Pengikut
About Me

- Konsultan Maritim
- Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
- Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Senin, 19 Desember 2011
NEGARA MARITIM MINIM KAPAL
Judul yang
dikutip di atas dapat dibaca pada harian Kompas, 16 Desember 2011 halaman 29 dengan
bahasan utama kecelakaan kapal tenggelam, karam pada minggu-minggu terakhir
tahun ini, termasuk yang menewaskan seorang wakil bupati kawasan Sulawesi
Tengah. Di perairan Merauke, Kompas melaporkan,
enam kecelakaan terjadi, meliputi kapal tenggelam dan juga ada kasus tabrakan
kapal.
Dikatakan
lebih lanjut: “apapun faktornya, setiap terjadi kecelakaan di laut, negara
tidak bisa melepaskan tanggung jawab begitu saja. Bukankah konstitusi menjamin
setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan rasa aman dalam melakoni
aktivitas sehari-hari”. Mengenai hal yang dikutip dalam kalimat terakhir ini,
rasanya setiap insan Indonesia
mengamini, termasuk mereka yang masih duduk di kelas terakhir sekolah dasar.
Yang luput dari pengamatan bukanlah
ideal dari kewajiban Negara menjamin keamanan warganya, melainkan bagaimana
aplikasi atas tanggung jawab Negara tersebut sehari-hari.
Bahwa setiap
kecelakaan dalam sistem angkutan baik darat, laut maupun udara dapat dipicu
oleh “human error”, juga oleh “technical error” atau karena “musibah murni”,
namun selama ini langkah perbaikan yang
dilakukan oleh aparat pemerintahan adalah setelah peristiwa terjadi sementara menyangkut
upaya pencegahan (agar kecelakaan tidak terjadi), seribu satu excuse
ditampilkan sedangkan langkah
penanganannya minim kalau tidak boleh dikatakan tidak ada. Lihatlah contohnya
(menyangkut angkutan jalan raya): jalan di sebelah kanan terminal Pulo Gadung Jakarta,
arah Cakung, bertahun-tahun lamanya dibiarkan menjadi kawasan tidak bertuan di
bawah penguasaan preman dan calo bis, angkutan kota dan lain-lain. Mobil pribadi
tidak dapat melintas melalui penggal jalan itu yang dipenuhi gerobak dagangan
lontong sayur dan entah apa lagi. Mengapa bisa begitu padahal ada Dinas
Perhubungan, Polantas dan entah instansi apa lagi. Bagaimana bisa pimpinan
instansi-instansi tersebut membiarkan situasi tanpa penanganan oleh aparat itu
bisa berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada tindakan untuk mengembalikannya
pada fungsi yang sebenarnya.
Memang ada
satu dua petugas lapangan dari Dinas Perhubungan berdiri di penggal jalan yang
panjangnya hanya beberapa ratus meter itu, tetapi aktivitasnya tidak lebih dari
mengutip uang receh Rp.500.- (limaratus rupiah) dari setiap sopir angkot yang
melintas, tidak lain. Tidak ada Kepala Seksi mengontrol atau mengarahkan kerja
anak buahnya, Kepala Terminal Pulo Gadung juga entah mengerjakan apa selain
berkomunikasi dengan supir bis antar kota tanpa perduli melihat segala macam angkot
bis kota dan entah apa lagi antri berderet-deret ratusan unit dalam jarak
sejengkal antara satu mobil dengan yang di depannya, situasi yang tidak memberi
peluang pejalan kaki melintas. Bagaimana fasilitas yang dibiayai dengan bermilyar-milyar
uang pajak yang dibayar rakyat, diperlakukan dengan cara seperti itu.
