Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Selasa, 08 Juni 2010

MENERAPKAN KEBIJAKAN CABOTAGE.

Kira-kira dua tahun sebelum bapak Soedarpo Sastrosatomo, diakui sebagai raja kapal Indonesia, mennggal dunia, blogger ini menulis outline bagi proposal seminar pelaksanaan kebijakan cabotage, suatu kebijakan maritim yang telah dicanangkan akan diterapkan kembali di Indonesia.

Outline penulis sampaikan kepada pejabat Fakultas yang berwenang dengan harapan beliau menaruh minat dan mendukung angan-anganku untuk membentuk team kecil terdiri dari tiga orang untuk menghadap pak Darpo guna menjaring buah pikiran beliau untuk nantnya dijadikan rujukan bagi perumusan materi seminar, yang menurut blogger sangat strategis, sangat penting. Saat itu pak Darpo sudah tidak aktif mengurus bianis pelayaran niaga melalui PT. Samudra Indonesia dan beberapa perusahaan lainnya. Tetapi ternyata harapan saya jauh panggang dari api.

Outline dibaca sepintas lalu dan dikomentari dengan enteng: ah, ini mah sudah usang, semua orang sudah membicarakan tentang cabotage, untuk kita ikutan bicara dan menghabiskan anggaran mendakan seminar. Waduh, kata saya dalam hati. Penerapan kebijakan cabotage belum lagi dimulai kok dikatakan sudah usang.Menyadari bahwa sang pejabat rupanya tidak mengetahui “binatang apakah cabotage itu”, blogger jadi tidak mood lagi untuk bicara lebih panjang.

Saya hanya berdoa semoga saja Presiden SBY, bersama jajarannya tetap tegar dan teguh hati melanjutkan upaya penerapan kebijakan cabotage, karena hajatan itu memang sangat besar, bukan gebrakan setahun dua. Kenyataan bahwa sampai saat inipun, lebih lima tahun setelah keputusan politik kembali ke kebijakan cabotage itu dicanangkan, belum tampak tanda-tanda yang menunjukkan telah dimulainya upaya nyata penerapan kebijakan cabotage, karena gawe tersebut memang sangat besar dan berjangka sepanjang sejarah sehngga memerlukan persiapan yang matang, konsisten dan sistematis, menyangkut semua bidang yang terkait.

Untuk memulai gawe tersebut, menjadi pertimbangan rumit dari manakah gawe akan dimulai, karena dimensinya yang sangat luas dan besar itu. Dalam kaitan ini pertama-tama blogger dapat mendaftar hal-hal yang berkaitan dengan sarana utama pelaksanaan penerapan kebijakan cabotage.

Negara yang menjalankan kebijakan free entry, berperilaku menyewakan bendera nasionalnya kepada siapa saja yang berminat. Siapa saja, berkewarganegaraan mana saja boleh mendaftarkan kapalnya di negara free entry dan diijinkan mengibarkan bendera nasional negara free entry tersebut pada kapal yang didaftarkan itu asal membayar fee sesuai ketentuan.

Sebutan negara FOC, flag of convenience diberikan kepada negara yang memberi kemudahan kepada siapa saja yang mendaftarkan kapalnya di negara tersebut, berdasakan pembayaran tentunya, dengan imbalan ijin mengibarkan bendera nasional negara tersebut, pada kapal yang terdaftar tersebut.

Negara-negara yang secara tradisional menerapkan kebijakan menyewakan bendera nasionalnya kepada pmilik kapal, yang populer di antaranya:
1. Liberia – favorit bagi oil tankers owner;
2. Panama – disukai para pemilik kapal general cargo, termasuk kapal peti kemas dan kapal bulk;
3. Honduras – serupa Panama
4. lain-lain negara kecil yang menjadikan registration fee dari kapal-kapal tersebut sebagai sumber pendapatannya dalam APBN.

Dewasa ini daftar negara free entry tersebut bertambah-tambah terus dan terisi terutama oleh nama-nama negara maritim gurem seperti Belize.

Menyangkut tekad pemerintah Indonesia kembali menerapkan kebijakan cabotage, dirasakan ada hal yang cukup memprihatinkan bahwa sebagian pelaku shipping business, tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Mereka ini tentunya hanya memikirkan pembiayaan usaha pelayaran yang murah dan abai terhadap pembinaan usaha pelayaran nasional, abai terhadap pentingnya pembinaan sistem pelayaran domestik yang dapat menghidupkan usaha pelayaran nasional.

Mereka hanya memikirkan bahwa kebijakan cabotage dapat menurunkan biaya operasi kapalnya secara signifikan, terutama karena biaya pendaftaran japal yang (sangat) rendah pada negara FOC dibandingkan dengan pada neghara ncabotage.

Namun kalau ditilik secara runut, sebenrnya biaya kapal yang tinggi lebih terkait kepada penetapan status kapal Indonesia yang masih mengacu kepada Kitab Undang-undang Hukum Dagang, di mana KUHD warisan Belanda ini pada pasal 243 menetapkan bahwa kapal Indonesia adalah kapal yang 2/3 modalnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.

Sebenarnya ketentuan inilah yang memberatkan, bukan ketentuan tentang biaya pendaftaran kapal Indonesia; mengapa tidak ada ahli hukum maritim, pemodal shipping yang mengajukan dalil misalnya yang membalik ketentuan udang-undang tersebut menjadi “warga negara Indonesia yang memasukkan modal 1/3 bagian dari biaya pembangunan kapal, dapat mengajukan permohonan agar kapal tersebut ditetapkan sebagai kapal Indonesia”.

Di sisi lain pemerntah Indonesia, berdasarkan permohonan investor Indonesia menetapkan bahwa kapal yang modalnya dimasukkan oleh warganegara Indonesia sebanyak 1/3 bagian, ditetapkan sebagai kapal Indonesia dengan syarat-syarat tertentu, misalnya modal harus ditingkatkan menjadi ½ bagian dalam waktu 5 tahun dan dalam waktu 5 tahun berikutnya komposisi permodalan harus menjadi 2/3 bagian, pada posisi mana kapal menjadi kapal Indonesia secara permanen.

0 komentar:

Posting Komentar