Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Minggu, 03 Oktober 2010

PINDAH DARI MATRA MARITIM, MASUK KE ..... SARANG BUAYA

Beberapa hari yang lalu saya menceritakan bagian 2 dari Kisah Keterpurukan Djakarta Lloyd, di mana akhir tahun 1973 saya memutuskan hengkang dari perusahaan yang (masih tergolong bonafide) dan memberikan income lumayan itu. Cari kerja sana sini, saya diterima di dua perusahaan besar yaitu PT. BAT (British American Tobaco) dan PT. Indomilk.
Waktu itu saya masih merokok (di depan mahasiswa di kelas saja kepul-kepul merokok) tetapi saya merasa kurang nyaman untuk bekerja pada perusahaan rokok, maka saya memilih wawancara pada perusahaan produsen susu kental manis Indomilk yang setiap hari Jumat membagikan susu gratis dua kaleng. Rupanya saya “kuwalat”, sendirinya merokok tetapi tidak mau bekerja pada perusahaan rokok, maka sayapun kecemplung di sarang buaya. Lho?
PT. Indomilk (PT. Australia – Indonesian Milk Industry) adalah perusahaan patungan (joint ventrue) berstatus PMA, dibentuk berdasarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing, UU.1/1967. Sebagai investor asing adalah The Australian Dairy Produce Board, ADPB, semacam BULOG Australia khusus di bidang produksi dan pemasaran produk susu sapi sedangkan investor lokalnya sembilan orang bersaudara kandung marga Zahiruddin-Tanjung asal desa Sorkam Kabupaten Sibolga Sumater Utara.
Lima orang pria dari clan ini berstatus anggota DPR-MPR yaitu: 1. Usman Zahiruddin-Tanjung (alm, meninggal gantung diri di rumahnya), 2. Janis Zahiruddin-Tanjung, 3. Nahar Zahiruddin-Tanjung (alm), 4. Nasrul Zahiruddin (alm), 5. Akbar Tanjung, petinggi Golkar dan mantan Menteri Pemuda-Olahraga dan mantan Menteri Perumahan Rakyat serta si bungsu Nirwan Tanjung, tidak tercatat dalam kehidupan publik. Tiga orang wanita dalam clan tidak begitu saya ketahui (juga tidak tahu apakah masih hidup atau (ada yang) sudah meninggal).
Saya diterima bekerja di Indomilk tanggal 1 April 1974 pada posisi “Senior Impotrs Assistant” namun secara efektif adalah Import Manager tetapi anehnya sampai dengan 1 September belum diberi tugas alias makan gaji buta. Setiap hari hanya datang duduk dan kalau jenuh saya keluyuran ke pabrik pengolahan susu, termasuk pabrik es krim Peters yang satu lokasi dan satu organisasi walaupun manajemennya terpisah.
Merasa tidak nyaman menerima gaji buta, saya menghadap General Manager (orang Inggeris) menyatakan kehendak saya untuk keluar lagi tetapi Mr. Robert Barton menanggapi sabar saja dulu, masalahnya sedang diurus. Sayapun menghadap pak Nahar sebagai Wakil Presiden Direktur mengutarakan keinginan itu tetapi tanggapannya tidak dapat kusimpulkan.
Akhirnya setelah tanggal 1 September 1974 saya diberi berkas-berkas pekerjaan tetapi segera saja saya mencurigai tentang kemungkinan terjadinya manipulasi namun saya tidak dapat mendeteksi apa bentuk manipulasinya.. Indikasi yang dapat saya endus adalah bahwa dalam berkas kutemukan tagihan untuk order inklaring (cusoms clearance-in) barang impor, yang sudah diselesaikan satu tahun sebelumnya.
Ini aneh, di mana-mana orang mengajukan tagihan sehari setelah order selesai dikerjakan bahkan kadang minta persekot untuk membiayai operasi atas order yang akan dikerjakan. Dari pertanyaan yang kuajukan kepada anak buah diketahui bahwa customs broker PT. Indomilk yaitu PT. EMKL Niagara yang dimiliki dan dioperasikan oleh Bapak R.A. Modjo (alm., asal Gorontalo), pensiunan pegawai tinggi Ditjen Bea dan Cukai tidak pernah minta persekot karena bersamaan dengan diberikannya order inklaring lemgkap dengan dokumen pendukungnya, diberikan juga uang tunai atau cek tunai untuk membayar bea masuk.
