Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Kamis, 24 Juni 2010

Benahi transportasi umum Jakarta

Penulis artikel dalam blog ini sebenarnya mengkhususkan diri dalam penyampaian masalah-masalah maritim dengan lebih mengkhususkan lagi angkutan laut, tetapi penulis terkadang tergoda ikut nimbrung urun rembug masalah transpor darat (udara tidak, karena tidak mengerti substansinya). Maka ijinkanlah penulis menyampaikan hal-hal berikut ini:

Akhir-akhir ini marak lagi tuntutan untuk membenahi transportasi jakarta yang kondisinya memang sangat dan sangat memprihatinkan.

Kemacetan di mana-mana dan banyak orang cenderung berpikir bahwa kemacetan pada ruas-ruas jalan tertentu memang suatu situasi yang tidak dapat dihindari. Bagaimana lagi, pertambahan panjang jalan di Jakarta hanya sekian persen per tahun sementara tambahan kendaraan beberapa kali lipat lebih banyak.

Sebenarnya kalau orang mau berpikir "nuchter" kemacetan di Jakarta mempunyai beberapa karakter yang berbeda: ada kemacetan yang terjadi memang karena kondisi ruas jalannya yang menyempit pada satu ruas, vlomue lalulintas yang terlalu besar pada ruas jalan tertentu, tetapi ada juga kemacetan yang terjadi karena "kebaikan hati" Dinas Perhubungan dan atau Pemeritan Daerah setempat.

Tengoklah misalnya kemacetan pada jam sekolah pada ruas Jalan Pemuda dan jl. Kalilio/Senen yang terjadi karena Dishub dan Pemda Jaktim terlalu baik hati membiarkan mobil pengantar jemput anak sekolah berparkir tiga lapis sehingga pelintas jalan tidak kebagian jalur lagi. Solusi atas situasi ini sebenarnya cukup sederhana yaitu pada jam sibuk sekolah itu ditempatkan petugas pada jarak 50 meter sehingga parkir tidak akan lebih dari satu baris.

Lho, kasihan anak sekolahnya kan, harus berjalan jauh mencari mobil pengantarnya. Solusi untuk keluhan ini juga cukup sederhana: para orang tua yang mengantarkan anaknya sekolah, pasti melengkapi supirnya dengan telepon seluler (HP). Nah, biarkan supir mencari lokasi parkir entah di mana, nanti kalau anak sudah kelas kan ibu (yang mengantar anaknya dan menunggu di luar gedung), segera dapat memanggil supir ke lokasi anak menunggu.

Wah, mahal itu biayanya, tambah bensin lagi begitu barangkali diargumentasikan. Alasan ini kurang pas, mengingat bahwa orang tua itu tidak ragu-ragu membeli mobil seharga ratusan juta rupiah untuk keperluan antar anak sekolah, mosok masih memikirkan tambahan beli bensin satu dua liter.

Yang pasti, kalau di depan gedung sekolah mobil-mobil hanya parkir satu baris, semua pengguna jalan raya dapat terlayani haknya melintas, tidak seperti situasi sekarang di mana sekian ratus pengguna jalan raya harus dikalahkan oleh sepuluh duapuluh mobil pengantar jemput anak sekolah.

Ada satu wacana lagi dalam hajatan membenahi transportasi kota Jakarta, yaitu "eliminasi" kendaraan transport umum yang sudah berusia 10 tahun. Ini tentu niatan luhur, tetapi apakah sudah dipertimbangkan hal-hal lain, terutama non-teknis, yang sebenarnya lebih dominan dalam upaya mengatasi masalah transport umum itu? Masalah pembagian trayek angkutan kota misalnya?

Kita mengamati di seputar Jabodetabek bahwa banyak trayek yang pemilihannya didorong oleh pengusaha transport sementara Dishub lebih berperan "tut-wuri handayani". Tengoklah trayek Senen-Lebak Bulus, mengapa yang pertama kali membuka trayek itu adalah pengusaha bus sedang Kopaja, padahal trayeknys angat panjang dan gemuk. Mengapa bukannya perusahaan bus besar yang diberi "jatah". Bus besar justru mengekor Kopaja, setelah melihat suksesnya tentunya tetapi tentu saja tidak berani menempuh jalur yang sama melainkan sedikit melingkar, dengan akibat penumpang kurang menyukai sehingga keberadaan bus besar tersebut tidak lama.

Penetapan trayek juga sering dirasakan tidak realistis. Tengoklah misalnya Mikrolet trayek 53 Mangga Dua - Pulogadung melalui Pademangan, PRJ Kemayoran, Cempaka Putih lalu putr balik masuk Pampung Rawa Cempaka PUtih Tengah, menyeberang melintaasi "Jakarta Bypass" masuk ke Pulomas Kayuputih Perintis Kemerdekaan Terminal Pulogadung.
TRayek ini dirasakan kurang realistis oleh supir, yaitu setelah memasuki kawasan elit Pulomas tidak ada satupun penumpang naik karena si mbak PRT pergi kepasar naik sepeda, motor bebek atau diantar supir. Maka supir mikrolet "berinisiatif menyesuaikan jalur" menjadi: setelah keluar dari PRJ Kemayoran, masuk Galur-Letjen Soepraptor langsung ke timur sampai masuk ke terminal Pulogadung. Jalur ini juga dirasakan cukup nyaman oleh penumpang dan Dishub merestui (entah resmi atau diam-diam) dan tidak merasa perlu memaksakan agar jalur sesuai keputusan pemerintah dipatuhi.

Jadi, dari analisis panjang lebar tersebut, ininya adalah bahwa Dinas Perhubungan, dalam menangani masalah transportasi kota ini, lebih suka mengutak-atik segi teknis saja sementara segi administratif/menajemen dibiarkan berlalu tanpa kesan. Padahal kendaraan yang digunakan dalam kiprah angkutan dijalankan oleh manusia, supir bus (kendaraan) dan dia adalah manusia yang pasti mempunyai keinginan diatur oleh manusia dan bukan oleh spanduk, rambu atau gambar seperti gambar sepeda motor yang dicatkan pada permukaann jalan raya: sepeda motor wajib jalur kiri dan nyalakan lampu.

Rambu dan instruksi semacam itu memang bagus tapi kalau pelaksanaan tidak diawasi oleh manusia yang kerbetulan mengtenakan seragam Dinas Perhubungan atau Polisi Lalu Lintas yang jangan menye4sal kalau pelaku lalu lintas yang menjadi sasarannya tidak peduli dengan semua tulisan dan gambar itu. Manusia mempunyai keinginan diatur oleh manusia (yang diberi wewenang), bukan diatur oleh benda mati.

Mungkin sudah terlalu lama pola pengaturan oleh benda mati ini ditrapkan sehingga dianggap sudah cukup; bahwa pada kenyataannya tidak ada yang menghiraukan pengaturan oleh benda mati itu seharusnya mendorong pemegang kekuasaan menyadari kekeliruan sistem yang telah terjadi sekian dasawarsa lamanya itu. Mungkin para pemegang kekuasaan itu sendiri bingung dan tidak bisa mengambil kesimpulan bagaimana mengatasi masalah itu?

Jika demikian, mengapa tidak mau belajar dari negara lain yang mempunyai tradisi melaksanakan dipatuhinya peraturan melalui pengawasan oleh manusia. Malysia mislnya: mengapa di sana bisa berlaku sistem orang menunggu angkutan umum di halte yang disediakan sementara di Indonesia kalau orang menunggu bus di luar halte, selalu dicari pembenarannya? Yang salah pelaku lalu lintas yaitu supir angkutan umum dan pengguna jasa angkutan umum, atau penguasa yang tidak berusaha dipatuhinya aturan yang dibuatnya sendiri?
Sabtu, 19 Juni 2010

ASURANSI MARITIM, G/A DAN P&I (lanjutan)

Sebagai ilustrasi bagi peristiwa General Average dapat disimak tayangan internet beberapa bulan yang lalu yang menunjukkan tumpukan peti kemas di atas geladak kapal, miring sampai sebagian tumpukan berada di luar garis lambung kapal. Kalau situasi itu dibiarkan beberapa saat lagi (dalam hitungan jam) diyakini kapal akan tenggelam.
Maka nakhoda mengambil keputusan membuang sebagian peti kemas dengan cara memotong batang besi pengikat tumpukan peti kemas (=lashing material) menggunakan mesin las bakar. Beberapa box peti kemaspun meluncur jatuh ke dasar laut tetapi kesetimbangan kapal dapat dijaga dan kapal dapat menyelesaikan pelayarannya dengan selamat.
Pada jaman angkutan laut menggunakan kapal general cargo carrier konvensional (belum ada kapal container), kapal yang menghadapi keadaan darurat dan dikhawatirkan tenggelam kalau tidak diambil langkah darurat, nakhoda mengambil keputusan membuang (sebagian) muatan ke laut; pertama-tama muatan yang ada di atas geladak kapal (deck cargo) dibuang kelaut dan kalau kapal dirasakan masih terlalu berat sehingga tidak dapat melawan laut bergelora dalam cuaca buruk itu, lambung kapal dibobol untuk memungkinkan muatan yang ada di palka didorong keluar dari kapal, mungkin masih ditambah lagi dengan menebang tiang(2) kapal (stanchions) dan dibuang ke laut.
Manuver kapalpun sudah dapat dilakukan dan kapal dapat berlayar menuju pelabuhan darurat untuk meminta pertolongan. Sudah disebutkan bahwa dalam peristiwa yang memerlukan pengambilan tindakan serba darurat itu, timbul pengeluaran biaya-biaya dan terjadi kerugian-kerugian. Biaya dan kerugian tersebut diganti oleh semua pihak yang berkepentingan dalam pelayaran itu, dengan cara mengumpulkan iuran.
Dalam peristiwa G/A biasanya tidak semua muatan mengalami kerusakan sehingga bagi pemilik muatan yang tidak mengalami kerugian sama sekali, tentunya dia tidak memperoleh ganti rugi tetapi tetap ditagih iuran untuk memberi ganti rugi.
Sudah disebutkan bahwa penyelesaian urusan claim G/A bukan masalah setahun atau dua tahun melainkan bisa mencapai belasan tahun. Oleh karena itu penluis menganjurkan agar pebisnis ekspor – impor memasukkan juga risiko average dalam polis asuransi maritim yang ditutupnya agar kalau kebetulan kapal yang mengangkut barang ekspor/impornya mengalami G/A, tidak ribet mengurusnya karena akan ditangani oleh penanggung (the insurer) yang memang sudah biasa menangani urusan itu. Eksportir atau importir (tergantung siapa yang menutup asuransi) cukup memberikan semacam surat kuasa kepada penanggung yang disebut Subrogation Letter dan kerugian karena terjadinya G/A tersebut dapat diclaim kepada penanggung melalui prosedur yang sama dengan claim lainnya.
Sementara tu dapat disebutkan bahwa dalam pelayaran kapal di laut, selain dapat mengalami peristiwa maritime perils “yang biasa” sebagaimana diatur dalam Insurance (Marine) Act 1996 Sectio 4, ada juga kemungkinan kapal terkena G/A tetapi itupun belum cukup. Masih ada beberapa jenis risiko lagi yang khusus dihadapi oleh pemilik kapal yang dioperasikan di laut itu dan kerugian karena risiko-risiko itu tidak dapat ditutup pada jenis usaha asuransi apapun selain pada Protection and Indemnity Club (biasa disingkat P&I club).
Kalau seseorang berkunjung ke kapal yang sedang berlabuh jatuh terpeleset di geladak kapal dan kakinya patah, pemilik kapal tersebut harus membayar biaya rumah sakit atas orang itu, sampi sembuh. Bagaimana kalau orang yang mengalami kecelakaan itu, mengaku kepada polisi yang melakukan penyelidikan atas peristiwa itu bahwa sebenarnya dia datang ke kapal untuk melakukan pencurian. Apakah pengakuan itu tidak membebaskan pemilik kapal dari kewajiban membiayai hospitalisasi orang itu? Jawabnya: tidak! Pemilik kapal tetap harus membiayai penyembuhan orang itu. Tetapi apa argumentasi atas keputusan yang dirasakan tidak adil itu?
Kapal yang sedang sandar di pelabuhan, seperti juga saat sedang berlayar, merupakan tanggung jawab nakhoda kapal itu beserta seluruh awak kapalnya yang nama dan jabatannya tercantum di dalam surat sijil kapal (crew list). Orang yang ingin naik ke kapal seharusnya dapat dicegah dan kalau itu terjadi, tidak ada orang yang mempunyai niat mencuri dapat naik ke kapal.
Hal yang pasti adalah bahwa biaya yang harus dibayar oleh pemilik kapal untuk menyembuhkan orang itu merupakan kerugian bagi pemilik kapal dan kerugian itu tidak dapat dialihkan kepada sistem asuransi yang manapun, kecuali asuransi P&I. Satu ilustrasi lain: awak kapal berkewarga-negaraan Indonesia menderita sakit di kapal dan setibanya kapal di pelabuhan Tokyo Jepang, dimasukkan ke rumah sakit untuk mendapat perawatan.
Ternyata setelah dirawat beberapa hari, dia meninggal dunia. Dalam kasus ini pemilik kapal bertanggung jawab membayar biaya rumah sakit dan biaya evakuasi awak kapal tersebut ke Indonesia dan lagi-lagi ini merupakan kerugian bagi pemilik kapal yang tidak dapat dialihkan ke sistem asuransi “yang biasa”.
Ada banyak lagi jenis-jenis biaya dan pengeluaran yang merupakan kerugian bagi pemilik kapal dan pencarian ganti ruginya hanya mungkin dilakukan melalui sistem asuransi Protection and Indemnity. Asuransi P&I bukan merupakan bentuk bisnis seperti asuransi yang lain-lain, melainkan merupakan suatu bisnis nirlaba di mana biaya yang harus dikeluarkan untuk mengikuti sistem ini bukan merupakan premi melainkan iuran.
Selanjutnya: lembaga yang mengelola sistem asuransi ini tidak berbentuk perusahaan (company, corporation) melainkan perkumpulan (club).
Hanya perusahaan atau perorangan yang memiliki kapal diterima sebagai peserta (anggota) sistem asuransi P&I club; keanggotaan ini tertutup bagi pihak lain. Dalam penutupan sistem penjaminan ditetapkan bahwa pemilik kapal (shipowner) dapat memilih sendiri jenis-jenis risiko apa yang sebaiknya dialihkan kepada P&I Club.
Kalau misalnya pemilik kapal tertentu beranggapan bahwa semua anak buah kapal miliknya tidak menghadapi risiko sakit selama bekerja di kapal, dia tidak perlu memasukkan risiko ke dalam sistem penjaminan P&I.
Cara kerja P&I adalah: iuran yang dipungut dari para pemilik kapal dalam satu tahun digunakan untuk menutupi kerugian kapal-kapal anggota club selama tahun itu dan kalau club mengalami defisit (jumlah iuran kurang dari nilai kerugian) maka iuran untuk tahun berikutnya dinaikkan. Demikian juga kalau jumlah kerugian dalam setahun yang sudah berjalan lebih kecil daripada jumlah iuran peserta (terdapat surplus) maka kelebihan itu dapat digunakan untuk memperkuat posisi kas club sementara iuran untuk tahun berikutnya mungkin dapat diturunkan.
Dari uraian terakhir itu dapat dilihat bahwa mekanisme asuransi P&I yang tidak mencari keuntungan itu, dijalankan dengan tingkat kejujuran yang paling prudent dan pengelolaannya dilakukan oleh orang-orang yang berdedikasi tinggi.

