Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Rabu, 09 Juni 2010

Free Trade Zone dan K.E.K.

Istilah Free Trade Zone (Daerah Perdagangan Bebas) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) banyak dibicarakan akhir-akhir ini. Kedua istilah itu bersumber dari keinginan negara untuk memacu pertumbuhan ekonomi, utamanya perdagangan internasional antara Indonesia dengan negara-negara lain.
Negara-negara, dalam upayanya memberdayakan dan meningkatkan perdagangan internasionalnya, menetapkan sebagian wilayah teritorialnya sebagai free trade zone, FTZ atau sebagai Kawasan Ekonomi Khusus, KEK.
FTZ, KEK adalah bagian wilayah teritorial negara di mana hukum pabean tidak berlaku. Jadi di dalam kawasan itu tidak ada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan tidak ada pegawai Bea dan Cukai berseragam Customs yang bertugas, di dalam kawasan, berpatroli mengawasi lalu lintas barang impor dan ekspor. Di dalam kawasan FTZ itu hanya ada Pos Pabean (mungkin hanya berupa gardu pengawasan) untuk memeriksa kebenaran pengeluaran barang dari kawasan.
Di dalam kawasan perdagangan bebas juga perlu dibangun free port (pelabuhan bebas tanpa pengawasan Pabean) di mana kapal yang datang dari luar negeri bebas memasuki pelabuhan, bebas membongkar muatan impornya dan langsung ibawa ke fasilitas produksi atau gerai yang ada di sana, untuk dipamerkan. Selama barang diolah, dipamerkan, ditransaksikan di dalam FTZ/KEK tidak ada campur tangan petugas Pabean supaya biaya impor, pengolahan menjadi lebih ringan. Kalau barang akan dikeluarkan dari kawasan untuk dibawa ke daerah pabean Indonesia (peredaran bebas), barulah diurus prosedur impornya, inklaring, membayar bea masuk dan lain-lainnya. Di situlah baru petugas Pabean berperan memeriksa kebenaran pengeluaran barang.
Mungkin di luar perhatian anda bahwa “sesaat” setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pemimpin-pemimpin bangsa kita sudah memikirkan untuk membangun FTZ di suatu kawasan yang sangat, sangat strategis dan ideal. Sayang perkembangan politik menabrak niat luhur itu, termasuk memubazirkan biaya yang sudah terlanjur dikeluarkan untuk penyiapan kawasan perdagangan bebas tersebut..
Adalah Walikota Djakarta Raya, Soediro pada akhir dasawarsa limpuluhan merintis jalan bagi pembangunan FTZ di kawasan yang sekarang dikenal sebagai Taman Impian Jaya Ancol, TIJA. Rintisan ini masih dilanjutkan oleh Gubernur (pertama) DKI Jakarta Dr. Soemarno, dan dilakukan langkah nyata reklamasi pantai Jakarta dengan bantuan perusahaan Perancis. Reklamasi dilakukan dengan menggunakan lumpur laut yang disedot oleh kapal keruk dan langsung disemprotkan ke lokasi yang dulu berupa rawa-rawa, menggunakan pipa berdiameter 20 inch.
Pemilihan lokasi ini sangat tepat dan biayanya murah karena waktu itu kawasan tersebut, yang berbentuk kubus (persegi panjang) terletak di tepi laut Jawa dan terdapat tiga kanal yang mengelilinginya. Satu kanal merupakan terusan dari kanal Sungai Ciliwung yang melintasi kampus AIP (Akademi Ilmu Pelayaran). Kanal lain yang utama, lokasinya sejajar dengan Jl. R.E Martadinata sampai ke kawasan pelabuhan Nusantara (dulu dikenal sebagai pelabuhan Volker) dan di situ kanal membelok ke kiri langsung ke laut Jawa.
Di atas ketiga kanal tersebut hanya ada satu jembatan kecil yang melintasi kanal terusan kampus AIP tersebut, lokasinya di sekitar gedung hailai. Dalam proses pembangunan FTZ, dibangun dua jembatan gantung yang rencananya akan digunakan khusus untuk keluar masuknya barang dari dn ke dalam FTZ. Satu jembatan gantung tipe swinging bridge (jembatan ayun) dibangun pada posisi pabrik es krim Diamond; pada lahan TIJA, jembatan dilengkapi engsel untuk menarik jembatan menepi jika kanal akan digunakan untuk lalu lintas air. Satu lagi jembatan gantung tipe folding bridge (jembatan lipat) dibangun pada posisi akses utrama TIJA.
Jembatan gantung yang disebut pertama sudah tidak ada lagi yang mengenalinya sekarang (sudah dicor beton dan dilas mati tetapi jembatan gantung kedua, sampai sekarang “dilestarikan” justru oleh kenek angkot jurusan Tanjung Priok – Kota dan Senen, berupa seruan: goyang, goyang siapa turun jembatan goyang. Tentunya si abang kenek tidak tahu mengapa barang yang tidak bergerak itu di sebut jembatan goyang.
Adapun folding bridge tersebut diletakkan diatas rangkaian ponton untuk memungkinkan jembatan ditarik menepi kalau kanal akan difungsikan untuk lalu lintas air. Saat jembatan digunakan untuk lalu lintas darat, kendaraan yang melintasinya berjalan bergoyang-goyang karena gerakan ponton-ponton yang menopang jembatan.
