Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Kamis, 02 September 2010

KOEBROEK

Pada masa penjajahan Belanda dahulu, sekitar tahun 1941 atau 1942, sebagai anak kecil yang belum sekolah saya pernah terheran-heran menyaksikan seorang petani ditangkan polisi (Marsose) karena membawa seekor ayam betina yang baru dibelinya di pasar. Apa kesalahan orang itu, pikir saya, kulihat sendiri pak tani membeli ayam di pasar, bukannya mencuri.
Lama sesudah itu baru saya mengetahui peroalannya, yaitu si bapak membawa ayam dengan cara yang tidak benar yaitu ditenteng pada kakinya yang diikat sehingga menimbulkan penderitaan bagi ayam tersebut.
Ayam ‘kan hendak disembelih untuk dinikmati sebagai ayam goreng, sate ayam dan sebagainya. Maka berilah ayam tersebut sedikit kenikmatan dalam sisa hidupnya sebentar lagi, yaitu dibawa dengan diletakkan di dalam “kreneng”, yaitu sejenis anyaman rautan bambu seperti yang digunakan untuk mewadahi buah-buahan namun dengan jarak anyaman lebih besar supaya kaki ayam mudah masuk dicelah anyaman. Ayam juga dapat duduk pada kreneng sehingga kalau ditenteng terasa nyaman. Demikian sekelumit perilaku yang penuh kepedulian dari penjajah Belanda yang merampok harta sumber daya kita selama ratusan tahun.
Bagaimana praktek pengangkutan ayam hidup dewasa Ini? Setiap hari kita menyaksikan duapuluh, tigapuluh ekor ayam potong diikat kedua kakinya lalu semua disatukan agar dapat diletakkan di atas sadel motor bebek yang dilarikan dengan kecepatan 60 km per jam. Sungguh perlakuan yang kejam tanpa peduli bahwa satu dua hari lagi ayam akan disembelih untuk dijual sebagai daging ayam, atau dimasak menjadi sate ayam dan sebagainya.
Ah, ayam dibegitukan saja diributkan, begitu mungkin komentar anda. Kekejaman itu belum cukup? Masih ada lagi yang lebih “hebat”, yaitu memuat sapi ke (dan membongkarnya kembali) dari kapal laut dengan cara diikat pada kedua tanduknya, lalu sling yang mengikat tanduk sapi itu diangkat. Wah, ini lagi, komentar anda. Memuat sapi kan hanya memakan waktu lima menit, begitu juga membongkarnya kembali dari kapal. Bersakit sedikit tak apalah, toh sapi (juga: kerbau) akan mengalami kenikmatan dalam perjalanan nenuju pelabuhan lain di mana sapi akan dinaikkan ke atas truck untuk diangkut ke pasar hewan.
Tidak, tidak ada kenikmatan sama sekali yang dapat dialami oleh sapi yang dimuat dengan cara yang sangat kejam itu. Sungguh sangat keterlaluan perlakuan orang Indonesia yang menganut paham Pancasila ini memperlakukan hewan yang akan menjadi santapannya yang lezat setelah sapi disembelih nantinya.
Ketahuilah, sekitar tanduk sapi (juga: kerbau) merupakan pusat syaraf yang mengontrol dan mengatur semua gerak hewan itu. Kalau tanduk diikat dan dibebani berat tuguhnya dalam rangka diangkat pada pemuatan dan pembongkaran, pusat syarat menderita trauma hebat; pengalaman lima menit diangkat pada tanduknya itu berakibat sapi menjadi linglung, pusing dan mual, tidak mau makan.
Tetapi pedagang sapi yang tidak perduli dengan penderitaan itu, bukannya berusaha mengurangi penderitaan melainkan menambahinya dengan, setelah sapi tiba di tujuan dan sebelum dijajakan di pasar hewan, digelonggong, yaitu dipaksa minum air sebanyak-banyaknya dengan cara mulutnya dimasuki selang plastik besar dan air digelontorkan dengan kecepatan penuh. Tujuannya supaya sapi yang tadinya kurus karena tidak mau makan, tampak seolah-olah mempunyai tubuh normal dan beratnya bertambah sehingga pembeli sapi berminat menawarnya.
Lalu bagaimana seharusnya? Beberapa tahun yang lalu, dalam suatu program pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk eksekutif Wanhai Shipping, semua peserta diklat (25 orang) berteriak memprotes ketika saya memberikan advis agar staff Wanhai menolak menandatangani backdated bill of lading (B/L) karena dapat menimbulkan komplikasi hukum di belakang hari, terutama kalau barang ekspor dikapalkan ke negara yang administrasinya (sangat) teratur di mana sedikit penyimpangan (dicrepancy) pasti dipertanyakan atau diusut.
Bapak kuno, praktek backdating sudah biasa pak, kalau kita tidak mengikutinya tidak mendapat muatan.
Backdated B/L adalah B/L (sebagai surat perjanjian pegangkutan melalui laut) yang ditandatangani pada suatu tanggal yang lebih awal daripada tanggal sebenarnya di mana muatan di muat ke kapal, untuk menyiasati klausul letter of credit yang menetapkan latest shipment date pada tanggal tertentu. Backdated B/L dikeluarkan karena pada latest shipment date tersebut pemuatan barang ekspor belum terlaksana karena satu dan lain hambatan.
Kalau pemuatan barang ekspor belum terlaksana pada tanggal terakhir itu, pejabat Bea dan Cukai juga mungkin tidak bersedia menandatangani dokumen fiat muat (persetujuan untuk memuat barang ekspor) sehingga ekspor terancam gagal.
