Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Kamis, 10 Juni 2010

Menerapkan Kebijakan Cabotage (lanjutan)

Kalau blogger sudah berhasil meyakinkan anda tentang begitu besarnya hajatan penerapan kebijakan cabotage oleh pemerintah Indonesia, barangkali blogger boleh bertanya: dari mana memulai hajatan besar lima komponen cabotage itu?
Barangkali pula boleh disepakati bahwa negara maritim (yang besar) perlu memiliki armada niaga nasional yang besar, kuat dan tangguh, termasuk memiliki galangan-galangan kapal yang mempunyai daya produksi meyakinkan. Sayangnya semua itu saat kini langka, termasuk Bapak Soedarpo Sastrosatomo (alm) yang selama beberapa dekade dicatat, diakui sebagai raja kapal Indonesia, justru memilih untuk mengeliminasi pengakuan itu; catatan itu, sekarang justru berbalik: beliau jadi tidak lagi mempunyai kapal Indonesia.
Catatan: sinyalemen in tidak sepenuhnya benar karena “berkah” deregulasi bidang kemaritiman pada dekade delapan-puluhan yang menjungkir-balikkan definisi pelayaran antar pulau Indonesia, pak Darpo mengambil langkah bisnis spektakuler yang akan disebutkan berikut ini.
Serangkaian peraturan-peraturan Pemerintah yang diterbitkan dalam bulan November 1988, dikenal sebagai Paknov 88 membebaskan pengusahaan pelayaran niaga antar pulau di Indonesia oleh siapa saja (baca: kapal-kapal berbendera ngara asing boleh beoperasi dalam pelayaran antar pulau Indonesia).
Dengan adanya deregulasi ini, menurut hitung-hitungan pak Darpo sebagai pengusaha profesional, beliaumerasa tidak perlu lagi memiliki kapal berbendera merah putih. Maka pak Darpo yang juga adalah pahlawan perang kemerdekaan RI, selain juga sebagai pengusaha bidang maritim yang handal, pebisnis sejati menghitung bahwa lebih menguntungkan menjadi agen perusahaan pelayaran lain, asing ketimbang menjadi reder dalam bisnis pelayaran antar pulau (tidak ada perubahan dalam kiprah beliau dalam bisnis pelayaran internasional).
Ujung-ujungnya, raja kapal Indonesia itu menjual semua kapalnya kepada perusahaan di Singapura sehingga kapal-kapalmiliknya menjadi tidak lagi berbendera merah putih. Catatan lagi: secara “de facto”sebenarnya pak Darpo masih menjadi raja kapal tetapi tidak dapat disebut sebagai raja kapal Indonesia karena kapal-kapalyang dijualnya itu tetap berada di bawah kepemilikannya karena si pembeli kapal adalah perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Singapura namun pendirinya adalah mbak Shanti, puteri pak Darpo sendiri. Begitulah akhir cerita akhir kerajaan kapal Indoneia.
Lalu apa ide blogger menyangkut kepemilikan kapal Indonesia oleh investor Indonesia, guna menunjang pelaksanaan penerapan azas cabotage? Terlebih dahulu ijinkan blogger menceritakan pembinaan armada niaga negara maritim terkemuka dunia, Jepang beirkut ini.
Pengunjung web ini yang sudah berusia di atas 60 tahun barangkali masih ingat bahwa dahulu, kalau membeli barang buatan Jepang, mendapati teraan “Made in Occupied Japan” pada barang yang dibelinya itu. Teraan itu berarti bahwa barang tersebut buatan Jepang yang diduduki (oleh tentara sekutu, pasca perang dunia II).
“Sesaat” setelah status Jepang sebagai negara yang diduduki diakhiri, medio dasawarsa enampuluhan, pembinaan potensi kemaritiman Jepang secara menyeluruh dimulai, termasuk penguatan potensi galangan-galangan kapal yang ada di semua pulau-pulau Jepang. Tidak perlu diceritakan bahwa order pembangunan kapal-kapal yang dibiayai oleh APBN Jepang, disebar secara merata kepada galangan-galangan kapal nasional termaksud.