“Mungkin sebagian uang itu dipakai dulu untuk biaya operasi pak”, kata pak Wisono (alm) anak buah saya yang lebih sepuh namun pada kenyataannya belakangan, bukan dipinjam sebagian melainkan ditilep semuanya, walaupun menurut desas-desus separo dikembalikan kepada investor lokal (tidak ada buktinya tentu saja). Sebanyak 22 berkas import documents = 66 berkas customs documents, dengan total pembayaran bea masuk sekitar Rp.445.000.000.- tidak diuruskan pada Kantor Pelayanan Bea dan Cukai IV Tanjung Priok dan bea masuk (yang sudah diterima dari PT. Indomilk, tidak dibayarkan . Bayangkan, itu uang tahun tujuhpuluhan.
Saat sidang peradilan atas manipulasi itu digelar, baru saya ketahui modus operandi manipulasi itu yaitu idak mengurus KPP ke-2 dan KPP ke-3 dan yang diurus dengan benar hanya KPP ke-1 dari ke-22 dokumen impor yang terjadi tahun 1973 sampai dengan medio 1975, sama dengan dokumen pabean KPP. Saat pemeriksaan atas PT. Indomilk dengan fokus pemeriksaan adalah saya, jaksa Halim Paputungan (alm) mencecar hebat isteri saya (alm) katanya: mana mobil Mercy bapak, di mana rumah bapak yang lebih mewah. Isteri saya ya hanya bengong plonga-plongo, bahkan sempat menduga saya punya isteri lain yang diberi banyak kemewahan.
Mungkin masih ada yang ingat, pada masa kepemimpinan Jenderal M. Jusuf sebagai Menteri Perindustrian, importir tidak diijinkan mengurus sendiri inklaring barang impor pada kantor Bea dan Cukai melainkan harus menunjuk perushaan EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut) sebagai “customs broker”, sebagai agen untuk mengurus formalitas kepabeanan itu. Pada masa itu juga ada kebijakan yang menetapkan bahwa barang impor yang bea masuknya besar, inklaringnya boleh dicicil tiga kali di mana untuk itu importir mengatur sedemikian rupa supaya kwantitas barang (bahan baku pabrik) yang diimpor dapat dibagi tiga tanpa menimbulkan decimal.
Kebijakan ini sangat ideal dan dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemodal nasional meningkatkan kekuatan modalnya (mungkin anda ingat juga bahwa saat pak Harto membuka perekonomian nasional yang tadinya tertutup, wirausahawan Indonesia beramai-ramai membuka perusahaan PMDN atau PMA, dengan memasukkan sebidang tanah dengan atau tanpa bangunan di atasnya sebagai modal patungan dan investor asing mendatangkan mesin-mesin dan bahan-bahan untuk membangun gedung pabrik. Modal dari investor lokal dinilai sebesar 10% (atau lebih, tetapi kurang dari 50%) sehingga terbentuk PMA. Impor bahan baku yang dilakukan oleh mayoritas pengusaha industri umumnya menggunakan fasilitas kredit komersial dari eksportirnya, berjangka waktu tiga bulan. Demikianlah, satu berkas bagi satu shipment bahan baku, dijadikan tiga berkas customs document (dokumen pabean) Keterangan Pemasukan Pabean (KPP). Kongkritnya: setelah import documents diterima oleh Opening Bank (bank devisa yang menerbitkan L/C untuk impor itu) maka atas satu berkas import documents tersebut importir memnita kepada bank itu agar menerbitkan tiga berkas KPP berupa KPP-1, KPP-2 dan KPP-3. Dengan demikian EMKL boleh meng-inklaring sepertiga barang impor itu menggunakan KPP-1 sementara KPP-2 dan KPP-3 disimpan dulu oleh importir dan baru dijadikan kelengkapan berkas inklaring beberapa minggu kemudian sesuai jadwal kebutuhan bahan baku untuk diolah.
Tampak jelas tujuan luhur dari mekanisme ini, yaitu: importir membayar bea masuk untuk 1/3 bagian barang impor dan segera diproduksi, dijual lalu hasil penjualannya ditabung untuk membayar hutang impor dan untuk persiapan membayar 1/3 bea masuk dan ada yang dapat diambil untuk menjadi tabungan untuk modal perusahaan.