ASURANSI MARITIM, TERMASUK G/A DAN P&I

Pertama-tama penulis mohon maaf menampilkan judul dengan singkatan; masalahnya kalau judul tersebut ditulis lengkap jadi terlalu panjang. Maka lebih baik ditulis di dalam naskah saja yaitu bahwa Asuransi Maritim (dahulu disebut Asuransi Laut) adalah jenis asuransi kerugian, bukan asuransi jiwa, serupa dengan jenis-jenis asuransi kerugian lainnya semisal asuransi kebakaran, asuransi kebongkaran gedung bangunan dan sebagainya.
Ada bedanya memang, yaitu bahwa dalam asuransi maritim jenis risiko yang dijamin oleh perusahaan asuransi (penanggung, the insurer) tidak dapat ditetapkan secara tegas dan mutlak hanya satu jenis risiko kerugian.
Pada asuransi kebakaran, misalkan sebuah rumah yang terletak di tetapi jalan raya dipertanggungkan (diasuransikan) untuk risiko kerugian karena kebakaran, maka hanya peristiwa kebakaran sajalah yang mengharuskan penanggung membayar ganti rugi.
Bagaimana kalau rumah tersebut rusak hancur karena ditubruk truck? Tidak ada penggantian kerugian karena kontraknya jelas bahwa kerugian diganti kalau rumah terbakar. Bagaimana kalau rumah tersebut terbakar setelah ditubruk truck? Tetap tidak ada penggantian karena prosedur asuransi mempunyai dua prinsip penyebab terjadinya kerugian, yaitu prinsip causa proxima dan prinsip causa remota dan dalam asuransi kebakaran rumah tersebut digunakan prinsip causa proxima.
Prinsip causa proxima (penyebab yang dekat, penyebab langsung) menetapkan bahwa ganti rugi diberikan kalau kerugian terjadi karena penyebab yang dekat bagi terjadinya kerugian (poxima artinya langsung atau dekat). Kebakaran rumah yang terjadi karena kompor meleduk, rumah tersambar petir atau meteor, pesawat terbang yang jatuh menimpa rumah yang terbakar (ketika pesawat jatuh, sudah dalam keadaan terbakar).
Sementara dalam kasus rumah ditubruk truk, di mana setelah rumah ditubruk truck baru terbakar, maka peristiwa ditubruk truk merupakan penyebab yang jauh atas terjadinya kebakaran, jadi ganti rugi tidak diberikan .
Pada umumnya dalam asuransi kerugian, pemberian ganti rugi didasarkan pada terjadinya kerugian karena penyebab yang dekat, bukan pada penyebab yang jauh.
Disadari bahwa kalau rumah ditubruk truk, kemungkinan cukup besar bahwa rumah tersebut terbakar karena ada kompor meleduk akibat tubrukan itu, atau pipa gas terputus, atau kabel listrik putus sehingga terjadi korslet yang memicu kebakaran. Tetapi apakah dalam setiap peristia rumah ditubruk truck terjadi kebakaran?
Maka sebaiknya, kalau menutup asuransi kebakaran atas bangunan, rumah, dimasukkan juga risiko rumah terbakar setelah ditubruk truck kecuali kalau risiko rumah tersebut ditubruk truck memang tidak ada.
Memang ada penambahan premi asuransi tetapi besarannya mungkin tidak berarti. Dalam asuransi kebakaran, hampir pasti risiko gempa bumi juga dimasukkan sebagai penyebab terjadinya kebakaran sebab dalam banyak peristiwa gempa, banyak rumah terbakar.
Sementara itu dalam asuransi maritim sulit menetapkan peristiwa tertentu saja sebagai pemicu terjadinya kerugian karena dalam pelayaran di laut dapat terjadi lebih dari satu peristiwa di mana peristiwa-peristiwa tersebut terjadi secara bersamaan atau berturutan. Sebuah kapal yang mengalami cuaca buruk, angin kencang sehingga mendorong nakhodanya berlindung di pulau kecil yang kebetulan ada di dekat posisi kapal yang terkena badai itu, menunggu sampai badai berlalu baru kapal melanjutkan perjalanan. Apa lacur, dari balik pulau muncul perompak-perompak dan menjarah barang-barang di kapal.
Dalam persetujuan asuransi maritim pada masa lalu, disepakati tentang perils of the sea atau perils on the sea. Perils of the sea berarti: bencana laut (bencana karena laut) seperti ombak besar, badai, sedangkan perils on the sea adalah perils of the sea ditambah kerugian-kerugian karena perbuatan manusia, yang menimpa kapal dan atau muatannya. Tampak di sini bahwa rumusan perils on the sea lebih luas daripada rumusan perils of the sea.
Hukum Asuransi Maritim Indonesia yang disalin dari Kitab Undang-undagn Hukum Dagang warisan Belanda (Wetboek van Koophandel) masih didasarkan pada rumusan “perils of the sea” dan “seperti biasanya” DPR kita kurang peduli untuk membaharui pasal undang-undang kuno seperti itu. Mereka terlalu asyik mengurusi dana aspirasi daerah yang entah berdasarkan aspirasi siapa. Dalam kaitan ini anda bisa menyimak persidangan kasus Antasari Azhar saat ini di mana vonisnya antara lain menetapkan: “denda Rp.4.500.-“
Orang waras pasti bertanya apa-apaan ini, segelas wedang kopi saja tak dapat segitu. Tapi benar, Hakim tidak salah mengutip pasal undang-undang yang menetapkan hukum denda dengan tarip “sebesar” itu dan Hakim tidak boleh menginterpretasi bunyi undang-undang yang berlaku. Kalau Hakim diijinkan berinterpretasi, saya yakin dia akan “nyeletuk” tarip ini kan ditetapkan satu setengah abad yang lalu dan saat itu mata uang yang berlaku adalah Gulden Belanda berstandar emas, kalau digunakan untuk menetapkan vonis uang denda sekarang, besaran nominalnya harus disesuaikan dengan nilai uang sekarang dong (uang bersatandar emas berarti bahwa warga boleh menentang uang senilai tertentu, dibawa ke Bank Sentral atau Bank lain yang ditunjuk, untuk meminta agar uangnya itu diganti dengan emas murni dengan nilai yang sama). Apakah sekarang masih ada negara yang menerapkan sistem keuangan berstandar emas?
Juga disimak bahwa banyak polis arusani maritim di Indonesia disusun berdasarkan undang-undang Inggeris, Marine Insurance Act (MIA 1906) yang memberikan jaminan lebih lengkap dan lebih baik.
Undang-undang Asuransi Maritim Inggeris itu sudah diperbaharui dengan Insurance (Marine) Act, [RSBC] 1996 Chapter 230 di mana pada Section 4 point (3) ditetapkan: “Maritime perils” means the perils consequent on or incidental to the navigation of the sea, that is to say, perils of the seas, fire, war perils, pirates, rovers, thieves, captures, seizures, restraints and detainments of princes and peoples, jettisons, barratry and any other perils, either of the same kind or which may be designated by the policy).
Satu segi lain yang penting adalam asuransi maritim yaitu apa yang dikenal sebagai general average yang di dalam Insurance (Marine) Act 1996 ditatapkan dalam Section 67 di bawah judul General average loss.
Butir (1) dalam Section tersebut menetapkan: “A general average loss is a loss caused by or directly consequential in a general average act. It includes a general average expenditure as well as a general sacrifice.
Butir (2) menetapkan: “There is general average act if any extraordinary sacrifice or expenditure is voluntarily and reasonablye made or incurred in time of peril for the purpose of preserving the property imperilled in the common adventure.
Butir (3) menetapkan: “Subject to an express provision in the policy, if the assured has incurred a general average expenditure, the assured may recover from the insurer in respect of the proportion of the loss that falls on the assured. In the case of a general average sacrifice, the assured may recover from the insurer in respect of the whole loss without having enforced the assured’s right of contribution from the other parties liable to contribute.
Dalam artikel lain dalam blog ini penulis telah menyarankan wanti-wanti agar persetujuan asuransi yang ditutup atas barang yang diekspor atau diimpornya, pebisnis memasukkan juga risiko general average ke dalam polis, supaya kalau kapal yang mengangkut barang ekspor-impornya kebetulan mengalami peristiwa G/A, tidak repot mengurusnya sebab menyelesaikan urusan claim G/A bukan perkara satu dua tahun melainkan bisa belasan tahun.
Kalau risiko G/A juga diasuransikan, penanggung yang akan mengurusnya dengan G/A Adjuster (ahli atau perusahaan yang menyelesaikan urusan G/A). Pebisnis tinggal memberikan surat kuasa untuk penyelesaian itu, terutama surat yang dikenal sebagai Subrogation Letter. Sedangkan urusan ganti ruginya tidak berbeda dengan prosedur pada asuransi maritim “biasa”.
Ketentuan-ketentuan dalam Section pada Insurance (Marine) Act 1996 ini mengatur tentang general average dalam hubungannya dengan penanggung (the insurer, penanggung).
Adapun yang disebut general average itu sendiri adalah “biaya-biaya dan kerugian yang dengan sengaja dibuat/dikeluarkan dalam keadaan darurat, dengan tujuan untuk menyelamatkan kapal dan muatannya”. Menyelamatkan kapal di sini berarti bahwa kapalnya tetap terapung (tidak tenggelam) dan dapat dibawa ke pelabuhan darurat untuk meminta bantuan lebih lanjut. (Pelabuhan darurat yaitu pelabuhan yang tidak direncanakan disinggahi oleh kapal yang mengalami bencana itu). Pelabuhannya sendiri mah biasa-biasa saja, bukan pelabuhan yang porak poranda (ada lanjutannya).
ARITIM, TERMASUK G/A DAN P&I
Kamis, 17 Juni 2010

