntungan berupa penekanan biaya angkutan menjadi lebih rendah dan di sisi lain perusahaan pelayarean liner service dibantu menekan biaya pelabuhan karena forwarder bekerja gesit, maka pelaku pelayaran boleh dikatakan tidak memerlukan persiaan apa-apa. Container tiba di pelabuhan, tinggal muat saja karena sudah disiapkan oleh forwarder, maka kapal hanya perlu berada di pelabuhan dalam hitungan jam. Sebagaimana diketahui, proses roduksi kapal adalah saat kapal berlayar di laut, bukannya saat ada di pelabuhan. Mungkin sahabat saya, kang Maman Permana dari MAPPEL mempunyai idee untuk di-talk showkan di TV bagaimana caranya menekan biaya angkutan melalui laut supaya dapat menjadi lebih rendah tanpa harus mengikuti pola operasi pelayaran tramping. Bagaimana kang Maman?
Rabu, 02 November 2011

PEMBUBARAN FREIGHT CONFERENCE

Jaman berubah, teknologi berkembang, sistempun berkembang maju, tahun 1950 ditandai dengan bergabungnya perusahaan-perusahaan pelayaran teta internasional yang melayari jalur tertentu, ke dalam asosiasi atau perhimpunan yang berjuluk Freight Conference atau Rate Agreement.
Penggabungan itu dipicu oleh persaingan sengit di antara perusahaan-perusahaan pelayaran liner service itu sendiri di mana perusahaan yang bermodal kuat tidak segan-segan menjalankan strategi “membunuh” perusahaan lain saingannya melalui penurunan biaya angkutan agar setelah perusahaan saingannya mati, si kuat tersebut dapat hidup sendiri dan secara semena-mena menaikkan lagi tingkat freight rate setinggi mungkin. Untuk memungkinkan strateginya itu terlaksana, si kuat seringkali mengoperasikan kapal ”fighting ship” yaitu kapal yang beroperasi membayangi kapal dengan trayek sama namun dengan tingkat tarip angkutan sedemikian rendah supayta perusahaan pesaingnya tidak tahan lagi lalu bangkrut. Praktek ini berlangsung sekitar tahun 1930 – 1940 dan mencapai puncaknya menjelang tahun 1950.
Pada titik kulminasi itu pengusaha-pengusaha pelayaran internasional yang peduli “good governance” memprakarsai suatu kerjasama guna mencegah praktek persaingan yang bersifat saling membunuh tersebut. Maka dibentuklah asosiasi yang bernama Freight Conference dan Rate Agreement. Bentuk Freight Conference dipilih oleh perusahaan pelayaran yang melayari trayek pengangkutan dari dan ke Eropa serta belahan dunia lainnya kecuali Amerika. Pada bentuk asosiasi ini disepakati kerjasama dalam semua aspek pengusahaan pelayaran niaga antar Negara, antara lain:
1. Penetapan pelabuhan-pelabuhan asmudera yang boleh disinggahi oleh kapal dalam kedua kutub trayek yang dilayani;
2. Penetapan jadwal pelayaran setiap kapal yang tergabung dalam asosiasi;
3. Pembagian alokasi muatan yang boleh diangkut dari dan ke setiap pelabuhan singgahan kapal (port of call);
4. Penetapan tarip biaya angkutan (freight rate) per freight tonne;
5. Peraturan pemberian potongan biaya (rebate) di mana “cash rebate” hanya diberikan kepada pelanggan yang sudah menandatangani “contract of affreightment” (kontrak pengapalan) sedangkan pengirim lain diberikan “deffered rebate” yaitu rabat yang baru dapat dicairkan tiga bulan setelah saat pengapalan, itupun kalau selama waktu itu si pengirim barang mengapalkan barangnya hanya dengan menggunakan kapal anggota Conference yang bersangkutan;
6. Bentuk Rate Agreement dipilih oleh perusahaan pelayaran yang berbasis di USA dan negeri-negeri di benua Amerika lainnya yang hanya membuat kesepakatan mengenai dua aspek saja, yaitu tentang freight dan rabat, aspek-aspek lain dibebaskan menurut kehendak setiap anggota Conference.
