Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Jumat, 24 September 2010

MARINE INSURANCE COVER

Pada umumnya negara-negara di dunia mewajibkan pebisnis mengasuransikan barang dagangan mereka yang berada dalam proses pengangkutan, baik pengangkutan melalui laut, udara maupun angkutan darat. Dalam blog ini penulis akan menyoroti pengasuransian barang yang diangkut dengan angkutan laut, sesuai domain blog yaitu Konsultan Maritim.
Meskipun demikian angkutan udara juga dapat masuk dalam bisnis Asuransi Maritim (dulu disebut Asuransi Laut) karena dalam banyak hal muatan pesawat udara, air cargo, pengasuransiannya juga menggunakan prinsip-prinsip asuransi atas barang yang diangkut dengan angkutan laut.
Kewajiban mengasuransikan barang ekspor-impor yang sedang berada dalam proses pengangkutan itu merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam menjaga kepentingan para pebisnis. Kongkritnya: kalau pengusaha menderita kerugian karena barang ekspor impornya hilang atau rusak karena bencana laut atau bencana di laut (perils of the sea atau perils on the sea), usahanya tidak perlu ambruk karena modalnya habis berhubung barangnya hilang/rusak melainkan hanya terganggu “sesaat” yaitu selama proses pengurusan ganti rugi dari penanggung (underwriter, perusahaan asuransi) yang telah mengambil alih risiko dalam pengangkutan barang di laut tersebut.
Importir atau eksportir yang mengasuransikan barangnya dapat memilih dari sekian banyak jenis risiko asuransi yang dirasakan pas untuk melindungi kepentingannya atas barang yang sedang dalam pengangkutan itu. Apakah dia akan memilih asuransi all risks including warrisk ataukah risiko total loss only, diputuskan setelah mempertimbangkan berbagai aspek.
Demikian juga apakah dia memilih penutupan “sejak awal sampai akhir” (dikenal sebagai penutupan warehouse to warehouse cover) ataukah jaminan dimulai sejak kapal berangkat dari pelabuhan pemuatan dan berakhir setelah barang yang diangkut itu dibongkar dari kapal tersebut di pelabuhan tujuan ( dikenal sebagai risiko waterborne clause) diputuskan berdasarkan berbagai aspek seperti jenis barang, probabilitas barang menderita kerusakan atau kehilangan dan lain-lain.
Pebisnis yang banyak kali melakukan transaksi impor-ekspor tidak dianjurkan memilih penutupan waterborne clause karena dikhawatirkan dia tidak mempunyai cukup waktu untuk melakukan penutupan asuransi atas satu transaksi dan transaksi lainnya. Bagi frequent importer seperti itu lebih cocok menutup asuransi warehouse to warehouse cover ataupun warehouse to warehouse cover plus (so many weeks) the goods are stored in importer’s warehouse. Misalkan importir produsen yang banyak mengimpor bahan baku secara rutin dan reguler, biasanya menyimpan bahan baku tersebut di gudangnya di dekat pabrik sekian hari/minggu sebelum barang dikeluarkan untuk diolah (dirakit dan sebagainya).
Mengenai risiko perang (war risks) mungkin masa kini dapat ditinggalkan karena jaman perang sepertinya sudah berlalu tetapi tengoklah pasal-pasal terkait pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang RI (aslinya: Wetboek van Koophandel warisan Hindia Belanda, karena KUHD-RI merupakan concordante dari undang-undang negara penjajahnya di mana undang-undang warisan Belanda itu secara de jure sampai sekarang masih berlaku karena anggota-anggota DPR kita “kelupaan” mereformasinya berhubung terlalu sibuk berbondong-bondong melakukan “studi banding” ke luar negeri).
Dalam pasal-pasal terkait itu anda akan membaca pasal yang mengatur tentang bahaya perang, termasuk bahaya perbudakan. Sebabnya, kalau kapal terjebak dalam situasi perang antara satu negara dengan negara lain, maka orang-orang yang berada di kapal itu (anak buah kapal, penumpang kecuali nakhoda) ditangkap oleh negara yang menang perang, dijadikan budak dan diperjual belikan di pasar. Nakhoda biasanya tidak ditangkap dan tidak dijadikan budak belian melainkan dibiarkan lepas supaya bisa pulang ke pangkalan dan memberitahu pemilik kapal di mana biasanya pemilik kapal mendatangi pasar budak dan menebusnya untuk dibawa pulang ke tempat asal.
Dalam jaman hubungan antar negara yang membaik sekarang ini, bahaya perbudakan boleh dikatakan sudah tidak lagi tetapi, ya itu tadi, karena anggota-anggota DPR “yang terhormat” lebih sibuk melakukan “studi banding” maka reformaasi hukum (menasionalkan undang-undang warisan penjajah) yang sudah sangat mendesak, belum tampak terpikirkan oleh mereka. Para praktisi hukum juga tetap asyik sebagai pengguna undang-undang yang disusun pada jaman kapal perahu layar itu dan kelupaan mengingatkan pihak legislatif untuk segera mengganti undang-undang kuno itu. Indikasi bahwa praktisi hukum (hakim, jaksa, pengacara) lebih asyik sebagai pengguna produk hukum jaman nabi Nuh itu dapat dilihat dari putusan menghukum terdakwa dengan denda Rp.7.500.- yanpa perduli bahwa nominal ini sebenarnya adalah Nf.7.500.- (tujuh ribu limaratus gulden Belanda berstandar emas).