SHIPMENT TRANSFORMATION

Sistem transportasi barang ekspor-impor menggunakan peti kemas (container) mulai dikenal di Indonesia pada awal tahun tujuhpuluhan di mana pada saat itu sistem pelayaran peti kemas masih belum beroperasi di Indonesia. Barang impor Indonesia yang dikapalkan ke Indonesia dalam peti kemas di bongkar di pelabuhan Singapura dan dari sana dilanjutkan ke Tanjung Priok menggunakan kapal pengumpan (feeder ship).
Bersamaan dengan itu juga mulai meruak kegiatan usaha freight forwarding, ditandai dengan kedatangan satu dua orang bule (pelaku freight forwarding) ke Jakarta, menyewa ruang satu pada bank devisa dan merekrut satu dua orang Indonesia sebagai asisten.
Sebelum kedatangan orang bule pelaku bisnis freight forwarding itu, kegiatan pengapalan barang ekspor impor di Indonesia dilayani oleh perusahaan ekspedisi muatan kapal laut (EMKL) dan juga ekspedisi muatan kapal udara (EMKU) yang hanya mengurusi formalitas pengiriman barang, terutama formalitas pengurusan dokumen-dokumen kepabeanan sedang teknis pengiriman barang dikerjakan senditi oleh eksportir/importir atau oleh agen lain. Perkembangan usaha freight forwarding berjalan cukup cepat dan saat ini banyak perusahaan forwarding sudah berkembang menjadi usaha logistik.
Yang perlu diutarakan adalah bahwa perusahaan freight forwarding menawarkan sekitar duapuluh jenis kegiatan pengurusan ekspor, mulai dari mengurus ijin ekspor kalau barang yang diekspor memerlukan ijin tertentu, mengepak barang dan men-stuff-nya ke dalam peti kemas dan seterusnya sampai barang yang diekspor itu diterima importirnya yang berlokasi jauh di pedalaman negara pengimpor.
Jasa-jasa forwarding apa yang diperlukan oleh eksportir tergantung permintaan eksportir (dan importir) karena banyak eksportir/importir yang merasa tidak perlu mengerjakan formalitas pengiriman barang apapun, kegiatan itu dipercayakan semua kepada perusahaan lain, di samping ada yang justru mengerjakan sendiri semua kegiatan itu.
Dalam prosedur pengapalan muatan peti kemas eksportir diberi keleluasaan melaksanakan pengapalan barang kurang dari satu peti kemas (less than container load, LCL) sementara eksportir lainnya mengapalkan barang ekspor satu peti kemas penuh (full container load, FCL) atau lebih sekali pengapalan.
Eksportir yang mengapalkan barang satu peti kemas (atau lebih) dapat memperoleh manfaat lebih banyak, termasuk biaya pengangkutan (reight) yang lebih murah karena ditetapkan berdasarkan box rate (tarip angkutan per satu peti kemas) yang besarnya kira-kira 65% dari jumlah yang harus dibayar untuk kwantitas barang yang sama jika semua dan masing-masing barang yang berjumlah sedikit itu dikapalkan sebagai brekbulk goods yang masing-masing dikenakan tarip individual per ton atau M3 (40 cubic feet).
Di sisi lain eksportir yang mengapalkan barang kurang dari satu peti kemas setiap kali pengapalan dapat menyerahkan barang ekspornya yang dalam kondisi breakbulk kepada agen perusahaan pelayaran yang mengoperasikan Port CFS. Container Freight Station (CFS) adalah gudang yang digunakan untuk melakukan konsolidasi barang ekspor breakbulk, yaitu barang yang dikemas dalam kemasan ekspor tradisional seperti peti/krat, karton dan lain-lain. Konsolidasi adalah penggabungan barang-baran breakbulk ke dalam satu peti kemas agar bisa dimuat ke kapal karena dalam sistem angkutan peti kemas minimum pengapalan adalah satu peti kemas.
Pengapalan kurang dari satu peti kemas dapat dilayani dengan ketentuan barang-barang digabungkan (di-konolidasi-kan) dengan barang-barang lain yang dikapalkan ke pelabuhan yang sama, ke dalam peti kemas yang akan diangkut ke pelabuhan itu. Tentu penggabungan itu harus memenuhi syarat-syarat tertentu terutama bahwa barang-barang itu tidak saling merusak.
Pengapalan barang breakbulk melalui Port CFS kurang disukai oleh kebanyakan exportir karena prosesnya lama; mereka lebih menyukai prosedur lain, yaitu pengapalan melalui Private CFS yang berlokasi di luar pelabuhan.
Freight forwarder yang mengoperasikan Private CFS dan menerima penyerahan breakbulk goods dari banyak eksportir yang mengapalkan barang ke satu pelabuhan tujuan yang sama, melakukan praktek shipment transformation (pengubahan pengapalan) yaitu sekian banyak breakbulk shipments yang diterima dari eksportir-eksportir dan sudah dikonsolidasika ke dalam sekian box peti kemas FCL, dikapalkan sebagai satu shipment FCL. Tidak dikapalkan sebagai sekian banyak shipment LCL seperti praktek yang dijalankan pada pengapalan breakbulk melalui Port CFS.
Praktek pengubahan pengapalan ini pada awalnya tidak disukai oleh ocean carrier, perusahaan pelayaran internasional yang benar-benar melaksanakan pengangkutan muatan peti kemas, karena hal-hal sebagai berikut:
a. Mencari dan mendapatkan muatan peti kemas FCL merupakan “hak prerogatife” reder, perusahaan pelayaran internasional, ocean carrier;
b. Freight forwarder penyelenggara Private CFS menerima barang breakbulk dari eksportir-eksportir dan memungut biaya angkutan berdasarkan tarip individual per tonne/40 cubic feet teapi setelah dikonosolidasikan ke dalam peti kemas dikapalkan sebagai FCL shipment dengan biaya berdasarkan box rate yang lebih murah untuk keuntungan freight forwarder.
Para freight forwarders menyanggah keberatan ocean carriers itu dengan mengajukan argumentasi sebagai berikut:
1. Tindakan konsolidasi barang breakbulk ke dalam peti kemas membantu eksportir mengerjakan kegiatan yang tidak menjadi keahliannya;
2. Pengenaan freight muatan breakbulk LCL yang dilakukan oleh freight forwarder tidak ada berbeda dengan yang dilakukan oleh Port CFS yang juga memnungut individual freight rate per tonne atau per M3/40 cubic feet;.
3. Pengapalan FCL cargo oleh freight forwarder tidak ada bedanya dengan yang dilakukan oleh eksportir sendiri, jadi keberatan ocean carrier atas hal itu tida ada alasannya
4. Kegiatan freight forwarder melakukan konsolidasi barang ekspor dan mengapalkannya sebagai FCL shipment membantu mempercepat despatch kapal di pelabuhan dan hal ini menguntungkan ocean carrier;
5. Tarip-tarip biaya pengangkutan ditetapkan sendiri oleh ocean carrier (tepatnya oleh Freight Conference terkait) dan freight forwarder hanya menerapkan saja peraturan tarip itu;
6. Atas sekian banyak barang ekspor konsolidasi yang dikumpulkan oleh freight forwarder, ocean carrier tidak keberatan menekan lebih lanjut biaya pengangkutan (freight) dengan menutup persetujuan slot charter yang biayanya dapat dinegosiasi di mana margin lebih besar yang diperoleh freight forwarder dapat dikembalikan kepada eksportir sebagai cash back, membebaskan eksportir dari biaya penjemputan barang dari gudang eksportir di pedalaman, biaya stuffing/cargo consolidation dan lain-lain yang berdampak pada penekanan biaya ekspor.
Tentangan ocean carrier atas kiprah freight forwarder melakukan praktek shipment transformation tidak berlangsung lama, hanya sekitar limabelas tahun sejak mulai berkembangnya sistem angkutan peti kemas. Awal dasawarsa delapan puluhan ocean carrier sudah mengakui bahwa kegiatan freight forwarder melakukan praktek shipment transformation justru membantu operasi pelayaran mereka, bukannya merugikan.
Praktek shipment transformation memang dapat mempercepat despatch kapal di pelabuhan, suatu hal yang sangat penting karena kapal yang terlalu lama berada di dalam pelabuhan akan mengurangi produktivitasnya karena produksi jasa pelayaran berlangsung saat kapal berlayar di laut dan bukannya saat berada di pelabuhan.
Kalau kapal hanya mengandalkan pengapalan muatan FCL yang dikerjakan oleh eksportir sendiri, pelayanan kapal lebih lamban (ada lanjutannya: Bagaimana forwarder menekan ocean freight).

KESALAHAN TEKS PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA

Pernahkah terbersit dalam memori anda bahwa teks proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dirancang oleh para pendiri bangsa kita dahulu (founding fathers) sebenarnya mengandung kesalahan atau kekurangan, yang membawa dampak bahwa negara kita tercinta yang sudah merdeka hampir 2/3 abad belum juga maju-maju terutama di bidang penyelenggaraan negara (staats beheer?
Kalau kita renungkan sebenarnya ada “sedikit” kekurangan teks proklamasi, yaitu kurang frasa “... ,(koma) pengalihan ketrampilan tata kelola negara”, kekurangan yang menahan kemajuan negara tercinta.
Di alam teks proklamasi kemerdekaan RI, seyogyanya, sebelum bagian “... dan lain-lain ...”, ada frasa “..., (koma) pengalihan ketrampilan tata kelola negara ...”.
Jadi lengkapnya teks proklamasi kemerdekaan Indonesia seyogyanya berbunyi “Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang berkenaan dengan pemindahan kekuasaan, pengalihan ketrampilan tata kelola negara, dan lain-lain dijalankan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”
Jika proklamasi kemerdekaan berbunyi seperti itu, diyakini saat ini kondisi Indomesia jauh lebih bagus, lebih maju, karena sesaat setelah teks proklamasi kemerdekaan dibacakan, para pemimpin bangsa kita itu, paling sedikit ada satu atau dua orang yang menyadari bahwa Indonesia yang baru saja merdeka dan berdaulat, belum mempunyai ketrampilan mengelola negara karena pejuang-pejuangnya tidak mempunyai riwayat menata negara dengar benar, kecuali sedikit yang berkarier di instansi pemerintahan jajahan. Mereka itupun, diragukan, apakah benar mempunyai ketrampilan atau sekedar menjalankan pekerjaan sesuai perintah atasannya saja.
Adanya kesadaran bahwa bangsa Indonesia yang baru saja merdeka belum mempunyai ketrampilan mengelola negara, membuat para pemimpin seyogyanya segera merancang resolusi untuk diajukan kepada PBB, agar PBB memerintahkan Belanda, sebagai mantan penjajah, memberikan pelatihan bagi para pejabat tinggi negara yang baru merdeka itu mengenai tata cara mengelola negara, sesuai pakem.
Terkait dengan kemajuan bangsa kita, teringatlah kita kepada (sebagian) petinggi negara yang pada satu dua dasawarsa yang lalu gemar mengucapkan sindiran tertuju kepada negeri jiran, adik kita, Malaysia, yang bernada sarkastis, katanya: “Beda dong dengan kita! Malaysia mendapat kemerdekaan yang teks proklamasinya diserahkan oleh mantan penjajah di atas talam perak (atau: emas)?”
Sindirian itu masih ditambah lagi dengan ungkapan yang lebih halus: “Susah ya mencari taman makam pahlawan di Malaysia”
Sindiran-sindiran tersebut, yang bernuansa kebanggaan bahwa Republik Indonesia dibangun dari tetesan terakhir darah pejuang kemerdekaan yang gugur membuang nyawa mengusir penjajah Belanda. Rasa kebanggaan yang sangat beralasan tentunya, dan sekaligus merupakan tali pengikat rasa kebangsaan yang tidak lekang oleh musim yang silih berganti.
Namun sahabat, perlu diingatkan bahwa di atas talam emas di mana teks proklamasi kemerdekaan negara Malaya diletakkan, juga disiapkan kitab Tata-kelola Negara, disertai catatan wanti-wanti agar ajaran dan tuntunan yang tercantum di dalam kitab itu diajarkan secara penuh untuk diaplikasikan secara konsisten dan tanpa salah. Maka jangan salahkan Malasyia kalau tata kelola negara mereka sekarang cukup mantap sementara kita masih tertatih-tatih mencari rumus yang belum juga ketemu. Di Malaysia misalnya, orang bisa tertib antri di halte bis, sementara di Jakarta halte bis yang dibangun dengan biaya mahal, menjadi “kamar tidur” gelandangan.
Menyangkut perjuangan merebut kemerdekaan kita, sejarah mencatat bahwa para pejuang kemerdekaan kita dahulu terbagi ke dalam dua kelompok pejuang yaitu “kelompok non” dan “kelompok co”.
Kelompok “non” (non-cooperative to the colonialist) yang didominasi oleh anak-anak muda pelajar kelas I dan kelas II SMA (dan sederajad) sementara pelajar kelas III tidak ikut bergabung karena sibuk mempersiapkan diri untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi di tanah air atau di seberang (negeri Belanda).
Kelompok non berjuang penuh dengan heroisme di bawah slogan “merdeka ataoe mati”, menetapkan prinsip dan strategi perjuangan mengusir penjajah Belanda tanpa kompromi, pokoknya penjajah Belanda harus hengkang dari bumi Nusantara, titik. Slogan “merdeka ataoe mati” diteriakkan oleh semua insan yang mengaku berbangsa Indonesia dan sampai hari inipun kita tetap dapat membaca slogan heroik itu pada kereta cowboy, pada tayangan layar kaca.
Pejuang-pejuang “kelompok non” ini mendirikan basis perjuangan di Jawa Timur, Jawa Tengah dan sebagian Jawa Barat (dan di wilayah-wilayah lain tentunya tetapi yang paling solid adalah yang berjuang di ketiga wilayah tersebut). Pejuang di Jawa Timur menamakan kelompoknya: TRIP, singkatan dari Tentara Republik Indonesia Pelajar sedangkan yang di Jawa Tengah dan Jawa Barat menamakan kelompoknya TP (Tentara Pelajar).
Adapun “kelompok co” kurang mendapat tempat dalam kancah perjuangan merebut kemerdekaan karena kelompok ini menetapkan strategi perjuangan merebut kemerdekaan sambil tetap menjalin kerja sama dengan Belanda, guna mengunduh ketrampilan tata kelola negara yang (sebagian telah) mereka kuasai berkat sekian tahun bekerja pada kantor gubernemen. Ketrampilan tata kelola negara yang diunduh dari penjajah Belanda itu nantinya ditrapkan saat Indonesia merdeka telah sepenuhnya dikelola oleh orang Indonesia karena orang Belanda sudah hengkang.
Sebenarnya strategi perjuangan kelompok co tersebut cukup rasional tetapi karena suasana yang bersemangat tinggi ingin secepatnya mengusir penjajah tanpa kompromi, dominasi “anak-anak sekolahan” yang maju ke medan laga dengan menyandang bambu runcing dan senjata sederhana lainnya, maka kelompok co memilih untuk memberi support saja dari jauh. Lagi pula kiprah perjuangan kelompok co yang terdiri dari para ambtenaar, pedagang dan pengusaha, priyayi dan kaum mapan lainnya, dapat segera mengundang kecurigaan para “non” bahwa nantinya kaum “co” toh akan membawa balik sistem penjajahan Belanda.
Maka kaum co, lebih jauh memilih untuk lebih baik menikmati saja apa yang sudah mereka peroleh, toh mereka tidak diganggu oleh kaum non kalau tidak ikut “cawe-cawe” dalam perjuangan itu; malahan sebagian ada yang memilih ikut hengkang ke negeri Belanda.
Kalau kita dapat berfikir secara nuchter, memang sebenarnya untuk membangun Indonesia baru yang merdeka dan berdaulat diperlukan bantuan mantan penjajah yang telah terbukti dapat menjalankan tata kelola negara secara efisien dan efektif, permintaan bantuan mana namun demikian harus didasarkan kepada hubungan yang bersifat lugas, zakelijk, berdasarkan azas ketrampilan semata-mata serta tentunya sesuai azas kesetaraan.
Yang sudah kita alami adalah, negara Republik Indonesia yang terbentuk sebagian (besar) karena hasil perjuangan kelompok non, dikelola dengan cara seadanya, karena anak-anak muda peringkat SMA itu kan memang tidak mempunyai riwayat tata kelola negara, belajar ilmu itupun belum pernah. Tetapi jiwa muda dan idealisme mereka sangat kental.
Kita lihat pula dari catatan sejarah: setelah masuk ke dalam jajaran pengelola negara, para mantan kelompok non tersebut melihat bahwa untuk menjalankan negara diperlukan banyak dana dan mereka pun melihat bahwa saluran penghasil dana itu terutama adalah Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang bernaung di bawah Departemen Keuangan.
Terdorong oleh obsesi ingin mengelola dan memperoleh pendapatan dana sabanyak-banyaknya untuk membangun negara, tidak mengherankan bahwa pasca perang kemerdekaan, para (mntan) eksponen TRIP dan TP tersebut tumplek bleg mengisi jabatan/jabatan strategis pada kedua Ditjen tersebut.
Para (mantan) TRIP dan TP yang mengisi jabatan-jabatan kunci pada Ditjen Pajak dan Ditjen BC, setelah mulai menjalankan tugas mengupayakan perolehan pendapatan negara (sebanyak-banyaknya), segera menyadari bahwa dibalik kiprah mengurusi pemasukan uang negara, kantong celana mereka sendiri ternyata kempis. Kalau begitu, apa salahnya “mengambil sedikit” dari uang yang mereka kelola itu, guna meningkatkan harkat dan martabat keluarga mereka, dan atau “untuk belanja dapur”.
Juga dicatat bahwa definisi “sedikit” itu tak diketahui ukurannya. Maka tidak usahlah kita heran kalau sebelum satu dasawarsa dari proklamasi kemerdekaan, sudah timbul mega korupsi yang “debutnya” diawali oleh Abu Kiswo, petinggi Ditjen Bea dan Cukai (tahun 1952).
Seandainya, ya seandainya frasa tambahan teks proklamasi kemerdekaan tersebut ada, maka pada tahun-tahun awal kemerdekaan, Indonesia, dengan bantuan negara-negara sahabat yang bersimpati, dapat memaksakan suatu resolusi PBB untuk memaksa agar mantan penjajah Belanda memberikan pendidikan pelatihan tata kelola negara kepada negara Republik Indonesia, yang baru merdeka itu.
Tetapi ya sudahlah kita jalani saja apa yang sudah terjadi, yang penting kita mendukung sepenuhnya kprah KPK menhantam habis tikus-tikus pemangsa uang negara. Amin.
Sabtu, 12 Juni 2010

KESALAHAN PACKER YANG MEREPOTKAN

Blogger pernah mengalami peristiwa unik yang membikin repot banyak orang, peristiwa yang berawal dari kesalahan packer di Sydney sana, saat melakukan stuffing barang ke dalam peti kemas yang diekspor kepada perusahaan di mana blogger bekerja. Mungkin kesalahan itu terjadi karena terburu-buru menyelesaikan pekerjaan (karena tertekan oleh closing time pada perusahaan container operator.
Yang pasti, blogger mendapat shipment 3.000 kantong Skimmed Milk Powder di dalam enam box peti kemas berukuran 20’ tetapi di dalam peti kemas keenam terdapat 6 jarton barang lain ditambah tiga drum besar berisi barang yang bukan barang yang biasa kami impor dan masih ada lagi dua bal kain-kain, semuanya barang-barang yang tidak dikenal.
Akibatnya sudah dapat diduga: pegawai Bea dan Cukai yang bertugas mengawasi Gudang Entrepot yang dioperasikan oleh pabrik tempat blogger bekerja, diblokir, tidak boleh melakukan kegiatan karena importir (yang memiliki gudang entrepot tersebut) melakukan penyelundupan (sekarang gudang entrepot berganti nama menjadi “gudang berikat”, fasilitas untuk menyimpan barang impor yang belum melunasi pembayaran bea masuk).
Sebagai import manager yang berpengalaman di bidang shipping, blogger segera mengirim fax kepada eksportir di Sydney, menanyakan apa yang sebenarnya terjadi sehingga kami dituduh melakukan penyelundupan yang kami sendiri tidak tahu menahu. Jawaban segera kudapat sebagai berikut: peti kemas keenam masih memiliki ruang kosong ira-kira 20%, oleh cargo packer dimanfaatkan untuk “menitipkan” barang untuk importir lain (berupa 6 karton tersebut) dan karena belum penuh, ditambah lagi dengan 3 drum berisi air tawar sedangkan bal kain perca hanya sebagai pengganjal supaya penuh.
Sementara itu petugas Bea dan Cukai yang bertanggung jawab mengawasi gudang entrpot sudah mengetahui importir yang kehilangan 6 karton barang impornya, maka diundang sekalian ke pabrik untuk menyaksikan pembukaannya oleh Pabean.
Betul saja, importir yang kehilangan barangnya itu menemukannya terbawa ke dalam container yang diekspor kepada perusahaan blogger dan betul juga drum berukuran 200 liter berisi air tawar dan kain-kain gombal yang tidak berharga itu hanya sebagai penganjal. Ya, sudah selesai dan semua pihak tersenyum simpul mengingat packer yang bekerjda serampangan.

Bill of Lading bhinneka tunggal ika, apakah itu?

Dalam sistem angkutan peti kemas terdapat suatu aturan yang menetapkan bahwa Pertama, minimum pengapalan barang menggunakan kapal peti kemas (container ship) adalah satu peti kemas. Kedua, untuk setiap peti kemas yang dikapalkan, hanya dapat dikeluarkan satu dokumen pengangkutan, ocean bill of lading.
Di sisi lain banyak pedagang ekspor/impor atau wirausahawan lain yang skala bisnisnya kecil (dalam volume/kwantitas tetapi mungkin besar dalam nilai) di mana setiap kali mengirimkan barang yang ditransaksikan bersama mitra bisnisnya di negara lain, jumlahnya tidak sampai satu container.
Peti kemas, container standard yang dikenal dengan sebutan twenty-footer container, berukuran panjang 20’ (duapuluh feet, sekitar 6m lebih) dengan daya angkut 15-24 ton tergantung jenis barang yang ditransaksikan dan ukuran ruang dalamnya (volume) 67 meter kubik).
Lalu bagaimana menghubungkan aturan “satu peti kemas, satu bill of lading itu, dengan pengapalan yang kurang dari peti kemas itu? Apakah eksportir kecil yang setiap kali mengekspor hanya seper-sekian container, harus menggunakan satu peti kemas, dengan konsekwensi membayar biaya untuk satu petikemas penuh? Dengan perkataan lain: membayar ruangan peti kemas kosong? Itu ‘kan tidak adil?
Ternyata bagi eksportir yang mengirim barang dalam jumlah sedikit itu ada solusi yang tidak mengharuskan mereka membayar biaya satu peti kemas untuk pengiriman barang yang hanya seper-sekian peti kemasitu (less than container load, LCL) itu. Ada dua pilihan yang tersedia, yaitu:
Pilihan pertama: menyerahkan barang yang dikirimkannya itu langsung kepada agen perusahaan pelayaran di pelabuhan dan cara kedua memanfaatkan prosedur shipment transformation di mana cara kedua ini justru memberi kesempatan kepada shipper/eksportir untuk memperoleh cash back dari perusahaan yang mengatur shipment transformation.
Pada kesempatan bahasan kali ini penulis akan menyampaikan tentang pengapalan barang breakbulk degan penyerahan langsung dari tangan eksportir kepada agen perusahaan pelayaran yang mengelola Port CFS di pelabuhan. Container freight station adalah gudang satu-satunya di dalam pelabuhan peti kemas, di mana perusahaan pelayaran (ocean carrier) menerima barang breakbulk (yaitu barang dalam kemasan ekspor tradisional (konvensional) dari eksportir yang mengirimkan barang kepada importirnya di negara lain)
Untuk pengangkutan yang melibatkan prosedur shipment transformation diutarakan pada kesempatan lain.
Beberapa breakbulk shipments yang diterima dari beberapa eksportir di hinterland, oleh agen yang mengelola Port CFS tersebut dikonsolidasikan ke dalam satu peti kemas yang akan diangkut kepelabuhan tertentu, yang sama dengan pelabuhan tujuan dari breakbulk shipments yang ada.
Kembali kepada keperluan dokumentasi pengangkutan barang, shipping document, ditegaskan di sini bahwa untuk pengangkutan satu peti kemas konsolidasi tersebut, oleh perusahaan pelayaran yang melaksanakan pengangkutan diterbitkan satu nomor bill of lading dari jenis Consolidated Ocean Bill of Lading.
Mengingat bahwa sesungguhnya peti kemas tersebut berisi, katakanlah 5 shipment LCL, maka satu nomor Consolidated Ocean B/L tersebut harus dilengkapi dengan lima B/L supaya masing-masing eksportir yang mengirimkan barang dan juga importirnya mempunyai dokumen untuk memungkinkannya mengurus L/C atau urusan bisnis lainnya secara independen tidak perlu mengingat apa yang diperlukan oleh eksportir/importir lain, walaupun barangnya sama-sama berada di dalam satu container yang sama.
Untuk pengangkutan konsolidasi/gabungan, penggabungan barang yang berasal dari beberapa eksportir ke dalam satu peti kemas tersebut dilaksanakan dengan tetap mematuhi prinsip “satu peti kemas, satu bill of lading” nsamun satu B/L induk itu dilengkapi dengan lima “anak B/L” (split B/L) sesuai banyaknya shipment kecil-kecil yang “disetorkan oleh lima eksportir”. ).
Bill of Lading induk memuat beberapa informasi yang juga terdapat di dalam anak B/L tetapi beberapa informasi lainnya tidak ada di dalam B/L induk melainkan hanya ada di dalam anak B/L.
Secara keseluruhan jenis-jenis informasi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Informasi yang ada pada B/L induk dan juga pada split B/L yaitu 1. pelabuhan pemuatan dan pelbuhan tujuan, 2. nama kapal dan nama nakhoda kalau perlu, 3. nomor B/L, 4. nomor peti kemas (container serial number), 5. nomor gembok (padlock number), 6. nomor meterai peti kemas (container seal number), 7. jumlah uang tambang yang dibayar untuk semua barang dikonsolidasikan di dalam peti kemas tersebut, tanpa rincian
b. Informasi yang ada di dalam split B/L dan tidak ada di dalam mother B/L yaitu: 8. nama eksportir sebagai shipper, 9. nama importir sebagai consignee, 10. rincian barang yang dikapalkan (sekian collie dan jenis kemasan yang digunakan, jenis barangnya, berat barang, volumenya dalam M3 atau cubic feet, 11. uang tambang/freight (tarip per freight tonne dan gross freight serta rebate yang diberikan dan nett freight yang harus dibayar oleh shipper.
c. Catatan: banyak B/L yang tidak mencantumkan informasi tentang jumlah-jumlah tersebut melainkan hanya menuliskan freight payable as arranged. Blogger berpendapat bahwa ini adalah akal-akalan untuk menyembunyikan informasi pemberian rebate dan sebagainya itu sudah waktunya ditiadakan; sudah waktunya informasi tentang rate of freight dan rebate dicantumkan dalam B/L.
Kamis, 10 Juni 2010

Menerapkan Kebijakan Cabotage (lanjutan)

Kalau blogger sudah berhasil meyakinkan anda tentang begitu besarnya hajatan penerapan kebijakan cabotage oleh pemerintah Indonesia, barangkali blogger boleh bertanya: dari mana memulai hajatan besar lima komponen cabotage itu?
Barangkali pula boleh disepakati bahwa negara maritim (yang besar) perlu memiliki armada niaga nasional yang besar, kuat dan tangguh, termasuk memiliki galangan-galangan kapal yang mempunyai daya produksi meyakinkan. Sayangnya semua itu saat kini langka, termasuk Bapak Soedarpo Sastrosatomo (alm) yang selama beberapa dekade dicatat, diakui sebagai raja kapal Indonesia, justru memilih untuk mengeliminasi pengakuan itu; catatan itu, sekarang justru berbalik: beliau jadi tidak lagi mempunyai kapal Indonesia.
Catatan: sinyalemen in tidak sepenuhnya benar karena “berkah” deregulasi bidang kemaritiman pada dekade delapan-puluhan yang menjungkir-balikkan definisi pelayaran antar pulau Indonesia, pak Darpo mengambil langkah bisnis spektakuler yang akan disebutkan berikut ini.
Serangkaian peraturan-peraturan Pemerintah yang diterbitkan dalam bulan November 1988, dikenal sebagai Paknov 88 membebaskan pengusahaan pelayaran niaga antar pulau di Indonesia oleh siapa saja (baca: kapal-kapal berbendera ngara asing boleh beoperasi dalam pelayaran antar pulau Indonesia).
Dengan adanya deregulasi ini, menurut hitung-hitungan pak Darpo sebagai pengusaha profesional, beliaumerasa tidak perlu lagi memiliki kapal berbendera merah putih. Maka pak Darpo yang juga adalah pahlawan perang kemerdekaan RI, selain juga sebagai pengusaha bidang maritim yang handal, pebisnis sejati menghitung bahwa lebih menguntungkan menjadi agen perusahaan pelayaran lain, asing ketimbang menjadi reder dalam bisnis pelayaran antar pulau (tidak ada perubahan dalam kiprah beliau dalam bisnis pelayaran internasional).
Ujung-ujungnya, raja kapal Indonesia itu menjual semua kapalnya kepada perusahaan di Singapura sehingga kapal-kapalmiliknya menjadi tidak lagi berbendera merah putih. Catatan lagi: secara “de facto”sebenarnya pak Darpo masih menjadi raja kapal tetapi tidak dapat disebut sebagai raja kapal Indonesia karena kapal-kapalyang dijualnya itu tetap berada di bawah kepemilikannya karena si pembeli kapal adalah perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Singapura namun pendirinya adalah mbak Shanti, puteri pak Darpo sendiri. Begitulah akhir cerita akhir kerajaan kapal Indoneia.
Lalu apa ide blogger menyangkut kepemilikan kapal Indonesia oleh investor Indonesia, guna menunjang pelaksanaan penerapan azas cabotage? Terlebih dahulu ijinkan blogger menceritakan pembinaan armada niaga negara maritim terkemuka dunia, Jepang beirkut ini.
Pengunjung web ini yang sudah berusia di atas 60 tahun barangkali masih ingat bahwa dahulu, kalau membeli barang buatan Jepang, mendapati teraan “Made in Occupied Japan” pada barang yang dibelinya itu. Teraan itu berarti bahwa barang tersebut buatan Jepang yang diduduki (oleh tentara sekutu, pasca perang dunia II).
“Sesaat” setelah status Jepang sebagai negara yang diduduki diakhiri, medio dasawarsa enampuluhan, pembinaan potensi kemaritiman Jepang secara menyeluruh dimulai, termasuk penguatan potensi galangan-galangan kapal yang ada di semua pulau-pulau Jepang. Tidak perlu diceritakan bahwa order pembangunan kapal-kapal yang dibiayai oleh APBN Jepang, disebar secara merata kepada galangan-galangan kapal nasional termaksud.
Dampak positifnya adalah: semua galangan kapal di Jepang berkembang dan mempunyai kapasitas (besar) yang seragam; dampak positifnya lebih lanjut: masa pembangunan kapal di Jepang hanya enam bulan, berapa besar pun tonase kapal yang dipesan. Lho, kok bisa, di saat Indonesia masih berkutat dengan pembangunan kapal selama (lebih dari) dua tahun atau paling tidak, lebih dari satu tahun, berapa kecil pun tonase kapal yang dibangun.
Apa yang dapat dilihat dari masa pembangunan kapal yang singkat itu? Cost of money bung! Umum diketahui bahwa pemesan kapal (diharapkan) menyediakan dana awal sebesar 10% dari biaya pembangunan kapal sementara sisanya sebesar 90% dikumpulkan dari “setoran” pihak-pihak yang terlibat dalam operasi kapal, setelah kapal diterima oleh pemesan dari galangan. Dengan waktu pembangunan kapal yang hanya enam bulan, jelas bahwa harga kapal (sangat) rendah karena biaya “cost of money” sangat kecil.
Dengan waktu pembangunan kapal (di Indonesia) satu tahun lebih, bagaimana harga kapal buatan Indonesia dapat bersaing dengan kapal yang dibangun di negara maritim lain (bukan hanya Jepang)? Ini merupakan masalah besar yang harus dihadapi Indonesia jika ingin meningkatkan potensi pelayaran niaganya.
Masa pembangunan kapal di negara maritim maju yang (sangat) singkat itu dimungkinkan karena pembangunan kapal di sana dilakukan secara “gotong royong” oleh empat atau lima galangan yang masing-masing mengerjakan satu modul (satu potong/bagian) kapal sementara pembangunan mesin-mesin kapal, baik mesin induk (main engine) maupun mesin-mesin bantu (auxiliary machinery) dipercayakan kepada satu perusahaan pembuat mesin atau satu consorsium pembuat mesin.
Tiap-tiap galangan harus menyelesaian pembangunan modul kapal yang menjadi tanggung jawabnya selama tiga bulan, secara bersamaan) sementara jadwal penyelesaian pembangunan mesin-mesin diatur tersendiri berhubung mesin induk dan mesin-mesin lain yang lebih kecil baru dipasang setelah modul-modul yang sudah selesai dikerjakan, sudah tersambung menjadi satu unit kapal yang utuh.
Semua modul kapal yang sudah selesai dibangun, disetorkan kepada galangan koordinator (blogger sebut saja begitu) untuk disambung dalam waktu satu bulan.
Beres menyambung-nyambungkan tubuh kapal (hull), dilanjutkan dengan pemasangan mesin-mesin, juga dalam waktu satu bulan dan diakhiri dengan prosedur percobaan berlayar (sea trial) serta sertifikasi kapal, masing-masing juga dalam waktu satu bulan. Itulah rahasianya pembangunan kapal dalam waktu hanya enam bulan.
Tentu “agak terlambat” kalau Indonesia meniru pola pembinaan industri maritim seperti yang diceritakan itu, maka menurut blogger langkah yang sebaiknya ditempuh adalah: mulai sekarang semua kapal dan sarana kemaritiman lain yang pembangunannya dibiayai APBN, dibangun di galangan Indonesia tanpa membuat perbandingan biaya pembangunannya di negara maritim lain. Yang penting: dana pembangunan itu dapat diakomodasi dalam APBN atau APBD, kalau menyangkut pemesanan oleh daerah.
Bagi perusahaan pelayaran (swasta/BUMN) harus diijinkan membeli kapal bekas di luar negeri karena murah, tetapi pembelian itu, untuk pembelian pertama, harus disertai program pemesanan kapal baru di galangan nasional untuk lima tahun berikutnya. Kalau perusahaan tersebut akan membeli kapal bekas kedua, harus menyertakan program pemesanan kapal baru untuk empat tahun ke depan, demikian seterusnya maju satu tahun.
Sementara itu Pemerintah juga dianjurkan secepatnya menyusun program pemberian subsidi kepada perusahaan pelayaran nasional dalam pembangunan kapal, baik berupa construction differential subsidy maupun operating differential subsidy (ada lanjutannya)

Kalau blogger sudah berhasil meyakinkan anda tentang begitu besarnya hajatan penerapan kebijakan cabotage oleh pemerintah Indonesia, barangkali blogger boleh bertanya: dari mana memulai hajatan besar lima komponen cabotage itu?
Barangkali pula boleh disepakati bahwa negara maritim (yang besar) perlu memiliki armada niaga nasional yang besar, kuat dan tangguh, termasuk memiliki galangan-galangan kapal yang mempunyai daya produksi meyakinkan. Sayangnya semua itu saat kini langka, termasuk Bapak Soedarpo Sastrosatomo (alm) yang selama beberapa dekade dicatat, diakui sebagai raja kapal Indonesia, justru memilih untuk mengeliminasi pengakuan itu; catatan itu, sekarang justru berbalik: beliau jadi tidak lagi mempunyai kapal Indonesia.
Catatan: sinyalemen in tidak sepenuhnya benar karena “berkah” deregulasi bidang kemaritiman pada dekade delapan-puluhan yang menjungkir-balikkan definisi pelayaran antar pulau Indonesia, pak Darpo mengambil langkah bisnis spektakuler yang akan disebutkan berikut ini.
Serangkaian peraturan-peraturan Pemerintah yang diterbitkan dalam bulan November 1988, dikenal sebagai Paknov 88 membebaskan pengusahaan pelayaran niaga antar pulau di Indonesia oleh siapa saja (baca: kapal-kapal berbendera ngara asing boleh beoperasi dalam pelayaran antar pulau Indonesia).
Dengan adanya deregulasi ini, menurut hitung-hitungan pak Darpo sebagai pengusaha profesional, beliaumerasa tidak perlu lagi memiliki kapal berbendera merah putih. Maka pak Darpo yang juga adalah pahlawan perang kemerdekaan RI, selain juga sebagai pengusaha bidang maritim yang handal, pebisnis sejati menghitung bahwa lebih menguntungkan menjadi agen perusahaan pelayaran lain, asing ketimbang menjadi reder dalam bisnis pelayaran antar pulau (tidak ada perubahan dalam kiprah beliau dalam bisnis pelayaran internasional).
Ujung-ujungnya, raja kapal Indonesia itu menjual semua kapalnya kepada perusahaan di Singapura sehingga kapal-kapalmiliknya menjadi tidak lagi berbendera merah putih. Catatan lagi: secara “de facto”sebenarnya pak Darpo masih menjadi raja kapal tetapi tidak dapat disebut sebagai raja kapal Indonesia karena kapal-kapalyang dijualnya itu tetap berada di bawah kepemilikannya karena si pembeli kapal adalah perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Singapura namun pendirinya adalah mbak Shanti, puteri pak Darpo sendiri. Begitulah akhir cerita akhir kerajaan kapal Indoneia.
Lalu apa ide blogger menyangkut kepemilikan kapal Indonesia oleh investor Indonesia, guna menunjang pelaksanaan penerapan azas cabotage? Terlebih dahulu ijinkan blogger menceritakan pembinaan armada niaga negara maritim terkemuka dunia, Jepang beirkut ini.
Pengunjung web ini yang sudah berusia di atas 60 tahun barangkali masih ingat bahwa dahulu, kalau membeli barang buatan Jepang, mendapati teraan “Made in Occupied Japan” pada barang yang dibelinya itu. Teraan itu berarti bahwa barang tersebut buatan Jepang yang diduduki (oleh tentara sekutu, pasca perang dunia II).
“Sesaat” setelah status Jepang sebagai negara yang diduduki diakhiri, medio dasawarsa enampuluhan, pembinaan potensi kemaritiman Jepang secara menyeluruh dimulai, termasuk penguatan potensi galangan-galangan kapal yang ada di semua pulau-pulau Jepang. Tidak perlu diceritakan bahwa order pembangunan kapal-kapal yang dibiayai oleh APBN Jepang, disebar secara merata kepada galangan-galangan kapal nasional termaksud.
Dampak positifnya adalah: semua galangan kapal di Jepang berkembang dan mempunyai kapasitas (besar) yang seragam; dampak positifnya lebih lanjut: masa pembangunan kapal di Jepang hanya enam bulan, berapa besar pun tonase kapal yang dipesan. Lho, kok bisa, di saat Indonesia masih berkutat dengan pembangunan kapal selama (lebih dari) dua tahun atau paling tidak, lebih dari satu tahun, berapa kecil pun tonase kapal yang dibangun.
Apa yang dapat dilihat dari masa pembangunan kapal yang singkat itu? Cost of money bung! Umum diketahui bahwa pemesan kapal (diharapkan) menyediakan dana awal sebesar 10% dari biaya pembangunan kapal sementara sisanya sebesar 90% dikumpulkan dari “setoran” pihak-pihak yang terlibat dalam operasi kapal, setelah kapal diterima oleh pemesan dari galangan. Dengan waktu pembangunan kapal yang hanya enam bulan, jelas bahwa harga kapal (sangat) rendah karena biaya “cost of money” sangat kecil.
Dengan waktu pembangunan kapal (di Indonesia) satu tahun lebih, bagaimana harga kapal buatan Indonesia dapat bersaing dengan kapal yang dibangun di negara maritim lain (bukan hanya Jepang)? Ini merupakan masalah besar yang harus dihadapi Indonesia jika ingin meningkatkan potensi pelayaran niaganya.
Masa pembangunan kapal di negara maritim maju yang (sangat) singkat itu dimungkinkan karena pembangunan kapal di sana dilakukan secara “gotong royong” oleh empat atau lima galangan yang masing-masing mengerjakan satu modul (satu potong/bagian) kapal sementara pembangunan mesin-mesin kapal, baik mesin induk (main engine) maupun mesin-mesin bantu (auxiliary machinery) dipercayakan kepada satu perusahaan pembuat mesin atau satu consorsium pembuat mesin.
Tiap-tiap galangan harus menyelesaian pembangunan modul kapal yang menjadi tanggung jawabnya selama tiga bulan, secara bersamaan) sementara jadwal penyelesaian pembangunan mesin-mesin diatur tersendiri berhubung mesin induk dan mesin-mesin lain yang lebih kecil baru dipasang setelah modul-modul yang sudah selesai dikerjakan, sudah tersambung menjadi satu unit kapal yang utuh.
Semua modul kapal yang sudah selesai dibangun, disetorkan kepada galangan koordinator (blogger sebut saja begitu) untuk disambung dalam waktu satu bulan.
Beres menyambung-nyambungkan tubuh kapal (hull), dilanjutkan dengan pemasangan mesin-mesin, juga dalam waktu satu bulan dan diakhiri dengan prosedur percobaan berlayar (sea trial) serta sertifikasi kapal, masing-masing juga dalam waktu satu bulan. Itulah rahasianya pembangunan kapal dalam waktu hanya enam bulan.
Tentu “agak terlambat” kalau Indonesia meniru pola pembinaan industri maritim seperti yang diceritakan itu, maka menurut blogger langkah yang sebaiknya ditempuh adalah: mulai sekarang semua kapal dan sarana kemaritiman lain yang pembangunannya dibiayai APBN, dibangun di galangan Indonesia tanpa membuat perbandingan biaya pembangunannya di negara maritim lain. Yang penting: dana pembangunan itu dapat diakomodasi dalam APBN atau APBD, kalau menyangkut pemesanan oleh daerah.
Bagi perusahaan pelayaran (swasta/BUMN) harus diijinkan membeli kapal bekas di luar negeri karena murah, tetapi pembelian itu, untuk pembelian pertama, harus disertai program pemesanan kapal baru di galangan nasional untuk lima tahun berikutnya. Kalau perusahaan tersebut akan membeli kapal bekas kedua, harus menyertakan program pemesanan kapal baru untuk empat tahun ke depan, demikian seterusnya maju satu tahun.
Sementara itu Pemerintah juga dianjurkan secepatnya menyusun program pemberian subsidi kepada perusahaan pelayaran nasional dalam pembangunan kapal, baik berupa construction differential subsidy maupun operating differential subsidy (ada lanjutannya)
Rabu, 09 Juni 2010

