Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Jumat, 03 Desember 2010

UNIVERSITAS MARITIM

Indonesia perlu membangun Universitas Maritim, demikian judul berita kecil di harian Kompas, 2 Desember 2010.
Indonesia perlu membangun dan mengembangkan universitas maritim, sebagaimana dilakukan misalnya Rusia, Korea Selatan, China dan Jepang. Melalui pendidikan dalam arti luas, perlu diperkenalkan bentuk-bentuk perilaku, penghargaan dan kebiasaan-kebiasaan yang dapat menunjang upaya pengembangan budaya maritim serta pengelolaan sumber daya maritim. Demikian dikatakan dosen dan peneliti dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Supratikno Rahardjo, pada Forum Konsultasi Kebijakan Bidang Kelautan Dewan Kelautan Indonesia, Rebu (1/12) di Jakarta. “Dunia pendidikan memiliki peran penting dalam meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang potensi maritim Indonesia”, ujarnya.
Pada hari yang sama terpampang iklan setengah halaman pada harian–harian utama ibukota yang dipasang oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia dengan slogan “Menuju Masyarakat Informasi Indonesia”.
Iklan yang berjudul “Momentum Kebangkitan Semangat Bahari” tersebut substansinya sangat penting bagi pembinaan usaha kemaritiman Indonesia, karena itu blogger merasa perlu mengutip selengkapnya teks iklan tersebut, yang memasang sub judul iklan: “Akhir tahun ini bangsa Indonesia akan memperingati Hari Nusantara. Pengakuan internasional atas konsep Indonesia sebagai Negara Kepulauan”.
Inilah bunyi teks lengkap iklan tersebut: “Di akhir tahun ini, tepatnya pada 13 Desember, bangsa Indonesia akan memperingati Hari Nusantara (Harnus) ke-11. Puncak peringatan Harnus kali ini akan dilaksanakan di Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim). Tiap tahun, puncak peringatan Harnus digilir di propinsi yang berbeda-beda.
Peringatan Harnus tahun ini mengambil tema “Hari Nusantara Membangkitkan Budaya Bahari” dengan sub tema “Laut adalah Warisan Nenek Moyang Kita, Wajib Dipertahankan, Dilestarikan dan Dijadikan Sumber Utama Ekonomi Bangsa”. Melalui tema ini diharapkan seluruh bangsa Indonesia Indonesia sadar sebagai bangsa pelaut. Nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut-pelaut pemberani. Buktinya, pada zaman Sriwijaya abad 6-7 Masehi, para pedagang Indonesia mampu mengarungi lautan hingga ke ujung Afrika Timur dan Madagaskar dengan hanya menggunakan kapal kayu (cadik).
Catatan blogger: nenek moyang kita orang pelaut itu, saat itu juga sudah melayarkan ke tujuan tersebut, perahu catamaran, jenis sarana angkutan laut yang orang barat sekalipun mungkin belum memikirkannya. Dua perahu layar yang sama dimensinya disandingkan, lalu pada bagian atasnya dipakukan lembaran-lembaran papan tebal. Maka jadilah kedua unit perahu itu menjadi satu perahu/kapal tipe catamaran; nenek moyang kita dahulu itu sudah memahami tentang potensi meningkatkan laju kapal melalui angin yang dipaksa masuk ke bawah kapal yang berlunas ganda itu. Dengan menyatukan dua unit perahu menjadi satu unit perahu yang mempunyai dua lunas, angin yang berhembus dari haluan dipaksa masuk ke bawah lambung kapal dan mempunyai daya dorong ke atas, maka laju perahu meningkat. Tidak mengherankan bahwa perahu layar catamaran mereka dapat menempuh laju sampai 30 knot.
Pada acara puncak peringatan Harnus tahun ini pemerintah akan memberikan berbagai penghargaan kepada masyarakat yang berjasa di bidang kelautan. Penghargaan akan diberikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Ir. Fadel Mohamad dan Menteri Perhubungan Freddy Numberi. Yang akan memperoleh pnghargaan antara lain Nelayan Teladan Tingkat Nasional, pengembang Minapolitan Industri Rumput Laut Terbaik, Petugas Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Teladan Tingkat Nasional, Penjaga Menara Suar Teladan Tingkat Nasoional dan lain-lain.

Berawal dari Deklarasi Djoeanda.

Hari Nusantara bertolak dari dicetuskannya Deklarasi Djoeanda pada 13 Desember tahun 1957. Deklarasi Djoeanda merupakan pernyataan Indonesia bahwa semua perairan Indonesia di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah bagian yang tak terpisahkan dari wilayah yurisdiksi Republik Indonesia. Konsep deklarasi mendasari perjuangan Indonesia untuk menjadi rezim negara kepulauan (Archipelagic State).
Deklarasi Djoeanda sempat mendapat tentangan dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Australia. Namun, berkat diplomasi yang gigih, akhirnya konsep negara kepulauan itu diakui dunia setelah disahkannya United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS, Konvensi PBB tentang Hukum Laut) pada 10 Desember 1982. Indonesia telah meratifikasi UNCLOS dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985.
Setelah diratifikasi oleh 60 negara, UNCLOS resmi berlaku pada tahun 1994. Setelah UNCLOS berlaku, maka wilayah Indonesia bertambah 3,1 km persegi. Awalnya, tanggal pencetusan Deklarasi Djoeanda dicanangkan sebagai Hari Nusantara oleh Presiden Aldurrahman Wahid dan disahkan melalui Keputusan Presiden dua tahun berikutnya oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Dengan berlakunya UNCLOS, maka luas laut Indonesia mencapai 75,3% dari seluruh luas wilayah negara. Untuk mengamankan laut yang begitu luas, diperlukan kekuatan di bidang maritim. Selain itu, diperlukan juga batas laut yang pasti dan tegas sebagai “pagar” (Maritime Boundaries).
Masalahnya, Indonesia masih memiliki batas wilayah laut yang belum jelas di beberapa kawasan. Berbagai konflik dengan negara tetangga yang sempat mencuat, merupakan damp[ak dari belum tuntasnya penetapan batas wilayah laut itu, serta lemahnya pengamanan wilayah laut.
Kerugian ekonomis yang ditimbulkannya pun sangat besar. Di sektor perikanan saja kerugian akibat praktek illegal fishing diperkirakan mencapai Rp.20 trilyun per tahun. Belum lagi illegal logging, illegal mining, illegal migrant, human trafficking, penyelundupan pasir, penyelundupan BBM dan aktivitas ilegal lain yang dilakukan melalui laut. Bakan kejahatan lintas negara atau Transnational Organized Crime (TOC) kerap terjadi dengan memanfaatkan laut.
Melalui momentum Harnus, pemerintah dan rakyat Indonesia menyadari bahwa Indonesia memiliki jati diri sebagai bangsa matirim dan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Karena itu peringatan Harnus tahun ini harus menjadi motivator untuk menjadikan pembangunan kelautan sebagai mainstreaming pembangunan nasional, demikian dikatakan oleh petinggi panitia Harnus ke XI tahun 2010.
Demikianlah bunyi lengkap naskah iklan Depkominfo tersebut, yang disertai beberapa gambar. Naskah ini sengaja penulis kutip selengkapnya karena penulis, sebagai warga Indonesia pecinta maritim sudah lama mempunyai obsesi dalam penguatan potensi maritim kita, bukan hanya menyangkut bidang kelautan dan perikanan melainkan bidang-bidang lainnya yang berada di atas dan di bawah permukaan laut, termasuk yang di bawah dasar laut.
Sebagaimana dapat dikutip dari Wikipedia: “marine (ocean) is an umbrella term. As adjective it is usually applicable to things relating to the sea or ocean, such as marine biology, marine ecology and marine geology. As a noun it can be a term for certain kind of navy, or those enlisted in such a navy. In scientific contexts, the term almost always refers exclusively to salt water environments (e.g engineering) it may refer to any (usually) navigable body water.”
Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa istilah “maritime” dan “marine” sangat dan sangat berdekatan dan memang dalam praktek kehidupan sehari-hari kedua istilah itu sering dipertukarkan (the two terms are used to be used interchangeably) tanpa menimbulkan kesalah pahaman. Namun memang dapat diberikan catatan bahwa istilah “maritime” memberikan penekanan yang lebih kuat mengenai lingkungan laut tersebut dan “maritime” menunjukkan akan lengkapnya kandungan yang dimilikinya yang berada di atas permukaan air laut, di bawah permukaan dan di bawah dasar laut.
Demikian misalnya entitas bisnis sebagaimana kutipan internet tersebut di atas yang menggambarkan betapa luasnya cakupan bisnis kemaritiman yang meliputi pemabngunan sara dan prasarana transportasi laut (pembangunan dan reparasi, pemeliharaan kapal laut dan komponen kelengkapannya), industri pendukung kapal laut seperti jangkar dan rantainya, tali temali yand diameternya seukuran lengan laki-laki, industri mesin-mesin penunjang kegaiatan perkapalan dan kepelabuhanan dan masih banyak lagi.
Sumber daya maritim yang berupa geologi bawah dasar laut juga merupakan sumber daya yang mempunyai kekhususan tersendiri, tidak dapat digabungkan dengan sumber daya lain misalnya perikanan, budi daya rumput laut, terumbu karang.
Penjelasan tersebut kiranya dapat mendorong motivasi bagi pembentukan Kementerian Koordinator Maritim di mana Menko Maritim mengkoordinasi Menteri Perikanan dan Kelautan, Menteri Perhubungan dan lembaga-lembaga lain menangani sumber-sumber daya maritim yang disebut di atas.
Blogger menyarankan dengan sangat agar pembentukan (kembali Kementerian Koordinator Maritim dapat menjadi pertimbangan bagi Presiden mendatang, kalau tidak sempat diciptakan oleh pemerintahan yang sekarang. Masalah geologi bawah laut misalnya, kalau “dititipkan” kepada Menteri Kelautan dan Perikanan rasanya terlalu berat bagi pak Menteri karena begitu jauhnya cakupannya jika dibandingkan dengan cakupan Perikanan Laut. Blogger juga menyarankan, mumpung pak Domo (Laksamana purnawirawan Soedomo) masih ada, hendaknya beliau diminta pandanganannya tentang Kementerian Koordinator Maritim tersebut untuk menjadi masukan yanga sangat berharga bagi pembentukan Kemenko yang sangat vital tersebut. Bagaimanapun pak Domo saat ini merupakan satu-satunya “perpustakaan hidup” yang mengerti tentang kemaritiman, yang masih ada. Jangan sampai kita menyesal kalau nanti beliau sudah tidak ada tanpa diminta masukan.
Memang yang lain tentu juga ada tetapi dari segi pengalaman mungkin belum memadai padahal kata orang bijak, pengalaman adalah guru utama yang tidak dapat digantikan dengan apapun.
Catatan blogger: Presiden Gus Dur alm, dalam kepemimpinannya yang “hanya sejenak” sempat membentuk Dewan Maritim tetapi pada tahun 2007 berubah menjadi Dewan Kelautan. Apakah perubahan itu terjadi karena para pemimpin era perubahan Dewan Maritim menjadi Dewan Kelautan tersebut memang minim pemahamannya tentang “kemaritiman”, penulis tidak mempunyai informasi tentang itu. Tetapi bagaimanapun,menurut pengetahuan blogger, saat ini pemahaman semua insan Republik ini tentang kemaritiman sudah mulai berkembang kalau tidak boleh dikatakan meningkat. Marilah kita aplikasikan pemahaman ini menuju pembentukan Kementerian Koordinator Maritim, demi meningkatkan kinerja kita dalam bidang maritim. Amin.
Selasa, 16 November 2010

ERETA API KE DALAM PELABUHAN TANJUNG PRIOK?

KERETA API KE DALAM PELABUHAN TANJUNG PRIOK?

Terbaca di harian Suara Pembaruan hari ini, Selasa 16 Nopember 2010 di bawah headline “Efisiensi Lalu Lintas Barang ke Pelabuhan: BANGUN INFRASTRUKTUR KA”: ..... hampir semua negara maju menghubungkan pelabuhannya dengan kereta api. “Di Amerika dan Australia, semua pelabuhannya disambungkan dengan kereta api” demikian lebih lanjut dikatakan dalam headline tersebut.
Sebenarnya tidak usah jauh-jauh mencari contoh ke negara maju; di negara kita sendiri, saat masih menjadi negara jajahan, di pelabuhan Tanjung Priok semua dermaganya terhubung pada sistem jaringan rel kereta api yang menyambung kepada sistem perkeretapian nenuju stasiun Jakarta Kota (Beos) pada sisi emplasemen Kampung Bandan. Jalur rel kereta api dari Tanjung Priok tersebut, baik yang keluar dari stasiun KA maupun dari dermaga pelabuhan, serpecah menjadi dua jalur yaitu satu menuju stasiun Beos untuk selanjutnya mengarah ke Gambir dan seterusnya dan jalur satunya lagi menuju ke stasiun Senen/Jatinegara dan lanjut ke Jawa Barat, Jawa Tangah dan Jawa Timur.
Jalur KA dari stasiun Tanjung Priok yang mengarah ke Senen/Jatinegara malah sudah difungsikan kembali sampai kA-nya dapat berlari sampai ke Malang, Jawa Timur dan diresmikan oleh Presiden SBY pada bulan April tahun ini.
Menyimak pada saran di dalam berita headline tersebut supaya pemerintah membangun jaringan rel KA dari dryport Cikarang ke pelabuhan Tanjung Priok, penulis mempertanyakan perlukah dibangun jalur baru itu. Apakah tidak lebih efisien “nebeng” saja pada jalur KA yang sudah ada yang saat ini memang masih “mati” karena dikubur oleh Menteri Perhubungan Emil Salim pada tahun 1972. Syukur alhamdulilah jaringan rel KA ke/dari stasiun dan pelabuhan Tanbjung Priok itu yang dulu santer diwacanakan akan dicopot, sampai sekarang masih kokoh terpasang pada tempatnya sehingga kalau akan difungsikan kembali tinggal direnovasi saja sehingga biayanya pasti jauh lebih murah daripada membangun rel baru walaupun tentunya rel baru tersebut lebih pendek karena dari Bekasi dapat potong kompas menuju ke Cilincing..
Memang pelabuhan-pelabuhan internasional di dunia umumnya mempunyai sistem jaringan rel kereta api untuk menghubungkan pelabuhan dengan tempat-tempat lain yang ada rel KA-nya. Seperti disebut di SP, biaya angkutan barang dengan KA jauh lebih murah karena, bagi pengangkutan barang ex impor, barang itu dari kapal dapat langsung dibongkar ke atas gerobak kereta api yang sudah disiapkan di sisi kapal yang membongkar muatannya di dermaga pelabuhan. Biaya pembongkaran dapat jauh dihemat, bukan hanya biaya pengangkutannya yang di dalam berita itu sudah sangat jelas disebutkan bahwa biaya angkutan dengan KA jauh lebih murah daripada angkutan jalan raya.
Penulis berdoa dengan sungguh-sungguh supaya dalam tahun anggaran 2011 yang tinggal beberapa minggu lagi ini Pemerintah mengucurkan dana secukupnya untuk menyambungkan kembali jaringan KA dari dan ke pelabuhan Tanjung Priok, termauk menarik rel yang menuju ke terminal minyak Pertamina di Cilincing. Sampai dengan 30 tahun yang lalu “kereta minyak” dari Cilincing ke titik pengirimannya di pulau Jawa cukup terkenal dan banyak anggota masyarakat yang ikut menumpang kereta minyak itu supaya dapat bepergian dengan biaya ringan. Langkah penarikan rel KA sebenarnya sudah dimulai satu dua tahun terakhir tetapi entah mengapa terhenti sampai di kawasan Mambo (Jl. Sulawesi). Semoga kegiatan menarik rel KA itu segera dilanjutkan mumpung semua pihak sudah menyadari pentingnya jalur KA ke dan dari pelabuhan.
Gubernur KDKI Jakarta Fauzi Bowo layak diketuk hatinya supaya ikut turun tangan mengucurkan dana untuk memfungsionalkan kembali jaringan rel KA pelabuhan itu karena kalau sistem lalu lintas KA pelabuhan itu dapat ditingkatkan, hal itu dapat mengurangi beban DKI dalam mengatasi masalah kemacetan lalu lintas. Semoga.
Jumat, 15 Oktober 2010

Rintihan Pengarang Buku Teks

Kepada yth.
Ikatan Pemerbit Indonersit Indonesia (IKAPI)
Jakarta.