Dampak positifnya adalah: semua galangan kapal di Jepang berkembang dan mempunyai kapasitas (besar) yang seragam; dampak positifnya lebih lanjut: masa pembangunan kapal di Jepang hanya enam bulan, berapa besar pun tonase kapal yang dipesan. Lho, kok bisa, di saat Indonesia masih berkutat dengan pembangunan kapal selama (lebih dari) dua tahun atau paling tidak, lebih dari satu tahun, berapa kecil pun tonase kapal yang dibangun.
Apa yang dapat dilihat dari masa pembangunan kapal yang singkat itu? Cost of money bung! Umum diketahui bahwa pemesan kapal (diharapkan) menyediakan dana awal sebesar 10% dari biaya pembangunan kapal sementara sisanya sebesar 90% dikumpulkan dari “setoran” pihak-pihak yang terlibat dalam operasi kapal, setelah kapal diterima oleh pemesan dari galangan. Dengan waktu pembangunan kapal yang hanya enam bulan, jelas bahwa harga kapal (sangat) rendah karena biaya “cost of money” sangat kecil.
Dengan waktu pembangunan kapal (di Indonesia) satu tahun lebih, bagaimana harga kapal buatan Indonesia dapat bersaing dengan kapal yang dibangun di negara maritim lain (bukan hanya Jepang)? Ini merupakan masalah besar yang harus dihadapi Indonesia jika ingin meningkatkan potensi pelayaran niaganya.
Masa pembangunan kapal di negara maritim maju yang (sangat) singkat itu dimungkinkan karena pembangunan kapal di sana dilakukan secara “gotong royong” oleh empat atau lima galangan yang masing-masing mengerjakan satu modul (satu potong/bagian) kapal sementara pembangunan mesin-mesin kapal, baik mesin induk (main engine) maupun mesin-mesin bantu (auxiliary machinery) dipercayakan kepada satu perusahaan pembuat mesin atau satu consorsium pembuat mesin.
Tiap-tiap galangan harus menyelesaian pembangunan modul kapal yang menjadi tanggung jawabnya selama tiga bulan, secara bersamaan) sementara jadwal penyelesaian pembangunan mesin-mesin diatur tersendiri berhubung mesin induk dan mesin-mesin lain yang lebih kecil baru dipasang setelah modul-modul yang sudah selesai dikerjakan, sudah tersambung menjadi satu unit kapal yang utuh.
Semua modul kapal yang sudah selesai dibangun, disetorkan kepada galangan koordinator (blogger sebut saja begitu) untuk disambung dalam waktu satu bulan.
Beres menyambung-nyambungkan tubuh kapal (hull), dilanjutkan dengan pemasangan mesin-mesin, juga dalam waktu satu bulan dan diakhiri dengan prosedur percobaan berlayar (sea trial) serta sertifikasi kapal, masing-masing juga dalam waktu satu bulan. Itulah rahasianya pembangunan kapal dalam waktu hanya enam bulan.
Tentu “agak terlambat” kalau Indonesia meniru pola pembinaan industri maritim seperti yang diceritakan itu, maka menurut blogger langkah yang sebaiknya ditempuh adalah: mulai sekarang semua kapal dan sarana kemaritiman lain yang pembangunannya dibiayai APBN, dibangun di galangan Indonesia tanpa membuat perbandingan biaya pembangunannya di negara maritim lain. Yang penting: dana pembangunan itu dapat diakomodasi dalam APBN atau APBD, kalau menyangkut pemesanan oleh daerah.
Bagi perusahaan pelayaran (swasta/BUMN) harus diijinkan membeli kapal bekas di luar negeri karena murah, tetapi pembelian itu, untuk pembelian pertama, harus disertai program pemesanan kapal baru di galangan nasional untuk lima tahun berikutnya. Kalau perusahaan tersebut akan membeli kapal bekas kedua, harus menyertakan program pemesanan kapal baru untuk empat tahun ke depan, demikian seterusnya maju satu tahun.