rapat belakang, apa maksudnya?

Sebagai selingan dalam pembicaraan isu-isu serius septar masalah kemaritiman, sekali-sekali blogger mencoba menyajikan hal ringan namun tetap menyangkut public interest yaitu sepotar transportasi Jakarta.
Sebagai warga metropolitan Jakarta apakah anda menggunakan jasa angkutan umum kecuali busway)? Kalau ya tentunya anda akrab dengan hal yang ditanyakan dalam judul blog ini.
Kalau tidak, baik disampaikan apa substansinya yaitu aba-aba atau teriakan asisten sopir (kenek bus)kepada sopirnya bahwa di belakang ada bus dengan jurusan sama yang menempel pada bus kita. Maka mendengar teriakan itu sopir yang tadinya memacu kendaraannya dengan santai, mendadak menjadi beringas tancap, supaya yang di belakang tidak merampok (calon) penumpang yang menunggu di depan.
Ah, penumpang angkutan kota itupun sudah lama, sejak lebih dari dua dasawarsa yang lalu tidak lagi disebut penumpang oleh awak angkutan kota melainkan disebut "sewa". Lho, apa bedanya kedua jenis sebutan itu, toh kalau bis berhenti di depannya, dia segera naik dan membayar sewa sesuai tarip? Wah anda sepaham dengan awak bus rupanya, menganggap manusia di negara yang berpancasila ini sebagai sewa (sekedar nominal Rp.2.000.- atau tarip lainnya sesuai jenis bus yang ditumpanginya). Padahal perbedaannya amat tajam? Apakah itu? Sebagai penumpang, pengguna angkutan kota mempunyai diantarkan ke tempat tujuan (terminal) yang dikehendaki (selain kewajiban membayar tentunya) tetapi sebagai sewa, ya itu tadi sekedar nominal Rp.2.000.-
Sampai ke tujuan atau tidak, itu semata-mata karena "kebaikan" angkuta.
Nah, sampai di sini mungkin anda sudah mulai "mudeng" mengenai perbedaan antara penumpang dengan sewa karena blogger yakin anda setidaknya pernah mendengar atau membaca surat pembaca di koran tentang "penumpang" yang diturunkan di tengah jalan untuk dioper ke kendaraan lain, atau ya diturunkan saja (beberapa ratus meter dari terminal tujuan dan selanjutnya ...... ya jalan kakilah, hitung-hitung olah raga.
Apakah para wakil rakyat yang terhormat di DPR mempunyai kepedulia mengenai masalah ini? Wah, boro-boro, tahupun mereka tidak wong mereka masih sibuk ngurusi jatah dana aspirasi Rp.15M per orang dan tidak mau peduli dengan pasal-pasal undang-undang warisan penjajah Belanda yang masih berlaku dengan segala "keanehannya", antara lain hukuman denda Rp.3.000.- (padahal aslinya denda tigaribu gulden Hindia Belanda berstandar emas (uang tunai boleh dibawa ke Javasche Bank minta ditukar dengan emas dalam jumlah yang setara).
Untuk apa ngurusi reformasi undang-undang yang sudah kuno, lebih nikmat ngurusi hal-hal yang nikmat, wah.

Free Trade Zone dan K.E.K.

Istilah Free Trade Zone (Daerah Perdagangan Bebas) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) banyak dibicarakan akhir-akhir ini. Kedua istilah itu bersumber dari keinginan negara untuk memacu pertumbuhan ekonomi, utamanya perdagangan internasional antara Indonesia dengan negara-negara lain.
Negara-negara, dalam upayanya memberdayakan dan meningkatkan perdagangan internasionalnya, menetapkan sebagian wilayah teritorialnya sebagai free trade zone, FTZ atau sebagai Kawasan Ekonomi Khusus, KEK.
FTZ, KEK adalah bagian wilayah teritorial negara di mana hukum pabean tidak berlaku. Jadi di dalam kawasan itu tidak ada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan tidak ada pegawai Bea dan Cukai berseragam Customs yang bertugas, di dalam kawasan, berpatroli mengawasi lalu lintas barang impor dan ekspor. Di dalam kawasan FTZ itu hanya ada Pos Pabean (mungkin hanya berupa gardu pengawasan) untuk memeriksa kebenaran pengeluaran barang dari kawasan.
Di dalam kawasan perdagangan bebas juga perlu dibangun free port (pelabuhan bebas tanpa pengawasan Pabean) di mana kapal yang datang dari luar negeri bebas memasuki pelabuhan, bebas membongkar muatan impornya dan langsung ibawa ke fasilitas produksi atau gerai yang ada di sana, untuk dipamerkan. Selama barang diolah, dipamerkan, ditransaksikan di dalam FTZ/KEK tidak ada campur tangan petugas Pabean supaya biaya impor, pengolahan menjadi lebih ringan. Kalau barang akan dikeluarkan dari kawasan untuk dibawa ke daerah pabean Indonesia (peredaran bebas), barulah diurus prosedur impornya, inklaring, membayar bea masuk dan lain-lainnya. Di situlah baru petugas Pabean berperan memeriksa kebenaran pengeluaran barang.
Mungkin di luar perhatian anda bahwa “sesaat” setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pemimpin-pemimpin bangsa kita sudah memikirkan untuk membangun FTZ di suatu kawasan yang sangat, sangat strategis dan ideal. Sayang perkembangan politik menabrak niat luhur itu, termasuk memubazirkan biaya yang sudah terlanjur dikeluarkan untuk penyiapan kawasan perdagangan bebas tersebut..
Adalah Walikota Djakarta Raya, Soediro pada akhir dasawarsa limpuluhan merintis jalan bagi pembangunan FTZ di kawasan yang sekarang dikenal sebagai Taman Impian Jaya Ancol, TIJA. Rintisan ini masih dilanjutkan oleh Gubernur (pertama) DKI Jakarta Dr. Soemarno, dan dilakukan langkah nyata reklamasi pantai Jakarta dengan bantuan perusahaan Perancis. Reklamasi dilakukan dengan menggunakan lumpur laut yang disedot oleh kapal keruk dan langsung disemprotkan ke lokasi yang dulu berupa rawa-rawa, menggunakan pipa berdiameter 20 inch.
Pemilihan lokasi ini sangat tepat dan biayanya murah karena waktu itu kawasan tersebut, yang berbentuk kubus (persegi panjang) terletak di tepi laut Jawa dan terdapat tiga kanal yang mengelilinginya. Satu kanal merupakan terusan dari kanal Sungai Ciliwung yang melintasi kampus AIP (Akademi Ilmu Pelayaran). Kanal lain yang utama, lokasinya sejajar dengan Jl. R.E Martadinata sampai ke kawasan pelabuhan Nusantara (dulu dikenal sebagai pelabuhan Volker) dan di situ kanal membelok ke kiri langsung ke laut Jawa.
Di atas ketiga kanal tersebut hanya ada satu jembatan kecil yang melintasi kanal terusan kampus AIP tersebut, lokasinya di sekitar gedung hailai. Dalam proses pembangunan FTZ, dibangun dua jembatan gantung yang rencananya akan digunakan khusus untuk keluar masuknya barang dari dn ke dalam FTZ. Satu jembatan gantung tipe swinging bridge (jembatan ayun) dibangun pada posisi pabrik es krim Diamond; pada lahan TIJA, jembatan dilengkapi engsel untuk menarik jembatan menepi jika kanal akan digunakan untuk lalu lintas air. Satu lagi jembatan gantung tipe folding bridge (jembatan lipat) dibangun pada posisi akses utrama TIJA.
Jembatan gantung yang disebut pertama sudah tidak ada lagi yang mengenalinya sekarang (sudah dicor beton dan dilas mati tetapi jembatan gantung kedua, sampai sekarang “dilestarikan” justru oleh kenek angkot jurusan Tanjung Priok – Kota dan Senen, berupa seruan: goyang, goyang siapa turun jembatan goyang. Tentunya si abang kenek tidak tahu mengapa barang yang tidak bergerak itu di sebut jembatan goyang.
Adapun folding bridge tersebut diletakkan diatas rangkaian ponton untuk memungkinkan jembatan ditarik menepi kalau kanal akan difungsikan untuk lalu lintas air. Saat jembatan digunakan untuk lalu lintas darat, kendaraan yang melintasinya berjalan bergoyang-goyang karena gerakan ponton-ponton yang menopang jembatan.
Sejarah mencatat bahwa pada awal dasawarsa enampuluhan Pemerintah Indonesia “kebanjiran” dana pampasan perang dari Jepang dan Presiden pertama RI yang terlalu mengandalkan pada doktrin berdikari namun sekaligus tidak berminat membina perekonomian negara secara sustainable, memilih untuk membangun prasarana yang bernuansa mercu suar, termasuk gelora Bung Karno, toserba Sarinah, Hotel Indonesia dan seterusnya sementara FTZ Ancol yang tidak menampakkan tampilan yang glamour dilupakan.
Termasuk juga pendekatan pabrik mobil Ford sebelumnya, yang pada tahun 1955 menawarkan untuk membangun jaringan jalan raya di pulau Sumatra, free of charge, dengan syarat selama lima tahun sesudahnya hanya mobil merk Ford boleh diimpor ke Indonesia. Sejarah mencatat juga bahwa tawaran itu mendapat tanggapan “go to hell with your aid” dari Presiden Soekarno.
Menyangkut FTZ Ancol, fasilitas tersebut sebenarnya memenuhi semua persyaratan free trade zone yang ideal, selain biaya konstruksinya sangat murah. Sebuah free trade zone disyaratkan harus berada dekat ke pasar, next to the market supaya biaya mengimpor barang melalui FTZ tersebut murah dan waktu yang dibutuhklan sangat pendek.
Secara nasional, pasar Indonesia adalah pulau Jawa dan kawasan-kawasan lainnya merupakan pasar penunjang. Menilik posisi pasar tersebut, para pemasok luar negeri yang mengetahui karakter pasar Indonesia akan berlomba mengisi stock barang di FTZ dan importir Indonesia yang memerlukan barang dapat mengambilnya dari FTZ Ancol dalam waktu hanya satu minggu, paling lama dua minggu dibandingkan bila mengimpor langsung dari luar negeri yang memerlukan waktu 3 bulan yang sudah barang tentu cost of money-nya lebih mahal.
Lagi pula mengimpor langsung dari negara asal barang menjadi lebih mahal karena ketika barang tiba di pelabuhan sudah terkena pembayaran bea masuk. Impor melalui FTZ Ancol pasti lebih murah karena biaya pembinaan stock di dalam FTZ ditanggung oleh pemasok (eksportir di negara lain) sementara dana yang harus dikeluarkan importir untuk biaya impor lainnya termasuk bea masuk akan segera kembali karena proses impor berlangsung dalam waktu sangat singkat di mana barang yang diimpor yang segera dijual akan menghasilkan pengembalian modal lebih cepat.
Tapi ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur, dua kali sudah Indonesia mengalami kegagalan membina FTZ (atau “baru” satu serengah kali kalau belum berfungsinya FTZ Batam belum diakui sebagai kegagalan, mungkin baru dianggap sukses yang tertunda).
Pada pembinaan FTZ Sabang (Pulau We) prospek kegagalan sudah diprediksi sejak awal berkaitan jarak yang terlalu jauh dari wilayah Indonesia lainnya (di luar jauhnya jarak dari pasar utama, pulau Jawa). Posisi FTZ Batam tidak jauh berbeda dari Sabang, ditambah masalah efektivitas pengawasan.
Masih segar dalam ingatan kita pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri di mana pada waktu itu Presiden Megawati menolak menandatangani Undang-undang FTZ Batam berhubung masih ada masalah yang mengganjal. Masih kita ingat juga bahwa pihak DPR sepakat dengan pelaku bisnis yang menghendaki willayah FTZ menyeluruh semerntara Presiden Megawati menhendaki model enclave yaitu wilayah-wilayah di kepulauan Batam yang berfungsi sebagai FTZ diberi batas yang tegas.
Dari proses tersebut tampak bahwa kubu Presiden Megawati menampilkan pertimbangan yang lebih waras karena kalau FTZ Batam ditetapkan sebagai suatu keseluruhan (seluruh kepulauan Batam/Riau, ditetapkan sebagai FTZ, bukan hanya pulau Batam). Seandainya hanya pulau Batam saja ditetapkan sebagai FTZ, masalah juga tidak kecil karena pengawasannya sangat sulit. Bagaimana mengawasi pulau sebesar itu yang berbentuk bulat? Diawasi di sebelah sini, penyelundup lolos dari tempat lain. Apalagi kalau seluruh kepulauan ditetapkan sebagai FTZ menyeluruh, bisa menjadi sorga bagi kelompok penyelundup.
Berbeda dengan kawasan FTZ Ancol (TIJA) yang pengawasannya cukup dengan memasang lampu sorot pada empat menara yang dibangun pada keempat sudut kawasan; pengawasan sangat murah dan efektif.
Dalam kaitan ini dapat disebutkan bahwa pada awal tahun 2009 terdapat wacana di mana pihak swasta akan membangun KEK pada kawasan Marunda, dengan international port terpadu. Wacana ini harus didukung oleh semua pihak karena profile kawasan tersebut mirip dengan TIJA sehingga KEK Marunda, kalau terealisasi, akan dapat berfungsi dengan baik.
Sehubungan dengan masalah ini blogger pernah menulis surat kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan mendapat tanggapan positif dari beliau melalui sebuah surat yang dikirimkan kepada blogger.
Blogger hanya berharap dan berdoa semoga para pemimpin dan petinggi bangsa dapat berpikir lebih jernih dan waras dengan memulai pembangunan FTZ atau KEK pada kawasan yang strategis, demi penekanan biaya impor.
Selasa, 08 Juni 2010