Selama kurun waktu setengah abad lebih perusahaan-perusahaan pelayaran liner service menikmati pendapatan freight yang tinggi tanpa saingan yang berarti karena negurus Conference selalu menjaga kinerja anggota-anggotanya dalam memberikan service prima kepada pelanggannya, termasuk ketepatan dalam melaksanakan jadwal pelayaran yang sudah ditetapkan, pelayanan claim yang cepat dan nyaman dan seterusnya. Bertahun-tahun para pemerhati mengecam praktek kartel ini tetapi Freight Conference dan Rate Agreement tetap saja berjalan dengan nyaman karena para pebisnis dalam general merchandise merasa tidak terganggu karena bagi mereka kepastian pelayaran dan kepastian penyamaian barang ke tujuan lebih penting dariada freight yang lebih rendah.
Adapun tarip biaya angkutan yang tinggi itu diantaranya adalah iuran Conference yang besar, biaya organisasi yang juga besar karena harus membuka kantor cabang dan atau agen di pelabuhan-pelabuhan yang disinggahi kapal-kapalnya dan juga karena Conference, setiap enam bulan sekali mengadakan rapat anggota, berpindah-pindah di kota-kota yang bernuansa pariwisata berkelas.
Satu dua perusahaan pelayaran liner service yang peduli untuk mengenakan biaya angkutan yang lebih rendah, diposisikan supaya tidak tahan, menyerah dan terpaksa bergabung ke Conference. Yang terkenal di antaranya adalah perusahaan pelayaran Evergreen Line dan Yang Ming Line yang keduanya berbasis di Asia Timur. Kedua perusahaan itu beroperasi sebagai “Non Conference Liner” sehingga tidak terkena pembayaran iuran yang mahal, bebas biaya rapat semesteran, maka taripnya dapat ditekan rendah. Terbukti kedua perusahaan tersebut “tidak tahan” dan terpaksa masuk mernjadi anggota FEFC (Far East Freight Conference) dan ternyata Conference tersebut sudah dibubarkan per 2008.
Sebenarnya payung hukum yang mendasari penutupan Conference sudah dikeluarkan cukup lama tetapi cukup menarik bahwa pembubaran FEFC baru berlangsung sepuluh tahun kemudian. Pada tahun 1998 negara USA mengeluarkan undang-undang Ocean Shipping Reform Act (OSRA) yang segera diikuti oleh counterpartnya di Eropa.
Dengan dibubarkannya Conference menyusul undang-undang reformasi shipping, apakah praktek “fighting ship” akan berulang lagi, perusahaan pelayaran ada yang mati lalu timbul conference lagi, begitu seterusnya? Penulis yakin sejarah tidak akan berulang dengan cara seperti itu karena masa kini hubungan antar Negara sudah berjalan lebih baik. Walaupun demikian penulis merasa terketuk hati dengan praktek diferensiasi tarip biaya angkutan dalam system angkutan peti kemas yang kita alami sekarang.
Sebagaimana kita amati, kalau eksportir mengapalkan “less than container load” LCL breakbulk shipment, dikenai biaya angkutan berdasarkan tarip individual rate per tonne atau per 40 cubic feet. Tetapi kalau barang ekspor miliknya itu oleh eksportir diserahkan kepada freight forwarder dan perusahaan terakhir ini men-stuff/konsolidasikannya ke dalam peti kemas lalu dikapalkan sebagai FCL shipment, dikenakan biaya angkutan berdasarkan tarip “box rate” yang jauh lebih rendah. Tidak ada yang salah dalam praktek ini walaupun pihak freight forwarder mendapat “margin” yang aduhai dan di samping itu pihak shipping line juga diuntungkan dalam hal masa singgah kapal di pelabuhan atau “turn round time” yang lebih pendek. Hanya saja, bagi pemerhati shipping rasanya kok ada yang tidak pas dalam hal ini, pak Maman Permana dari Mappel (Masyarakat Peduli Shipping), mungkin tergerak menggelar talk show khusus di TV seperti yang aca kali kita simak. Bagaimana
Selasa, 01 November 2011