Dengan hormat,

Beberapa hari yang lalu saya menulis email ke AKAPI dengan judul di atas, sebagai ungkapan kegalauan saya sebagai pengarang buku khusus kemaritiman (shipping) tetapi sealam lebih 35 tahun terakhir saya hanya memperoleh roylati yang tidak sepertinya.
Masdalahnya adalah, saya itu saya menbgerti tentang metode percetakan Offset Plano, jadi saaty penertbit, pak Jajusman menyodorkan kontrak untuk peneribtan 1.000 ekspemplar buku, saya merasa happy-happy. Baru belakangan saya mengetahui tentang pnceakan offset plano penuh (sekali tembak 5.000 copy) dan plano terbatas 3.000 coy.

Adalan Penerbit Gunung Toko Agung yang juga menyodorkan kontrak untuk penerbitan 1.000 buku, tetapi saya "kebetulan menemukan" cetak yang disisir secara tidak secara sempurna, lalu saya usut dan saya meyakini bahwa itu adalah cetaK offset terbatas atau penuh, tetapi yang pasti dia sudah mengkorupsi royalty saya untuk 2.000 atau 4.000 eksemplar buku. Juga anak didik saya mengabarkan bahwa lima tahunsetelah hak terbit buku saya tarik kembali, buku POKOK-POKOK PELAYARAN NIAGA tetap dijual tetapi hanya di toko yang ditepi kali ciliwung.
Maka denhgan kenyataan itu saya sekarang seangk menyiapkan untuk menjual buku secara online, mohon dao restunya.
Demikianlah rintihan saya, kalau bapak/ibu berkenan mengambil perhatian saya akan berterima kasih.
Minggu, 03 Oktober 2010

