Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Kamis, 17 Juni 2010

KESALAHAN TEKS PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA

Pernahkah terbersit dalam memori anda bahwa teks proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dirancang oleh para pendiri bangsa kita dahulu (founding fathers) sebenarnya mengandung kesalahan atau kekurangan, yang membawa dampak bahwa negara kita tercinta yang sudah merdeka hampir 2/3 abad belum juga maju-maju terutama di bidang penyelenggaraan negara (staats beheer?
Kalau kita renungkan sebenarnya ada “sedikit” kekurangan teks proklamasi, yaitu kurang frasa “... ,(koma) pengalihan ketrampilan tata kelola negara”, kekurangan yang menahan kemajuan negara tercinta.
Di alam teks proklamasi kemerdekaan RI, seyogyanya, sebelum bagian “... dan lain-lain ...”, ada frasa “..., (koma) pengalihan ketrampilan tata kelola negara ...”.
Jadi lengkapnya teks proklamasi kemerdekaan Indonesia seyogyanya berbunyi “Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang berkenaan dengan pemindahan kekuasaan, pengalihan ketrampilan tata kelola negara, dan lain-lain dijalankan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”
Jika proklamasi kemerdekaan berbunyi seperti itu, diyakini saat ini kondisi Indomesia jauh lebih bagus, lebih maju, karena sesaat setelah teks proklamasi kemerdekaan dibacakan, para pemimpin bangsa kita itu, paling sedikit ada satu atau dua orang yang menyadari bahwa Indonesia yang baru saja merdeka dan berdaulat, belum mempunyai ketrampilan mengelola negara karena pejuang-pejuangnya tidak mempunyai riwayat menata negara dengar benar, kecuali sedikit yang berkarier di instansi pemerintahan jajahan. Mereka itupun, diragukan, apakah benar mempunyai ketrampilan atau sekedar menjalankan pekerjaan sesuai perintah atasannya saja.
Adanya kesadaran bahwa bangsa Indonesia yang baru saja merdeka belum mempunyai ketrampilan mengelola negara, membuat para pemimpin seyogyanya segera merancang resolusi untuk diajukan kepada PBB, agar PBB memerintahkan Belanda, sebagai mantan penjajah, memberikan pelatihan bagi para pejabat tinggi negara yang baru merdeka itu mengenai tata cara mengelola negara, sesuai pakem.
Terkait dengan kemajuan bangsa kita, teringatlah kita kepada (sebagian) petinggi negara yang pada satu dua dasawarsa yang lalu gemar mengucapkan sindiran tertuju kepada negeri jiran, adik kita, Malaysia, yang bernada sarkastis, katanya: “Beda dong dengan kita! Malaysia mendapat kemerdekaan yang teks proklamasinya diserahkan oleh mantan penjajah di atas talam perak (atau: emas)?”
Sindirian itu masih ditambah lagi dengan ungkapan yang lebih halus: “Susah ya mencari taman makam pahlawan di Malaysia”
Sindiran-sindiran tersebut, yang bernuansa kebanggaan bahwa Republik Indonesia dibangun dari tetesan terakhir darah pejuang kemerdekaan yang gugur membuang nyawa mengusir penjajah Belanda. Rasa kebanggaan yang sangat beralasan tentunya, dan sekaligus merupakan tali pengikat rasa kebangsaan yang tidak lekang oleh musim yang silih berganti.
Namun sahabat, perlu diingatkan bahwa di atas talam emas di mana teks proklamasi kemerdekaan negara Malaya diletakkan, juga disiapkan kitab Tata-kelola Negara, disertai catatan wanti-wanti agar ajaran dan tuntunan yang tercantum di dalam kitab itu diajarkan secara penuh untuk diaplikasikan secara konsisten dan tanpa salah. Maka jangan salahkan Malasyia kalau tata kelola negara mereka sekarang cukup mantap sementara kita masih tertatih-tatih mencari rumus yang belum juga ketemu. Di Malaysia misalnya, orang bisa tertib antri di halte bis, sementara di Jakarta halte bis yang dibangun dengan biaya mahal, menjadi “kamar tidur” gelandangan.
Menyangkut perjuangan merebut kemerdekaan kita, sejarah mencatat bahwa para pejuang kemerdekaan kita dahulu terbagi ke dalam dua kelompok pejuang yaitu “kelompok non” dan “kelompok co”.
Kelompok “non” (non-cooperative to the colonialist) yang didominasi oleh anak-anak muda pelajar kelas I dan kelas II SMA (dan sederajad) sementara pelajar kelas III tidak ikut bergabung karena sibuk mempersiapkan diri untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi di tanah air atau di seberang (negeri Belanda).
Kelompok non berjuang penuh dengan heroisme di bawah slogan “merdeka ataoe mati”, menetapkan prinsip dan strategi perjuangan mengusir penjajah Belanda tanpa kompromi, pokoknya penjajah Belanda harus hengkang dari bumi Nusantara, titik. Slogan “merdeka ataoe mati” diteriakkan oleh semua insan yang mengaku berbangsa Indonesia dan sampai hari inipun kita tetap dapat membaca slogan heroik itu pada kereta cowboy, pada tayangan layar kaca.