Tabrakan Kapal

Mendengar orang menyebut tentang kapal laut bertabrakan, barangkali anda teringat akan tabrakan head to head, tabrakan “laga kambing” antara dua kapal di suatu perairan laut yang ada di dunia, sebagaimana halnya tabrakan antara dua mobil di jalan raya. Atau anda akan mem bayangkan tabrakan kapal di perairan teluk atau selat pada saat cuacca buruk dan kabut tebal.

Lho, kapal yang berlayar dalam posisi seperti itu kan membunyikan klakson (seruling kapal) keras-keras agar terdengar dari jarak yang jauh. Menurut penuturan pelayar, seruling kapal memang terdengar tetapi orientasi asal suara sering terdistorsi oleh kabut; kabut tebal dapat membelokkan rambatan suara. ABK memang mendengar suara keras seruling, namun sering menduga bahwa isyarat suara itu berasal dai posisi jam 2 padahal sebenarnya kapal yang mem- bunyikan “klakson” berada pada posisi jam 3. Alkisah, kabut tebal yang membelokkan rambatan suara dan memantulkannya ke arah kapal lain, diterima dalam persepsi keliru oleh kapal lain itu; maka tidak mengherankan kalau dua kapal yang berada pada perairan yang tidak luas itu mengalami tabrakan.

Tetapi benarkah tabrakan antara dua kapal hanya terjadisecara head to head, tabrakan laga kambing? epatnya tidak demikian karena hukum maritim juga mengenal tentang singgungan kapal, juga tabrakan antara kapal dengan benda tidak bergerak yang ada di laut dan lain-lain.

Juga ada risiko general average, yaitu keadaan darurat yang dialami kapal yang sedang berlayar di mana untuk menyelamatkan pelayaran kapal, setidak-tidaknya untuk membawa kapal ke pelabuhan darurat guna meminta bantuan teknis, harus dilakukan tindakan darurat antara lain dengan membuang muatannya ke laut yang untuk tindakan itu harus merusak badan kapal.

Semua kerugian yang timbul dari keadaan dan tindakan darurat itu harus ditanggung bersama oleh semua pihak yang berkepentingan dalam pelayaran tersebut yaitu pemilik kapal, operator kapal, dan pemilik muatan yang ada di dalam kapal yang mungkin sebagian mengalami kerusak- an bahkan rusak total walaupun sebagian lain muatan tidak mengalami cedera sedikitpun.

Dalam asuransi laut (marine insurance, asuransi maritim) ada klausul yang berjudul both to blame collision clause yang mungkin boleh diterjemahkan “kedua pihak saling menyalahkan”. Maksudnya: kalau dua buah kapal bertabrakan (atau: bersinggungan) di laut, maka, pada tahap pertama masing-masing kapal menyalahkan kapal lainnya sebagai penyebab terjadinya tabrak- an.

Maka pada tahapan itu tidak dapat diambil pegangan kapal manakah yang sebenarnya bersalah karena pihak yang disalahkan tentu tidak begitu saja mau mengakui bahwa kapalnya menabrak kapal yang lain; sebaliknya, pihak ini juga “menuduh” bahwa kesalahan ada pada kapal yang lain. (Lihat Capt. H. Win Pudji Pamularso, SH. MH., M.Mar :Tubrukan Kapal Pertamina dengan Elixir di Perairan Jakarta", Yayasan Obor Indonesia, 2009.

Jadi sebenarnya, peristiwanya, apakah kapal A menabrak kapal B atau kapal A ditabrak kapal B (dengan perkataan lain: kapal A ditabrak kapal B atau kapal A menabrak kapal B), belum dapat diketahui. Kepastian kapal mana yang menabrak dan kapal mana yang ditabrak, akan diketahui dari keputusan Mahkamah Pelayaran (Admiralty Court) yang mengadakan sidang untuk mene- tapkan keputusan atas tabrakan itu. Oleh karena itu setelah suatu peristiwa tabrakan atau singgungan kapal terjadi, segera digelar sidang Mahkamah Pelayaran yang majelis hakimnya terdiri dari nakhoda-nakhoda senior dan atau mantan nakhoda dan bukannya ahli-ahli hukum pidana kawakan).

Mengamati peristiwa tabrakan kapal di laut, anda mungkin bertanya di laut yang begitu luas, apakah perlu terjadi tabrakan antara dua kapal? Kalau kapal-kapal hanya berlayar di laut lepas (high seas) yang maha luas, mungkin tidak terjadi tabrakan kapal. Tetapi jangan lupa banyak kasus tabrakan kapal terjadi pada alur pelayaran yang sempit dan atau ramai lalu-lintas pelayar annya, pada selat atau teluk dan perairan dekat pantai.

Pada ujung “tanduk” benua Eropa, yang berbatasan dengan kepulauan Inggeris, kapal yang berlayar terlalu dekat ke pantai dapat terseret oleh arus sehingga menabrak kapal lain atau terkandas di pantai. Jadi tidak dipandang aneh kalau tabrakan kapal (banyak) terjadi. Di sisi lain, sebenarnya ilmu pelayaran mempunyai aturan baku guna meminimalisir terjadinya tabrakan kapal; jika dua kapal berlayar pada arah berlawanan arah (= berlayar berpapasan) atau berlayar pada arah yang sama di luar high seas (berlayar searah, beriringan). Dalam hal demikian kedua kapal harus menjaga jarak minimum yang aman (maaf, blogger bukan pelayar, tidak berwenang menyebutkan berapa yard tepatnya jarak aman antara kapal satu dengan lainnya itu).

Dalam aturan pelayaran itu juga ditetapkan bahwa kalau dua kapal berlayar berpapasan, satu kapal harus cikar kiri (atau cikar kanan) dan kapal lainnya dipersilahkan berjalan lurus ke depan. Kalau aturan baku ini tidak dipatuhi, dan atau, dua kapal tersebut tidak menjaga jarak minimum yang aman, dapat terjadi tabrakan (kecelakaan kapal) tanpa salah satu kapal harus menabrak kapal yang lain.

Bayangkanlah: dua buah kapal sama-sama berlayar di perairan teluk tanpa menjaga minimum jarak kapal dan atau tanpa memenuhi aturan baku tersebut di mana: kapal yang lebih besar (katakan LOA-nya 300M) berada pada posisi di luar (lebih jauh dari garis pantai teluk) dan kapal yang lebih kecil berada pada posisi dalam. Ombak yang ditimbulkan oleh kapal yang lebih besar dapat mengakibatkan goncangan pada kapal yang lebih kecil, goncangan yang cukup untuk menghancurkan barang-barang yang diangkut oleh kapal itu (secara konvensional atau dalam peti kemas).

Peristiwa ini tentu menimbulkan substansi marine insurance dan pihak yang dirugikan tentunya mempunyai hak menuntut pihak lain; sidang mahkamah pelayaran yang digelar untuk mengadili peristiwa laut ini dapat mengambil keputusan yang adil, dengan mempertimbangkan argumen- tasi pihak-pihak, serta fakta hukum lain yang ada. Maka diharapkan Mahkamah Pelayaran dapar mengambil keputusan yang tepat dan adil.

Menyangkut peristiwa General Average, kebetulan blogger mempunyai pengalaman ikut meng- urus proses claim dan selama tiga setengah tahun claim GA itu belum ada hasil (blogger sudah keburu pindah kerja. Hal itu rupanya dianggap tidak mengherankan; sahabatku Capt. Sutrisno Djajadiputro, MM.Mar, ICAP (trisno@dnt.co.id) berkomentar bahwa menyelesaikan claim general average (biasa disingkat GA) selama sepuluh, lima belas tahun mah biasa-biasa saja.

Sehubungan dengan itu maka kepada para importir dianjurkan agar dalam menutup persetujuan asuransi atas barang impornya, memasukkan juga "risiko average" ke dalam polis asuransinya.

Saat blogger bekerja pada perusahaan industri manufacturing sebagai import manager, Generaaal Manager perusahaan tersebut (orang bule WN Inggeris) merasa heran kok saya tahu tentang general average, belajar dari mana?). Saat itu dia kebetulan datang ke meja saya ketika masuk telepon dari Jasindo yang memberitahukan bahwa kapal yang mengangkut barang impor saya terkena GA. Pemberitahuan tersebut spontan kusambut dengan instruksi agar surat-surat yang harus kuteken disampaikan hari itu juga, soalnya besok aku cuti mau pulang kampung.

Kalau importir tidak memasukkan risiko average sebagai (salah satu) risiko asuransinya maka kalau kapal yang mengangkut barang impornya terkena average, dia harus mengurus sendiri claimnya kepada GA Adjuster dan urusan itu sangat ribet (makan waktu bertahun-tahun pula) sedang kalau risiko average termasuk, importir hanya perlu berurusan dengan pihak asuransi yang dengan Subrogation Letter akan menyelesaikan claim asuransinya seperti biasa.

Urusan ganti rugi sehubungan terjadi General Average (atau Particular Average) akan ditangani oleh asuransi yang telah mengantongi surat subrogasi yang ditandatangani oleh importir sebagai tertanggung.

MENERAPKAN KEBIJAKAN CABOTAGE.

Kira-kira dua tahun sebelum bapak Soedarpo Sastrosatomo, diakui sebagai raja kapal Indonesia, mennggal dunia, blogger ini menulis outline bagi proposal seminar pelaksanaan kebijakan cabotage, suatu kebijakan maritim yang telah dicanangkan akan diterapkan kembali di Indonesia.

Outline penulis sampaikan kepada pejabat Fakultas yang berwenang dengan harapan beliau menaruh minat dan mendukung angan-anganku untuk membentuk team kecil terdiri dari tiga orang untuk menghadap pak Darpo guna menjaring buah pikiran beliau untuk nantnya dijadikan rujukan bagi perumusan materi seminar, yang menurut blogger sangat strategis, sangat penting. Saat itu pak Darpo sudah tidak aktif mengurus bianis pelayaran niaga melalui PT. Samudra Indonesia dan beberapa perusahaan lainnya. Tetapi ternyata harapan saya jauh panggang dari api.