PINDAH DARI MATRA MARITIM, MASUK KE ..... SARANG BUAYA

Beberapa hari yang lalu saya menceritakan bagian 2 dari Kisah Keterpurukan Djakarta Lloyd, di mana akhir tahun 1973 saya memutuskan hengkang dari perusahaan yang (masih tergolong bonafide) dan memberikan income lumayan itu. Cari kerja sana sini, saya diterima di dua perusahaan besar yaitu PT. BAT (British American Tobaco) dan PT. Indomilk.
Waktu itu saya masih merokok (di depan mahasiswa di kelas saja kepul-kepul merokok) tetapi saya merasa kurang nyaman untuk bekerja pada perusahaan rokok, maka saya memilih wawancara pada perusahaan produsen susu kental manis Indomilk yang setiap hari Jumat membagikan susu gratis dua kaleng. Rupanya saya “kuwalat”, sendirinya merokok tetapi tidak mau bekerja pada perusahaan rokok, maka sayapun kecemplung di sarang buaya. Lho?
PT. Indomilk (PT. Australia – Indonesian Milk Industry) adalah perusahaan patungan (joint ventrue) berstatus PMA, dibentuk berdasarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing, UU.1/1967. Sebagai investor asing adalah The Australian Dairy Produce Board, ADPB, semacam BULOG Australia khusus di bidang produksi dan pemasaran produk susu sapi sedangkan investor lokalnya sembilan orang bersaudara kandung marga Zahiruddin-Tanjung asal desa Sorkam Kabupaten Sibolga Sumater Utara.
Lima orang pria dari clan ini berstatus anggota DPR-MPR yaitu: 1. Usman Zahiruddin-Tanjung (alm, meninggal gantung diri di rumahnya), 2. Janis Zahiruddin-Tanjung, 3. Nahar Zahiruddin-Tanjung (alm), 4. Nasrul Zahiruddin (alm), 5. Akbar Tanjung, petinggi Golkar dan mantan Menteri Pemuda-Olahraga dan mantan Menteri Perumahan Rakyat serta si bungsu Nirwan Tanjung, tidak tercatat dalam kehidupan publik. Tiga orang wanita dalam clan tidak begitu saya ketahui (juga tidak tahu apakah masih hidup atau (ada yang) sudah meninggal).
Saya diterima bekerja di Indomilk tanggal 1 April 1974 pada posisi “Senior Impotrs Assistant” namun secara efektif adalah Import Manager tetapi anehnya sampai dengan 1 September belum diberi tugas alias makan gaji buta. Setiap hari hanya datang duduk dan kalau jenuh saya keluyuran ke pabrik pengolahan susu, termasuk pabrik es krim Peters yang satu lokasi dan satu organisasi walaupun manajemennya terpisah.
Merasa tidak nyaman menerima gaji buta, saya menghadap General Manager (orang Inggeris) menyatakan kehendak saya untuk keluar lagi tetapi Mr. Robert Barton menanggapi sabar saja dulu, masalahnya sedang diurus. Sayapun menghadap pak Nahar sebagai Wakil Presiden Direktur mengutarakan keinginan itu tetapi tanggapannya tidak dapat kusimpulkan.
Akhirnya setelah tanggal 1 September 1974 saya diberi berkas-berkas pekerjaan tetapi segera saja saya mencurigai tentang kemungkinan terjadinya manipulasi namun saya tidak dapat mendeteksi apa bentuk manipulasinya.. Indikasi yang dapat saya endus adalah bahwa dalam berkas kutemukan tagihan untuk order inklaring (cusoms clearance-in) barang impor, yang sudah diselesaikan satu tahun sebelumnya.
Ini aneh, di mana-mana orang mengajukan tagihan sehari setelah order selesai dikerjakan bahkan kadang minta persekot untuk membiayai operasi atas order yang akan dikerjakan. Dari pertanyaan yang kuajukan kepada anak buah diketahui bahwa customs broker PT. Indomilk yaitu PT. EMKL Niagara yang dimiliki dan dioperasikan oleh Bapak R.A. Modjo (alm., asal Gorontalo), pensiunan pegawai tinggi Ditjen Bea dan Cukai tidak pernah minta persekot karena bersamaan dengan diberikannya order inklaring lemgkap dengan dokumen pendukungnya, diberikan juga uang tunai atau cek tunai untuk membayar bea masuk.
“Mungkin sebagian uang itu dipakai dulu untuk biaya operasi pak”, kata pak Wisono (alm) anak buah saya yang lebih sepuh namun pada kenyataannya belakangan, bukan dipinjam sebagian melainkan ditilep semuanya, walaupun menurut desas-desus separo dikembalikan kepada investor lokal (tidak ada buktinya tentu saja). Sebanyak 22 berkas import documents = 66 berkas customs documents, dengan total pembayaran bea masuk sekitar Rp.445.000.000.- tidak diuruskan pada Kantor Pelayanan Bea dan Cukai IV Tanjung Priok dan bea masuk (yang sudah diterima dari PT. Indomilk, tidak dibayarkan . Bayangkan, itu uang tahun tujuhpuluhan.
Saat sidang peradilan atas manipulasi itu digelar, baru saya ketahui modus operandi manipulasi itu yaitu idak mengurus KPP ke-2 dan KPP ke-3 dan yang diurus dengan benar hanya KPP ke-1 dari ke-22 dokumen impor yang terjadi tahun 1973 sampai dengan medio 1975, sama dengan dokumen pabean KPP. Saat pemeriksaan atas PT. Indomilk dengan fokus pemeriksaan adalah saya, jaksa Halim Paputungan (alm) mencecar hebat isteri saya (alm) katanya: mana mobil Mercy bapak, di mana rumah bapak yang lebih mewah. Isteri saya ya hanya bengong plonga-plongo, bahkan sempat menduga saya punya isteri lain yang diberi banyak kemewahan.
Mungkin masih ada yang ingat, pada masa kepemimpinan Jenderal M. Jusuf sebagai Menteri Perindustrian, importir tidak diijinkan mengurus sendiri inklaring barang impor pada kantor Bea dan Cukai melainkan harus menunjuk perushaan EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut) sebagai “customs broker”, sebagai agen untuk mengurus formalitas kepabeanan itu. Pada masa itu juga ada kebijakan yang menetapkan bahwa barang impor yang bea masuknya besar, inklaringnya boleh dicicil tiga kali di mana untuk itu importir mengatur sedemikian rupa supaya kwantitas barang (bahan baku pabrik) yang diimpor dapat dibagi tiga tanpa menimbulkan decimal.
Kebijakan ini sangat ideal dan dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemodal nasional meningkatkan kekuatan modalnya (mungkin anda ingat juga bahwa saat pak Harto membuka perekonomian nasional yang tadinya tertutup, wirausahawan Indonesia beramai-ramai membuka perusahaan PMDN atau PMA, dengan memasukkan sebidang tanah dengan atau tanpa bangunan di atasnya sebagai modal patungan dan investor asing mendatangkan mesin-mesin dan bahan-bahan untuk membangun gedung pabrik. Modal dari investor lokal dinilai sebesar 10% (atau lebih, tetapi kurang dari 50%) sehingga terbentuk PMA. Impor bahan baku yang dilakukan oleh mayoritas pengusaha industri umumnya menggunakan fasilitas kredit komersial dari eksportirnya, berjangka waktu tiga bulan. Demikianlah, satu berkas bagi satu shipment bahan baku, dijadikan tiga berkas customs document (dokumen pabean) Keterangan Pemasukan Pabean (KPP). Kongkritnya: setelah import documents diterima oleh Opening Bank (bank devisa yang menerbitkan L/C untuk impor itu) maka atas satu berkas import documents tersebut importir memnita kepada bank itu agar menerbitkan tiga berkas KPP berupa KPP-1, KPP-2 dan KPP-3. Dengan demikian EMKL boleh meng-inklaring sepertiga barang impor itu menggunakan KPP-1 sementara KPP-2 dan KPP-3 disimpan dulu oleh importir dan baru dijadikan kelengkapan berkas inklaring beberapa minggu kemudian sesuai jadwal kebutuhan bahan baku untuk diolah.
Tampak jelas tujuan luhur dari mekanisme ini, yaitu: importir membayar bea masuk untuk 1/3 bagian barang impor dan segera diproduksi, dijual lalu hasil penjualannya ditabung untuk membayar hutang impor dan untuk persiapan membayar 1/3 bea masuk dan ada yang dapat diambil untuk menjadi tabungan untuk modal perusahaan.
Namun, sejarah telah mencatat bahwa para pebisnis/investor yang diantaranya adalah anggota-anggota DPR/MPR justru menjadikan kebijakan ini sebagai ajang korupsi, kabinet pak Harto juga bukannya menangkal praktek korupsi itu melainkan justru mendorongnya. Ingatkah anda akan manipulasi SE (Sertifikat Ekspor) dalam masa orde baru itu di mana ada eksportir yang tidak pernah mengimpor bahan baku tetapi dapat mencairkan dana SE sampai puluhan milyar Rupiah.
Sekedar mengingatkan, SE merupakan dokumen otentik untuk menagih kembali uang bea masuk yang sudah dibayar oleh importir bagi bahan baku impor yang dijadikan komponen barang yang diekspor. Prosedur ekspor pada masa itu menetapkan bahwa bahan baku impor yang digunakan untuk membuat barang ekspor, tidak dikenakan bea masuk. Kalau pada saat bahan baku tersebut diimpor bea masuknya sudah dibayar maka bea masuk tersebut dibayar kembali kepada importirnya menggunakan mekanisme SE. Jajaran Ditjen Pajak sudah menyusun formula pengembalian bea masuk atas berbagai jenis bahan baku yang diimpor untuk dijadikan komponen produk ekspor, berupa prosentase SE supaya dengan demikian prosedur pembayaran SE menjadi gampang dan sederhana.. Kemudahan dan kesederhanaan prosedur pencairan dana SE, lagi-lagi dijadikan ajang bagi korupsi yang sangat vulgar dengan cara membuat SE (asli tetapi) palsu di mana eksportir yang tidak pernah mengimpor dapat memperoleh SE yang dicairkan di Kantor Bendahara Negara. Sungguh tragis, sistem yang dirancang sangat bagus untuk meningkatkan usaha nasional, dihancurkan sendiri oleh si pengusaha yang sebagian diantaranya pengusaha merangkap penguasa (eksekutif, ada juga yang ekskutif). Sekarang, semua pihak yang “ketempuhan” sekarang harus bahu membahu meluruskan praktek busuk itu agar tidak terulang kembali. .
Kalau mekanisme yang bagus tersebut dijalankan sesuai idealnya, investor lokal yang saat mendirikan perusahaan joint venture (banyak yang) hanya memasukkan tanah sepetak (dengan atau tanpa bangunan di atasnya), perlahan-lahan akan dapat menghimpun modal nasional sehingga komposisinya dalam permodalan usaha patungan dapat ditingkatkan sedikit demi sedikit dan kalau sudah mencapai lebih dari 50% dapat mengajukan permohonan kepada BKPM agar status joint venture-nya dirubah menjadi PMDN dan bukan lagi PMA.
Pada kenyataannya, seperti diceritakan, ideal yang sepmurna itu dijadikan ajang korupsi, begini modus operandinya (ini saya ketahui setelah manipulasi bea masuk Indomilk digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur tahun 1975-1976): setiap pengimporan bahan baku dibuat sedemikian agar kwantitasnya dapat dibagi tiga, guna menyiapkan tiga dokumen Pabean yang berupa KPP (Keterangan Pemasukan Pabean). Ketiga berkas KPP diserahkan kepada EMKL satu persatu sesuai jadwal produksi pabrik. Penyerahan “pecahan KPP” adalah lengkap dengan uang bea masuknya.
Maka EMKL mengurus inklaring dengan KPP-1 sebagaimana mestinya (bayar bea masuk “beneran”) tetapi KPP-2 dan KPP-3 (jumlah segala macam angkanya sama persis), yang secara lugu oleh Bagian Impor PT. Indomilk diserahkan kepada EMKL PT.Niagara, oleh perusahaan yang terakhir ini tidak pernah dibuatkan PIB-nya (waktu itu namanya PPUD, Permohonan Pemasukan Untuk Dipakai) dan tentu saja bea masuk tidak dibayarkan melainkan ditilep sendiri dan, kata sahibul hikayat, sebagian dialirkan kembali kepada investor lokal (investor asingnya tidak tahu menahu karena tidak mengerti prosedur kepabeanan Indonesia dan tidak mencampuri manajemen yang menjadi porsi investor lokal).
Lalu bagaimana mengeluarkanl barang impor yang disimpan di Bonded Warehouse? Ya pakai dokumen inklaring ex KPP-1, toh semua angka dan informasi lainnya sama. Waktu itu Bonded Warehouse (Gudang Berikat) masih menggunakan nama Gudang Entrepot (bahasa Perancis, dibaca enterpoo) yamg bangunan gudangnya berada di dalam pelabuhan Tanjung Priok. Pengeluaran barang dari gudang itu sering tersendat karena walaupun secara formal manipulasi hanya diketahui oleh beberapa orang yang terkait tetapi di lapangan pegawai Bea dan Cukai peringkat bawah mengetahui dan minta pungli ala kadarnya.
Waktu itu saya merasa heran (saya juga keluyuran ke gudang entrepot), bahan baku di gudang menggunung kok yang masuk ke pabrik sedikit sekali dan tidak kontnyu sehingga pabrik sering tidak produksi karena kehabisan susu skim, bahan baku utama. Keheranan saya menjadi pengetahuan lengkap setelah saya diperiksa jaksa dan harus menyerahkan dokumen-dokumen terkait. Puji Tuhan, semua dokumen yang dicari dapat kutemukan sehingga saya tidak diperiksa jaksa lagi padahal saya pernah berpesan kepada isteri bahwa kalau saya tiak pulang, berarti masuk tahanan.
Prosedur saat itu, karena importir, sesuai peraturan tidak boleh mengurus inklaring sendiri, maka bukti yang diminta oleh Pengadilan Negeri terbatas pada bukti penyerahan dokumen-dokumen pabean, terutama KPP dan bukti penyerahan uang bea masuk. Bahwa uang bea masuk yang diserahkan kepada EMKL itu tidak disetorkan ke Kas Negara, itu bukan tanggung jawab importir melainkan tanggung jawab EMKL sendiri. Hal ini dapat saya elaborasikan di sini melalui note dari Bendaharawan Kanwil Bea dan Cukai Tanjung Priok kepada Direktur PT. Niagara yang berbunyi: “KPP ini (berkas dilampirkan) belum digunakan, tetapi sudah lama (KPP bertanggal Agustus 1973, diajukan ke Bea dan Cukai Maret 1975). Saya bisa menerima KPP ini kalau ada verklaring van waardigheid dari bank yang bersangkutan”.
Malam hari saya mengunjungi rumah jaksa kepala dan mengatakan: “Pak, saya tidak terlibat dalam kasus manipulasi ini”, ditanggapi “saudara boleh ngomong begitu kalau ada buktinya”. Maka seketika saya tunjukkan note tersebut beserta surat keterangan dari bank seperti diminta bendaharawan Bea dan Cukai. Membaca berkas itu pak jaksa manggut-manggut lalu berucap ini untuk aya, saya jawab maaf pak dokumen ini nyawa saya, nanti saya serahkan dalam persidangan Pengadilan dan dia tertawa sambil meminta supaya besok pagi-pagi saya hadir dikantornya. Jam delapan pagi saya sudah tiba, di situ ada tiga orang jaksa lalu pak Jaksa Kepala (Ridwan Saidi SH) bertanya: “Saudara kerja di Indonmilk sejak kapan dan menggantikan siapa”, saya jawab menggantikan Hendy Sujono, pegawai tinggi Departemen Sosial.
Sejak saat itu saya tidak pernah diperiksa lagi dan dari pihak Indomilk tidak ada yang dihukum, hanya direktur PT. Niagara kena 2 tahun 6 bulan. Karena saya telah terbukti tidak bersalah maka manajemen Indomilk (terutama unsur asing) memberi kepercayaan kepada saya untuk mengangkat EMKL baru. Ada sepuluh lamaran EMKL yang setelah saya seleksi ketemu lima perusahaan yang memenuhi syarat. Berusaha tidak mengulangi kesalahan, saya menghadap bendaharawan Bea dan Cukai, bapak Oscar Dilapanga (alm, asal Gorontalo) untuk “minta petunjuk”. Beliau menanggapi “wah, sebagai pejabat negara saya tidak bisa ikut campur dalam seleksi ini tetapi coba saudara sebutkan lima kandidat yang saudara pilih”. Saya sebutkan A, B dan C ditanggapi tidak kenal, ada kasus dan orang baru, lalu untuk kandidat D dan E beliau menyampaikan diskresi “antara D atau E”.
Kandidat D yaitu PT. EMKL Tirta Kencana tidak saya pilih karena direkturnya, bapak Edwin Gonggalang (alm) asal Sangir, tidak pernah datang ke pabrik di Cibubur walaupun rajin menelpon. Yang saya pilih justru PT. Kamang Murni yang direkturnya Philip P. Pantouw beberapa kali datang menemui saya berpakaian necis jahitan Singapore. Rupanya saya terkena halo effect karena PT. Tirta Kencana sampai meninggalnya pak Gonggalang tidak pernah melakukan manipulasi kepabeanan sementara pak Pantouw, kurang dari satu tahun setelah melayani Indomilk sudah melihat bahwa “saya tidak ada apa-apanya” karena bukan kroni clan Akbar Tanjung bersaudara.
Maka pak Pantouw segera menempel atasan saya, Direktur Umum dan Administrasi yaitu Nasrul Zahiruddin (abangnya Akbar Tanjung) dan segera melakukan manipulasi yang total bernilai hampir satu miliar M, periode 1978 – 1980. Catatan: pak Akbar Tanjung dalam jajaran direksi Indomilk tercatat sebagai seorang direktur tetapi beliau tidak mengerjakan tugas-tugas direksi karena seperti kita ketahui beliau tidak berminat di bidang bisnis melainkan hanya politik (tetapi dalam rapat pemegang saham, biasanya hadir).
Manipulasi jilid II ini dilakukan dengan cara lebih brutal dan lebih vulgar, yaitu menjual giro bank Indonesia yang sebenarnya disiapkan untuk membayar bea masuk. Sayang waktu itu belum ada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sehingga yang dihukum, selain direktur PT. Kamang Murni, hanya Kasir Bea Cukai yang membuat slip pembayaran bea masuk (asli tetapi) palsu. Atasan yang tentunya terlibat (memberi instruksi) kepada Kasir yang jabatannya rendah itu, bebas saja.
Bagaimana ceritanya “menjual giro Bank Indonesia” itu. Begini: karena menyerahkan uang tunai dan cek tunai kepada EMKL ternyata dikorupsi maka importir melakukan perubahan cara membayar bea masuk yaitu: importir memberikan giro Bank Indonesia berdasarkan slip bea masuk yang diterbitkan Bea dan Cukai.
Menurut prosedur, dokumen PPUD yang sudah diperiksa kebenarannya, harus dibayar bea masuknya dalam dua hari kerja. Untuk itu slip pembayaran bea sudah dapat diterbitkan. Maka importir membuat giro biasa dan dibawa ke bank penerbit L/C supaya dirubah menjadi giro Bank Indonesia; bagian depan lembaran giro ditulis sebagaimana giro pada umumnya tetapi bagian belakang ditulisi “giro ini digunakan untuk membayar bea masuk atas PPUD nomor sekian, resi bea masuk nomor sekian tanggal sekian”. Dalam sidang peradilan, halaman belakang ini tidak dibaca oleh hakim sehingga tidak bisa digunakan untuk menyeret pejabat Bea dan Cukai yang berpangkat lebih tinggi. Yang dijebloskan ke penjara hanya Kasir yang jabatannya rendah itu.
Lalu di mana letak manipulasinya? EMKL yang sudah menerima giro Bank Indonesia, menyerahkan giro itu kepada kasir BC untuk menerima uang tunai sebesar 80% atau 70% dan oleh kasir giro itu digunakan untuk mempertanggungjawabkan setiap PPUD yang bea masuknya dibayar tunai. Kekurangannya dicukupi dengan uang tunai (tidak mungkin pembayaran bea masuk untuk sekian berkas PPUD sama persis dengan jumlah yang tercantum dalam giro bank Indonesia). Brutal sekali bukan, kalau sudah ada PTUN, pasti manipulasi ini akan menyeret penggede-penggede. Sifat giro Bank Indonesia adalah tidak dapat dicairkan, tidak dapat dikliring melainkan harus langsung dikliring kepada Kantor Perbendaharaan Negara berdasarkan lampiran berkas-berkas PPUD yang terkait dan uangnya langsung masuk ke nomor pos yang ada dalam APBN. Sekali lagi, karena belum ada PTUN maka bagian belakang yang mengamanatkan penggunaan giro itu tidak dibaca sehingga hakim tidak dapat menyeret pejabat yang memberikan restu bagi “pembelian giro Bank Indonesia” seperti itu.
Menyangkut pengangkatan PT EMKL Kamang Murni, saya sendiri yang menetapkan diskresi pengangkatan EMKL baru itu (antara lain karena adanya rekomendasi bendaharawan Bea dan Cukai), lalu mengantarkan suratnya ke kantor EMKL tersebut. Sebelum menyerahkan surat, terpikir oleh saya untuk meminta “uang transport” barang lima juta rupiah saja, tetapi akal sehat saya mengatakan “perusahaan ini, dengan mendapat pengangkatan, toh akan memperoleh laba yang seimbang. Nanti pasati dia akan memberi “cash back” kepadamu dan ini kalau diketahui orang, tidak apa-apa karena merupakan praktek bisnis biasa saja. Ternyata saya salah pilih, terutama karena faktor halo effect itu.
Setelah blogger menceritakan secara panjang lebar mengenai manipulasi yang (diyakini) melibatkan investor lokal PT. Indomilk, apakah dengan itu blogger yakin bahwa investor asing tidak nakal dan bertindak bak malaikat saja? Sepertinya kok tidak demikian namun tampaknya mereka tidak melakukan tindakan kriminal (terendus atau tidak), tetapi tindakan perdata kuyakini ada dan semuanya berdasarkan kontrak atau penunjukan hitam di atas putih. Pihak ADPB, melalui anak perusahaannya Asia Dairy Industry (ADI) yang berkedudukan di Hongkong menjalankan praktek bantuan manajemen (terutama manajemen keuangan) dengan imbalan “management fee” sebesar 5% dari omzet penjualan susu kental manis. Ini menurut saya berlebihan, kenapa bukan dari laba bersih atau laba kotor sekalipun? Lalu: dalam perundingan dengan Serikat Buruh Indomilk yang diketuai oleh Yacob Nuwa Wea (mantan Menteri SDM ditetapkan pemberian THR kepada pegawa, sebesar satu bulan gaji. Anehnya dalam kesepakatan itu disetujui bahwa THR itu tidak akan dirubah (dinaikkan). Mungkin perundingan berlangsung saat perusahaan sedang merugi sehingga Serikat Buruh lengah dan tidak mengusulkan pasal tentang kemungkinan mengubah besaran THR. Setelah saham Indomilk diambil alih kelompok Oom Liem sebanyak 90% (mungkin disisakan 10% sebagai basa basi saja) saya tidak tahu berapa THR itu sekarang.
Catatan kedua: pada tahun 1978 di Australia terjadi panen raya, produksi susu skim berlebihan dan Indomilk dikirimi sebanyak 150 container atau 3000 ton sekali shipment sampai saya dipanggil kepala DLLAD yang kantornya menempel pada pabrik Indomilk. Masalahnya, 150 container datang sekaligus sehingga menimbulkan kemacetan yang cukup parah di jalan raya Jakarta – Bogor. Shipment sebanyak itu sungguh berlebihan karena sebulan Indomilk mengimpor paling banyak 600 ton susu bubuk skim. Bagi Indomilk sih OK saja, toh impornya berutang dan bagi saya juga merupakan tambahan rejeki sedikit karena sedemikian banyak bahan baku itu memerlukan tambahan ruang gudang. Jadi saya mencari gudang sewaan dan mendapat sedikit “imbalan”.
Lagi: pada saat saya belum menjabat Import Manager di perusahaan itu, kerusakan bahan baku “luar biasa” karena, sebagai akibat kongesti pelabuhan Tanjung Priok yang terjadi tahun 1972 – 1974, impor tinplate dari Jepang dibongkar di pelabuhan Surabaya lalu dari sana diangkut kereta api dan diturunkan di stasiun KA Cipinang (depan penjara). Lebih 50% plat logam tersalut timah putih (bahan pembuat kaleng susu) rusak berkarat karena air hujan. Ditambah kerusakan pada tepung susu karena terlalu lama tertimbun di gudang entrepot, saya mengumpulkan bukti-bukti kerusakan dan mengajukan banyak surat claim kepada asuransi Lloyds of London.
Surat claim mengenai kerusakan tinplate saya lampiri contoh kemasan tinplate yang lebih baik supaya kemasan tetap berdiri di atas paletnya, untuk mengurangi kerusakan karena cipratan air hujan. Claim diurus dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan dan Lloyds membayar gantiu rugi sebesar kurang lebih USD.300.000.- sampai-sampai direksi Indomilk melontarkan ucapan (dalam management meeting) untuk memberi bonus kepada staff Bagian Impor. Bonus belum sempat ditindak lanjuti, pembayaran claim didengar oleh ADI yang serta merta meminta agar Lloyds mengirimkan ceknya ke Hongkong karena terkait finance menagement assistant.
Sabtu, 02 Oktober 2010

FOB: EKSPOR, CFR/CIF: IMPOR, Dapatkah dimodifikasi?