Namun, sejarah telah mencatat bahwa para pebisnis/investor yang diantaranya adalah anggota-anggota DPR/MPR justru menjadikan kebijakan ini sebagai ajang korupsi, kabinet pak Harto juga bukannya menangkal praktek korupsi itu melainkan justru mendorongnya. Ingatkah anda akan manipulasi SE (Sertifikat Ekspor) dalam masa orde baru itu di mana ada eksportir yang tidak pernah mengimpor bahan baku tetapi dapat mencairkan dana SE sampai puluhan milyar Rupiah.
Sekedar mengingatkan, SE merupakan dokumen otentik untuk menagih kembali uang bea masuk yang sudah dibayar oleh importir bagi bahan baku impor yang dijadikan komponen barang yang diekspor. Prosedur ekspor pada masa itu menetapkan bahwa bahan baku impor yang digunakan untuk membuat barang ekspor, tidak dikenakan bea masuk. Kalau pada saat bahan baku tersebut diimpor bea masuknya sudah dibayar maka bea masuk tersebut dibayar kembali kepada importirnya menggunakan mekanisme SE. Jajaran Ditjen Pajak sudah menyusun formula pengembalian bea masuk atas berbagai jenis bahan baku yang diimpor untuk dijadikan komponen produk ekspor, berupa prosentase SE supaya dengan demikian prosedur pembayaran SE menjadi gampang dan sederhana.. Kemudahan dan kesederhanaan prosedur pencairan dana SE, lagi-lagi dijadikan ajang bagi korupsi yang sangat vulgar dengan cara membuat SE (asli tetapi) palsu di mana eksportir yang tidak pernah mengimpor dapat memperoleh SE yang dicairkan di Kantor Bendahara Negara. Sungguh tragis, sistem yang dirancang sangat bagus untuk meningkatkan usaha nasional, dihancurkan sendiri oleh si pengusaha yang sebagian diantaranya pengusaha merangkap penguasa (eksekutif, ada juga yang ekskutif). Sekarang, semua pihak yang “ketempuhan” sekarang harus bahu membahu meluruskan praktek busuk itu agar tidak terulang kembali. .
Kalau mekanisme yang bagus tersebut dijalankan sesuai idealnya, investor lokal yang saat mendirikan perusahaan joint venture (banyak yang) hanya memasukkan tanah sepetak (dengan atau tanpa bangunan di atasnya), perlahan-lahan akan dapat menghimpun modal nasional sehingga komposisinya dalam permodalan usaha patungan dapat ditingkatkan sedikit demi sedikit dan kalau sudah mencapai lebih dari 50% dapat mengajukan permohonan kepada BKPM agar status joint venture-nya dirubah menjadi PMDN dan bukan lagi PMA.
Pada kenyataannya, seperti diceritakan, ideal yang sepmurna itu dijadikan ajang korupsi, begini modus operandinya (ini saya ketahui setelah manipulasi bea masuk Indomilk digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur tahun 1975-1976): setiap pengimporan bahan baku dibuat sedemikian agar kwantitasnya dapat dibagi tiga, guna menyiapkan tiga dokumen Pabean yang berupa KPP (Keterangan Pemasukan Pabean). Ketiga berkas KPP diserahkan kepada EMKL satu persatu sesuai jadwal produksi pabrik. Penyerahan “pecahan KPP” adalah lengkap dengan uang bea masuknya.
Maka EMKL mengurus inklaring dengan KPP-1 sebagaimana mestinya (bayar bea masuk “beneran”) tetapi KPP-2 dan KPP-3 (jumlah segala macam angkanya sama persis), yang secara lugu oleh Bagian Impor PT. Indomilk diserahkan kepada EMKL PT.Niagara, oleh perusahaan yang terakhir ini tidak pernah dibuatkan PIB-nya (waktu itu namanya PPUD, Permohonan Pemasukan Untuk Dipakai) dan tentu saja bea masuk tidak dibayarkan melainkan ditilep sendiri dan, kata sahibul hikayat, sebagian dialirkan kembali kepada investor lokal (investor asingnya tidak tahu menahu karena tidak mengerti prosedur kepabeanan Indonesia dan tidak mencampuri manajemen yang menjadi porsi investor lokal).