Sementara itu Pemerintah juga dianjurkan secepatnya menyusun program pemberian subsidi kepada perusahaan pelayaran nasional dalam pembangunan kapal, baik berupa construction differential subsidy maupun operating differential subsidy (ada lanjutannya)

Kalau blogger sudah berhasil meyakinkan anda tentang begitu besarnya hajatan penerapan kebijakan cabotage oleh pemerintah Indonesia, barangkali blogger boleh bertanya: dari mana memulai hajatan besar lima komponen cabotage itu?
Barangkali pula boleh disepakati bahwa negara maritim (yang besar) perlu memiliki armada niaga nasional yang besar, kuat dan tangguh, termasuk memiliki galangan-galangan kapal yang mempunyai daya produksi meyakinkan. Sayangnya semua itu saat kini langka, termasuk Bapak Soedarpo Sastrosatomo (alm) yang selama beberapa dekade dicatat, diakui sebagai raja kapal Indonesia, justru memilih untuk mengeliminasi pengakuan itu; catatan itu, sekarang justru berbalik: beliau jadi tidak lagi mempunyai kapal Indonesia.
Catatan: sinyalemen in tidak sepenuhnya benar karena “berkah” deregulasi bidang kemaritiman pada dekade delapan-puluhan yang menjungkir-balikkan definisi pelayaran antar pulau Indonesia, pak Darpo mengambil langkah bisnis spektakuler yang akan disebutkan berikut ini.
Serangkaian peraturan-peraturan Pemerintah yang diterbitkan dalam bulan November 1988, dikenal sebagai Paknov 88 membebaskan pengusahaan pelayaran niaga antar pulau di Indonesia oleh siapa saja (baca: kapal-kapal berbendera ngara asing boleh beoperasi dalam pelayaran antar pulau Indonesia).
Dengan adanya deregulasi ini, menurut hitung-hitungan pak Darpo sebagai pengusaha profesional, beliaumerasa tidak perlu lagi memiliki kapal berbendera merah putih. Maka pak Darpo yang juga adalah pahlawan perang kemerdekaan RI, selain juga sebagai pengusaha bidang maritim yang handal, pebisnis sejati menghitung bahwa lebih menguntungkan menjadi agen perusahaan pelayaran lain, asing ketimbang menjadi reder dalam bisnis pelayaran antar pulau (tidak ada perubahan dalam kiprah beliau dalam bisnis pelayaran internasional).
Ujung-ujungnya, raja kapal Indonesia itu menjual semua kapalnya kepada perusahaan di Singapura sehingga kapal-kapalmiliknya menjadi tidak lagi berbendera merah putih. Catatan lagi: secara “de facto”sebenarnya pak Darpo masih menjadi raja kapal tetapi tidak dapat disebut sebagai raja kapal Indonesia karena kapal-kapalyang dijualnya itu tetap berada di bawah kepemilikannya karena si pembeli kapal adalah perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Singapura namun pendirinya adalah mbak Shanti, puteri pak Darpo sendiri. Begitulah akhir cerita akhir kerajaan kapal Indoneia.
Lalu apa ide blogger menyangkut kepemilikan kapal Indonesia oleh investor Indonesia, guna menunjang pelaksanaan penerapan azas cabotage? Terlebih dahulu ijinkan blogger menceritakan pembinaan armada niaga negara maritim terkemuka dunia, Jepang beirkut ini.
Pengunjung web ini yang sudah berusia di atas 60 tahun barangkali masih ingat bahwa dahulu, kalau membeli barang buatan Jepang, mendapati teraan “Made in Occupied Japan” pada barang yang dibelinya itu. Teraan itu berarti bahwa barang tersebut buatan Jepang yang diduduki (oleh tentara sekutu, pasca perang dunia II).
“Sesaat” setelah status Jepang sebagai negara yang diduduki diakhiri, medio dasawarsa enampuluhan, pembinaan potensi kemaritiman Jepang secara menyeluruh dimulai, termasuk penguatan potensi galangan-galangan kapal yang ada di semua pulau-pulau Jepang. Tidak perlu diceritakan bahwa order pembangunan kapal-kapal yang dibiayai oleh APBN Jepang, disebar secara merata kepada galangan-galangan kapal nasional termaksud.