Dalam diskusi terbuka menyambut pelaksanaan kebijakan cabotage yang diselenggarakan tanggal 28 September 2010 di kampus STIMar AMI, seorang peserta diskusi menanyakan mengapa dalam transaksi ekspor dari Indonesia ke negara lain syarat pembayarannya selalu FOB (Free on Board) sedangkan pada transaksi impor ke Indonesia syarat pembayarannya selalu CFR (Cost and Freight) atau CIF (Cost, Insurance and Freight).
Dalam kedua atau tiga jenis kondisi tersebut pebisnis Indonesia selalu berada pada posisi di bawah, dalam arti kalah dalam perolehan valuta asing yaitu: pada kondisi FOB untuk transaksi ekspor, langkah pebisnis Indonesia untuk menghimpun devisa dari hasil ekspornya terhenti pada saat barang yang diekspor dimuat ke kapal yang akan mengangkut barang dagangan itu. Berarti perolehan valuta asing pebsinis Indonesia dari barang yang diekspornya hanya berupa “harga pabrik” ditambah biaya-biaya yang dikeluarkan eksportir sampai barang tiba di atas kapal yang memuatnya sementara biaya angkutan (freight) dibayar oleh importir di negara lain sana dan diterima oleh pebisnis asing karena adalah importir yang memilih sarana pengangkut dan sejauh ini mereka tidak memilih perusahaan pelayaran Indonesia sebagai pengangkut.
Sebaliknya dalam transaksi impor, harga barang yang harus dibayar oleh importir adalah sampai dengan barang dibongkar dari kapal di pelabuhan tujuan di Indonesia, termasuk biaya asuransinya (pada kondisi CIF) atau tidak termasuk biaya asuransi (kondisi CFR). Memang uang tambang dibayar oleh eksportir di sana namun biaya-biaya itu harus dibayar kembali oleh importir Indonesia.
Mengapa kondisinya selalu begitu dan apakah situasi ini tidak dapat dirubah? Tidak adakah peluang pebisnis Indonesia untuk melakukan modifikasi atau pembalikan kondisi itu? Maksudnya: apakah kondisi CFR/CIF dalam transaksi impor tidak dapat dibalik menjadi FOB sedangkan untuk transaksi ekspor kondisinya dirubah dari FOB menjadi CFR atau CIF.
Sayang waktu diskusi tidak cukup panjang karena pejabat negara, Direktur Lalu Lintas Angkutan Laut yang menjadi nara sumber dalam diskusi tersebut waktunya dibatasi oleh tugas lain yang lebih penting.
Suatu hal adalah pasti bahwa transaksi ekspor dari Indonesia dengan kondisi harga CIF atau CFR seperti dikehendaki (diinginkan) oleh pebisnis Indonesia, tentu boleh-boleh saja, demikian juga kondisi harga FOB untuk impor ke Indonesia, namun apakah mitra bisnisnya di luar negeri setuju dengan apa yang diinginkan oleh pebisnis Indonesia itu, banyak faktor yang memerlukan pendalaman kajian lebih lanjut. Pertama, bagaimana bargaining power pebisnis Indonesia dalam melakukan negosiasi dengan mitra bisnis di luar negeri, Kedua, bagaimana ketersediaan sarana pengangkut (=kapal laut) Indonesia, yaitu kapal yang dioperasikan oleh perusahaan pelayaran Indonesia.
Kedua faktor penentu bagi pilihan syarat harga sesuai ketentuan Incoterms, merupakan faktor-faktor krusial yang sulit ditembus oleh kebanyakan eksportir dan importir Indonesia, karena: (a). Komoditas ekspor Indonesia mempunyai banyak saingan, banyak negara beriklim tropis yang juga mengekspor kopi, teh, minyak sawit mentah (CPO) dan juga produk-produk garment (TPT, tekstil dan produk tekstil) dan lain-lain.
Kalau lokasi negara pesaing dengan negara pengimpor lebih dekat, tentu eksportir negara lain itu dapat menawarkan harga yang lebih bersaing daripada harga yang ditawarkan oleh eksportir Indonesia eshingga meminta harga CIF/CFR bagi komoditas ekspor Indonesia cukup berat dari sisi negosiasinya. (b). Telah umum diketahui bahwa porsi armada niaga nasional Indonesia belum mencapai 10% dari armada niaga asing yang melayani jalur pelayaran yang sama; situasi ini sangat menyulitkan pebisnis Indonesia untuk meminta harga FOB bagi barang ekspornya sebab menyangkut kepastian penyediaan sarana pengangkut.
Kalau importir di luar negeri setuju membayar dengan harga CFR/CIF tetapi pada saat “latest shipment date” kapal Indonesia tidak tersedia, merupakan situasi yang sangat berat bagi eksportir Indonesia. Meminta perubahan kondisi L/C sehingga importir di Negara lain, yang membuka L/C, dapat menyetujui pengapalan dengan kapal non-Indonesia mungkin OK saja tetapi dikhawatirkan importer di luar negeri tersebut akan meminta kompensasi dalam satu dan lain bentuk, atau menetapkan penalty yang memberatkan eksportir Indonesia.
Melihat kepada dua situasi krusial tersebut, mungkin eksportir Indonesia sementara waktu ini harus “nrimo saja” hanya mendapat perolehan devisa yang cukup kecil dan importer Indonesia harus “nrimo” mengeluarkan devisa banyak-banyak. Satu hal sangat diharapkan yaitu pihak-pihak terkait, terutama KADIN Indonesia, INSA dan asosiasi bisnis lainnya melancarkan segala daya upaya yang diperlukan untuk meningkatkan bargaining power eksportir dan importir Indonesia. Semoga
Jumat, 24 September 2010

MARINE INSURANCE TANPA POLIS, BAGAIMANA ITU?

Prosedural penutupan persetujuan asuransi menetapkan bahwa persetujuan asuransi (asuransi apapun) harus dibuktikan dengan adanya surat perjanjian asuransi yang lazim disebut “polis asuransi” (insurance policy). Bahasa populernya sering diucapkan sebagai “tiada polis, tidak ada asuransi” atau “no policy, no insurance”.
Satu hal dalam semboyan ini yang perlu disimak adalah bahwa penerbitan polis, sebagai suatu surat perjanjian, produk hukum, memakan waktu lama yaitu satu minggui. Memang perusahaan asuransi umumnya sudah menyiapkan cetakan polis asuransi (blanko polis asuransi) dengan format standard tetapi jangan dilupakan bahwa pengisian substansi asuransi yang penting ke dalam polis yang akan diterbitkan untuk setiap persetujuan asuransi yang akan ditandatangani bersama antara tertanggung (the insured) dengan penanggung (the insurer) harus akurat dan untuk itu formulir polis tetap harus dibaca dengan teliti sebelum substansi dimasukkan dan untuk itu biasanya juga diperlukan membaca pokok-pokok persetujuan standard yang ada (sesuai ketentuan hukum positif dan sesuai pula dengan kebijakan dasar penanggung.
Jadi prosedur standard penerbitan polis yang memakan waktu satu minggu memang sudah wajar walaupun mungkin bisa ditekan menjadi tiga hari kerja, namun waktu tiga hari kerja itupun tetap lama kalau diingat bahwa aplikasi penutupan asuransi dimaukkan pagi hari ini dan kapal yang mengangkut barang yang (akan) diasuransikan itu berangkat sore nanti (pada hari yang sama). Kalau kapal sudah berangkat dan polis asuransi belum terbit, itu berarti muatan tertentu berangkat dalam proses pengangkutan laut tanpa dilindungi oleh asuransi.
Untuk menghindarkan terjadinya hal itu maka, sambil menunggu polis disiapkan, penanggung dapat menerbitkan “Cover Note” yang boleh kita sebut sebagai polis sementara, sekaligus polis ringkas karena hanya mencantumkan pokok-pokok persetujuan (substansi asuransi) sedangkan kalimat-kalimat bersandarkan hukum positif dan pokok kebijakan perusahaan asuransi, tidak disertakan. Dengan demikian cover note dapat disiapkan dalam waktu sepuluh menit sehingga pegawai importir yang mengajukan aplikasi penutupan asuransi dapat menunggunya.
Karena cover note merupakan polis sementara maka kalau polis sudah terbit dan sudah diserahkan kepada tertanggung, cover note batal demi hukum dan boleh diabaikan. Dalam praktek: disimpan dalam arsip transaksi impor yang bersangkutan.
Dari pembahasan di atas dapat dilihat bahwa belum siapnya polis diatasi dengan penerbitan cover note sehingga importir tidak merasa ragu menunggu kedatangan barang impornya yang sudah dalam proses berlayar karena pengangkutan barang tersebut dilindungi asuransi. Tetapi ada juga situasi di mana pengangkutan barang tidak dilindungi polis, tidak juga cover note, yaitu kalau jarak antara pelabuhan ekspor dengan pelabuhan impor barang terlalu dekat dan masa layar hanya memakan waktu (kurang dari) dua hari, misalnya ekspor dari Singapore ke Tanjung Priok.
Kalau pengapalan barang ekspor dari Singapore terjadi pada hari Sabtu, berkemungkinan barang tersebut tidak dilindungi asuransi kalau kapal yang mengangkut barang itu bertolak dari Singapore Sabtu sore hari dan kapal sudah tiba di Tanjung Priok hari Senin berikutnya, pagi-pagi sebelum kantor buka (atau Minggu tengah malam). Pada hari Sabtu kantor tutup tetapi pegawai operasional tetap bekerja namun hanya sampai jam duabelas, jadi tetap tidak dapat menerbitkan cover note walaupun penerbitan polis dapat ditunda.
Bagaimana mengatasi kemungkinan terjadinya pengangkutan barang impor yang tidak dilindungi asuransi seperti itu?
Dalam artikel yang blogger terbitkan kemarin, disarankan agar “frequent importer” memilih jenis penutupan “warehouse to warehouse cover”, untuk menghindarkan tidak terasuransikannya satu atau lebih dari satu shipment karena pegawai importir belum mengajukan “deklarasi asuransi” (insurance application letter).
Maka penulis juga menganjurkan agar “frequent importer” mengadakan kesepakatan dengan perusahaan asuransi langganannya untuk membuka “polis induk” berupa “Open Cover” atau “Open Policy”, dalam jenis polis induk mana disepakati tentang pokok-pokok persetujuan asuransi yang berlaku dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun) ke depan atau persetujuan tanpa batas waktu tetapi sampai penutupan mencapai jumlah tertentu misalnya kalau jumlah penutupan sudah mencapai USD.1.000.000.- maka Open Cover otomatis berakhir tetapi dapat diperpanjang secara otomatis pula (atau dengan kesepakatan baru).
Dengan adanya polis induk tersebut maka pengasuransian atas barang impor yang pengangkutannya berlangsung dalam waktu pendek seperti yang diulas di atas, tidak menjadi masalah karena polis dapat diterbitkan kapan saja, juga setelah barang tiba di gudang importir dan sudah habis diolah menjadi barang lain. Juga claim kepada underwriter, bila barang rusak atau hilang, dapat dilakukan kapan saja karena kalau kerugian terjadi saat polisnya belum ada maka claim dapat ditunda, yang penting kelengkapan administratif bagi pengajuan claim itu sudah disiapkan, seperti Survey Report.
Mekanisme ini juga menguntungkan bagi underwriter karena tertanggung bisa menyampaikan deklarasi asuransi misalnya sebulan sekali pada akhir bulan, juga penagihan premi asuransi dapat dilakukan sebulan sekali (atau tiga bulan sekali) sehingga pekerjaan menjadi lebih ringan.
Namun praktek tersebut membuka peluang bagi kecurangan di pihak tertanggung, yaitu hanya mengajukan aplikasi penutupan asuransi bagi transaksi kecil-kecil dan yang terkena risiko sementara untuk transaksi bernilai besar yang barangnya tiba dengan selamat di gudang, tidak diajukan aplikasi.
Untuk menangkal praktek nakal seperti itu, penanggung yang bonafide tentunya sudah mempunyai resepnya yang cespleng, antara lain dengan membangun kerjasama dengan perusahaan pelayaran yang diketahui menjadi langganan importir dalam pengapalan barang-barangnya dari seluruh dunia.
Dengan meminta cargo manifest dari perusahaan pelayaran tersebut, penanggung dapat mengetahui apakah importir pelanggannya itu melakukan malapraktik atau tidak dan kalau ditemukan indikasi tidak mengajukan aplikasi atas shipment besar (yang dia ketahui juga telah tiba dengan selamat) kecurangan itu dapat diungkap melalui sindiran bahwa tertanggung kelupaan mengajukan aplikasi atas shipment dengan Bill of Lading tertentu, sambil dia membuka manifest untuk menunjukkan shipment bernilai besar yang aplikasi asuransinya “kelupaan diajukan” itu.
Bisnis asuransi adalah bisnis kepercayaan, maka semua pihak seyogyanya menerapkan prinsip kepercayaan itu.

MARINE INSURANCE COVER

Pada umumnya negara-negara di dunia mewajibkan pebisnis mengasuransikan barang dagangan mereka yang berada dalam proses pengangkutan, baik pengangkutan melalui laut, udara maupun angkutan darat. Dalam blog ini penulis akan menyoroti pengasuransian barang yang diangkut dengan angkutan laut, sesuai domain blog yaitu Konsultan Maritim.
Meskipun demikian angkutan udara juga dapat masuk dalam bisnis Asuransi Maritim (dulu disebut Asuransi Laut) karena dalam banyak hal muatan pesawat udara, air cargo, pengasuransiannya juga menggunakan prinsip-prinsip asuransi atas barang yang diangkut dengan angkutan laut.
Kewajiban mengasuransikan barang ekspor-impor yang sedang berada dalam proses pengangkutan itu merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam menjaga kepentingan para pebisnis. Kongkritnya: kalau pengusaha menderita kerugian karena barang ekspor impornya hilang atau rusak karena bencana laut atau bencana di laut (perils of the sea atau perils on the sea), usahanya tidak perlu ambruk karena modalnya habis berhubung barangnya hilang/rusak melainkan hanya terganggu “sesaat” yaitu selama proses pengurusan ganti rugi dari penanggung (underwriter, perusahaan asuransi) yang telah mengambil alih risiko dalam pengangkutan barang di laut tersebut.
Importir atau eksportir yang mengasuransikan barangnya dapat memilih dari sekian banyak jenis risiko asuransi yang dirasakan pas untuk melindungi kepentingannya atas barang yang sedang dalam pengangkutan itu. Apakah dia akan memilih asuransi all risks including warrisk ataukah risiko total loss only, diputuskan setelah mempertimbangkan berbagai aspek.
Demikian juga apakah dia memilih penutupan “sejak awal sampai akhir” (dikenal sebagai penutupan warehouse to warehouse cover) ataukah jaminan dimulai sejak kapal berangkat dari pelabuhan pemuatan dan berakhir setelah barang yang diangkut itu dibongkar dari kapal tersebut di pelabuhan tujuan ( dikenal sebagai risiko waterborne clause) diputuskan berdasarkan berbagai aspek seperti jenis barang, probabilitas barang menderita kerusakan atau kehilangan dan lain-lain.
Pebisnis yang banyak kali melakukan transaksi impor-ekspor tidak dianjurkan memilih penutupan waterborne clause karena dikhawatirkan dia tidak mempunyai cukup waktu untuk melakukan penutupan asuransi atas satu transaksi dan transaksi lainnya. Bagi frequent importer seperti itu lebih cocok menutup asuransi warehouse to warehouse cover ataupun warehouse to warehouse cover plus (so many weeks) the goods are stored in importer’s warehouse. Misalkan importir produsen yang banyak mengimpor bahan baku secara rutin dan reguler, biasanya menyimpan bahan baku tersebut di gudangnya di dekat pabrik sekian hari/minggu sebelum barang dikeluarkan untuk diolah (dirakit dan sebagainya).
Mengenai risiko perang (war risks) mungkin masa kini dapat ditinggalkan karena jaman perang sepertinya sudah berlalu tetapi tengoklah pasal-pasal terkait pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang RI (aslinya: Wetboek van Koophandel warisan Hindia Belanda, karena KUHD-RI merupakan concordante dari undang-undang negara penjajahnya di mana undang-undang warisan Belanda itu secara de jure sampai sekarang masih berlaku karena anggota-anggota DPR kita “kelupaan” mereformasinya berhubung terlalu sibuk berbondong-bondong melakukan “studi banding” ke luar negeri).
Dalam pasal-pasal terkait itu anda akan membaca pasal yang mengatur tentang bahaya perang, termasuk bahaya perbudakan. Sebabnya, kalau kapal terjebak dalam situasi perang antara satu negara dengan negara lain, maka orang-orang yang berada di kapal itu (anak buah kapal, penumpang kecuali nakhoda) ditangkap oleh negara yang menang perang, dijadikan budak dan diperjual belikan di pasar. Nakhoda biasanya tidak ditangkap dan tidak dijadikan budak belian melainkan dibiarkan lepas supaya bisa pulang ke pangkalan dan memberitahu pemilik kapal di mana biasanya pemilik kapal mendatangi pasar budak dan menebusnya untuk dibawa pulang ke tempat asal.
Dalam jaman hubungan antar negara yang membaik sekarang ini, bahaya perbudakan boleh dikatakan sudah tidak lagi tetapi, ya itu tadi, karena anggota-anggota DPR “yang terhormat” lebih sibuk melakukan “studi banding” maka reformaasi hukum (menasionalkan undang-undang warisan penjajah) yang sudah sangat mendesak, belum tampak terpikirkan oleh mereka. Para praktisi hukum juga tetap asyik sebagai pengguna undang-undang yang disusun pada jaman kapal perahu layar itu dan kelupaan mengingatkan pihak legislatif untuk segera mengganti undang-undang kuno itu. Indikasi bahwa praktisi hukum (hakim, jaksa, pengacara) lebih asyik sebagai pengguna produk hukum jaman nabi Nuh itu dapat dilihat dari putusan menghukum terdakwa dengan denda Rp.7.500.- yanpa perduli bahwa nominal ini sebenarnya adalah Nf.7.500.- (tujuh ribu limaratus gulden Belanda berstandar emas).
Para praktisi hukum yang usianya belum 50 tahun, mungkin tidak pernah mendengar cerita dari dosennya bahwa sesaat setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 pemerintah RI mengambil keputusan mengharamkan segala sesuatu yang berbau Belanda: semua naskah berbahasa Belanda ditiadakan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; termasuk tentunya pasal-pasal undang-undang di segala bidang. Nominal nilai uang tidak (atau belum?) diganti dan tidak dapat diterjemahkan lalu DPR kelupaan terus selama 65 tahun maka denda seharga satu gelas wedang kopi tersebut masih diucapkan dengan lantang oleh Hakim Pengadilan Negeri.
Namun dalam amar keputusan Hakim dan ungkapan resmi lain dalam bahasa Indonesia, sering ditegaskan dengan definisi atau istilah dalam bahasa Belanda, karena takut salah interpretasi kalau frasa aslinya, dalam bahasa Belanda, tidak disertakan.. Wah, wah, wah.
Penulis ingin menekankan bahwa asuransi dengan penutupan warehouse to warehouse tersebut sesungguhnya merupakan gabungan dari asuransi maritim (marine insurance) dengan asuransi angkutan darat lokal, dari pelabuhan pembongkaran sampai di gudang importir untuk disimpan sebelum digunakan. Pada dasarnya asuransi maritim adalah untuk penutupan waterborne clause yaitu penanggung menjamin risiko sejak barang berangkat dari pelabuhan pemuatan sampai dibongkar di pelabuhan tujuannya.
Sudah dikatakan tadi bahwa jenis penutupan terakhir ini kurang cocok bagi pengimporan barang yang frekwesninya cukup tinggi, misalnya setiap minggu sekali atau beberapa kali dalam sebulan ada impor. Dalam praktek pengimporan seperti itu ada kemungkinan importir atau ekaportir kelupaan menutup asuransi pengangkutan darat lokal. Ekstrimnya: barang sudah datang jauh-jauh dari pelabuhan London dan dijamin asuransi sampai dibongkar dari kapal di pelabuhan Tanjung Priok tetapi setelah barang dibongkar dari kapal dan disimpan sementara di Container Yard pelabuhan tujuan, justru terbakar sebelum diambil dari CY untuk dibawa ke lokasi pabrik importir di luar pelabuhan untuk disimpan di gudng persediaan bahan baku.
Bagi pengimporan yang hanya satu kali (atau satu kali mengimpor dalam satu tahun), penutupan waterborne clause dapat dibenarkan karena di sini tidak ada rutinitas kegiatan yang berulang-ulang yang memungkinkan terjadinya kelupaan mengasuransikan lokal untuk satu atau beberapa shipment; banyak pihak dalam perusahaan importir yang dapat mengingatkan tentang asuransi angkutan darat lokal tersebut yang menyambung pada asuransi maritim yang sudah terputus karena barang sudah dibongkar dari kapal.
Mengenai jenis risiko asuransi untuk mana asuransi ditutup, pada umumnya dipilih risiko “all risks, with average” (disingkat AR/WA) Penutupan untuk risiko “with average” dianjurkan karena pelayaran kapal di laut dihadapkan kepada berbagai hadangan bencana dan risiko, termasuk keadaan darurat yang membawa situasi di mana pimpinan kapal harus mengambil keputusan untuk membuat pengorbanan (mungkin dengan membobol lambung kapal, membuang peti kemas yang miring menjuntai keluar dari kapal sebagai akibat cuaca buruk atau gelombang besar). dengan tujuan membuat pelayarannya selamat tiba di pelabuhan tujuan, pelabuhan singgahan (port of call) atau pelabuhan darurat yaitu pelabuhan yang sebenarnya bukan port of call tetapi terpaksa disinggahi untuk meminta bantuan darurat.
Dalam situasi serba darurat itu kapal juga (terpaksa) harus mengeluarkan biaya ekstra; di mana setelah tindakan-tindakan darurat diambil, kapal dapat melanjutkan pelayaran menuju ke pelabuhan tujuan, pelabuhan singgahan atau pelabuhan darurat walaupun dengan sebagian muatan rusak dan hilang dibuang ke laut. Ini adalah gambaran dari peristiwa “general average” yang ekstrim di mana dalam hukum maritim ditetapkan bahwa semua pihak yang terlibat dalam pelayaran yang mengalami general average tersebut (GA), termasuk pemilik muatan (baik yang mengasuransikan barangnya atau tidak), harus membayar kontribusi untuk membayar kerugian GA yang diderita.
Pengurusan GA sangat rumit, penulis blog ini pernah ikut serta dalam penanganan GA selama tiga setengah tahun “belum apa-apa”. Rekan saya Capt. Sutrisno Djajadiputro bahkan pernah mengatakan bahwa penanganan GA bisa mencapai sepuluh bahkan limabelas tahun.
Oleh karena itu saya menganjurkan agar importir (atau eksportir) bila mengambil risiko all risks, juga dengan tambahan WA dengan pemikiran bahwa kalau kapal yang mengangkut barangnya terkena GA, urusan dengan Average Adjuster diambil alih oleh underwriter dan tertanggung mengurus claim asuransinya kepada penanggung melalui prosedur biasa, seolah-olah barang diasuransikan tanpa GA.
Kamis, 23 September 2010

KISAH KETERPURUKAN DJAKARTA LLOYD (2)