SEJARAH MARITIM Indonesia (3) Masa Pra Sejarah, sampai sebelum tahun 500 Masehi

Tidak banyak sumber yang dapat digali untuk menampilkan sejarah pelayaran Indonesia dalam masa pra sejarah, kecuali dari penuturan lisan dan relief yang tergambar pada candi-candi baik candi Hindu maupun Budha yang banyak dibangun setelah tahun 500 Masehi, seperti candi Prambanan, candi Borobudur dan lain-lain.

Dari relief pada candi dapat dilihat bahwa sesungguhnya pada masa itu sudah berlangsung pelayaran niaga, pada dua versi pelayaran yang dijalani oleh nenek moyang kita orang pelaut tersebut. Perlayaran ini merupakan wujud aktivitas migrasi penduduk dalam jarak pendek, di samping migrasi pada kawasan yang lebih jauh, sampai perhubungan laut bagi pengangkutan barang dagangan.

Dari sini dapat dilihat bahwa sesungguhnya, pada masa pra sejarah itu masyarakat nusantara Indonesia sudah memiliki pranata yang memungkinkan terjadinya hubungan perdagangan itu, demikian juga bahwa orang Indonesia masa dulu sudah mendapat manfaat dari aktivitas perdagangan yang memanfaatkan laut sebagai medium pengangkutannya.

Lihatlah lukisan-lukisan yang terdapat di dalam gua-gua batu seperti yang ada di Ohoidertawun di pulau Keil Kecil (Buton), di pulau Irian (Papua) dan lain-lain. Dari lukisan itu dapat disimak tentang sudah adanya pengenalan dan ketrampilan ilmu pelayaran pada nenek moyang kita dahulu. Memang bentuknya masih amat sederhana, sesuai teknologi yang ada pada masanya, namun sisa-sisa system pelayaran yang serba kuno itupun sampai saat ini masih banyak yang digunakan oleh kaum nelayan dan kaum pelayar pada umumnya, pada masa kini.

Di sisi lain ahli sejarah Wolters, van Leur dan yang lain menemukan bukti di luar Indonesia yang dapat menjelaskan peran pelaut Indonesia dalam pelayaran dan perdagangan internasional pada masa lampau. Dalam buku berjudul Early Indonesian Commerce, sebuah study yang mempelajari tentang terbentuknya kerajaan maritime Sriwijaya, Wolters menceritakan bahwa pelayaran internasional yang melewati perairan Indonesia merupakan bukti tentang pentingnya jalur pelayaran itu, jauh sebelum kerajaan Sriwijaya terbentuk. Wolters memanfaatkan berita-berita dari India dan Cina sebagai sumber informasi bagi pemaparan itu, yang diyakini dapat mnenambah khasanah pengetahuan tentang pelayaran niaga Indonesia dalam masa yang masih dini.

Dari India berita-berita dikutip dari kitab-kitab agama Budha, karya sastera dan laporan perjalanan pejabat negara dan pedagang, yang semuanya menunjukkan bahwa di Indonesia sejak jaman dahulu potensi pelayarannya telah dikenal oleh para pelayar Indonesia (sejak permulaan abad Masehi). Di samping itu, di Negara-negara lain itu juga dijumpai keterangan mengenai perdagangan berbagai komoditas utama, juga tentang perdagangan dalam bidang apa saja yang berlangsung antara India dengan Indonesia, jenis komoditas apa yang dihasilkan Indonesia. Sumber Cina juga menyajikan informasi yang serupa dengan itu, dari mana dapat diperoleh pengetahuan/informasi mengenai jalur perdagangan antara Cina dengan Indonesia, masa layar dari Cina ke Indonesia dan seterusnya. Para ahli berkesimpulan bahwa hubungan pelayaran niaga antara India dengan Indonesia telah berlangsung lebih awal daripada hubungan serupa antara Indonesia dengan Cina.

