Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Selasa, 08 Juni 2010

Tabrakan Kapal

Mendengar orang menyebut tentang kapal laut bertabrakan, barangkali anda teringat akan tabrakan head to head, tabrakan “laga kambing” antara dua kapal di suatu perairan laut yang ada di dunia, sebagaimana halnya tabrakan antara dua mobil di jalan raya. Atau anda akan mem bayangkan tabrakan kapal di perairan teluk atau selat pada saat cuacca buruk dan kabut tebal.

Lho, kapal yang berlayar dalam posisi seperti itu kan membunyikan klakson (seruling kapal) keras-keras agar terdengar dari jarak yang jauh. Menurut penuturan pelayar, seruling kapal memang terdengar tetapi orientasi asal suara sering terdistorsi oleh kabut; kabut tebal dapat membelokkan rambatan suara. ABK memang mendengar suara keras seruling, namun sering menduga bahwa isyarat suara itu berasal dai posisi jam 2 padahal sebenarnya kapal yang mem- bunyikan “klakson” berada pada posisi jam 3. Alkisah, kabut tebal yang membelokkan rambatan suara dan memantulkannya ke arah kapal lain, diterima dalam persepsi keliru oleh kapal lain itu; maka tidak mengherankan kalau dua kapal yang berada pada perairan yang tidak luas itu mengalami tabrakan.

Tetapi benarkah tabrakan antara dua kapal hanya terjadisecara head to head, tabrakan laga kambing? epatnya tidak demikian karena hukum maritim juga mengenal tentang singgungan kapal, juga tabrakan antara kapal dengan benda tidak bergerak yang ada di laut dan lain-lain.

Juga ada risiko general average, yaitu keadaan darurat yang dialami kapal yang sedang berlayar di mana untuk menyelamatkan pelayaran kapal, setidak-tidaknya untuk membawa kapal ke pelabuhan darurat guna meminta bantuan teknis, harus dilakukan tindakan darurat antara lain dengan membuang muatannya ke laut yang untuk tindakan itu harus merusak badan kapal.

Semua kerugian yang timbul dari keadaan dan tindakan darurat itu harus ditanggung bersama oleh semua pihak yang berkepentingan dalam pelayaran tersebut yaitu pemilik kapal, operator kapal, dan pemilik muatan yang ada di dalam kapal yang mungkin sebagian mengalami kerusak- an bahkan rusak total walaupun sebagian lain muatan tidak mengalami cedera sedikitpun.

Dalam asuransi laut (marine insurance, asuransi maritim) ada klausul yang berjudul both to blame collision clause yang mungkin boleh diterjemahkan “kedua pihak saling menyalahkan”. Maksudnya: kalau dua buah kapal bertabrakan (atau: bersinggungan) di laut, maka, pada tahap pertama masing-masing kapal menyalahkan kapal lainnya sebagai penyebab terjadinya tabrak- an.

Maka pada tahapan itu tidak dapat diambil pegangan kapal manakah yang sebenarnya bersalah karena pihak yang disalahkan tentu tidak begitu saja mau mengakui bahwa kapalnya menabrak kapal yang lain; sebaliknya, pihak ini juga “menuduh” bahwa kesalahan ada pada kapal yang lain. (Lihat Capt. H. Win Pudji Pamularso, SH. MH., M.Mar :Tubrukan Kapal Pertamina dengan Elixir di Perairan Jakarta", Yayasan Obor Indonesia, 2009.

Jadi sebenarnya, peristiwanya, apakah kapal A menabrak kapal B atau kapal A ditabrak kapal B (dengan perkataan lain: kapal A ditabrak kapal B atau kapal A menabrak kapal B), belum dapat diketahui. Kepastian kapal mana yang menabrak dan kapal mana yang ditabrak, akan diketahui dari keputusan Mahkamah Pelayaran (Admiralty Court) yang mengadakan sidang untuk mene- tapkan keputusan atas tabrakan itu. Oleh karena itu setelah suatu peristiwa tabrakan atau singgungan kapal terjadi, segera digelar sidang Mahkamah Pelayaran yang majelis hakimnya terdiri dari nakhoda-nakhoda senior dan atau mantan nakhoda dan bukannya ahli-ahli hukum pidana kawakan).

Mengamati peristiwa tabrakan kapal di laut, anda mungkin bertanya di laut yang begitu luas, apakah perlu terjadi tabrakan antara dua kapal? Kalau kapal-kapal hanya berlayar di laut lepas (high seas) yang maha luas, mungkin tidak terjadi tabrakan kapal. Tetapi jangan lupa banyak kasus tabrakan kapal terjadi pada alur pelayaran yang sempit dan atau ramai lalu-lintas pelayar annya, pada selat atau teluk dan perairan dekat pantai.

Pada ujung “tanduk” benua Eropa, yang berbatasan dengan kepulauan Inggeris, kapal yang berlayar terlalu dekat ke pantai dapat terseret oleh arus sehingga menabrak kapal lain atau terkandas di pantai. Jadi tidak dipandang aneh kalau tabrakan kapal (banyak) terjadi. Di sisi lain, sebenarnya ilmu pelayaran mempunyai aturan baku guna meminimalisir terjadinya tabrakan kapal; jika dua kapal berlayar pada arah berlawanan arah (= berlayar berpapasan) atau berlayar pada arah yang sama di luar high seas (berlayar searah, beriringan). Dalam hal demikian kedua kapal harus menjaga jarak minimum yang aman (maaf, blogger bukan pelayar, tidak berwenang menyebutkan berapa yard tepatnya jarak aman antara kapal satu dengan lainnya itu).

Dalam aturan pelayaran itu juga ditetapkan bahwa kalau dua kapal berlayar berpapasan, satu kapal harus cikar kiri (atau cikar kanan) dan kapal lainnya dipersilahkan berjalan lurus ke depan. Kalau aturan baku ini tidak dipatuhi, dan atau, dua kapal tersebut tidak menjaga jarak minimum yang aman, dapat terjadi tabrakan (kecelakaan kapal) tanpa salah satu kapal harus menabrak kapal yang lain.

Bayangkanlah: dua buah kapal sama-sama berlayar di perairan teluk tanpa menjaga minimum jarak kapal dan atau tanpa memenuhi aturan baku tersebut di mana: kapal yang lebih besar (katakan LOA-nya 300M) berada pada posisi di luar (lebih jauh dari garis pantai teluk) dan kapal yang lebih kecil berada pada posisi dalam. Ombak yang ditimbulkan oleh kapal yang lebih besar dapat mengakibatkan goncangan pada kapal yang lebih kecil, goncangan yang cukup untuk menghancurkan barang-barang yang diangkut oleh kapal itu (secara konvensional atau dalam peti kemas).

Peristiwa ini tentu menimbulkan substansi marine insurance dan pihak yang dirugikan tentunya mempunyai hak menuntut pihak lain; sidang mahkamah pelayaran yang digelar untuk mengadili peristiwa laut ini dapat mengambil keputusan yang adil, dengan mempertimbangkan argumen- tasi pihak-pihak, serta fakta hukum lain yang ada. Maka diharapkan Mahkamah Pelayaran dapar mengambil keputusan yang tepat dan adil.

Menyangkut peristiwa General Average, kebetulan blogger mempunyai pengalaman ikut meng- urus proses claim dan selama tiga setengah tahun claim GA itu belum ada hasil (blogger sudah keburu pindah kerja. Hal itu rupanya dianggap tidak mengherankan; sahabatku Capt. Sutrisno Djajadiputro, MM.Mar, ICAP (trisno@dnt.co.id) berkomentar bahwa menyelesaikan claim general average (biasa disingkat GA) selama sepuluh, lima belas tahun mah biasa-biasa saja.

Sehubungan dengan itu maka kepada para importir dianjurkan agar dalam menutup persetujuan asuransi atas barang impornya, memasukkan juga "risiko average" ke dalam polis asuransinya.

Saat blogger bekerja pada perusahaan industri manufacturing sebagai import manager, Generaaal Manager perusahaan tersebut (orang bule WN Inggeris) merasa heran kok saya tahu tentang general average, belajar dari mana?). Saat itu dia kebetulan datang ke meja saya ketika masuk telepon dari Jasindo yang memberitahukan bahwa kapal yang mengangkut barang impor saya terkena GA. Pemberitahuan tersebut spontan kusambut dengan instruksi agar surat-surat yang harus kuteken disampaikan hari itu juga, soalnya besok aku cuti mau pulang kampung.

Kalau importir tidak memasukkan risiko average sebagai (salah satu) risiko asuransinya maka kalau kapal yang mengangkut barang impornya terkena average, dia harus mengurus sendiri claimnya kepada GA Adjuster dan urusan itu sangat ribet (makan waktu bertahun-tahun pula) sedang kalau risiko average termasuk, importir hanya perlu berurusan dengan pihak asuransi yang dengan Subrogation Letter akan menyelesaikan claim asuransinya seperti biasa.

Urusan ganti rugi sehubungan terjadi General Average (atau Particular Average) akan ditangani oleh asuransi yang telah mengantongi surat subrogasi yang ditandatangani oleh importir sebagai tertanggung.

0 komentar:

Posting Komentar