Beberapa waktu yang lalu penulis mengungkapkan awal keterpurukan PN. (sekarang PT) Djakarta Lloyd (DL); mohon maaf ceritanya terputus dan inilah kelanjutannya: pada tahun 1963 kapal yang dioperasikan oleh DL dan dicharter oleh eksportir untuk mengangkut kopra ekspor dari Indonesia ke Jepang. Dalam perjalanan balik ke Tanjung Priok kapal mendapat muatan tepung terigu dalam kantong; dalam pengangkutan itu kapal dioperasikan oleh PT. Affan Raya Lines yang berdomisili di Palembang.
Tercatat bahwa kapal, setelah menyelesaikan pembongkaran kopra, raung kapal tidak dibersihkan sebagaimana mestinya dan muatan impor ke Indonesia tersebut sudah dimuat ke kapal saat ruang muatan/palka masih belum steril dari bau (odour) kopra.
Akibatnya, terigu ditolak oleh importirnya karena seluruhnya berbau tengik; importir pun mengajukan claim kepada PT. Affan Raya Lines yang mengoperasikan kapal. PT. Affan Raya Line menyatakan tidak mampu membayar claim sebesar itu, sekaipun harus menjual semua aset perusahaan; maka hutang yang default itu diambil alih oleh Pemerintah RI.
Sebagaimana kita ketahui sekitar tahun enampuluhan Indonesia adalah eksportir utama kopra, bersaing dengan Pilipina. Mungkin karena begitu gencarnya ekspor kopra ke Jepang, terdapat suatu bentuk eforia di mana agen atau awak kapal menjadi lengah dan tidak mengontrol pembersihan ruang kapal secara benar. Palka belum 100% steril dari sisa bau (odour) muatan kopra, sudah dimuati dengan tepung terigu dalam kantong dengan akibat semua terigu menjadi tengik dan ditolak oleh importirnya. Siapa yang mau membeli tepung terigu berbau tengik, kecuali perusahaan yang memproduksi makanan ternak, dengan harga sudah sangat jatuh?
Pemerintah RI yang awal rahun 1960 menerima banyak sekali pampasan perang Jepang, merasa perlu berbaik-baik hati dengan Pemerintah Jepang. Untuk itu, hutang claim PT. Affan Raya Line (operator kapal) sebesar USD.600.000.- yang dinyatakan default, diambil alih oleh Pemerintah. Hutang dibayar oleh Pemerintah RI dengan kompensasi PT. Affan Raya Lines diakuisisi dan dimasukkan ke dalam PN. Djakarta Lloyd (DL), yang merupakan perusahaan dengan modal negara.
Entah bagaimana prosedur akuisisi diterapkan, tetapi yang tampak di permukaan adalah tidak adanya berita acara pengambilan aset perusahaan untuk mengganti hutang USD.600.000.- itu (apa betul Affan Raya tidak mempunyai total aset sebesar itu). Yang tampak justru masuknya orang-orang (pegawai/manajer) Affan Raya ke dalam DL sehingga DL tampak berjejal-jejal dipenuhi eks karyawan Affan Raya.
Direksi DL juga tampaknya tidak berani menyampaikan interupsi untuk melakukan seleksi atas karyawan/manajer bermutu yang layak diberi peran di DL. Ditambah lagi saat itu, akhir tahun 1963, beberapa mahasiswa Indonesia (populer disebut “mahasiswa pampasan perang Jepang” sudah menyelesaikan studinya di Jepang. Merekapun dimasukkan ke dalam jajaran pimpinan DL tanpa meninjau “track record” mereka dalam urusan usaha pelayaran niaga (business shipping).
Mulai sejak saat itu ihwal keterpurukan Djakarta Lloyd mulai menggejala di mana sekitar awal tahun 1970 perusahaan menggalakkan upaya pencarian muatan ekspor. Maka untuk itu direkrutlah anak-anak muda energik, dilengkapi kendaraan scooter Vespa untuk melakukan cargo canvassing dari para eksportir terutama PT-PT Niaga (dan PTPN, ditambah eksportir swasta nasional dan asing). Setiap pagi setelah absen di kantor dan mendapat instruksi dari pimpinan, mereka menyebar ke kantor-kantor eksportir mencari muatan outward cargo.
Celakanya, komitmen pengapalan barang ekspor yang mereka peroleh dari para eksportir tersebut, tidak diserahkan kepada atasan mereka di bagian Cargo Canvassing (sekarang sebutan itu tidak digunakan lagi karena dianggap vulgar; sebagai gantinya bagian Cargo Canvassing disebut bagian Marketing Jasa Pelayaran). Sore hari pada waktu pulang ke kantor, mereka mampir dulu ke kantor Maersk Line, American President Line dan lain-lain untuk menyerahkan Shipping Instruction (SI) yang mereka peroleh hari itu, untuk ...... mengutip uang lelah (baca: komisi).
Para cargo canvassers tersebut tidak merasa perlu menyetorkan shipping instuctions kepada atasannya karena Djakarta Lloyd justru meminta komisi dari eksporitr yang mengapalkan muatannya untuk diangkut dengan kapal Djakarta Lloyd sementara perusahaan swasta asing (dan nasional), sesuai perilaku dagang konvensional, memberikan komisi kepada pelanggan yang menyerahkan pengangkutan barang ekspornya kepada perusahaan pelayaran yang bersangkutan.
Perilaku buruk tersebut masih ditambah lagi dengan penerapan manajemen perusahaan yang tidak pernah mengoreksi/mempunish kesalahan anak buah (termasuk canvasser yang menyerahkan SI kepada perusahaan lain padahal mereka beroperasi dengan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaannya sendiri).
Sekarang sudah menjadi kenyataan: PT. Djakarta Lloyd (Persero) sudah menjadi perusahaan pelayaran gurem dengan kapal mini berdaya angkut 200 – 400 TEUs sementara perusahaan pelayaran tingkat dunia mengoperasikan kapal berdaya angkut 15.200 TEUs (alias sekitar 300.000 tonnes muatan sekali jalan). Apakah Pemerintah dan DPR mempunyai nyali untuk menghidupkan kembali perusahaan, yang sudah beberapa kali mengumumkan kepada karyawannya ketidakmampuan membayar gaji tersebut? Berapa uang rakyat akan dianggarkan untuk memfungsikan kembali mayat hidup itu. Sebagai mantan karyawan PN. Djakarta Lloyd (mengambil pensiun tunai pada tahun 1973) saya merasa ini bukan prioritas sekarang, lebih baik dananya untuk memaksimalkan produksi beras saja dulu.
Sementara itu, pada tahun 1972, penulis artikel ini sebagai pegawai DL yang sudah merasa sesak napas demgan perilaku operasi dan manajemen yang tidak sesuai pakem tersebut, mendengar rumor bahwa direksi DL akan mengangkat tenaga-tenaga sarjana. Mendengar info itu, penulis yang sudah sarjana sejak tahun 1965, merasa berbunga-bunga karena yakin akan memperoleh peningkatan peran tetapi ternyata tidak. Pada saat itu, kebetulan sahabatku, Mohamad Hasan Lamazie, (alm) seorang kapten Angkatan Darat diangkat sebagai direktur utama PN. Tundabara (belakangan menjadi PT. (Persero) Bahtera Adhi Guna). Track record pak Lamazie di bidang maritim/shipping memang kurang mantap tetapi beliau kuliah di AMI (Akademi Maritim Indonesia) bersama saya.
Maka dengan mantap aku segera menemuinya untuk menyampaikan lamaran kerja tetapi dari pembicaraan yang panjang lebar, kusimpulkan bahwa lamaranku tidak diterima. Kalimat krucial yang kucatat adalah “apa kamu sudah pikirkan masak-masak untuk kerja di sini”. Maka sayapun melayangkan surat lamaran ke perusahaan lain dan mendapat tempat sebagai Import Manager pada PT. Australia-Indonesian Milk Industries (PT. Indomilk) yang ternyata merupakan jebakan bagi saya (untuk dijebloskan ke penjara).
Kalau saya kurang mahir dalam pengurusan impor terutama prosedur kepabeanan, saya akan sudah masuk penjara untuk hal-hal yang kuketahui saja tidak, apa lagi mengerjakannya.
Saya akui bahwa nasib baik dan lindungan Tuhan YME sangat berperan di dalam kebebasanku dari manipulasi bea masuk yang terjadi di perusahaan tersebut (Agustus 1973 – Maret 1975). Semua dokumen yang diminta oleh majelis Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur) yang mengadili manipulasi itu, 22 berkas import documents = 66 customs documents dengan nilai manipulasi (bea masuk tidak dibayarkan kepada Kas Negara) senilai Rp.445.000.000.- (tahun 1973 – 1975) saya temukan untuk diserahkan kepada sidang masjelis, maka pemeriksaan atas diri saya pun dihentikan (ada kisahnya tersendiri, silahkan tunggu).
Rabu, 22 September 2010

SHIPS SCHEDULING

Bertanya kepada mahasiswa apakah kepanjangan dari singkatan ETA dan ETD, biasanya saya mendapat jawabam: ETA: Expected Time Arrival, ETD: Expected Time Departure (lihat: tidak ada kata “of” ditambahkan di muka “arrival” maupun “departure”).
Kedua jawaban yang salah itu dengan telanjang bin gamblang menunjukkan kekurang-cermatan mahasiswa kita menggunakan kosa kata bahasa asing (bahasa Inggeris) secara tidak cermat. Kita mengetahui bahwa bahasa Inggeris mempunyai berbagai kata sandang termasuk “ of ”, berbeda dari bahasa Indonesia yang boleh dikatakan serimg mengabaikan kata sandang.
Singkatan ETA dan ETD banyak kita temukan dalam material promosi, iklan perusahaan pelayaran niaga yang memublikasikan jadwal pelayaran kapal-kapalnya.
Perusahaan pelayaran kaliber dunia yang manajemennya mantap, lazim menyusun jadwal pelayaran kapal-kapalnya yang beroperasi liner service, untuk jangka waktu satu tahun di muka. Untuk keperluan itu mereka mengirimkan kepada para eksportir, lembaran tercetak rapi yang memuat nama-nama kapal, jadwal/rencana kedatangan dan keberangkatan kapal masing-masing dari pelabuhan yang akan disinggahi, berikut nomor voyage masing-masing, agar eksportir dapat menyusun rencana ekspornya dari bulan ke bulan ke depan dengan rapi.
Jadwal pelayaran satu tahun di muka tersebut, sudah barang tentu masif “bersifat kasar” dan belum dapat dijadikan pegangan bagi rencana pengapalan barang ekspor. Namun bagi eksportir adanya folder yang dicetak rapi itu setidaknya dapat dijadikan acuan bagi ekspor yang mungkin sudah mereka perseiapkan sejak dini.
Pada pihak ocean carrier sendiri, berjalan tiga bulan sejak dikirimkannya folder pertama tersebut perusahaan pelayaran mengirimkan lagi kepada eksportir pelanggannya itu, folder yang baru dengan nama kapal dan nomor voyage yang sama, sekarang dengan rencana pelayaran yang sudah di-update, namun juga masih belum akurat.
Di sisi lain eksportir yang sudah mempunyai rencana ekspor kepada mitra bisnisnya di negara lain, mulai dapat menyusun rancangan yang lebih mendekati perkiraan waktu yang lebih mendekati kesesuaian. Demikianlah maka rencana pelayaran yang disusun untuk kurun waktu satu tahun ke depan itu tiba pada penghujungnya yaitu tiga bulan sebelum rencana pelayaran yang sudah disiapkan oleh Divisi Operasi bersama dengan Divisi Traffic perusahaan pelayaran yang bersangkutan (tentu boleh saja nama “divisi” atau “department” tidak digunakan, sesuai sistem manajemen pada perusahaan pelayaran yang bersangkutan.
Dalam kurun waktu yang tiga bulan itu (atau kurang) rancangan pelayaran kapal-kapal itu (bukan lagi rencana) sudah mendekati ketepatan, maka di sini tidak tepat kita bicara tentang “ekspektasi” seperti disampaikan oleh mahasiswa itu karena, sebenarnya ETA dan ETD adalah singkatan dari estimated time of arrival dan estimated time of departure.
Kata expected (dari “expectation”, harapan, dalam versi jawaban mahasiswa yang disebutkan pada awal tulisan ini, tidak memberikan hitungan matematika yang jelas karena tidak diketahui apa sumber referensinya, apa dasar harapannya, berbeda dengan estimasi (versi ”estimated time of arrival/departure”) yang akan penulis ulas di bawah ini.
Misalkan MV. Adam, tanggal 10 September 2010 jam 20.00 waktu setempat tiba di pelabuhan dan sandar di dermaga tertentu di salah satu pelabuhan di Jepang dan dari sana akan berlayar langsung ke Jakarta (setelah menyelesaikan pemuatan peti kemas). Tanggal dan jam berapakah kapal akan tiba di Tanjung Priok?
Tanggal berapakah kapal tersebut diperkirakan tiba di pelabuhan Tanjung Priok (ETA) dan selanjutnya tanggal berapakah akan bertolak dari pelabuhan itu (ETD) dapat dihitung melalui metode matematika sederhana, sebagai berikut:
Di pelabuhan Jepang tersebut suatu kepastian sudah kita kantongi, yaitu bahwa KM. “Adam” sudah bersandar di dermaga pada salah satu pelabuhan di Jepang tanggal 20 September 2010 pukul 20.00 waktu setempat (pada saat tersebut kapal dalam keadaan siap memulai pekerjaan). ETD kapal tersebut dari pelabuhan itu dapat diketahui dengan menyimak berapa box peti kemas akan dibongkar di pelabuhan itu dan berapa box akan dimuat.
Katakanlah total peti kemas yang akan dibongkar adalah 600 dan akan memuat 400 box di mana pelayanan pembongkaran dan pemuatan tersebut menggunakan 4 gantry crane; maka setiap unit gantry crane mengerjakan pembongkaran untuk 150 box peti kemas, demikian juga produktivitas pemuatannya. Kalau crane sequence adalah 2,5 menit, berarti dalam satu jam gantry crane membongkar 60 : 2,5 menit= 24 box, berarti pula 600 box peti kemas terbongkar dalam waktu 600 : 4 x 24 box (600 : 96) = 6,25 jam = 6 jam 15 menit.
Setelah pembongkaran pei kemas selesai, dilanjutkan dengan pemuatan sebanyak 400 box yang diselesaikan dalam waktu 400 : 4 x 24 box = 400 : 96 box = 4, 17 jam = 4 jam 5 menit (dengan pembulatan ke atas). Jadi total waktu pembongkaran dan pemuatan adalah 6 jam 15 menit + 4 jam 5 menit, sama dengan 10 jam 20 menit.
Kapal siap bekerja mulai pukul 20 waktu setempat dan pekerjaan pembongkaran dan pemuatan diselesaikan dalam 10 jam 20 menit, maka kapal siap bertolak kembali dari pelabuhan Jepang tersebut pada pukul (pukul 20 + 10 jam 20 menit) = pukul 30 lewat 20 menit), sama dengan pukul 6.20 pagi keesokan harinya. Kalau dianggap bahwa untuk penyelenggaraan surat-menyurat, laporan dan lain-lain memerlukan waktu satu jam maka kapal akan siap lepas tali tambat pada pukul 7.20 pagi, langsung berlayar menuju Tanjung Priok.
Carilah dari peta dunia, jarak layar dari pelabuhan tersebut ke Tanjung Priok berapa mil laut, lalu laju jelajah kapal berapa knot, maka dengan mudah anda akan dapat memperkirakan tanggal berapa dan pukul berapa estimated time of arrival (ETA) kapal tersebut di Tanjung Priok.
Jangan lupa dipertimbangkan kemungkinan terjadinya badai, cuaca buruk dan lain-lain yang dapat memperkecil laju kapal saat berada pada lokasi di mana pada bulan-bulan tertentu biasanya ada badai melanda, termasuk kekuatannya (berapa knot kecepatan angin, berapa tinggi gelombang laut dan lain-lain). Besar kecilnya kapal dapat dijadikan bahan pertimbangan apakah kapal akan menerabas lokasi badai (dengan memperhitungkan kecepatan badai dan tinggi gelombang, diasosiasikan dengan besarnya kapal dan laju maksimumnya), ataukah kapal harus mencari perlindungan pada pulau pada lintasan badai, menunggu badai berlalu.
Dengan segala perhtungan dan pertimbangan itu, ditambah satu sampai dengan tiga hari toleransi maka anda dapat membuat estimasi kedatangan kapal di Tanjung Priok dengan akurasi yang diperkirakan pas.
Setelah kapal disandarkan di dermaga pelabuhan peti kemas Tanjung Priok, diulangi lagi prosedur penghitungan lama waktu kapal berada di pelabuhan sehingga sekaligus anda akan dapat menghitung ETD, estimated time of departure kapal tersebut dari pelabuhan Tanjung Priok, lalu menghitung juga ETA kapal tersebut di pelabuhan berikutnya yang akan menjadi port of call kapal tersebut setelah bertolak dari Tanjung Priok, begitu seterusnya tiada henti selama kapal masih beroperasi. Nah selamat menghitung estiamted time of arrival dan estimated time of departure kapal anda (bukan expected time arrival, bukan pula expected time departure).
Selasa, 21 September 2010

Blogger Buzz: Super Simple: Your Creative Canvas

Blogger Buzz: Super Simple: Your Creative Canvas
Minggu, 19 September 2010

INCHMAREE CLAUSE

Syarat Inchmaree Clause dicantumkan dalam Polis Asuransi Kapal Laut (Marine Hull Insurance) bila tertanggung menginginkan penutupan asuransinya juga meliputi kerusakan dan kerugian yang terjadi karena peristiwa yang tidak kasat mata (damage or loss due to latent causes) seperti poros baling-baling patah, boiler meledak, cacat pada lambung kapal dan lain-lain.
Kasus bermula pada tahun 1887 yang melibatkan persengketaan antara Thames & Imersey Marine Co. versus Hamilton, Fraser & co.menyangkut kerugian kapal Inchmaree di mana pihak underwriter menolak membayar claim karena beranggapan bahwa kerugian yang dialami oleh kapal tersebut bukan karena marine perils melainkan karena cacat pada kapal itu sendiri. Sebagaimana diketahui asuransi maritim menutup risiko untuk kerugian yang terjadi karena marine perils, baik berupa perils of the sea maupun perils on the sea sesuai ketentuan dalam polis.
Berdasarkan pada dalil penolakan membayar claim serta tuntutan tertanggung agar ganti rugi yang mereka alami dibayar oleh penanggung, pihak British Underwriters mengajukan petisi kepada DPR Inggeris (the House of Lord) agar nenetapkan fatwa yang dapat dijadikan pegangan bagi para marine underwriters di belakang hari jika mengalami peristiwa yang serupa.
Setelah mempelajari kasus yang disengketakan itu di mana penolakan membayar claim kepada kapal Inchmaree diputuskan oleh sebuah Pengadilan Inggeris, the House of Lord menetapkan bahwa penyebab dari peristiwa seperti yang dialami oleh kapal Inchmaree tidak pas dengan definisi “all other perils” , yaitu peristiwa-peristiwa yang dapat disetarakan dengan marine perils untuk mana penanggung wajib memberikan ganti rugi kepada tertanggung atas kerugian yang dideritanya akibat peristiwa yang dialami oleh kapal yang dioperasikannya.
Dari fatwa the House of Lord tersebut dapat disimpulkan bahwa kerugian karena latent causes tidak diganti ole penanggung, kecuali kalau tetanggung mencantumkan permintaan penutupan sesuai fatwa tentang Inchmaree Clause.
Jumat, 17 September 2010