Lalu bagaimana mengeluarkanl barang impor yang disimpan di Bonded Warehouse? Ya pakai dokumen inklaring ex KPP-1, toh semua angka dan informasi lainnya sama. Waktu itu Bonded Warehouse (Gudang Berikat) masih menggunakan nama Gudang Entrepot (bahasa Perancis, dibaca enterpoo) yamg bangunan gudangnya berada di dalam pelabuhan Tanjung Priok. Pengeluaran barang dari gudang itu sering tersendat karena walaupun secara formal manipulasi hanya diketahui oleh beberapa orang yang terkait tetapi di lapangan pegawai Bea dan Cukai peringkat bawah mengetahui dan minta pungli ala kadarnya.
Waktu itu saya merasa heran (saya juga keluyuran ke gudang entrepot), bahan baku di gudang menggunung kok yang masuk ke pabrik sedikit sekali dan tidak kontnyu sehingga pabrik sering tidak produksi karena kehabisan susu skim, bahan baku utama. Keheranan saya menjadi pengetahuan lengkap setelah saya diperiksa jaksa dan harus menyerahkan dokumen-dokumen terkait. Puji Tuhan, semua dokumen yang dicari dapat kutemukan sehingga saya tidak diperiksa jaksa lagi padahal saya pernah berpesan kepada isteri bahwa kalau saya tiak pulang, berarti masuk tahanan.
Prosedur saat itu, karena importir, sesuai peraturan tidak boleh mengurus inklaring sendiri, maka bukti yang diminta oleh Pengadilan Negeri terbatas pada bukti penyerahan dokumen-dokumen pabean, terutama KPP dan bukti penyerahan uang bea masuk. Bahwa uang bea masuk yang diserahkan kepada EMKL itu tidak disetorkan ke Kas Negara, itu bukan tanggung jawab importir melainkan tanggung jawab EMKL sendiri. Hal ini dapat saya elaborasikan di sini melalui note dari Bendaharawan Kanwil Bea dan Cukai Tanjung Priok kepada Direktur PT. Niagara yang berbunyi: “KPP ini (berkas dilampirkan) belum digunakan, tetapi sudah lama (KPP bertanggal Agustus 1973, diajukan ke Bea dan Cukai Maret 1975). Saya bisa menerima KPP ini kalau ada verklaring van waardigheid dari bank yang bersangkutan”.
Malam hari saya mengunjungi rumah jaksa kepala dan mengatakan: “Pak, saya tidak terlibat dalam kasus manipulasi ini”, ditanggapi “saudara boleh ngomong begitu kalau ada buktinya”. Maka seketika saya tunjukkan note tersebut beserta surat keterangan dari bank seperti diminta bendaharawan Bea dan Cukai. Membaca berkas itu pak jaksa manggut-manggut lalu berucap ini untuk aya, saya jawab maaf pak dokumen ini nyawa saya, nanti saya serahkan dalam persidangan Pengadilan dan dia tertawa sambil meminta supaya besok pagi-pagi saya hadir dikantornya. Jam delapan pagi saya sudah tiba, di situ ada tiga orang jaksa lalu pak Jaksa Kepala (Ridwan Saidi SH) bertanya: “Saudara kerja di Indonmilk sejak kapan dan menggantikan siapa”, saya jawab menggantikan Hendy Sujono, pegawai tinggi Departemen Sosial.
Sejak saat itu saya tidak pernah diperiksa lagi dan dari pihak Indomilk tidak ada yang dihukum, hanya direktur PT. Niagara kena 2 tahun 6 bulan. Karena saya telah terbukti tidak bersalah maka manajemen Indomilk (terutama unsur asing) memberi kepercayaan kepada saya untuk mengangkat EMKL baru. Ada sepuluh lamaran EMKL yang setelah saya seleksi ketemu lima perusahaan yang memenuhi syarat. Berusaha tidak mengulangi kesalahan, saya menghadap bendaharawan Bea dan Cukai, bapak Oscar Dilapanga (alm, asal Gorontalo) untuk “minta petunjuk”. Beliau menanggapi “wah, sebagai pejabat negara saya tidak bisa ikut campur dalam seleksi ini tetapi coba saudara sebutkan lima kandidat yang saudara pilih”. Saya sebutkan A, B dan C ditanggapi tidak kenal, ada kasus dan orang baru, lalu untuk kandidat D dan E beliau menyampaikan diskresi “antara D atau E”.