Outline dibaca sepintas lalu dan dikomentari dengan enteng: ah, ini mah sudah usang, semua orang sudah membicarakan tentang cabotage, untuk kita ikutan bicara dan menghabiskan anggaran mendakan seminar. Waduh, kata saya dalam hati. Penerapan kebijakan cabotage belum lagi dimulai kok dikatakan sudah usang.Menyadari bahwa sang pejabat rupanya tidak mengetahui “binatang apakah cabotage itu”, blogger jadi tidak mood lagi untuk bicara lebih panjang.

Saya hanya berdoa semoga saja Presiden SBY, bersama jajarannya tetap tegar dan teguh hati melanjutkan upaya penerapan kebijakan cabotage, karena hajatan itu memang sangat besar, bukan gebrakan setahun dua. Kenyataan bahwa sampai saat inipun, lebih lima tahun setelah keputusan politik kembali ke kebijakan cabotage itu dicanangkan, belum tampak tanda-tanda yang menunjukkan telah dimulainya upaya nyata penerapan kebijakan cabotage, karena gawe tersebut memang sangat besar dan berjangka sepanjang sejarah sehngga memerlukan persiapan yang matang, konsisten dan sistematis, menyangkut semua bidang yang terkait.

Untuk memulai gawe tersebut, menjadi pertimbangan rumit dari manakah gawe akan dimulai, karena dimensinya yang sangat luas dan besar itu. Dalam kaitan ini pertama-tama blogger dapat mendaftar hal-hal yang berkaitan dengan sarana utama pelaksanaan penerapan kebijakan cabotage.

Negara yang menjalankan kebijakan free entry, berperilaku menyewakan bendera nasionalnya kepada siapa saja yang berminat. Siapa saja, berkewarganegaraan mana saja boleh mendaftarkan kapalnya di negara free entry dan diijinkan mengibarkan bendera nasional negara free entry tersebut pada kapal yang didaftarkan itu asal membayar fee sesuai ketentuan.

Sebutan negara FOC, flag of convenience diberikan kepada negara yang memberi kemudahan kepada siapa saja yang mendaftarkan kapalnya di negara tersebut, berdasakan pembayaran tentunya, dengan imbalan ijin mengibarkan bendera nasional negara tersebut, pada kapal yang terdaftar tersebut.

Negara-negara yang secara tradisional menerapkan kebijakan menyewakan bendera nasionalnya kepada pmilik kapal, yang populer di antaranya:
1. Liberia – favorit bagi oil tankers owner;
2. Panama – disukai para pemilik kapal general cargo, termasuk kapal peti kemas dan kapal bulk;
3. Honduras – serupa Panama
4. lain-lain negara kecil yang menjadikan registration fee dari kapal-kapal tersebut sebagai sumber pendapatannya dalam APBN.

Dewasa ini daftar negara free entry tersebut bertambah-tambah terus dan terisi terutama oleh nama-nama negara maritim gurem seperti Belize.

Menyangkut tekad pemerintah Indonesia kembali menerapkan kebijakan cabotage, dirasakan ada hal yang cukup memprihatinkan bahwa sebagian pelaku shipping business, tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Mereka ini tentunya hanya memikirkan pembiayaan usaha pelayaran yang murah dan abai terhadap pembinaan usaha pelayaran nasional, abai terhadap pentingnya pembinaan sistem pelayaran domestik yang dapat menghidupkan usaha pelayaran nasional.

Mereka hanya memikirkan bahwa kebijakan cabotage dapat menurunkan biaya operasi kapalnya secara signifikan, terutama karena biaya pendaftaran japal yang (sangat) rendah pada negara FOC dibandingkan dengan pada neghara ncabotage.

Namun kalau ditilik secara runut, sebenrnya biaya kapal yang tinggi lebih terkait kepada penetapan status kapal Indonesia yang masih mengacu kepada Kitab Undang-undang Hukum Dagang, di mana KUHD warisan Belanda ini pada pasal 243 menetapkan bahwa kapal Indonesia adalah kapal yang 2/3 modalnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.

Sebenarnya ketentuan inilah yang memberatkan, bukan ketentuan tentang biaya pendaftaran kapal Indonesia; mengapa tidak ada ahli hukum maritim, pemodal shipping yang mengajukan dalil misalnya yang membalik ketentuan udang-undang tersebut menjadi “warga negara Indonesia yang memasukkan modal 1/3 bagian dari biaya pembangunan kapal, dapat mengajukan permohonan agar kapal tersebut ditetapkan sebagai kapal Indonesia”.

Di sisi lain pemerntah Indonesia, berdasarkan permohonan investor Indonesia menetapkan bahwa kapal yang modalnya dimasukkan oleh warganegara Indonesia sebanyak 1/3 bagian, ditetapkan sebagai kapal Indonesia dengan syarat-syarat tertentu, misalnya modal harus ditingkatkan menjadi ½ bagian dalam waktu 5 tahun dan dalam waktu 5 tahun berikutnya komposisi permodalan harus menjadi 2/3 bagian, pada posisi mana kapal menjadi kapal Indonesia secara permanen.
Senin, 07 Juni 2010

AZAS CABOTAGE

Pemerintah Republik Indonesia, melalui Instruksi Presiden no 5 tahun 2005 telah menetapkan bahwa negara maritim terbesar di dunia ini kembali menerapkan kebijakan cabotage (awas jangan salah ketik: cabotage) dalam pengelolaan kemaritiman negeri, khususnya menyangkut bidang usaha pelayaran niaga).

Sesungguhnya sejak awal kemerdekaan, Indonesia memang sudah menganut kebijakan cabotage, terbukti bahwa sekian banyak pelabuhan yang ada di Indonesia, sedikit saja yang ditetapkan sebagai pelabuhan samudera (mainport, yang bebas disinggahi kapal asing) sedangkan pelabuhan-pelabuhan lain yang jumlahnya (sangat) lebih banyak, dinyatakan sebagai pelabuhan pantai yang hanya boleh dikunjungi oleh kapal berbendera Indonesia.

Kapal berbendera negara asing yang berperasi di Indonesia, menjalankan dinas pelayaran niaga samudera, berlayar menghubungkan satu negara dengan negara lainnya.
Kapal berbendera merah putih beroperasi di antara pelabuhan-pelabuhan pantai Indonesia, dalam rangka menjalankan operasi pelayaran pantai. Wah, kapal nasional itu hanya boleh beroperasi menyusuri pantai-pantai pada begitu banyak pulau-pulau di Nusantara Indonesia? Begitu barangkali anda bertanya. Bukan, pelayaran pantai bukanlah jenis usaha pelayaran menyusur pantai melainkan pelayaran yang menghubungkan pantai sebuah pulau, dengan pantai lain dari pulau-pulau Nusantara kita, begitu sebenarnya pengertiannya yang sejati. .

Pemahaman pelayaran pantai yang sejati tersebut, setidak-tidaknya masih dianut sampai dengan awal dasawarsa tujuh-puluhan tetapi kemarinya, pemahaman mulai bergeser seolah-olah pelayaran pantai merupakan jenis usaha pelayaran menyusur pantai.

Memang pergeseran pemahaman ini seolah-olah tidak dirasakan mengganggu, karena pengertian pelayaran pantai mempunyai beberapa padanan sebutan lain yang sama, atau serupa, yaitu:
1. pelayaran antar pulau (saat ini menjadi sebutan yang paling populer);
2. pelayaran interinsuler (dari bahasa asing);
3. pelayaran domestik (tidak populer);
4. pelayaran nasional (juga tidak populer);
5. pelayaran dalam negeri (kurang populer).

Baiklah, sebutan pelabuhan pantai dieliminasi, kita terima saja, tetapi gantinya apa? Apa padanan kata bagi istilah “pelabuhan pantai” yang dapat diterima oleh insan mritim Indonesia (dulu, sejak awal kemerdekaan sampai awal tahun tujuh-puluhan).

Lihatlah, sebutan pelabuhan samudera, mainport atau pelabuhan internasional (jarang digunakan) tidak pernah mengalami distorsi. Istilah outport sebagai “lawan” mainport dari dulu sampai sekarang tetap digunakan dan tidak ada yang protes. Sebutan pelabuhan luar, sebagai padanan dari outport memang kurang populer dari dulu smpai sekarang, kecuali sejak proklamasi kemerdekaan sampai medio limapuluhan.

Di sisi lain: ada istilah pelayaran samudera yang difasilitasi oleh pelabuhan samudera (mainport), tetapi mengapa tidak boleh ada pelayaran pantai yang difasilitasi oleh pelabuhan pantai. Atau anda lebih menyukai istilah pelayaran antar-pulau yang difasilitasi oleh pelabuhan antar pulau? Kalau memang ini pilihan yang dianggap paling logis, tentu baik kalau disetujui untuk ditetapkan sebagai istilah baku.

Tetapi jangan seperti sekarang ini: ada sebutan pelabuhan samudera untuk melayani pelayaran samudera, tetapi pelabuhan yang hanya boleh disinggahi oleh kapal yang menjalankan dinas pelayanan dalam negeri, pelayaran antar pulau (pelayaran iner-insuler, pelayaran domestik) tidak ada sebutannya bagi pelabuhan yang melayani dinas pelayaran tersebut..
Kalau blogger boleh mengungkapkan saran, bagaimana kalau balik lagi ke sebutan yang lama saja yaitu pelabuhan pantai untuk melayani pelayaran pantai. Dengan pemahaman bahwa pelayaran pantai adalah jenis uaha pelayaran yang menghubungkan pantai pulau Indonesia tertentu, dengan pantai pulau Indonesia lainnya. Berarti sama dengan pelayaran antar pulau. Ah, nambah-nambahi kosa kata saja, kata anda. Ya, boleh-boleh saja anda beranggapan seperti itu. Yang penting jangan tidak ada sebutan untuk kategori pelabuhan yang hanya boleh dimanfaatkan oleh kapal nasional Indonesia, yang menjalankan dinas pelayaran antar pulau, dalam rangka kebijakan cabotage yang telah dicanangkan untuk diterapka kembali oleh negara Indonesia, sebagaimana dicanangkan oleh Inpres 5/2005.

Satu hal penting perlu diperhatikan bahwa usaha pelayaran pantai bukanlah usaha pelayaran menyusur pantai karena bidangn usaha ini tidak ada pada negara maritim manapun di dunia.
Ataukah anda tergolomg insan/pengusaha yang tidak merasa perlu adanya pembedaan antara bidang usaha pelayaran domestik yang hanya boleh dilayani oleh kapal berbendera sang merah putih, dengan usaha pelayaran internasional yang boleh dilayani oleh kapal mana saja? Wah!

Kontak

F.D.C. Sudjatmiko, Drs. MM
Alamat rumah: Jl. Haji Ten I no.24, RT.003/RW.01, Kelurahan Rawamangun, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur 13220.
Telp. (021) 471.6512,
Mobile Phone 0858.8059.7046.
Website: www.konsultanmaritim.blogspot.com
Email: konisudjatmiko@yahoo.com.

Tentang Konsultan Maritim

Konsultan Maritim adalah blog tempatmenuangkan pikiran-pikiran tentang masalah kemaritiman, khususnya masalah angkutan laut termasuk asuransi maritim.

Profile F.D.C. Sudjatmiko, Drs. MM

Nama lengkap: F.D.C. Sudjatmiko, Drs. MM
Jalur profesi : dosen/instruktur dalam ilmu pengetahuan bisnis, dengan
spesialisasi masalah kemaritiman / pengangkutan laut, shipping
antara lain:
1. Angkutan Multi-moda (multi-modal transport)
2. Asuransi Laut (Marine Insurance, termasuk General Average dan P&I)
3. Sewa-menywa Kapal (Ship Chartering)
4. Sistem Angkutan Peti Kemas (Container Transport System)
5. Prosedur Pabean, termasuk Freight Forwarding, Gudang Berikat dan
Integrated Logistics Buasiness)
6. Perdagangan, Prosedur Ekspor-Impor

Lahir di desa Ngawen, Blora, Jawa Tengah, 28 Oktober 1937, Franciscus Dyonisius Connie Sudjatmiko menempuh pendidikan berpindah-pindah seiring dengan kepidahan tugas orang tua”

1952: Lulus SD Negeri Rembang, Jawa Tengah
1955: Lulus SMEP Negeri, Surabaya
1958: Lulus SMEA Negeri Surakarta (Solo)
1962: Lulus Akademi Maritim ndonesia (AMI), Jakarta
1965: Menyelesaikan S1 pada UNTAG, Jakarta
1999: Menyelesaikan S2 pada IPWI, Jakarta

Alamat rumah: Jl. Haji Ten I no.24, RT.003/RW.01, Kelurahan Rawamangun, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur 13220. Telp. (021) 471.6512, Mobile Phone 0858.8059.7046. Website: www.fdcs@maritimespecials.edu .com
Email: konisudjatmiko @yahoo.com.

F.D.C. Sujatmiko, Drs. MM telah mengarang dan menyelesaikan beberapa judul buku pengetahuan praktis yang terkait dengan jalur profesi tersebut di atas.