INCHMAREE CLAUSE

Syarat Inchmaree Clause dicantumkan dalam Polis Asuransi Kapal Laut (Marine Hull Insurance) bila tertanggung menginginkan penutupan asuransinya juga meliputi kerusakan dan kerugian yang terjadi karena peristiwa yang tidak kasat mata (damage or loss due to latent causes) seperti poros baling-baling patah, boiler meledak, cacat pada lambung kapal dan lain-lain.
Kasus bermula pada tahun 1887 yang melibatkan persengketaan antara Thames & Imersey Marine Co. versus Hamilton, Fraser & co.menyangkut kerugian kapal Inchmaree di mana pihak underwriter menolak membayar claim karena beranggapan bahwa kerugian yang dialami oleh kapal tersebut bukan karena marine perils melainkan karena cacat pada kapal itu sendiri. Sebagaimana diketahui asuransi maritim menutup risiko untuk kerugian yang terjadi karena marine perils, baik berupa perils of the sea maupun perils on the sea sesuai ketentuan dalam polis.
Berdasarkan pada dalil penolakan membayar claim serta tuntutan tertanggung agar ganti rugi yang mereka alami dibayar oleh penanggung, pihak British Underwriters mengajukan petisi kepada DPR Inggeris (the House of Lord) agar nenetapkan fatwa yang dapat dijadikan pegangan bagi para marine underwriters di belakang hari jika mengalami peristiwa yang serupa.
Setelah mempelajari kasus yang disengketakan itu di mana penolakan membayar claim kepada kapal Inchmaree diputuskan oleh sebuah Pengadilan Inggeris, the House of Lord menetapkan bahwa penyebab dari peristiwa seperti yang dialami oleh kapal Inchmaree tidak pas dengan definisi “all other perils” , yaitu peristiwa-peristiwa yang dapat disetarakan dengan marine perils untuk mana penanggung wajib memberikan ganti rugi kepada tertanggung atas kerugian yang dideritanya akibat peristiwa yang dialami oleh kapal yang dioperasikannya.
Dari fatwa the House of Lord tersebut dapat disimpulkan bahwa kerugian karena latent causes tidak diganti ole penanggung, kecuali kalau tetanggung mencantumkan permintaan penutupan sesuai fatwa tentang Inchmaree Clause.
Kamis, 02 September 2010

KOEBROEK

Pada masa penjajahan Belanda dahulu, sekitar tahun 1941 atau 1942, sebagai anak kecil yang belum sekolah saya pernah terheran-heran menyaksikan seorang petani ditangkan polisi (Marsose) karena membawa seekor ayam betina yang baru dibelinya di pasar. Apa kesalahan orang itu, pikir saya, kulihat sendiri pak tani membeli ayam di pasar, bukannya mencuri.
Lama sesudah itu baru saya mengetahui peroalannya, yaitu si bapak membawa ayam dengan cara yang tidak benar yaitu ditenteng pada kakinya yang diikat sehingga menimbulkan penderitaan bagi ayam tersebut.
Ayam ‘kan hendak disembelih untuk dinikmati sebagai ayam goreng, sate ayam dan sebagainya. Maka berilah ayam tersebut sedikit kenikmatan dalam sisa hidupnya sebentar lagi, yaitu dibawa dengan diletakkan di dalam “kreneng”, yaitu sejenis anyaman rautan bambu seperti yang digunakan untuk mewadahi buah-buahan namun dengan jarak anyaman lebih besar supaya kaki ayam mudah masuk dicelah anyaman. Ayam juga dapat duduk pada kreneng sehingga kalau ditenteng terasa nyaman. Demikian sekelumit perilaku yang penuh kepedulian dari penjajah Belanda yang merampok harta sumber daya kita selama ratusan tahun.
Bagaimana praktek pengangkutan ayam hidup dewasa Ini? Setiap hari kita menyaksikan duapuluh, tigapuluh ekor ayam potong diikat kedua kakinya lalu semua disatukan agar dapat diletakkan di atas sadel motor bebek yang dilarikan dengan kecepatan 60 km per jam. Sungguh perlakuan yang kejam tanpa peduli bahwa satu dua hari lagi ayam akan disembelih untuk dijual sebagai daging ayam, atau dimasak menjadi sate ayam dan sebagainya.
Ah, ayam dibegitukan saja diributkan, begitu mungkin komentar anda. Kekejaman itu belum cukup? Masih ada lagi yang lebih “hebat”, yaitu memuat sapi ke (dan membongkarnya kembali) dari kapal laut dengan cara diikat pada kedua tanduknya, lalu sling yang mengikat tanduk sapi itu diangkat. Wah, ini lagi, komentar anda. Memuat sapi kan hanya memakan waktu lima menit, begitu juga membongkarnya kembali dari kapal. Bersakit sedikit tak apalah, toh sapi (juga: kerbau) akan mengalami kenikmatan dalam perjalanan nenuju pelabuhan lain di mana sapi akan dinaikkan ke atas truck untuk diangkut ke pasar hewan.
Tidak, tidak ada kenikmatan sama sekali yang dapat dialami oleh sapi yang dimuat dengan cara yang sangat kejam itu. Sungguh sangat keterlaluan perlakuan orang Indonesia yang menganut paham Pancasila ini memperlakukan hewan yang akan menjadi santapannya yang lezat setelah sapi disembelih nantinya.
Ketahuilah, sekitar tanduk sapi (juga: kerbau) merupakan pusat syaraf yang mengontrol dan mengatur semua gerak hewan itu. Kalau tanduk diikat dan dibebani berat tuguhnya dalam rangka diangkat pada pemuatan dan pembongkaran, pusat syarat menderita trauma hebat; pengalaman lima menit diangkat pada tanduknya itu berakibat sapi menjadi linglung, pusing dan mual, tidak mau makan.
Tetapi pedagang sapi yang tidak perduli dengan penderitaan itu, bukannya berusaha mengurangi penderitaan melainkan menambahinya dengan, setelah sapi tiba di tujuan dan sebelum dijajakan di pasar hewan, digelonggong, yaitu dipaksa minum air sebanyak-banyaknya dengan cara mulutnya dimasuki selang plastik besar dan air digelontorkan dengan kecepatan penuh. Tujuannya supaya sapi yang tadinya kurus karena tidak mau makan, tampak seolah-olah mempunyai tubuh normal dan beratnya bertambah sehingga pembeli sapi berminat menawarnya.
Lalu bagaimana seharusnya? Beberapa tahun yang lalu, dalam suatu program pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk eksekutif Wanhai Shipping, semua peserta diklat (25 orang) berteriak memprotes ketika saya memberikan advis agar staff Wanhai menolak menandatangani backdated bill of lading (B/L) karena dapat menimbulkan komplikasi hukum di belakang hari, terutama kalau barang ekspor dikapalkan ke negara yang administrasinya (sangat) teratur di mana sedikit penyimpangan (dicrepancy) pasti dipertanyakan atau diusut.
Bapak kuno, praktek backdating sudah biasa pak, kalau kita tidak mengikutinya tidak mendapat muatan.
Backdated B/L adalah B/L (sebagai surat perjanjian pegangkutan melalui laut) yang ditandatangani pada suatu tanggal yang lebih awal daripada tanggal sebenarnya di mana muatan di muat ke kapal, untuk menyiasati klausul letter of credit yang menetapkan latest shipment date pada tanggal tertentu. Backdated B/L dikeluarkan karena pada latest shipment date tersebut pemuatan barang ekspor belum terlaksana karena satu dan lain hambatan.
Kalau pemuatan barang ekspor belum terlaksana pada tanggal terakhir itu, pejabat Bea dan Cukai juga mungkin tidak bersedia menandatangani dokumen fiat muat (persetujuan untuk memuat barang ekspor) sehingga ekspor terancam gagal.
Mungkin staff eksportir yang menyaksikan pelaksanaan pemuatan merogoh tasnya untuk mengambil amplop berisi uang pungli kepada petugas Pabean itu tetapi si petugas menanggapi: tidak usah pakai pungli mas, perpanjang saja L/C-nya, kirim SMS kepada importir, toh kapal masih enam jam lagi baru bertolak).
Menanggapi protes para peserta diklat yang menggebu-gebu tersebut saya balik bertanya: siapakah yang menetapkan latest shipment date tersebut dan kapankah penetapan itu buat?.
Tidak ada peserta diklat yang (bersedia) memberikan jawaban sehingga pertanyaan terpaksa saya jawab sendiri. Latest shipment date ditetapkan oleh importir, biasanya setelah mengadakan korespondensi dan atau negosiasi seperlunya dengan eksportirnya, berdasarkan perhitungan waktu di mana barang ekspor akan diterima oleh importir dan disiapkan untuk pemasaran (atau pengolahan).
Katakanlah penetapan saat terakhir barang ekspor harus dimuat ke kapal pengangkutnya itu terjadi satu bulan sebelumnya (di saat mana importir membuka L/C), berarti eksportir mempunyai waktu satu bulan untuk mempersiapkan barang ekspor. Kalau waktu tigapuluh hari berlalu dan pemuatan belum terlaksana lalu meminta perpanjangan L/C, ngapain saja eksportir selama waktu satu bulan itu? Kecuali kalau dalam waktu itu terjadi hambatan serius misalnya pabrik terbakar, ada banjir besar, tetapi kalau tidak ada halangan, seharusnya pemuatan sudah terlaksana sesuai rencana.
Importir yang mnerima permintaan eksportir agar memperpanjang masa berlakunya L/C (mengubah latest shipment date) pasti memenuhi permintaan itu tetapi disertai ancaman lain kali cari pemasok lain saja, banyak kok, daripada tetap berbisnis dengan eksportir yang tidak becus seperti ini. Nah, menyadari ancaman yang tidak diucapkan ini, eksportir berusaha dengan segala cara agar ekspor terealisasi, kalau perlu ya dengan suatu ancaman untuk tidak mengapalkan barang ekspornya pada perusahaan itu, kecuali kalau dia mengeluarkan backdated B/L.
Apakah anda bersedia menjalankan bisnis yang disertai ancaman dan pemerasan seperti itu, tanya saya yang tidak mendapat jawaban.
Kembali kepada pemuatan sapi, alat bantu pemuatan sapi hidup yang seharusnya digunakan adalah apa yang disebut koebroek (Bld., koe = sapi, broek = rok, jadi: rok sapi), bentuknya berupa selembar terpal segi empat dengan ukuran 60 x 200 cm yang keempat sudutnya dilengkapi cincin sangat kuat untuk menautkan sling tali tambang manila.
Cara kerjanya: koebroek dihamparkan di lantai dermaga atau geladak kapal lalu sapi didorong ke atas broek. Setelah pada posisi yang tepat kedua ujung broek ditangkupkan, maka sling tali manila dapat disangkutkan pada takal kapal untuk selanjutnya diangkat menuju kapal (pemuatan) atau menuruni kapal (pembongkaran). Dengan demikian sapi merasa nyaman tidak tersiksa.
Pedagang sapi tidak menyukai cara kerja seperti ini karena makan waktu lama, diapun berpotensi terkena denda demurrage kalau menggunakan kapal berdasarkan persetujuan voyage charter yang menetapkan masa pemuatan dan pembongkaran tertentu. Demurraeg dibayar kalau pemuatan atau pembongkaran dielesaikan lebih lama dari alokasi waktu yang disetujui. Daripada menyetujui pelaksanaan pemuatan dan pembongkaran sapi hidup dengan cara yang sesuai dengan azas Pancasila tetapi terkena demurrage, kerjakan dengan cara yang super kejam tetapi menjamin laba pedagang, yaitu sapi diikat pada kedua tanduknya lalu diangkat.
Di sini juga berlaku “mekanisme” pemerasan yaitu kalau perusahaan pelayaran atau nakhoda kapal menolak cara kerja “ikat tanduk” itu, pedagang tidak mau lagi memberi muatan kepadanya (atau tidak mau lagi mencharter kapalnya).
Namun penulis artikel ini tetap menyarankan agar cara memuat dan membongkar sapi menggunakan koebroek dibudayakan kembali secara konsekwen. Pejabat tertinggi terkait harus dapat memaksakan berlakunya sistem ini; melalui Syahbandar pelabuhan muat sapi, upaya pemaksaan itu dapat dilakukan melalui pemuatan nama kapal ke dalam daftar hitam (blacklist) kalau menolak cara kerja itu. Juga nakhoda yang tidak melakukan cara itu dilarang memasukkan kapalnya ke pelabuhan itu.
Solusi lain yang tidak kejam, yang dapat penulis anjurkan adalah kepala daerah (gubernur, bupati) di mana di daerahnya terdapat pelabuhan pemuatan sapi (untuk dijual antar pulau), demikian juga pelabuhan yang banyak menerima pengapalan sapi hidup, membangun semacam jembatan atau lorong untuk mengalirkan sapi ke dan dari kapal. Dengan adanya lorong khusus tersebut maka boleh saja koebroek tidak digunakan karena sapi-sapi dapat digiring naik ke kapal (dan turun dari kapal) tanpa mengalami penderitaan dan siksaan yang sebetulnya juga merugikan pedagang sendiri.
Selasa, 31 Agustus 2010