Dampak positifnya adalah: semua galangan kapal di Jepang berkembang dan mempunyai kapasitas (besar) yang seragam; dampak positifnya lebih lanjut: masa pembangunan kapal di Jepang hanya enam bulan, berapa besar pun tonase kapal yang dipesan. Lho, kok bisa, di saat Indonesia masih berkutat dengan pembangunan kapal selama (lebih dari) dua tahun atau paling tidak, lebih dari satu tahun, berapa kecil pun tonase kapal yang dibangun.
Apa yang dapat dilihat dari masa pembangunan kapal yang singkat itu? Cost of money bung! Umum diketahui bahwa pemesan kapal (diharapkan) menyediakan dana awal sebesar 10% dari biaya pembangunan kapal sementara sisanya sebesar 90% dikumpulkan dari “setoran” pihak-pihak yang terlibat dalam operasi kapal, setelah kapal diterima oleh pemesan dari galangan. Dengan waktu pembangunan kapal yang hanya enam bulan, jelas bahwa harga kapal (sangat) rendah karena biaya “cost of money” sangat kecil.
Dengan waktu pembangunan kapal (di Indonesia) satu tahun lebih, bagaimana harga kapal buatan Indonesia dapat bersaing dengan kapal yang dibangun di negara maritim lain (bukan hanya Jepang)? Ini merupakan masalah besar yang harus dihadapi Indonesia jika ingin meningkatkan potensi pelayaran niaganya.
Masa pembangunan kapal di negara maritim maju yang (sangat) singkat itu dimungkinkan karena pembangunan kapal di sana dilakukan secara “gotong royong” oleh empat atau lima galangan yang masing-masing mengerjakan satu modul (satu potong/bagian) kapal sementara pembangunan mesin-mesin kapal, baik mesin induk (main engine) maupun mesin-mesin bantu (auxiliary machinery) dipercayakan kepada satu perusahaan pembuat mesin atau satu consorsium pembuat mesin.
Tiap-tiap galangan harus menyelesaian pembangunan modul kapal yang menjadi tanggung jawabnya selama tiga bulan, secara bersamaan) sementara jadwal penyelesaian pembangunan mesin-mesin diatur tersendiri berhubung mesin induk dan mesin-mesin lain yang lebih kecil baru dipasang setelah modul-modul yang sudah selesai dikerjakan, sudah tersambung menjadi satu unit kapal yang utuh.
Semua modul kapal yang sudah selesai dibangun, disetorkan kepada galangan koordinator (blogger sebut saja begitu) untuk disambung dalam waktu satu bulan.
Beres menyambung-nyambungkan tubuh kapal (hull), dilanjutkan dengan pemasangan mesin-mesin, juga dalam waktu satu bulan dan diakhiri dengan prosedur percobaan berlayar (sea trial) serta sertifikasi kapal, masing-masing juga dalam waktu satu bulan. Itulah rahasianya pembangunan kapal dalam waktu hanya enam bulan.
Tentu “agak terlambat” kalau Indonesia meniru pola pembinaan industri maritim seperti yang diceritakan itu, maka menurut blogger langkah yang sebaiknya ditempuh adalah: mulai sekarang semua kapal dan sarana kemaritiman lain yang pembangunannya dibiayai APBN, dibangun di galangan Indonesia tanpa membuat perbandingan biaya pembangunannya di negara maritim lain. Yang penting: dana pembangunan itu dapat diakomodasi dalam APBN atau APBD, kalau menyangkut pemesanan oleh daerah.
Bagi perusahaan pelayaran (swasta/BUMN) harus diijinkan membeli kapal bekas di luar negeri karena murah, tetapi pembelian itu, untuk pembelian pertama, harus disertai program pemesanan kapal baru di galangan nasional untuk lima tahun berikutnya. Kalau perusahaan tersebut akan membeli kapal bekas kedua, harus menyertakan program pemesanan kapal baru untuk empat tahun ke depan, demikian seterusnya maju satu tahun.
Sementara itu Pemerintah juga dianjurkan secepatnya menyusun program pemberian subsidi kepada perusahaan pelayaran nasional dalam pembangunan kapal, baik berupa construction differential subsidy maupun operating differential subsidy (ada lanjutannya)

0 komentar:

Posting Komentar