Banyak
instansi pemerintah yang mempunyai pegawai lebih dari cukup, tetapi
pegawai-pegawai tidak menjalankan apa
yang ditugaskan kepada mereka itu “in person” melainkan diwakilkan kepada kalimat,
kepada gambar dan lambang, yang tidak efektif. Pelaku lalu lintas (dalam hal ini lalu lintas darat), adalah
manusia. Bagaimana manusia yang punya hati nurani, diatur oleh gambar sepeda
motor dan tulisan: “motor jalan di jalur kiri dan pakai helm”. Di setiap instansi pemerintah pasti bekerja ahli psikologi, psikiater, sosiolog. Apakah
mereka tidak pernah diminta advis bahwa menertibkan manusia haruslah oleh
manusia dan bukan oleh tulisan dan lambang. Manusia kalau diatur dan ditertibkan
oleh manusia, dapat mengapresiasi kegiatan itu tetapi kalau penertiban
“dilakukan” oleh spanduk, rambu dan benda mati lainnya tanpa ada manusia yang
hadir di situ, mereka – sebagai manusia – merasa dilecehkan. Maka segala macam
perintah, himbauan dan lain-lain yang misalnya berbunyi: “lampu menyala merah
berhenti di belakang garis putih” cenderung tidak dihiraukan oleh pelaku lalu
liontas jalan raya kecuali kalau disertai oleh petugas yang mengawasi instruksi
tertulis itu, in person dan pengawasan itu dilakukan secara terus menerus
sampai masyarakat sudah mempunyai kesadaran pribadi untuk mematuhi aturan.
Tindakan
hangat-hangat cirit ayam, hanya berupa razia tidak akan efektif di luar saat
razia karena factor manusia yang mempunyai hati rurani. Kalau hati nurani
merasa dilecehkan, mereka cenderung sengaja melanggar aturan dan kalau
kebetulan terkena tindakan penertiban karena sedang razia, dianggap saja
sebagai kesialan. Tidak ada urusan dengan kesadaran, dengan disiplin . Sial
saja kena razia, toh petugas tidak pernah melakukan pembinaan secara
terus-menerus sampai orang yakin bahwa melanggar aturan tidak mengenakkan. Apakah situasi ini akan dibiarkan terus,
ataukah pemerintah mau menyadari bahwa menjalankan tugas “in person” seperti
diamanatkan dalam “job description” merupakan suatu keharusan. Tindakan itu
harus dilakukan terus menerus, sdatu tahun, lima tahun atau sepuluh tahunsecara
terus-menerus setiap hari sampai petugas merasa yakin bahwa masyarakat tidak
perlu lagi ditertibkan karena sudah tertib. Menyangkut angkutan laut, beberapa
waktu terakhir ini memang kita menyaksikan Syahbandar Pelabuhan menahan kapal
agar tidak berlayar karena tidak ada manifest penumpang atau jumlah penumpang
yang sudah naik ke kapal jauh melebihi angka yang tercatat pada manifest.
Bravo, tetapi diharapkan langkah itu sudah merupakan suatu keputusan baku yang akan dijalankan
di semua tempat, di semua situasi dan bukannya karena sifat pribadi syahbandar
semata-mata.
Dalam hal
lain: sesaat setelah Presiden SBY mencanangkan seratus hari kabinet Indonesia
Bersatu Jilid I beberapa tahun yang
lalu, saya menulis artikel dalam blog ini memprediksi bahwa langkah pertama yang
akan diambil oleh SBY adalah memanggil Kapolri dan memerintahkannya untuk mengatur agar anggota Polantas yang bertugas
di perempatan jalan memprkatekkan “diplomasi jari telunjuk”, konkritnya:
anggota Polantas berdiri di depan garis putih pembatas kendaraan berhenti menunggu
lampu dan kalau ada mobil atau motor berhenti di depan garis, pak Polantas mengacungkan
jari telunjuk kepada supir atau pengendara agar memundurkan kendaraannya. Pengemudi yang
mengerti aturan lalu lintas pasti
mengerti perintah tak diucapkan itu dan memundurkan kendaraannya sampai di
belakang garis atau kalau tindakan itu
tidak dimungkinkan, dia terpaksa menjalankan
kendaraannya dan mengarahkannya belok kiri sehingga dia merasa rugi. Kalau hal
terakhir ini tidak dilakukan, Polantas harus mengambil tindakan paksa belok
kiri, termasuk memberikan surat
tilang.
Kukatakan
juga bahwa kalau “diplomasi jari telunjuk” dijalankan, beberapa keuntungan
strategis dapat diperoleh. Pertama, keteraturan sistem berlalu lintas
terlaksana, Kedua, kesemrawutan di perempatan jalan raya dapat diatasi,
khususnya di Jakarta.