MENYELUNDUPKAN EMAS

Sudah cukup lama tidak terdengar berita tentang kasus penyelundupan emas, apakah para penjahat sudah sadar? Biasanya penyelundup amatir berusaha mea emas gelap dengan cara ditipiskan dan dijahitkan pada vest yang dikenakan di bawah jacket yang dikenakannya.
Atau: langkah ini merupakan kamuflase, untuk mengalihkan perhatian karena di tempat lain, atau pada waktu lain yang dekat, dilakukan penyelundupan yang lebih besar. Cobalah anda hitung berapa atau apa yang anda peroleh dengan menyelundupkan dua kilogram emas, dengan mempertimbangkan selisih harganya di tempat asal dan di tempat tujuan, dikurangi lagi dengan biaya tiket pesawat terbang, ongkos hotel berbintang dan biaya-biaya operasional lainnya?
Penyelundupan dengan modus operandi seperti ini tergolong sebagai penyelundupan kelas teri karena kalau berhasil, perolehannya tidak lebih untuk memenuhi kebutuhan dapur, padahal risiko tertangkap sangat besar seperti yang akan diungkapkan sebentar lagi.
Juga ada penyelundupan kelas “memenuhi kebutuhan dapur” lain seperti yang dilakukan pilot pesawat terbang dengan membawa satu atau paling banyak dua buah jam tangan Rolex all gold. Konon kabarnya, di kalangan kepabeanan ada pameo: Pabean tahu tentang pilot yang “nyangking” jam tangan rolex satu buah tetapi dibiarkan saja (Bea dan Cukai tutup mata) karena ulah itu hanya dianggap untuk menjaga supaya asap dapur tetap ngebul.
Baru kalau pilot merasa bahwa Bea dan Cukai tidak tahu “kenakalannya” itu lalu membawa duapuluh unit jam tangan Rolex all gold itu, dia harus kecele karena ditangkap. Di kalangan kepabeanan, pilot menenteng 20 buah jam tangan Rolex tinggal jemput saja. Koq bisa begitu? Ketahuilah, petugas-petugas lapangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (ada yang) mendapat latihan khusus untuk dapat membaca perubahan urat tubuh manusia yang menegang karena membawa beban yang melebihi “daya angkut” tubuhnya.
Lho, bukankah emas murni dipipihkan menjadi setebal kertas dan dijahitkan pada pakaiannya itu hanya menimbulkan tambahan beban dua kilogram yang tidak terlalu membebani tubuh manusia. Ketahuilah lagi, pelatihan khusus itu bukan untuk membaca urat yang besar/kasar, karena kalau hanya untuk itu tidak perlu latihan khusus, orang bisa berlatih sendiri dengan mengamati urat yang menonjol pada batang leher seperti yang terjadi saat orang menyanyikan lagu seriosa.
Yang dilatihkan kepada (sebagian) petugas lapangan itu adalah materi untuk membaca urat halus yang sebenarnya menonjol kalau orang membawa beban sedikit melebihi bawaannya yang dia tenteng, misalnya jaket yang dilapisi lembaran emas seberat 2 atau 2,5 kilogram itu.
Sedangkan pengenalan pilot yang “nyangking” arloji emas Rolex lebih banyak dilakukan melalui metode psikologi, dari raut wajah orang yang merasa bersalah membawa barang impor tanpa melalui prosedur. Bagi pilot yang membawa duapuluh buah arloji gelap, dari caranya menenteng traveling bag sangat jelas terlihat. Begitu juga kalau dia menghela tas beroda (trolley).
Penyelundupan bohong-bohongan, kamuflase untuk menutupi langkah penyelundupan yang lebih besar, acap kita temukan pada kurun waktu tahun delapan puluhan di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya di mana ada impor sampah domestik (sampah dari restoran besar, rumah tangga), bukan sampah khusus seperti aki bekas (mudah-mudahan sekarang tidak ada lagi).
Dalam kesempatan itu memang betul-betul ada impor sampah domestik dan untuk meyakinkan masyarakat, penyelundup sengaja memanggil kameraman TVRI untuk menyorot peti kemas yang sejak pintunya dibuka, pemulung berebutan, sampai ke dinding peti kemas pada ujung lainnya terlihat, memang hanya sampah sayur, kaleng minuman sampai kulit ikan dan segala macam limbah dapur.
Maka keesokan harinya ketika di pelabuhan Tanjung Priok ada impor serupa, pemeriksa Bea dan Cukai sengaja disodori batang besi yang ujungnya diruncingkan untuk memeriksa peti kemas berisi sampah, untuk mencolok-colokkan sampah itu, tidak menyentuh benda keras, maka seketika itu pula dia menandatangani dokumen pemeriksaan sambil menutup hidung.
Seketika kemudian amanlah tindak penyelundupan mobil Jaguar yang dibungkus kantong plastik tebal besar dan diposisikan pada bagian dalam peti kemas dan ditimbuni sampah domestik. Tentu saja colokan besi runcing sepanjang dua meter itu tidak menemukan keanehan karena ruang dalam peti kemas sekitar 11,5 meter dan panjang mobil Jaguar kira-kira 5 meter. Maka dengan demikian hasil pemeriksaan menyebutkan conform (sesuai) dan “sampah impor” itu sudah sah memenuhi prosedur impor dan kepabeanan, maka segera pula peti kemas diperintahkan keluar dari pelabuhan untuk menuju ke ........ rumah mewah di kawasan Pondok Indah.
Kembali ke sinyalemen bahwa penyelundupan dua (atau bahkan: lima) kilogram emas adalah kamuflase, penulis pernah didekati gembong penyelundup untuk menyelundupkan emas sebanyak dua ton. Jangan salah, dua ton emas murni. Anda bercanda barangkali, begitu mungkin komentar anda. Tidak, saya tidak bercanda dan hitung-hitungan tindak kejahatan itu sudah dibuat tetapi sayang pada saat terakhir saya seperti ada yang mengingatkan untuk tidak jadi ikut dalam program gila itu.
Sudah barang tentu gembong penyelundup marah besar tetapi sebagai gembong, tidak marah meledak-ledak menggebrak meja. Dia hanya bertanya dengan santai: “Bapak sadar dengan apa yang bapak katakan?” Maka jawab saya juga dengan tenang: “Anak saya enam orang pak, saya dengan sadar menimbang apa yang harus saya lakukan. Untuk itu saya akan diam tidak bicara mengenai apapun kepada siapapun, paling tidak untuk lima tahun mendatang”.
Sesungguhnya yang saya katakan adalah: “Tindak penyelundupan besar ini pak, pada pelaksanaannya memang bisa kita atur untuk tidak diketahui oleh siapapun kecuali kita berdua dan mungkin satu dua orang dari pihak bapak (dia menggelengkan kepala) tetapi setelah dua juta gram emas gelap masuk pasar, pasti reserse ekonomi dapat mengendusnya. Masalahnya adalah, berapa lama polisi akan mengendus kasus besar ini?
Kalau kebetulan pada saat itu sedang ada penggantian Kapolda (atau barangkali bahkan Kapolri), mungkin dalam hitungan hari sudah akan terungkap karena pejabat baru biasanya berusaha menunjukkan prestasinya yang spektakuler tetapi pada situasi lain, mungkin diperlukan waktu satu, dua minggu atau sebulan baru kasus terungkap. Atau bakhan tidak pernah terungkap. Mencegah spekulasi, saya kan harus bersembunyi karena kalau bapak kan sudah mengatur persembunyian sejak sebelum bergerak.
Di sinilah masalah besar yang saya hadapi, yaitu bagaimana saya harus menyembunyikan enam orang anak yang sudah sekolah (dan satu isteri)? Kalau anak saya satu tau paling banyak dua orang, senang diajak sembunyi di hotel berbintang (dalam waktu terbatas). Tinggal memasang pengawal tiga lapis, untuk menangkal datangnya anggota Polisi peringkat rendah, menengah dan tinggi. Maka itu dalam dialog penutup yang mengecewakan gembong penyelundup, saya tekankan tentang anak saya yang enam orang itu. Di samping itu saya tergolong orang yang takut masuk penjara sebagai napi (beda dengan Artalyta Suryani ya?)
Tetapi ngomong-ngomong, bagaimana ceritanya saya bisa masuk ke “sarang penyamun” itu? Begini: Awal tahun 1980 saya sebagai Import Manager PT.Australia-Indonesian Milk Industry, PT. Indomilk, perusahaan joint venture antara The Australia Dairy Produce Board, ADPB, sejenis BULOG khusus produksi persusuan Australia, yamg berpatungan dengan investor Indonesia, sembilan orang bersaudara kandung, marga Zahiruddin – Tanjung asal desa Sorkam kabupaten Sibolga Sumater Utara.
Tiga orang wanita dari clan itu hanya aktif dalam pembagian dividen (dan rapat pemegang saham, board meeting) tentunya. Biasanya rapat pemegang saham diadakan di Jakarta. Sementara itu saudara yang ditengah-tengah, Akbar Tanjung tidak pernah ikut mengurusi bisnis namun dalam rapat direksi (management meeting) biasanya hadir karena beliau menjabat sebagai Direktur dalam perusahaan patungan itu). Seperti kita ketahui pak Akbar Tanjung berkonsntrasi pada kegiatan perpolitikan.
Lima orang laki-laki dalam clan itu, adalah anggota DPR/MPR. Tetapi saudara tertua, Usman Zahiruddin Tanjung, yang disebut “pak Datuk” tercatat meninggal bunuh diri dengan cara gantung diri pada kusen pintu di rumahnya. Saya sebenarnya tidak yakin orang sebesar dia harus bunuh diri dengan cara “primitif” itu “secara sukarela” tetapi kalau saya katakan dia dipaksa bunuh diri (untuk menghentikan pengusutan lebih lanjut), saya toh tidak punya buktinya.
Hanya saja yang pasti, “pak Datuk” meninggalkan surat wasiat yang dimuat dalam surat kabar BERITA YUDHA (atau BERITA BUANA?) terbitan Agustus 1973. Saya masih ingat wasiatnya berbunyi kurang lebih: “Saya kecewa, perusahaan yang saya bangun dengan susah payah, dibuat begini oleh adik-adik saya”. Mungkin Redaksi salah satu dari surat kabar tersebut berkenan mengungkapkannya kembali?
Pada awal tahun 1980 tersebut saya sudah menghitung untung ruginya keluar dari perusahaan itu; masalahnya adalah kalau saya tidak keluar, akan menjadi saksi kunci dalam kasus manipulasi bea masuk (jilid II) yang melibatkan Nasrul Zahiruddin, abangnya Akbar Tanjung dan atasan langsung saya (sebagai Direktur Administrasi dan Keuangan). Nah, kalau saya menjadi saksi kunci, Nasrul (alm) “berpotensi” masuk penjara padahal saat itu Akbar Tanjung sebagai Ketua KNPI sudah santar diberitakan akan dipromosikan menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga.
Mungkinkah Akbar Tanjung tetap mulus menjadi Menteri kalau abangnya masuk penjara? Dihantui pikiran ini maka dengan tanpa ragu saya memutuskan minta berhenti dari Indomilk dan mendengar itu ibu saya marah sejadi-jadinya: “Kamu cari apa sih, sudah manajer gaji besar, tiap Jumat dapat susu gratis dua kaleng, kok keluar”. Saya tidak menemukan jawaban atas kemarahan ibu itu.
Membuat hitung-hitungan itu, herankah anda kalau saya, di satu sisi mempertimbangkan keluar saja dari Indomilk dan di sisi lainnya tergiur ikut serta dalam penyelundupan emas dengan peluang memperoleh bagian mencapai duaratus juta uang tahun 80! Modus operamdi penyelundupan itu cukup sederhana dan tidak diketahui oleh siapapun, juga tanpa berkolusi dengan Bea dan Cukai kecuali sedikit menipunya.
Anda mungkin pernah menonton film action di mana pastor palsu membezuk napi dengan membawa kitab injil setebal bantal di mana ternyata lembar-lembar kitab injil sudah dilubangi untuk menyembunyikan pistol yang diselundupkan kepada si napi.
Saya terperosok dalam rencana yang saya batalkan itu mungkin karena bos penyelundup atau anggotanya, mengamati bahwa saya sering mentransfer uang dalam jumlah besar ke Hongkong, kadang USD.150.000.- atau paling tidak puluhan ribu. Itu adalah uang untuk membayar hutang Indomilk kepada Financial Manager di Hongkong yang mengurusi pendanaan untuk operasi Indomilk. Asal anda tahu saja, management fee yang harus dibayar oleh Indomilk untuk bantuan finansial itu sebesar 5% dari omzet perusahaan (bayangkan dari omzet, bukannya dari laba bersih ataupun laba kotor).
PT. Indomilk sebagai produsen susu kental manis dengan membuat sendiri kaleng susunya, setiap bulan mengimpor duaratus ton tinplate, lembaran tipis logam bersalut timah putih; satu lembar plat berukuran kurang lebih 100 x 100 milimeter, beratnya satu kilogram per lembar.
Satu collie tinplate, yang paling kecil beratnya 600 kilogram dan paling besar 2500 kilogram. Nah kalau limaratus kilogram emas murni dicor ke dalam kemasan yang besarnya 2000 kilogram (2 ton), untuk menyelundupkan 2 ton emas murni hanya dibutuhkan beberapa collie tinplate impor. Operasionalnya juga melibatkan tidak lebih dari lima orang sehingga kebocoran informasi mudah diatasi.
Setelah barang selundupan dibongkar dari kapal, mengangkutnya ke gudang pabrik yang berstatus TPB, tempat penimbunan berikat dengan fasilitas penundaan pembayaran bea masuk, cukup gampang tanpa perlu berkolusi dengan pengawas dari Ditjen Bea dan Cukai, cukup menyediakan truck yang bernomor polisi sama dengan truck yang membawa peti kemas berisi barang selundupan. Truck abal-abal yang diisi tinplate yang sudah dilengkapi dokumen palsu namun (dibuat) sesuai dengan dokumen impornya, diperintahkan mogok di suatu posisi yang akan dilewati oleh truck yang membawa emas gelap yang dibongkar dari kapal di Tanjung Priok .
Setelah truck berisi emas selundupan sudah melewati truck yang “mogok” tersebut maka truck abal-abal diperintahkan melanjutkan perjalanan menuju gudang TPB di pabrik sementara truck berisi emas selundupan menuju arah yang sudah direncanakan’.
Selesailah sudah operasi kejahatan menyelundupkan emas murni kaliber super jumbo tersebut, sayang saya tidak mempunyai cukup nyali untuk menghadapi risikonya.