Kandidat D yaitu PT. EMKL Tirta Kencana tidak saya pilih karena direkturnya, bapak Edwin Gonggalang (alm) asal Sangir, tidak pernah datang ke pabrik di Cibubur walaupun rajin menelpon. Yang saya pilih justru PT. Kamang Murni yang direkturnya Philip P. Pantouw beberapa kali datang menemui saya berpakaian necis jahitan Singapore. Rupanya saya terkena halo effect karena PT. Tirta Kencana sampai meninggalnya pak Gonggalang tidak pernah melakukan manipulasi kepabeanan sementara pak Pantouw, kurang dari satu tahun setelah melayani Indomilk sudah melihat bahwa “saya tidak ada apa-apanya” karena bukan kroni clan Akbar Tanjung bersaudara.
Maka pak Pantouw segera menempel atasan saya, Direktur Umum dan Administrasi yaitu Nasrul Zahiruddin (abangnya Akbar Tanjung) dan segera melakukan manipulasi yang total bernilai hampir satu miliar M, periode 1978 – 1980. Catatan: pak Akbar Tanjung dalam jajaran direksi Indomilk tercatat sebagai seorang direktur tetapi beliau tidak mengerjakan tugas-tugas direksi karena seperti kita ketahui beliau tidak berminat di bidang bisnis melainkan hanya politik (tetapi dalam rapat pemegang saham, biasanya hadir).
Manipulasi jilid II ini dilakukan dengan cara lebih brutal dan lebih vulgar, yaitu menjual giro bank Indonesia yang sebenarnya disiapkan untuk membayar bea masuk. Sayang waktu itu belum ada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sehingga yang dihukum, selain direktur PT. Kamang Murni, hanya Kasir Bea Cukai yang membuat slip pembayaran bea masuk (asli tetapi) palsu. Atasan yang tentunya terlibat (memberi instruksi) kepada Kasir yang jabatannya rendah itu, bebas saja.
Bagaimana ceritanya “menjual giro Bank Indonesia” itu. Begini: karena menyerahkan uang tunai dan cek tunai kepada EMKL ternyata dikorupsi maka importir melakukan perubahan cara membayar bea masuk yaitu: importir memberikan giro Bank Indonesia berdasarkan slip bea masuk yang diterbitkan Bea dan Cukai.
Menurut prosedur, dokumen PPUD yang sudah diperiksa kebenarannya, harus dibayar bea masuknya dalam dua hari kerja. Untuk itu slip pembayaran bea sudah dapat diterbitkan. Maka importir membuat giro biasa dan dibawa ke bank penerbit L/C supaya dirubah menjadi giro Bank Indonesia; bagian depan lembaran giro ditulis sebagaimana giro pada umumnya tetapi bagian belakang ditulisi “giro ini digunakan untuk membayar bea masuk atas PPUD nomor sekian, resi bea masuk nomor sekian tanggal sekian”. Dalam sidang peradilan, halaman belakang ini tidak dibaca oleh hakim sehingga tidak bisa digunakan untuk menyeret pejabat Bea dan Cukai yang berpangkat lebih tinggi. Yang dijebloskan ke penjara hanya Kasir yang jabatannya rendah itu.
Lalu di mana letak manipulasinya? EMKL yang sudah menerima giro Bank Indonesia, menyerahkan giro itu kepada kasir BC untuk menerima uang tunai sebesar 80% atau 70% dan oleh kasir giro itu digunakan untuk mempertanggungjawabkan setiap PPUD yang bea masuknya dibayar tunai. Kekurangannya dicukupi dengan uang tunai (tidak mungkin pembayaran bea masuk untuk sekian berkas PPUD sama persis dengan jumlah yang tercantum dalam giro bank Indonesia). Brutal sekali bukan, kalau sudah ada PTUN, pasti manipulasi ini akan menyeret penggede-penggede. Sifat giro Bank Indonesia adalah tidak dapat dicairkan, tidak dapat dikliring melainkan harus langsung dikliring kepada Kantor Perbendaharaan Negara berdasarkan lampiran berkas-berkas PPUD yang terkait dan uangnya langsung masuk ke nomor pos yang ada dalam APBN. Sekali lagi, karena belum ada PTUN maka bagian belakang yang mengamanatkan penggunaan giro itu tidak dibaca sehingga hakim tidak dapat menyeret pejabat yang memberikan restu bagi “pembelian giro Bank Indonesia” seperti itu.