Ketiga, menaikkan kewibawaan Polri secara keseluruhan. Lebih lanjut bukan hanya
kewibawaan Polri saja yang dapat ditegakkan tetapi dengan melihat ketegasan
anggota Polantas tersebut, masyarakat akan menilai bahwa sekarang Pemerintah
benar-benar menegakkan aturan, berbeda dari yang sebelumnya. Maka masyarakat, kalau
tergoda melanggar aturan, minimal akan rugi seperti kasus pengemudi yang
dipaksa berbelok ke kiri padahal tujuannya dekat ke arah lurus.
Sayang
harapan saya bertepuk sebelah tangan, yang terjadi justru sebaliknya yaitu
motor-motor puluhan unit bergerombol di depan garis putih dan sebelum lampu
pada sisi itu menyala hijau, motor dan ada juga mobil sudah tancap gas karena
lampu hijau pada sisi lain jalan akan menyala merah satu dua detik berikutnya. Sebenarnya,
dalam negara demokrasi yang tidak bersifat paternalistis, keputusan untuk
menjalankan “diplomasi jari telunjuk” cukup ditetapkan oleh Kapolsek bahkan
Kapolpos setempat, tidak perlu melibatkan pimpinan tertinggi. Sayangnya pengendara
motor sudah tidak tahu lagi bahwa di Indonesia berlaku sistem lalu
lintas jalur kiri, mereka seenaknya saja berjalan di sisi kiri atau kanan dan
anggota Polantas tidak merasa perlu menertibkannya karena melihat contoh keberingasan warga
menghakimi polisi. Lebih nyaman bersembunyi di tempat terlindung untuk menjebak
pengendara melakukan kesalahan dan mengutip pungli.
Sementara
itu dalam bahasan “Negara Maritim Minim Kapal” tersebut, para penghimpun bahan kajian (APA/ENG/ZAL/TH/RWN/SEM) juga
menyampaikan tentang minimnya fasilitas pemeliharaan kapal yang melayani angkutan
penyeberangan. Bayangkan kapal- fery
yang melayani angkutan penyeberangan di kepulauan Maluku harus docking di
Sorong atau Bitung karena galangan di Maluku hanya mampu melayani docking kapal
sebesar 500 gross ton atau kurang.
Blogger
tidak habis pikir, bagaimana para petinggi Negara di Jakarta, terutama yang
asal Maluku, “sampai hati” membiarkan hal itu berjalan begitu selama puluhan
tahun? Apakah di antara para petinggi pemerintahan terutama yang asal Maluku itu
tidak ada yang mempunyai nuansa bahari/maritime yang tentunya mengerti tentang pentingnya
docking bagi kapal yang beroperasi? Mudah-mudahan setelah para petinggi membaca
bahasan Kompas tersebut, plus membaca artikel ini, tergerak hatinya untuk
meningkatkan fasilitas docking yang ada di Maluku dan merencanakan untuk, tidak
lebih lambat dari tahun 2012 membangun minimal satu galangan yang dapat
melayani kapal besar, di Maluku. Maaf kalau ancangan ini menyinggung petinggi
wilayah/daerah Maluku, anggaplah ini crash program saja.
Mungkin
kalau dihitung secara “cost accounting” fasilitas docking kapal besar di Maluku
tidak menguntungkan tetapi kalau pemikiran seperti ini betul ada, hal itu tentu
cukup naïf karena fasilitas docking tidak hanya untuk melayani kapal yang
beroperasi di perairan Maluku melainkan juga kapal lintas Papua – Nusa Tenggara
– Jawa dan lain-lain yang menggunakan kapal 1.000 gross ton atau lebih besar. Kapal
manapun boleh docking di Maluku sesuai jadwal atau saat akan melintas di
Maluku.
Dalam
mengamati laporan tentang Negara Maritim Minim kapal, blogger merasa bahwa staf peneliti Kompas kurang
lengkap dalam mengumpulkan bahan, utamanya untuk mengisi bahasan di bawah sub
judul “Galangan Kapal”. Bahasan di bawah sub judul tersebut hanya melaporkan tentang fasilitas docking
kapal dan terlupa tentang pembangunan kapal baru. Telah beberapa kali saya
laporkan dalam blog ini, biaya pembangunan kapal baru di galangan Indonesia
memang sangat, sangat mahal karena galangan Indonesia, sekalipun telah
menerapkan metode kerja pembangunan kapal per modul namun tiap galangan “bekerja
mandiri” yaitu satu galangan membangun kapal dari mulai menyiapkan modul,
“menyambungnya” menjadi satu unit kapal utuh, dikerjakan sendiri saja sehingga
masa pembangunan tetap lama (satu tahun atau lebih lama). Biaya modal bagi
pembangunan menjadi mahal.
Ini berbeda
dengan metode yang diterapkan pada Negara-negara maritime maju, yang sejak lama
menerapkan metode kerja “secara keroyokan”: satu unit kapal yang dipesan,
dikerjakan oleh lima atau empat galangan yang masing-masing mengerjakan satu
modul kapal selama tiga bulan, lalu diantarkan kepada “galangan penyambung”
yang akan mempersatukan semua modul menjadi kapal yang utuh dalam waktu satu
bulan. Pada akhir bulan keempat mesin-mesin kapal yang sudah dipesan secara
terpisah, dipasang di kapal, juga dalam waktu satu bulan. Ditambah satu bulan lagi
untuk “sea trial” dan sertifikasi kapal maka
pada akhir bulan keenam kapal sudah dapat diserahkan kepada pemesan.
Pembangunan
kapal baru selalu melibatkan penyandang dana berbagai fungsi pemberian kredit;
tidak ada pemesan kapal yang mendanai pembangunan kapal baru dengan dana
sendiri (equity capital), semua menggunakan dana dari kredit investasi atau
kredit hipotik kapal, menggunakan bentuk hire purchase (sewa beli) atau gabungan
berbagai bentuk kredit yang lazim digunakan dalam bisnis. Kalau masa
pembangunan hanya enam bulan, bunga modal yang harus dibayar tentunya jauh
lebih rendah daripada satu ahun atau lebih.
Dalam kaitan
dengan pengadaan armada bagi pembinaan usaha pelayaran di Indonesia, namun
demikian blogger tetap menyarankan agar pengadaan kapal-kapal “plat merah”
tetap melalui pemesanan kepada galangan Indonesia. Mengapa demikian? Kapal
“plat merah” yang akan dioperasikan sebagai kapal perambuan, kapal penjaga pantai
dan lain-lain, yang pengadaannya dibiayai oleh APBN, tidak layak kalau dipesan
pada galangan asing, melainkan harus pada galangan Indonesia, berapa tinggipun
harga yang dipasang oleh galangan Indonesia. Pemesanan “kapal plat merah” pada
galangan Indonesia, mempunyai beberapa tujuan strategis antara lain: 1.
Mendorong peningkatan produksi kapal oleh galangan Indonesia; 2. Mendorong
produksi plat baja pada pabrik besi baja, 3. Mendorong produksi mesin-mesin
untuk kapal serta produksi alat-alat pelayaran lainnya, 4. Meningkatkan kinerja
galangan-galangan di Indonesia agar galangan kapal di Indonesia semuanya, suatu
saat kelak kinerjanya sama sehingga pada posisi itu, metode pembangunan kapal
“secara keroyokan” (lebih tepat: secara gotong royong) sudah dapat dimulai.
Jangan lupa,
Negara-negara maritime maju sejak empatpuluh limapuluh tahun yang lalu sudah
memulai kegiatan meningkatkan kinerja galangan termasuk dan terutama mempersamakan
kinerja galangan-galangan nasional di negaranya dan hasilnya seperti dapat kita
lihat: membangun kapal “hanya” memerlukan waktu enam - tujuh bulan, bukannya satu, dua bahkan lebih
dari dua tahun seperti berlaku di Indonesia. Bagaimana Indonesia
dapat mengejar ketertinggalan ini kalau sampai saat ini belum juga ada niat
memulai penyamaan kinerja galangan-galangan Indonesia, suatu upaya untuk
memungkinkan membangun kapal secara goong royong, suatu metode kerja yang
terbukti telah sangat menekan masa pembangunan kapal, sekaligus menekan biaya
pembangunan kapal melalui penekanan cost of money ?
Kamis, 15 Desember 2011
ADAB MARITIM
Harian Kompas, Rabu 7 Desember 2011 memuat artikel berjudul “Manusia Maritim Indonesia” tulisan Radhar Panca Dahana, budayawan yang juga dikenal sebagai pengamat politik yang kerap muncul di layar kaca. Dalam karangannya itu bung Radhar lebih banyak mengecam bangsa Indonesia yang lebih menampilkan diri sebagai bangsa yang beradab daratan, padahl mendiami negara nusantara yang luas wilayahnya 70% adalah lautan dan daratan yang didiami tidak sampai `20% saja.
Sayang dalam tulisan itu Radhar tidak merinci seperti apa konkritnya adab maritime yang, menurutnya, seyogyanya direpresentasikan oleh warga Indonesia yang hidup di Negara maritim, kecuali dalam akhir tulisannya Radhar menyebutkan: “sesungguhnya, di dalam identifikasi eksistensial dan kultural itu, kita akan menemukan kenyataan yang mungkin tak terduga: demokrasi yang sesungguhnya karena lahir dan tumbuh di negeri yang penuh “rayuan pulau kelapa” ini. (Apa hubungannya? blogger).
Sebagai perbandingan, blogger menyimak tampilan yang berbeda sebagaimana disiarkan dalam internet satu dua hari belakangan ini: perusahaan pelayaran Mediteranian Shipping Company (MSC) yang membuka jalur pelayaran niaga antara Australia dengan Amerika Serikat. Kantor pusat MSC berdomisili di Hamburg, Jerman teapi karena namanya “Mediteranean Shipping Company” blogger menduga bahwa stake holdernya adalah orang Timur Tengah. Kalau dugaan ini benar, cukup layak kekaguman blogger atas visi maritime warga dari Negara non-kepulauan ini, juga kagum melihat pilihan jalur pelayarannya.
Menurut Shipping Australia Limited (SAL) yang merupakan otoritas pelayaran niaga Australia yang penting, MSC mengambil dua “loop” operasi pelayaran penting yaitu: loop I Australia – Nea Zealand – Pantai Pacific (panai barat) USA dan loop II: Australia – Oseania,- menyeberang Panama Canal menuju Pantai Alantic (panai imur, pelabuhan Savannah dan Philadelphia).
Pilihan jalur pelayaran ini, demikian juga penggunaan sarana pengangkutnya pastinya sudah melalui penelitian yang mendalam; kapal peti kemas yang akan digunakan untuk operasi pada kedua jalur pelayaran tersebut juga tidak besar-besar amat, hanya berkapasitas 2.500 – 3.500 TEU (satu TEU, yaitu peti kemas twentyfoot equivalent unit dapat diisi 15 – 24 ton muatan general cargo).
Menurut rencana kedua jalur pelayaran iu akan mulai beroperasi sekitar hari Natal ahun ini namun melihat bahwa kampanye pemasarannya sudah mulai gencar dijalankan sejak November lebih mengundang apresiasi lagi. Langkah kemaritiman ini ditempuh oleh warga negara daratan Timur Tengah; kantor pusat perusahaan ini di Jerman (Hamburg) namun perusahaan, yang menyandang nama Timur Tengah ini, “tidak lupa” menggandeng perusahaan Jerman yang terkenal kampiun dalam pelayaran niaga yaitu Hamburg Sud sementara di Australia bekerjasama dengan Shipping Ausrtalia Limited yang blogger sebutkan mempunyai otoritas kuat. Pengambilan SAL sebagai mitra kerja juga cukup strategis karena Australia dipilih sebagai basis operasinya.
Inilah bentuk konkrit dari adab maritime, visi maritime yang, “celakanya” direpresentasikan oleh warga dari negara daratan (maaf blogger tidak/belum menemukan informasi negara Timur Tengah manakah itu namun pastinya bukan negara daratan seperti Swiss atau Austria. Negara Timur Tengah tersebut pastinya ada nuansa maritimnya. Blogger yakin negara tersebut mempunyai garis pantai. . Bagaimana warga Negara Indonesia? Masihkah orang Indonesia hanya cukup puas dengan menyanyikan lagu nenek moyangku orang pelaut, yang liriknya juga sudah tidak dihafal dengan tepat lagi?
Lebih lanjut Radhar menulis tentang kasus Papua: misalnya, kata Radhar, sudah hampir setengah abad kita tidak berhasil mendapatkan penyelesaian yang komprehensif karena menggunakan pendekatan daratan (sekali lagi sayang tidak ada rincian uraian). Lebih lanjut Radhar menulis: korban berjatuhan dan persoalan justru semakin luas dan kompleks. Padahal dalam adab dan kultur maritime, penyelesaian masalah Papua bahkan juga tidak dapat diselesaikan dengan sekedar pendekatan kesejahteraan karena masalahnya bukan di sana.
Di sini sekali lagi Radhar bahkan tidak menyebut tentang adab maritime yang dijadikan dasar penulisan atrikelnya. Blogger mencoba merumuskan sedikit tentang adab maritime bagi manusia Indonesia, yang oleh Tuhan Yang Maha Esa dititahkan mendiami negara kepualauan paling besar sedunia itu. Marilah kita tengok negara Jepang, yang sejak dilepaskan dari statusnya sebagai “occupied Japan” (Jepang yang diduduki oleh sekutu) akhir dasawarsa enampuluhan, segera memulai pembinaan system industry kemaritimannya. Di setiap pulau Jepang di mana pasti ada galangan kapal, juga ada pelabuhan, maka semua galangan kapal yang ada itu diberdayakan, didorong dan dibantu sampai semua berkembang dan mempunyai kinerja yang kurang lebih sama. Hasilnya: membangun kapal baru hanya memerlukan waktu enam bulan, berapa besarpun onase kapal yang dibangun.
Di saat kita, warga yang menghuni negara maritime terbesar sejagad ini masih terlena dengan ajaran guru SD bahwa membangun kapal adalah pertama-tama meletakkan lunas kapal (keel) lalu memasang gading-gading dan dilanjutkan dengan memasang lambung kapal, negara Jepang sudah lama meninggalkan metode itu diganti menjadi system pembangunan kapal dengan menyiapkan modul-modul bangunan oleh galangan yang berbeda-beda, lalu digabungkan menjadi kapal seutuhnya.
Di Indonesia memang system modul dalam pembangunan kapal juga sudah berlangsung namun system kerja “keroyokan” oleh beberapa galangan kapal seperti yang dipraktekkan di negara-negara maritime maju masih belum menemukan bentuknya. Maka tetap saja kalau kapal-baru dibangun di Indonesia, diperlukan waktu selama satu tahun bahkan lebih sebelum kapal dapat diluncurkan ke air. Di Negara-negara mariim maju standard waktu pembangunan kapal, seperti disebut di muka, adalah enam bulan berapa besarpun tonase kapal yang dibangun.
Berapa kerugian bunga pinjaman harus ditanggung oleh pengusaha Indonesia jika membangun kapal di galangan Indonesia, sementara di negara lain hanya perlu membayar bunga pinjaman selama enam bulan karena bulan keujuh kapal sudah mulai dapat beroperasi dan bulan ke delapan uang hasil operasi sudah mulai dapat diterima. Di seluruh dunia tidak ada pengusaha membangun kapal menggunakan modal sendiri (equity capital), semua menggunakan model pinjaman secara ekstensif.
Kembali pada operasi kapal-kapal MSC ke Amerika yang perlu diamati adalah kadar visi kemaritiman para stake holder perusahaan itu. Apakah para insan maritim Indonesia tidak merasa perlu menyimak itu?. Bayangkan: nama perusahaannya, walaupun mengambil domisili di Hamburg, Jerman namun nama “Timur Tengah diyakini terisi oleh orang(2) warga sana, tetapi mengambil jalur pelayaran dari Australia – New Zealand – Oceania ke pantai barat dank e pantai timur Amerika Serikat. Bukankah kenyataan itu berasal dari kenyataan lain bahwa masih ada ceruk perdagangan yang dapat dibidik tetapi kenyataan lain pula mengapa bukan oleh pengusaha Indonesia.
Benarkah sinyalemen Radha Panca Dahana bahwa orang Indonesia, walaupun mendiamai Negara mariim kepulauan tetapi berperilaku warga daratan? Wallahualam.
.
Sayang dalam tulisan itu Radhar tidak merinci seperti apa konkritnya adab maritime yang, menurutnya, seyogyanya direpresentasikan oleh warga Indonesia yang hidup di Negara maritim, kecuali dalam akhir tulisannya Radhar menyebutkan: “sesungguhnya, di dalam identifikasi eksistensial dan kultural itu, kita akan menemukan kenyataan yang mungkin tak terduga: demokrasi yang sesungguhnya karena lahir dan tumbuh di negeri yang penuh “rayuan pulau kelapa” ini. (Apa hubungannya? blogger).
Sebagai perbandingan, blogger menyimak tampilan yang berbeda sebagaimana disiarkan dalam internet satu dua hari belakangan ini: perusahaan pelayaran Mediteranian Shipping Company (MSC) yang membuka jalur pelayaran niaga antara Australia dengan Amerika Serikat. Kantor pusat MSC berdomisili di Hamburg, Jerman teapi karena namanya “Mediteranean Shipping Company” blogger menduga bahwa stake holdernya adalah orang Timur Tengah. Kalau dugaan ini benar, cukup layak kekaguman blogger atas visi maritime warga dari Negara non-kepulauan ini, juga kagum melihat pilihan jalur pelayarannya.
Menurut Shipping Australia Limited (SAL) yang merupakan otoritas pelayaran niaga Australia yang penting, MSC mengambil dua “loop” operasi pelayaran penting yaitu: loop I Australia – Nea Zealand – Pantai Pacific (panai barat) USA dan loop II: Australia – Oseania,- menyeberang Panama Canal menuju Pantai Alantic (panai imur, pelabuhan Savannah dan Philadelphia).
Pilihan jalur pelayaran ini, demikian juga penggunaan sarana pengangkutnya pastinya sudah melalui penelitian yang mendalam; kapal peti kemas yang akan digunakan untuk operasi pada kedua jalur pelayaran tersebut juga tidak besar-besar amat, hanya berkapasitas 2.500 – 3.500 TEU (satu TEU, yaitu peti kemas twentyfoot equivalent unit dapat diisi 15 – 24 ton muatan general cargo).
Menurut rencana kedua jalur pelayaran iu akan mulai beroperasi sekitar hari Natal ahun ini namun melihat bahwa kampanye pemasarannya sudah mulai gencar dijalankan sejak November lebih mengundang apresiasi lagi. Langkah kemaritiman ini ditempuh oleh warga negara daratan Timur Tengah; kantor pusat perusahaan ini di Jerman (Hamburg) namun perusahaan, yang menyandang nama Timur Tengah ini, “tidak lupa” menggandeng perusahaan Jerman yang terkenal kampiun dalam pelayaran niaga yaitu Hamburg Sud sementara di Australia bekerjasama dengan Shipping Ausrtalia Limited yang blogger sebutkan mempunyai otoritas kuat. Pengambilan SAL sebagai mitra kerja juga cukup strategis karena Australia dipilih sebagai basis operasinya.
Inilah bentuk konkrit dari adab maritime, visi maritime yang, “celakanya” direpresentasikan oleh warga dari negara daratan (maaf blogger tidak/belum menemukan informasi negara Timur Tengah manakah itu namun pastinya bukan negara daratan seperti Swiss atau Austria. Negara Timur Tengah tersebut pastinya ada nuansa maritimnya. Blogger yakin negara tersebut mempunyai garis pantai. . Bagaimana warga Negara Indonesia? Masihkah orang Indonesia hanya cukup puas dengan menyanyikan lagu nenek moyangku orang pelaut, yang liriknya juga sudah tidak dihafal dengan tepat lagi?
Lebih lanjut Radhar menulis tentang kasus Papua: misalnya, kata Radhar, sudah hampir setengah abad kita tidak berhasil mendapatkan penyelesaian yang komprehensif karena menggunakan pendekatan daratan (sekali lagi sayang tidak ada rincian uraian). Lebih lanjut Radhar menulis: korban berjatuhan dan persoalan justru semakin luas dan kompleks. Padahal dalam adab dan kultur maritime, penyelesaian masalah Papua bahkan juga tidak dapat diselesaikan dengan sekedar pendekatan kesejahteraan karena masalahnya bukan di sana.
Di sini sekali lagi Radhar bahkan tidak menyebut tentang adab maritime yang dijadikan dasar penulisan atrikelnya. Blogger mencoba merumuskan sedikit tentang adab maritime bagi manusia Indonesia, yang oleh Tuhan Yang Maha Esa dititahkan mendiami negara kepualauan paling besar sedunia itu. Marilah kita tengok negara Jepang, yang sejak dilepaskan dari statusnya sebagai “occupied Japan” (Jepang yang diduduki oleh sekutu) akhir dasawarsa enampuluhan, segera memulai pembinaan system industry kemaritimannya. Di setiap pulau Jepang di mana pasti ada galangan kapal, juga ada pelabuhan, maka semua galangan kapal yang ada itu diberdayakan, didorong dan dibantu sampai semua berkembang dan mempunyai kinerja yang kurang lebih sama. Hasilnya: membangun kapal baru hanya memerlukan waktu enam bulan, berapa besarpun onase kapal yang dibangun.
Di saat kita, warga yang menghuni negara maritime terbesar sejagad ini masih terlena dengan ajaran guru SD bahwa membangun kapal adalah pertama-tama meletakkan lunas kapal (keel) lalu memasang gading-gading dan dilanjutkan dengan memasang lambung kapal, negara Jepang sudah lama meninggalkan metode itu diganti menjadi system pembangunan kapal dengan menyiapkan modul-modul bangunan oleh galangan yang berbeda-beda, lalu digabungkan menjadi kapal seutuhnya.
Di Indonesia memang system modul dalam pembangunan kapal juga sudah berlangsung namun system kerja “keroyokan” oleh beberapa galangan kapal seperti yang dipraktekkan di negara-negara maritime maju masih belum menemukan bentuknya. Maka tetap saja kalau kapal-baru dibangun di Indonesia, diperlukan waktu selama satu tahun bahkan lebih sebelum kapal dapat diluncurkan ke air. Di Negara-negara mariim maju standard waktu pembangunan kapal, seperti disebut di muka, adalah enam bulan berapa besarpun tonase kapal yang dibangun.
Berapa kerugian bunga pinjaman harus ditanggung oleh pengusaha Indonesia jika membangun kapal di galangan Indonesia, sementara di negara lain hanya perlu membayar bunga pinjaman selama enam bulan karena bulan keujuh kapal sudah mulai dapat beroperasi dan bulan ke delapan uang hasil operasi sudah mulai dapat diterima. Di seluruh dunia tidak ada pengusaha membangun kapal menggunakan modal sendiri (equity capital), semua menggunakan model pinjaman secara ekstensif.
Kembali pada operasi kapal-kapal MSC ke Amerika yang perlu diamati adalah kadar visi kemaritiman para stake holder perusahaan itu. Apakah para insan maritim Indonesia tidak merasa perlu menyimak itu?. Bayangkan: nama perusahaannya, walaupun mengambil domisili di Hamburg, Jerman namun nama “Timur Tengah diyakini terisi oleh orang(2) warga sana, tetapi mengambil jalur pelayaran dari Australia – New Zealand – Oceania ke pantai barat dank e pantai timur Amerika Serikat. Bukankah kenyataan itu berasal dari kenyataan lain bahwa masih ada ceruk perdagangan yang dapat dibidik tetapi kenyataan lain pula mengapa bukan oleh pengusaha Indonesia.
Benarkah sinyalemen Radha Panca Dahana bahwa orang Indonesia, walaupun mendiamai Negara mariim kepulauan tetapi berperilaku warga daratan? Wallahualam.
.
Langganan:
Postingan (Atom)