Sejarah mencatat bahwa pada awal dasawarsa enampuluhan Pemerintah Indonesia “kebanjiran” dana pampasan perang dari Jepang dan Presiden pertama RI yang terlalu mengandalkan pada doktrin berdikari namun sekaligus tidak berminat membina perekonomian negara secara sustainable, memilih untuk membangun prasarana yang bernuansa mercu suar, termasuk gelora Bung Karno, toserba Sarinah, Hotel Indonesia dan seterusnya sementara FTZ Ancol yang tidak menampakkan tampilan yang glamour dilupakan.
Termasuk juga pendekatan pabrik mobil Ford sebelumnya, yang pada tahun 1955 menawarkan untuk membangun jaringan jalan raya di pulau Sumatra, free of charge, dengan syarat selama lima tahun sesudahnya hanya mobil merk Ford boleh diimpor ke Indonesia. Sejarah mencatat juga bahwa tawaran itu mendapat tanggapan “go to hell with your aid” dari Presiden Soekarno.
Menyangkut FTZ Ancol, fasilitas tersebut sebenarnya memenuhi semua persyaratan free trade zone yang ideal, selain biaya konstruksinya sangat murah. Sebuah free trade zone disyaratkan harus berada dekat ke pasar, next to the market supaya biaya mengimpor barang melalui FTZ tersebut murah dan waktu yang dibutuhklan sangat pendek.
Secara nasional, pasar Indonesia adalah pulau Jawa dan kawasan-kawasan lainnya merupakan pasar penunjang. Menilik posisi pasar tersebut, para pemasok luar negeri yang mengetahui karakter pasar Indonesia akan berlomba mengisi stock barang di FTZ dan importir Indonesia yang memerlukan barang dapat mengambilnya dari FTZ Ancol dalam waktu hanya satu minggu, paling lama dua minggu dibandingkan bila mengimpor langsung dari luar negeri yang memerlukan waktu 3 bulan yang sudah barang tentu cost of money-nya lebih mahal.
Lagi pula mengimpor langsung dari negara asal barang menjadi lebih mahal karena ketika barang tiba di pelabuhan sudah terkena pembayaran bea masuk. Impor melalui FTZ Ancol pasti lebih murah karena biaya pembinaan stock di dalam FTZ ditanggung oleh pemasok (eksportir di negara lain) sementara dana yang harus dikeluarkan importir untuk biaya impor lainnya termasuk bea masuk akan segera kembali karena proses impor berlangsung dalam waktu sangat singkat di mana barang yang diimpor yang segera dijual akan menghasilkan pengembalian modal lebih cepat.
Tapi ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur, dua kali sudah Indonesia mengalami kegagalan membina FTZ (atau “baru” satu serengah kali kalau belum berfungsinya FTZ Batam belum diakui sebagai kegagalan, mungkin baru dianggap sukses yang tertunda).
Pada pembinaan FTZ Sabang (Pulau We) prospek kegagalan sudah diprediksi sejak awal berkaitan jarak yang terlalu jauh dari wilayah Indonesia lainnya (di luar jauhnya jarak dari pasar utama, pulau Jawa). Posisi FTZ Batam tidak jauh berbeda dari Sabang, ditambah masalah efektivitas pengawasan.
Masih segar dalam ingatan kita pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri di mana pada waktu itu Presiden Megawati menolak menandatangani Undang-undang FTZ Batam berhubung masih ada masalah yang mengganjal. Masih kita ingat juga bahwa pihak DPR sepakat dengan pelaku bisnis yang menghendaki willayah FTZ menyeluruh semerntara Presiden Megawati menhendaki model enclave yaitu wilayah-wilayah di kepulauan Batam yang berfungsi sebagai FTZ diberi batas yang tegas.
Dari proses tersebut tampak bahwa kubu Presiden Megawati menampilkan pertimbangan yang lebih waras karena kalau FTZ Batam ditetapkan sebagai suatu keseluruhan (seluruh kepulauan Batam/Riau, ditetapkan sebagai FTZ, bukan hanya pulau Batam). Seandainya hanya pulau Batam saja ditetapkan sebagai FTZ, masalah juga tidak kecil karena pengawasannya sangat sulit. Bagaimana mengawasi pulau sebesar itu yang berbentuk bulat? Diawasi di sebelah sini, penyelundup lolos dari tempat lain. Apalagi kalau seluruh kepulauan ditetapkan sebagai FTZ menyeluruh, bisa menjadi sorga bagi kelompok penyelundup.
Berbeda dengan kawasan FTZ Ancol (TIJA) yang pengawasannya cukup dengan memasang lampu sorot pada empat menara yang dibangun pada keempat sudut kawasan; pengawasan sangat murah dan efektif.
Dalam kaitan ini dapat disebutkan bahwa pada awal tahun 2009 terdapat wacana di mana pihak swasta akan membangun KEK pada kawasan Marunda, dengan international port terpadu. Wacana ini harus didukung oleh semua pihak karena profile kawasan tersebut mirip dengan TIJA sehingga KEK Marunda, kalau terealisasi, akan dapat berfungsi dengan baik.
Sehubungan dengan masalah ini blogger pernah menulis surat kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan mendapat tanggapan positif dari beliau melalui sebuah surat yang dikirimkan kepada blogger.
Blogger hanya berharap dan berdoa semoga para pemimpin dan petinggi bangsa dapat berpikir lebih jernih dan waras dengan memulai pembangunan FTZ atau KEK pada kawasan yang strategis, demi penekanan biaya impor.

0 komentar:

Posting Komentar