Menyangkut pengangkatan PT EMKL Kamang Murni, saya sendiri yang menetapkan diskresi pengangkatan EMKL baru itu (antara lain karena adanya rekomendasi bendaharawan Bea dan Cukai), lalu mengantarkan suratnya ke kantor EMKL tersebut. Sebelum menyerahkan surat, terpikir oleh saya untuk meminta “uang transport” barang lima juta rupiah saja, tetapi akal sehat saya mengatakan “perusahaan ini, dengan mendapat pengangkatan, toh akan memperoleh laba yang seimbang. Nanti pasati dia akan memberi “cash back” kepadamu dan ini kalau diketahui orang, tidak apa-apa karena merupakan praktek bisnis biasa saja. Ternyata saya salah pilih, terutama karena faktor halo effect itu.
Setelah blogger menceritakan secara panjang lebar mengenai manipulasi yang (diyakini) melibatkan investor lokal PT. Indomilk, apakah dengan itu blogger yakin bahwa investor asing tidak nakal dan bertindak bak malaikat saja? Sepertinya kok tidak demikian namun tampaknya mereka tidak melakukan tindakan kriminal (terendus atau tidak), tetapi tindakan perdata kuyakini ada dan semuanya berdasarkan kontrak atau penunjukan hitam di atas putih. Pihak ADPB, melalui anak perusahaannya Asia Dairy Industry (ADI) yang berkedudukan di Hongkong menjalankan praktek bantuan manajemen (terutama manajemen keuangan) dengan imbalan “management fee” sebesar 5% dari omzet penjualan susu kental manis. Ini menurut saya berlebihan, kenapa bukan dari laba bersih atau laba kotor sekalipun? Lalu: dalam perundingan dengan Serikat Buruh Indomilk yang diketuai oleh Yacob Nuwa Wea (mantan Menteri SDM ditetapkan pemberian THR kepada pegawa, sebesar satu bulan gaji. Anehnya dalam kesepakatan itu disetujui bahwa THR itu tidak akan dirubah (dinaikkan). Mungkin perundingan berlangsung saat perusahaan sedang merugi sehingga Serikat Buruh lengah dan tidak mengusulkan pasal tentang kemungkinan mengubah besaran THR. Setelah saham Indomilk diambil alih kelompok Oom Liem sebanyak 90% (mungkin disisakan 10% sebagai basa basi saja) saya tidak tahu berapa THR itu sekarang.
Catatan kedua: pada tahun 1978 di Australia terjadi panen raya, produksi susu skim berlebihan dan Indomilk dikirimi sebanyak 150 container atau 3000 ton sekali shipment sampai saya dipanggil kepala DLLAD yang kantornya menempel pada pabrik Indomilk. Masalahnya, 150 container datang sekaligus sehingga menimbulkan kemacetan yang cukup parah di jalan raya Jakarta – Bogor. Shipment sebanyak itu sungguh berlebihan karena sebulan Indomilk mengimpor paling banyak 600 ton susu bubuk skim. Bagi Indomilk sih OK saja, toh impornya berutang dan bagi saya juga merupakan tambahan rejeki sedikit karena sedemikian banyak bahan baku itu memerlukan tambahan ruang gudang. Jadi saya mencari gudang sewaan dan mendapat sedikit “imbalan”.
Lagi: pada saat saya belum menjabat Import Manager di perusahaan itu, kerusakan bahan baku “luar biasa” karena, sebagai akibat kongesti pelabuhan Tanjung Priok yang terjadi tahun 1972 – 1974, impor tinplate dari Jepang dibongkar di pelabuhan Surabaya lalu dari sana diangkut kereta api dan diturunkan di stasiun KA Cipinang (depan penjara). Lebih 50% plat logam tersalut timah putih (bahan pembuat kaleng susu) rusak berkarat karena air hujan. Ditambah kerusakan pada tepung susu karena terlalu lama tertimbun di gudang entrepot, saya mengumpulkan bukti-bukti kerusakan dan mengajukan banyak surat claim kepada asuransi Lloyds of London.
Surat claim mengenai kerusakan tinplate saya lampiri contoh kemasan tinplate yang lebih baik supaya kemasan tetap berdiri di atas paletnya, untuk mengurangi kerusakan karena cipratan air hujan. Claim diurus dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan dan Lloyds membayar gantiu rugi sebesar kurang lebih USD.300.000.- sampai-sampai direksi Indomilk melontarkan ucapan (dalam management meeting) untuk memberi bonus kepada staff Bagian Impor. Bonus belum sempat ditindak lanjuti, pembayaran claim didengar oleh ADI yang serta merta meminta agar Lloyds mengirimkan ceknya ke Hongkong karena terkait finance menagement assistant.

0 komentar:

Posting Komentar