Pejuang-pejuang “kelompok non” ini mendirikan basis perjuangan di Jawa Timur, Jawa Tengah dan sebagian Jawa Barat (dan di wilayah-wilayah lain tentunya tetapi yang paling solid adalah yang berjuang di ketiga wilayah tersebut). Pejuang di Jawa Timur menamakan kelompoknya: TRIP, singkatan dari Tentara Republik Indonesia Pelajar sedangkan yang di Jawa Tengah dan Jawa Barat menamakan kelompoknya TP (Tentara Pelajar).
Adapun “kelompok co” kurang mendapat tempat dalam kancah perjuangan merebut kemerdekaan karena kelompok ini menetapkan strategi perjuangan merebut kemerdekaan sambil tetap menjalin kerja sama dengan Belanda, guna mengunduh ketrampilan tata kelola negara yang (sebagian telah) mereka kuasai berkat sekian tahun bekerja pada kantor gubernemen. Ketrampilan tata kelola negara yang diunduh dari penjajah Belanda itu nantinya ditrapkan saat Indonesia merdeka telah sepenuhnya dikelola oleh orang Indonesia karena orang Belanda sudah hengkang.
Sebenarnya strategi perjuangan kelompok co tersebut cukup rasional tetapi karena suasana yang bersemangat tinggi ingin secepatnya mengusir penjajah tanpa kompromi, dominasi “anak-anak sekolahan” yang maju ke medan laga dengan menyandang bambu runcing dan senjata sederhana lainnya, maka kelompok co memilih untuk memberi support saja dari jauh. Lagi pula kiprah perjuangan kelompok co yang terdiri dari para ambtenaar, pedagang dan pengusaha, priyayi dan kaum mapan lainnya, dapat segera mengundang kecurigaan para “non” bahwa nantinya kaum “co” toh akan membawa balik sistem penjajahan Belanda.
Maka kaum co, lebih jauh memilih untuk lebih baik menikmati saja apa yang sudah mereka peroleh, toh mereka tidak diganggu oleh kaum non kalau tidak ikut “cawe-cawe” dalam perjuangan itu; malahan sebagian ada yang memilih ikut hengkang ke negeri Belanda.
Kalau kita dapat berfikir secara nuchter, memang sebenarnya untuk membangun Indonesia baru yang merdeka dan berdaulat diperlukan bantuan mantan penjajah yang telah terbukti dapat menjalankan tata kelola negara secara efisien dan efektif, permintaan bantuan mana namun demikian harus didasarkan kepada hubungan yang bersifat lugas, zakelijk, berdasarkan azas ketrampilan semata-mata serta tentunya sesuai azas kesetaraan.
Yang sudah kita alami adalah, negara Republik Indonesia yang terbentuk sebagian (besar) karena hasil perjuangan kelompok non, dikelola dengan cara seadanya, karena anak-anak muda peringkat SMA itu kan memang tidak mempunyai riwayat tata kelola negara, belajar ilmu itupun belum pernah. Tetapi jiwa muda dan idealisme mereka sangat kental.
Kita lihat pula dari catatan sejarah: setelah masuk ke dalam jajaran pengelola negara, para mantan kelompok non tersebut melihat bahwa untuk menjalankan negara diperlukan banyak dana dan mereka pun melihat bahwa saluran penghasil dana itu terutama adalah Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang bernaung di bawah Departemen Keuangan.
Terdorong oleh obsesi ingin mengelola dan memperoleh pendapatan dana sabanyak-banyaknya untuk membangun negara, tidak mengherankan bahwa pasca perang kemerdekaan, para (mntan) eksponen TRIP dan TP tersebut tumplek bleg mengisi jabatan/jabatan strategis pada kedua Ditjen tersebut.
Para (mantan) TRIP dan TP yang mengisi jabatan-jabatan kunci pada Ditjen Pajak dan Ditjen BC, setelah mulai menjalankan tugas mengupayakan perolehan pendapatan negara (sebanyak-banyaknya), segera menyadari bahwa dibalik kiprah mengurusi pemasukan uang negara, kantong celana mereka sendiri ternyata kempis. Kalau begitu, apa salahnya “mengambil sedikit” dari uang yang mereka kelola itu, guna meningkatkan harkat dan martabat keluarga mereka, dan atau “untuk belanja dapur”.
Juga dicatat bahwa definisi “sedikit” itu tak diketahui ukurannya. Maka tidak usahlah kita heran kalau sebelum satu dasawarsa dari proklamasi kemerdekaan, sudah timbul mega korupsi yang “debutnya” diawali oleh Abu Kiswo, petinggi Ditjen Bea dan Cukai (tahun 1952).
Seandainya, ya seandainya frasa tambahan teks proklamasi kemerdekaan tersebut ada, maka pada tahun-tahun awal kemerdekaan, Indonesia, dengan bantuan negara-negara sahabat yang bersimpati, dapat memaksakan suatu resolusi PBB untuk memaksa agar mantan penjajah Belanda memberikan pendidikan pelatihan tata kelola negara kepada negara Republik Indonesia, yang baru merdeka itu.
Tetapi ya sudahlah kita jalani saja apa yang sudah terjadi, yang penting kita mendukung sepenuhnya kprah KPK menhantam habis tikus-tikus pemangsa uang negara. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar