Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Senin, 07 Juni 2010

Tentang Konsultan Maritim

Konsultan Maritim adalah blog tempatmenuangkan pikiran-pikiran tentang masalah kemaritiman, khususnya masalah angkutan laut termasuk asuransi maritim.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Terimakasih, Pak Jatmiko. Informasi dari halaman halaman ini sangat menambah wawasan dan pengetahuan bagi kami. Salam.

Konsultan Maritim mengatakan...

yth pak Smarandana,
Mohon maaf, surat anda bertanggal 16 Januari 2011 jam 19.24 baru saya tanggapi saat ini (hampir satu tahun berselang. Hal itu bukan karena saya malas atau tidak perduli. Sesungguhnya, selama waktu satu tahun kemari, saya sibuk menrevisi buku-buku maritim (tepatnya: shipping business)yang hilang dari pasaran sekitar sepuluh tahun yang lalu (sebetulnya masih beredar juga tetapi terbatas pada mahasiswa-langsung saya. Untuk pengetahuan anda, sekitar sepuluh buku telah saya karang, semuanya pada materi kemaritiman dan enam buku pernah beredar. Mungkin nasib saya, menjadi pengarang buku pada saat hukum belum berjalan sebagaimana mestinya dan saya mengalami penipuan oleh penerbit-penerbit: PT.Bhratara Karya Aksara, PT. Toko Gunung Agung, CV. Akademika Pressindo, CV. Penerbit Simplex. Bagaimana bentuk penipuan atau "fraud yang saya alami?". Kontrak penerbitan buku selama satu tahun untuk 1.000 (baca: seribu eksemplar) namun berapa penjualannya sebenarnya? Apakah saya mempunyai akses untuk mengecek laporan penjualan dan atau laporan audit? Penerbit Simplex lebih aneh lagi: setelah buku selesai dicetak (katanya, sebanyak 1.000 eksemplar), saya dipanggil ke tokonya di simpang tiga Jatinegara - Kampung Melayu untuk menerima "royalty" buku sebanyak seratus eksemplar. Protes saya bahwa saya pengarang buku, bukan penjual buku hanya ditanggapi: di tempat kami aturannya begitu. Sementara, PT. Toko Gunung Agung metodenya sedikit lebih "sopan". Sekitar satu tahun kontrak berjalan, saya mendapat surat dari penerbit buku tersebut yang saya yakini permintaan persetujuan cetak ulang, karena cetakan pertama sudah habis. Tanpa membaca tuntas surat tersebut yang diserahkan di toko, saya tandatangani saja. Ternyata isinya: permintaan kerjasama penjualan buku. Beberapa lama kemudian saya sadari ini adalah bentuk fraud yang sopan; bukankah saat mendatangani kontrak penerbitan, juga ada klausul tentang penjualan? Di sisi lain mahasiswa saya melaporkan bahwa buku termaksud, lima tahun setelah terbit, masih dijual di toko buku Gunung Agung di depan ksatrian Angkatan Laut (yang di"drpan" sudah tidak ada). Perlu diketahui bahwa dari beberapa eksemplar buku author's copy yang saya terima, yang kebetulan halaman-halamannya ada yang lengket tidak terpotong oleh piasu saat proses "sisir" saya bongkar dan dari situ saya yakin bahwa buku ikon tersebut dicetak offset plano. Kalau saya anggap Gunung Agung mencetak offset plano terbatas, berarti GA masih punya utang 2.000 eksemplar x 10% x Rp.16.500.- (kalau tak salah, harga tahun penerbitan 1995 Kalau GA jujur dan menyelenggarakan accounting dengan benar, saya tunggu pelunasannya karena saya baru mengambil "honorarium" untuk 1.000 buku ("sesuai kontrak"). Demikianlah pak Smarandana "laporan saya" saya mohondoa restu bapak kiranya hukum di Indonesia secepatnya berlaku dengan benar sehingga pengarang buku, yang sering dipuji sebagai pencerdas kehidupan bangsa, dapat secepatnya menikmati hasil karyanya itu dan dapat lebih meningkatkan kinerjanya, lebih lanjut. Terima kasih dan salam.

Konsultan Maritim mengatakan...


SEKALI LAGI: ROTTERDAM RULES!

Catatan ini disampaikan kepada pejabat, pengusaha, pe,bina mahasiswa, termasuk (mantan) anak didik saya yang mempunyai akses langsung kepada Menteri Luar Negeri Indonesia, Menteri Perhubungan terutama Atase Perhubungan pada Kedutaan-besar Indonesia di Belanda dan di Inggeris, sudilah kiranya teman dan sahabat saya tersebut menyampaikan kepada pejabat yang saya sebutkan di atas pertanyaan: ada apa dengan kedutaan-besar Indonesia di Negara-negara tersebut, begitu juga diplomat-doplomat kita di PBB, sampai Indonesia tidak tampil sama sekali dalam upacara penandatanganan pengukuhan The Convention of Carriage of Goods Wholly or Partly By Sea (The Rotterdam Rules 2009 tanggal 23 September 2009 di kota Rotterdam, Belanda).
Apakah tidak ada satupun diplomat RI yang merasa bahwa konvensi PBB tentang pengangkutan baran melalui laut (seluruhnya atau sebagian) tidak penting bagi Indonesia terlepas bahwa kenyataannya Indonesia merupakan Negara maritime yang wilayah lautnya jauh lebih luas daripada luas daratannya. Mungkin Menteri Luar Negeri terlalu sibuk dengan hubungan-hubungan antar Negara lainnya sehingga tidak menganggap penting laporan yang disampaikan bawahannya, ataukah Menteri Perhubungan yang tidak merasa perduli dengan konvensi maha penting itu.
Sungguh memprihatinkan kanyataan itu, di luar ketidak-perdulian pembesar-pembesar kita atas issue-issue maha penting itu. Perlu diingatkan lagi bahwa kesempatan utuk ikut menandatngani naskah resmi The Rotterdam Rules 2009 masih tetap terbuka, maka dari itu saya menghrapkan kepada anak didik saya, yunior saya yang mempunyai akses langsung kepada Yang Mulia Menlu dan atau Menhub agar mengirimkan utusan untuk ikut menandatngani Konvensi itu, syukur kalau juga diberi otoritas untuk meratifikasi Konensi PBB tersebut kalau prosedur formal memungkinkan hal itu.
Jangan lupa, Indonesia juga tidak (belum?) meratifikasi The Hague Rules 1924 (Konvensi non PBB), demikian juga dengan The Hamburg Rules 1978 (Konvensi PBB). Kedua Konvensi tersebut merupakan konvensi yang menyepakati perjanjian pengangkutan yang serupa, dan oleh Rotterdam Rules 2009 kedua Konvensi tersebut dinyatakan sudah tidak berlaku lagi karena belum menerapkan metode IT. Klausul-klausul penting yang tidak bersangkut dengan komunikasi internet dan atau tidak menggunakan electronic record documentation sudah tidak cocok lagi dengan metode internet documentation yang saat ini sudah jama digunakan di dunia.
Kepada mantan teman kuliah anak saya, Bapak Sahattua Simatupang, Atase Perhubungan pada Kedubes Indonesia di London (maaf apakah masih menjabat di situ), diharap dapat meluangkan waktu terbang ke Rotterdam untuk membubuhkan tandantangannya pada daftar Negara peserta pencanangan Konvensi PBB tentang pengangkutan barang seluruhnya atau sebagian melalui laut tersebut. Dari internet saya mengetahui bahwa kesempatan menandatangani konvensi tersebut masih dibuka sampai tahun depan saat Rotterdam Rules akan diundangkan.
Mantan teman kuliah Bapak Atase Perhubungan tersebut, anak saya, bernama Adrianus Widi Nugroho, ATT.II, masih menjadi pelaut saat ini masih “melaut” pada kapal liquid chemical tanker; kepadanya sudah saya pesankan kalau suatu saat memutuskan berhenti berlayar kelak, jangan lupa bergabung ke STIP untuk ikut anak-anak kita menjadi pelaut yang handal. Saya sendiri menjadi dosen tidak tetap di STIP, jurusan KTK sejak perguruan tinggi itu masih bernama PLAP di Gunung Sahari Ancol dahulu.
Dengan mengajukan saran supaya Indonesia bergabung dengan Negara-negara anggota PBB lain dalam konvensi tersebut, saya sungguh-sungguh berharap supaya tradisi kemaritiman kita tetap terjaga, syukur kalau lebih dapat ditingkatkan agar peran Indonesia dalam percaturan kemaritiman sungguh dapat dirasakan dalam percaturan global. Semoga.

Posting Komentar