Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Jumat, 30 Juli 2010

DEADWEIGHT TONNAGE (BOBOT MATI KAPAL LAUT NIAGA)

DEADWEIGHT TONNAGE
(BOBOT MATI KAPAL LAUT NIAGA)
Tahun 1989 penulis artikel ini mengikuti lokakarya peningkatan mutu dosen-dosen Akademi Maritim seluruh Indonesia di Cisarua Bogor. Lebih dari 100 orang dosen dari seluruh Indonesia mengikuti lokakarya yang berlangsung 3 hari tersebut. Nara sumber yang memberikan bahan-bahan didatangkan dari Universitas Hasanudin Makassar, Fakultas Pertanian yang mempunyai jurusan Kelautan.
Sebenarnya lebih cocok kalau dari Universitas Pattimura Ambon yang mempunyai Fakultas Kelautan (bukan jurusan) dan lebih cocok lagi kalau dari Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) Jakarta tetapi tidak dipertimbangkan karena peserta lokakarya ada yang berasal dari Sekolah Tinggi atau Institut, jadi ya tidak bisa kalau instrukturnya berkadar lebih rendah padahal sesuai kebijakan pemerintah, nara sumber harus berasal dari lembaga pendidikan negeri. Lagi pula mayoritas peserta lokakarya adalah dosen-dosen yang berasal dari Akademi Maritim yang mengajarkan bidang kelautan yang ada kaitannya dengan bisnis (perdagangan ekspor-impor dan tidak ada yang berasal dari Akademi Perikanan. Adapun para narasumber tersebut dibantu juga oleh beberapa tenaga dari Jakarta.
Begitulah, setelah sesi pleno selesai dan dilanjutkan dengan sidang komisi-komisi, sidanf menjadi lebih seru berhubung forum menjadi lebih kecil dan lebih terfokus. Para nara sumber banyak yang berprofesi sebagai nakhoda kapal nelayan, selain dosen negeri senior. Suatu saat nara sumber membicarakan tentang tonase kapal yang kebanyakan bicara tentang Gross Ton.
Anehnya ketika penulis bertanya tentang bobot mati kapal (deadweight tonnage) tidak mendapat jawaban yang memadai, sampai sesi selesai dan nara sumber berganti. Dalam kesempatan rehat makan siang beberapa peserta kutanya tidak dapat atau tidak mau memberi jawaban yang diharapkan.
Penulis merasa keceawa, bagaimana ini, dalam lokakarya tingkat nasional nara sumbernya tidak dapat memberi informasi mengenai hal penting dalam bisnis pelayaran niaga, pertanyaan mengenai topik yang sangat penting dan sangat mendasar.
Malamnya penulis merenung seorang diri dan mendapatkan jawabannya: ya tidak mengeherankan, nara sumber tersebut, nakhoda kapal nelayan dan lulusan AUP (Akademi Usaha Perikanan) Ragunan Pasar Minggu, tidak pernah diajari tentang usaha mencari muatan, tidak pernah berhubungan dengan pedagang eksportir importir yang mengapalkan barang dagangannya.
Kapal nelayan mencari ikan dengan menjaringnya menggunakan pukat harimau atau alat lainnya dan setelah kapalnya penuh ikan, masuk ke pelabuhan ikan untuk mendaratkan ikan. Atau, pada kapal yang dilengkapi mesin-mesin pengolah ikan, langsung dijadikan ikan kalengan dan diturunkan di tempat atau pelabuhan sesuai rencana. Tidak ada kapal nelayan yang menjual ruang kapal, menjual jasa mengangkut barang milik pihak ke tiga.
Maka awak kapal nelayan lebih akrab dengan hitungan gross (nett tonnage juga tidak diperhatikan) sampai-sampai hafal kalau kapalnya menjaring ikan tuna sampai penuh, mendapat i8kan sekian ekor karena semua ruang kapalnya dipenuhi ikan tuna yang ukurannya kurang lebih sama semua.
Kalau anda membaca buku POKOK-POKOK PELAYARAN NIAGA karangan penulis artikel ini, anda akan mendapati batasan Bobot Mati Kapal Niaga “kemampuan kapal menerima bobot untuk membuat kapal tersebut tgerbenam pada garis air maksimum yang diijinkan”. Ada juga rumusan: “bobot mati kapal niaga adalah bobot kapal dalam keadaan penuh muatan dikurangi bobot kapal tersebut dalam keadaan kosong tanpa muatan).
Terkait dengan batas tersebut kita perlu bicara tentang Gross Registered Tonnage dan Nett Registered Tonnage (GRT) atau ukuran isi kapal penuh dan ukuran isi kapal kosong (diadopsi dari hukum maritim negeri Inggeris). Kapal nelayan tidak mengenal ukuran GRT karena ruang kapal nelayan tidak perlu didaftarkan kepada otoritas kemaritiman melainkan kepada otoritas perikanan.
Disebut Gross Registered Tonnage karena ukuran isi kotor kapal dapat ditunjukkan dari beberapa denominasi, maka ukuran yang didaftarkan kepada otoritas kemaritiman iktulah yang dijadikan patokan bagi penetapan berbagai jenis pungutan, biaya dan lain-lain. Misalnya biaya uang labuh (harbour dues atau biaya toll untuk melintas di terusan/kanal, umumnya ditetapkan berdasarkan hitungan Nett Registered Tonnage (NRT) padahal untuk memperoleh hitungan NRT, hitungan GRT dapat dikurangi dengan beberapa versi pengurangan yang legal. Adapun di Indonesia pembayaran uang labuh dihitung dari ukuran GRT kapal.
Hitungan Deadweight Tonnage sangat menentukan perolehan uang tambang (freight) kapal jenis general cargo carrier dan kapal bulk carrier. Tetapi untuk kapal peti kemas (container vessel) ukuran DWT tidak siginfikan karena yang dijadikan patok perhitungan adalah kapasitas (daya angkut) dalam hitungan TEU (Twentyfoot Equivalent Unit) yaitu unit peti kemas yang berukuran setara dengan peti kemas standard yang ukurannya setara dengan 20’ x 8’ x 8’ (PLT).

2 komentar:

wulan mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

Mohon izin pak,bisa minta nomor kontak yang bisa dihubungi

Posting Komentar