Dalam kitab Jataka yang memuat kisah kehidupan Budha Gautama, terdapat uraian tentang usaha orang-orang India untuk melakukan perjalanan laut yang berbahaya menuju Suvannabhumi (Tanah Emas) yang terletak di sebelah timut Teluk Benggala. Menurut para ahli mungkin Suvannabhumi adalah Suvarnadwipa yang di kemudian hari berkembang menjadi nama Sumatra atau Sumatera.

Di dalam kisah Ramayana, dalam bab khusus Kiskinda Kanda, disebut juga tentang Suvarnadwipa. Juga dalam puisi Tamil, antara lain Pattin appalai yang diciptakan pada awal abad Masehi, digambarkan adanya suatu wilayah perdagangan yang makmur antara India dengan Kalagam. Wilayah Kalagam ini pada jaman dahulu digunakan sebagai sebutan bagi Kedah saat ini.

Memang, sumber-sumber sejarah tersebut sampai saat ini kebenarannya masih menjadi bahan perdebatan bagi para ahli sejarah namun keterangan tentang adanya informasi itu dapat diperbandingkan dengan sumber lain yang lebih kuat, seperti Periplous tes Erythras Thalasses yang merupakan kumpulan keterangan mengenai pelayaran di Erythras (sekarabg: Samudera Hindia). Kitab ini ditulis pada pertengahan abad I Masehi oleh seorang nakhoda Yunani-Mesir yang sering melakukan pelayaran ke Asia Barat dan India.

SEJARAH MARITIM (2)

Pernah ditulis di dalam blog ini bahwa nenek moyang kita yang orang pelaut, pada masa kerajaan Sriwijaya sudah berprestasi melayarkan perahu layar sampai ke Madagaskar bahkan sampai ke Negara di Afrika Timur, mengangkut barang dagangan ekspor dan impor. Bukan hanya itu, para pelayar nenek moyang kita itu juga sudah mengenal tentang kapal catamaran atau kapal berlunas ganda.

Lunas ganda berfungsi untuk meningkatkan laju kapal melalui hembusan angin yang sangat kuat menerobos di bawah tubuh kapal dan mempunyai efek mengangkat kapal sehingga demngan demikian laju kapal ditingkatkan secara signifikan. Pada jaman modern konstruksi lunas ganda banyak dijumpai pada perahu lomba yang dalam siaran TV banyak mengalami kecelakaan terangkat tinggi ke udara dan jatuh berkeping-keping.

Nenek moyang kita mengerjakan konstruksi kapal (perahu) catamaran dengan cara sederhana, seiring dengan tingkat teknologi pada masanya, begini: dua unit perahu kayu yang sama sebangun, dijajarkan lalu pada ship’s railing kedua kapal itu dipakukan papan-papan tebal sehingga kedua kapal tersebut menyatu menjadi bentuk kapal (perahu) yang mempunyai dua lunas. Tentu pada bagian-bagian tertentu di atas lunas masing-masing kapal, dipasangkan balok atau papan tebal sebagai penguat agar dua kapal tersebut betul-betul menjadi satu unit kapal yang kokoh.

Janganlah meng-under estimate kemampuan dan kreasi nenek moyang kita dalam desain dan rekayasa pembangunan kapal karena kreasi mereka tidak ada habisnya, yang penting kita mendorong kemampuan dan kinerja galangan kapal Indonesia untuk dapat membangun kapal dengan biaya terjangkau, jangan seperti sekarang di mana kemampuan teknis dan manajerial OK punya namun kapal dalam financial performance.

Mudah-mudahan para pihak yang peduli pada peningkatan shipping business secepatnya dapat menemukan jalan bagi peningkatan itu.