Para praktisi hukum yang usianya belum 50 tahun, mungkin tidak pernah mendengar cerita dari dosennya bahwa sesaat setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 pemerintah RI mengambil keputusan mengharamkan segala sesuatu yang berbau Belanda: semua naskah berbahasa Belanda ditiadakan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; termasuk tentunya pasal-pasal undang-undang di segala bidang. Nominal nilai uang tidak (atau belum?) diganti dan tidak dapat diterjemahkan lalu DPR kelupaan terus selama 65 tahun maka denda seharga satu gelas wedang kopi tersebut masih diucapkan dengan lantang oleh Hakim Pengadilan Negeri.
Namun dalam amar keputusan Hakim dan ungkapan resmi lain dalam bahasa Indonesia, sering ditegaskan dengan definisi atau istilah dalam bahasa Belanda, karena takut salah interpretasi kalau frasa aslinya, dalam bahasa Belanda, tidak disertakan.. Wah, wah, wah.
Penulis ingin menekankan bahwa asuransi dengan penutupan warehouse to warehouse tersebut sesungguhnya merupakan gabungan dari asuransi maritim (marine insurance) dengan asuransi angkutan darat lokal, dari pelabuhan pembongkaran sampai di gudang importir untuk disimpan sebelum digunakan. Pada dasarnya asuransi maritim adalah untuk penutupan waterborne clause yaitu penanggung menjamin risiko sejak barang berangkat dari pelabuhan pemuatan sampai dibongkar di pelabuhan tujuannya.
Sudah dikatakan tadi bahwa jenis penutupan terakhir ini kurang cocok bagi pengimporan barang yang frekwesninya cukup tinggi, misalnya setiap minggu sekali atau beberapa kali dalam sebulan ada impor. Dalam praktek pengimporan seperti itu ada kemungkinan importir atau ekaportir kelupaan menutup asuransi pengangkutan darat lokal. Ekstrimnya: barang sudah datang jauh-jauh dari pelabuhan London dan dijamin asuransi sampai dibongkar dari kapal di pelabuhan Tanjung Priok tetapi setelah barang dibongkar dari kapal dan disimpan sementara di Container Yard pelabuhan tujuan, justru terbakar sebelum diambil dari CY untuk dibawa ke lokasi pabrik importir di luar pelabuhan untuk disimpan di gudng persediaan bahan baku.
Bagi pengimporan yang hanya satu kali (atau satu kali mengimpor dalam satu tahun), penutupan waterborne clause dapat dibenarkan karena di sini tidak ada rutinitas kegiatan yang berulang-ulang yang memungkinkan terjadinya kelupaan mengasuransikan lokal untuk satu atau beberapa shipment; banyak pihak dalam perusahaan importir yang dapat mengingatkan tentang asuransi angkutan darat lokal tersebut yang menyambung pada asuransi maritim yang sudah terputus karena barang sudah dibongkar dari kapal.
Mengenai jenis risiko asuransi untuk mana asuransi ditutup, pada umumnya dipilih risiko “all risks, with average” (disingkat AR/WA) Penutupan untuk risiko “with average” dianjurkan karena pelayaran kapal di laut dihadapkan kepada berbagai hadangan bencana dan risiko, termasuk keadaan darurat yang membawa situasi di mana pimpinan kapal harus mengambil keputusan untuk membuat pengorbanan (mungkin dengan membobol lambung kapal, membuang peti kemas yang miring menjuntai keluar dari kapal sebagai akibat cuaca buruk atau gelombang besar). dengan tujuan membuat pelayarannya selamat tiba di pelabuhan tujuan, pelabuhan singgahan (port of call) atau pelabuhan darurat yaitu pelabuhan yang sebenarnya bukan port of call tetapi terpaksa disinggahi untuk meminta bantuan darurat.
Dalam situasi serba darurat itu kapal juga (terpaksa) harus mengeluarkan biaya ekstra; di mana setelah tindakan-tindakan darurat diambil, kapal dapat melanjutkan pelayaran menuju ke pelabuhan tujuan, pelabuhan singgahan atau pelabuhan darurat walaupun dengan sebagian muatan rusak dan hilang dibuang ke laut. Ini adalah gambaran dari peristiwa “general average” yang ekstrim di mana dalam hukum maritim ditetapkan bahwa semua pihak yang terlibat dalam pelayaran yang mengalami general average tersebut (GA), termasuk pemilik muatan (baik yang mengasuransikan barangnya atau tidak), harus membayar kontribusi untuk membayar kerugian GA yang diderita.
Pengurusan GA sangat rumit, penulis blog ini pernah ikut serta dalam penanganan GA selama tiga setengah tahun “belum apa-apa”. Rekan saya Capt. Sutrisno Djajadiputro bahkan pernah mengatakan bahwa penanganan GA bisa mencapai sepuluh bahkan limabelas tahun.
Oleh karena itu saya menganjurkan agar importir (atau eksportir) bila mengambil risiko all risks, juga dengan tambahan WA dengan pemikiran bahwa kalau kapal yang mengangkut barangnya terkena GA, urusan dengan Average Adjuster diambil alih oleh underwriter dan tertanggung mengurus claim asuransinya kepada penanggung melalui prosedur biasa, seolah-olah barang diasuransikan tanpa GA.

0 komentar:

Posting Komentar