Mungkin staff eksportir yang menyaksikan pelaksanaan pemuatan merogoh tasnya untuk mengambil amplop berisi uang pungli kepada petugas Pabean itu tetapi si petugas menanggapi: tidak usah pakai pungli mas, perpanjang saja L/C-nya, kirim SMS kepada importir, toh kapal masih enam jam lagi baru bertolak).
Menanggapi protes para peserta diklat yang menggebu-gebu tersebut saya balik bertanya: siapakah yang menetapkan latest shipment date tersebut dan kapankah penetapan itu buat?.
Tidak ada peserta diklat yang (bersedia) memberikan jawaban sehingga pertanyaan terpaksa saya jawab sendiri. Latest shipment date ditetapkan oleh importir, biasanya setelah mengadakan korespondensi dan atau negosiasi seperlunya dengan eksportirnya, berdasarkan perhitungan waktu di mana barang ekspor akan diterima oleh importir dan disiapkan untuk pemasaran (atau pengolahan).
Katakanlah penetapan saat terakhir barang ekspor harus dimuat ke kapal pengangkutnya itu terjadi satu bulan sebelumnya (di saat mana importir membuka L/C), berarti eksportir mempunyai waktu satu bulan untuk mempersiapkan barang ekspor. Kalau waktu tigapuluh hari berlalu dan pemuatan belum terlaksana lalu meminta perpanjangan L/C, ngapain saja eksportir selama waktu satu bulan itu? Kecuali kalau dalam waktu itu terjadi hambatan serius misalnya pabrik terbakar, ada banjir besar, tetapi kalau tidak ada halangan, seharusnya pemuatan sudah terlaksana sesuai rencana.
Importir yang mnerima permintaan eksportir agar memperpanjang masa berlakunya L/C (mengubah latest shipment date) pasti memenuhi permintaan itu tetapi disertai ancaman lain kali cari pemasok lain saja, banyak kok, daripada tetap berbisnis dengan eksportir yang tidak becus seperti ini. Nah, menyadari ancaman yang tidak diucapkan ini, eksportir berusaha dengan segala cara agar ekspor terealisasi, kalau perlu ya dengan suatu ancaman untuk tidak mengapalkan barang ekspornya pada perusahaan itu, kecuali kalau dia mengeluarkan backdated B/L.
Apakah anda bersedia menjalankan bisnis yang disertai ancaman dan pemerasan seperti itu, tanya saya yang tidak mendapat jawaban.
Kembali kepada pemuatan sapi, alat bantu pemuatan sapi hidup yang seharusnya digunakan adalah apa yang disebut koebroek (Bld., koe = sapi, broek = rok, jadi: rok sapi), bentuknya berupa selembar terpal segi empat dengan ukuran 60 x 200 cm yang keempat sudutnya dilengkapi cincin sangat kuat untuk menautkan sling tali tambang manila.
Cara kerjanya: koebroek dihamparkan di lantai dermaga atau geladak kapal lalu sapi didorong ke atas broek. Setelah pada posisi yang tepat kedua ujung broek ditangkupkan, maka sling tali manila dapat disangkutkan pada takal kapal untuk selanjutnya diangkat menuju kapal (pemuatan) atau menuruni kapal (pembongkaran). Dengan demikian sapi merasa nyaman tidak tersiksa.
Pedagang sapi tidak menyukai cara kerja seperti ini karena makan waktu lama, diapun berpotensi terkena denda demurrage kalau menggunakan kapal berdasarkan persetujuan voyage charter yang menetapkan masa pemuatan dan pembongkaran tertentu. Demurraeg dibayar kalau pemuatan atau pembongkaran dielesaikan lebih lama dari alokasi waktu yang disetujui. Daripada menyetujui pelaksanaan pemuatan dan pembongkaran sapi hidup dengan cara yang sesuai dengan azas Pancasila tetapi terkena demurrage, kerjakan dengan cara yang super kejam tetapi menjamin laba pedagang, yaitu sapi diikat pada kedua tanduknya lalu diangkat.
Di sini juga berlaku “mekanisme” pemerasan yaitu kalau perusahaan pelayaran atau nakhoda kapal menolak cara kerja “ikat tanduk” itu, pedagang tidak mau lagi memberi muatan kepadanya (atau tidak mau lagi mencharter kapalnya).
Namun penulis artikel ini tetap menyarankan agar cara memuat dan membongkar sapi menggunakan koebroek dibudayakan kembali secara konsekwen. Pejabat tertinggi terkait harus dapat memaksakan berlakunya sistem ini; melalui Syahbandar pelabuhan muat sapi, upaya pemaksaan itu dapat dilakukan melalui pemuatan nama kapal ke dalam daftar hitam (blacklist) kalau menolak cara kerja itu. Juga nakhoda yang tidak melakukan cara itu dilarang memasukkan kapalnya ke pelabuhan itu.
Solusi lain yang tidak kejam, yang dapat penulis anjurkan adalah kepala daerah (gubernur, bupati) di mana di daerahnya terdapat pelabuhan pemuatan sapi (untuk dijual antar pulau), demikian juga pelabuhan yang banyak menerima pengapalan sapi hidup, membangun semacam jembatan atau lorong untuk mengalirkan sapi ke dan dari kapal. Dengan adanya lorong khusus tersebut maka boleh saja koebroek tidak digunakan karena sapi-sapi dapat digiring naik ke kapal (dan turun dari kapal) tanpa mengalami penderitaan dan siksaan yang sebetulnya juga merugikan pedagang sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar