Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Senin, 22 Oktober 2012
GUBERNUR JOKOWI BENAHI KEMACETAN Sangat melegakan langkah awal Gubernur KDKI Jakarta meninjau Terminal Kampung Melayu yang berujung pada tekad pak Gub meremajakan 4.200 Metro Mini, Kopaja dan bis-bis sedang lainnya yang memang sudah tidak layak jalan. Penulis artikel ini mencoba urun rembug dalam upaya pembenahan Sistem transportasi Jakarta, berdasarkan pengalaman penulis menggunakan transportasi kota Jakarta sejak awal tahun 1970-an sampai sekarang. Urun rembug ini penulis bagi dalam beberapa bagian, supaya lebih efisien. Sebagai pembicaraan awal dapat disampaikan bahwa mungkin tidak prtlu kesemua 4.200 unit bus kota ukuran sedang tersebut perlu diganti karena sampai “detik terakhir” saat ini, dari antara bus-bus kumuh yang sudah tidak layak jalan itu, ada juga satu dua unit bus Kopaja dan Kopami bahkan Metro Mini yang berpenampilan apik, perangkat control lengkap dan berfungsi baik bahkan dilengkapi televisi dan audio system, joknya pun empuk berlapis busa tebal. Rasanya bus-bus apik tersebut perlu tetap diijinkan beroperasi, setidaknya dalam jangka wamtu terbatas, walupun kendaraan tersebut sudah tergolong uzur. Dengan demikian dana yang harus disiapkan untuk peremajaan angkutan kota Jakarta dapat seikit dikurangi. 1). Eksistensi, Fungsi dan Kondisi Terminal Bus. Sejak awal dimulainya system transportasi kota Jakarta, tahun 1970 atau sebelumnya, sudah dicanangkan ditetapkannya kategorisasi terminal di Jakarta, yaitu: a. Terminal Antar Kota yang hanya boleh dikunjungi oleh bus AKAP (Antar Kota Antar Propinsi). Bus AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi) di Jakarta tidak ada karena Jakarta adalah propinsi kota, berbeda dari propinsi Jawa Barat misalnya, yang mempunyai banyak kota dalam propinsi itu. Terminal Bus Pulogadung, terminal Kalideres, terminal. Terminal untuk angkutan AKAP pada umumnya juga berfungsi sebagai terminal untuk angkutan kota tetapi terminal yang lain sebaiknya hanya ditetapkan sebagai terminal regional, hanya untuk angkutan kota. Dalam perkembanangannya banyak terminal bus berubah fungsi dan menjadi runyam, lihatlah sebagai contoh terminal Tanjung Priok yang sebenarnya didesain sebagai terminal untuk melayani kendaraan angkutan kota tetapi sejak sepuluh tahun yang lalu berubah fungsi menjadi terminal bus AKAP seiring dengan maraknya trayek bus AKAP (Merak – Tanjung Priok, Bandung – Tanjung Priok dan lain-lain). Bus-bus sedang angkutan kota, mikrolet dan angkot kecil telah tergusur keluar karena terminal sudah dipenuhi oleh bus-bus raksasa AKAP. Terminal bus Rawamangun juga bernasib sama, sudah tegusur oleh bus AKAP jurusan Sumatra Barat. Melihat perkembangan tersebut, diharapkan Gubernur Jokowi menetapkan kembali pengkategorian terminal-terminalbus di Jakarta, mana yang sebagai terminal untuk bus AKAP dan yang lainnya sebagai terminal untuk angkutan kota. Kalau sudah dtitetapkan demikian, tentunya Gubernur bersama dengan jajaran Dihub DKI harus mengamankan pelaksanaan fungsi tersebut tanpa kemungkinan perubahan fungsi sampai kapanpun, sampai Gubernur Jokowi – Ahok sudah tidak lagi menjabat Gubernur. Disadari bahwa keputusan tersebut akan mendapat tentangan dai pengusaha bus dan awak bus yang mengkritik bahwa Gubernur tidak berpihak kepada rakyat kecil yang mati-matian berjuang menekan biaya angkutan. Orang bepergian dari Bandung ke Tanjung Priok, kalau harus turun di terminal Kampung Rambutan kan harus menambah biaya untuk berganti ke angkutan kota, begitu mungkin sanggahan mereka. Orang-orang yang bersikap demikian itu, tentulah bersikap egoistis dan tidak perduli dengang mekanisme penataan angkutan yang tertib padahal mereka tidak dapat menjamin bahwa penumpang bus dari Bandung misalnya, semua bertujuan Tanjung Priok karena banyak juga yang tujuan akhirnya adalah Rawamangun, Kali Malang dan lain-lain dan hal itu akan menimbulkan timbulnya terminal bayangan. Apakah ini yamg harus diputuskan oleh Gubernur DKI. Menyangkut kondisi terminal, mungkin ada baiknya Gubernur Jokowi meyambangi terminal Senen di mana mungkin pak Gub masih sempat melihat pemandangan yang mengenaskan yaitu: setiap supir angkot menghentikan mobilnya di dalam terminal, langsung membuka pintu mobilnya dan (maaf), currr, membuang hajat kecil. Penulis tidak dapat menyalahkan kelakuan sopir yang tidak pantas itu karena sebagai supir, mereka satu hari mungkin harus B.A.K. lebih dari sepuluh kali, padahal setiap kali masuk ke kamar kecil di terminal yang kondisinya sangat tidak layak, harus membayar Rp.1.000.- Maka disarankan agar di setiap terminal dapat dibangun minimal dua unit kamar kecil yang kondisinya baik dan bebas bayar. Bukankah setiap bus masuk terminal terkena retribusi, wajar dong kalau ahli-ahli akuntansi Pemprov DKI dapat menyusun suatu system akuntansi yang dapat mengatur pembagian dana-dana untuk penyelenggaraan terminal, di luar dana yang dihimpun dari retribusi terminal yang harus disetorkan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB). Selain menyaksikan ulah supir angkot yang tidak terpuji itu, pak Jokowi juga mungkin masih sempat menyaksikan pemandangan yang tidak kurang memprihatinkan, di mana “satu juta” mikrolet, Kopami, Kopaja dan entah apa lagi termasuk bus kota AC antree kosong sampai memenuhi areal terminal, satu kendaraan hanya berjarak sejengkal dari kendaraan di depan di belakangnya. Kendaraan yang ada pada antrian terdepan tidak akan berangkat meninggalkan terminal sebelum penumpangnya penuh, itulah “hokum” yang berlaku. Kelakuan supir angkutan seperti ini memang tidak hanya terjadi di terminal Senen melainkan di terminal manapun di seputar Jakarta. Sistem operasi seperti ini tentunya sudah menjadi pemikiran Gunermur Jokowi, mungkin realsisasinya menunggu saat yang tepat. Menyangkut system operasi angkutan kota seperti itu, sudah sejak lama penulis berkeyakinan – walaupun tidak permah menghitungnya – bahwa sebenarnya jumlah armada angkutan kota di Jakarta jauh melebihi kebutuhannya. Masyarakat merasa jumlah bus tidak cukup karena bus hanya keluar meninggalkan terminal kalau sudah penuh padahal seharusnya ada system keberangkat kendaraan angkutan kota. Maksudnya: jenis angkot kecil bolen “ngetem” berapa menit, jenis mikrolet berapa menit, bu sedang berapa menit dan bus besar berapa menit, tidak seperti selama ini di mana setiap kendaraan angkutan kota “ngetem” semaunya saja, kalau belum penuh belum mau berangkat. Memang sekali dua kali ada petugas Dishub yang berinisiatif “mengsir” keluar kendaraan yang terlalu lama menunguu penumpng tetapi biasanya leneknya turun menyelipan sekeping uang Rp.500.- atau Rp.1.000.- dan mobil boleh menambah masa “ngetem”=nya. 2). Penataan Pola Trayek. Sejak awal dimulainya system angkutan kota di Jakarta, yang bertepatan dengan mulai beroperasinya assembling mobil-mobil di Indonesia (Jakarta) tahun 1970, kita menyaksikan bahwa pola trayek angkutan kota di Jakarta banyak ditentukan oleh pabrik-pabrik pembuat mobil sedangkan peranan Gubernur DKI dan Dishub tidak seberapa. Kalau pengusaha mobil berencana menjual bus sedang sekian unit, mereka merencanakan pembukaan trayek dari titik tertentu ke titik lainnya dan Dishub “didorong” menyetujui alokasi pengoperasian bus pada trayek itu. Pembukaan trayek-trayek angkutan kota di Jakarta tidak didasarkan pada studi keperluan angkutan pada titik-titik perjalanan penumpang melainkan pada pertimbangan penjualan mobil. Pada awal pengoperasian system angkutan kota di Jakarta, awal tahun 1970 banyak sekali pola-pola trayek yang tidak masuk akal, contohnya: Trayek Metro Mini 01 (Senen – Cempaka Putih), dari Cempaka Putih efektif panjangnya hanya satu kilometer karena begitu keluar dari kawasan Cempaka Putih masuk ke Jl. Ahmad Yani, ketemu dengan semua jenis angkutan kota yang menuju terminal Senen. Juga trayek 05 Senen – Rawasari di mana kedua trayek Metro Mini tersebut panjangnya hanya 5 kilometer dengan penumpang tidak sampai 10 orang setiap kali berjalan. Entah bagaimana pemilik bus tersebut membiayai operasinya. Trayek 15 Senen – Setia Budi, Metro Mini pada awalnya cukup realistis karena keluar dari kawasan Setiabudi bisa langsung belok kanan masuk ke Jl. Sudirman, juga saat kendaraan harus belok kiri dan berputar di Jembatan Semanggi supir dan penumpang tidak keberatan tetapi Metro Mini tidak dibenarkan berputar di situ melainkan harus berputar dip erempatan “tong bocor” tidak ada penumpang yang naik sehingga Metro Mini Trayek 15 mati dengan sendirinya. Pengusaha (baca: sopir) menyiasati situasi itu dengan memindahkan kendaraannya untuk beroperasi pada trayek lainnya. Di sisi lain, di luar trayek-trayek super pendek yang tidak masuk akal, ada juga trayek lain yang panjangnya luar biasa, tetapi diberikan kepada bus sedang Kopaja atau Kopami. diberikan kepada Kopaja atau Kowanbisata untuk mobil sedang. Mengenai trayek luar biasa panjang ini, mungkin bukan penjual mobil yang berpera menentukannya melainkan pengusaha bus yang piawai mngendus trayek gemuk. Lihatlah Kopaja 20 jurusan Senen – Lebak Bulus, juga Kopaja 86 Lebak Bulus Jakarta Kota. Trayek-trayek ini luar biasa panjangnya, luar biasa gemuk dan di sepanjang trayek banyak penumpang turun dan naik dalam jarak pendek-pendek sehingga banyak bus lain, termasuk bus besar AC, ikutan mengambil trayek gemuk tersebut tetapi tentu saja tidak berani mengambil jalur yang sama presis dengan jalur perjalanan Kopaja melainkan dimodifikasi sedikit guna mencegah bentrok dengan awak Kopaja. Demikian juga Kowanbisata yang mengoperasi bus sedang, mengambil trayek Pulo Gadung – Leuwiliang dan Pulo Gadung – Lebak Bulus. Untuk mencegah trayek gemuk ini ditiru oleh perusahaan bus lain, Kowanbisata mengoperssikan juga bus besar selain bus sedang. Memang hanya satu dua bis yang penuh kenyamanan ini walupun tanpa AC, tetapi yang pasti bis serba nyaman itu ada saat Gubernur Jokowi mencanangkan niatnya membenahi system angkutan kota khususnya dari jenis bis sedang. Yang tentunya dilaksanakan secara betahap sesuai ketersediaan anggaran yang ada, lebih khusus lagi dengan menggunakan sisa anggaran tahun 2012 yang belum dipakai. Sejalan dengan pemikiran itu maka penulis artikel ini menyarankan agae pak Jokowi pertama-tama menginventarisir dulu bisi-bis sedang yang sangat layak jalan tersebut, dikumpulkan berapa unitkah bis-bis nyaman tersebut dapat terkumpul untuk selanjutnya diberi hak beroperasi selama jangka waktu tertentu misalnya lima tahun.

0 komentar:

Posting Komentar