Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Kamis, 25 Oktober 2012

GUBERNUR JOKOWI BENAHI JAKARTA

Permohonan maaf kepada Bapak Jokowi, Gubernur KDKI Jakarta: Artikel di bawah ini sudah saya sampaikan melalui Blog ini dua hari yang lalu tetapi karena edittingnya kurang baik, maka saya sampaikan kembali selengkapnya di bawah ini. Mohon maaf. GUBERNUR JOKOWI BENAHI JAKARTA Sangat melegakan langkah Gubernur DKI Jakarta Djoko Widodo (Jokowi) meninjau Terminal Kampung Melayu yang berujung pada rencana pak Gub meremajakan 4.200 Metro Mini, Kopaja dan bus-bus sedang lainnya yang sudah tidak layak jalan. Penulis artikel ini mencoba ikut urun rembug dalam upaya pembenahan Sistem Transportasi Jakarta termasuk penanganan kemacetan yang lama menjadi momok warga Jakarta, berdasarkan pengalaman penulis menggunakan transportasi kota Jakarta sejak awal tahun 1970-an sampai sekarang. Penulis telah mendengar pemaparan pak Jokowi bahwa pola peremajaan bus-bus sedang tersebut berlandaskan pada pola penggantian 2 unit bus lama yang tidak layak jalan diganti dengan satu unit bus baru. Solusi ini paling masuk akal, mudah-mudahan jajaran pak Jokowi segera dapat menemukan realisasi teknisnya terutama yang menyangkut pendanaan. Perlu ditambahkan bahwa dari antara sekian ribu bus kumuh tak layak jalan tersebut, sampai “detik terakhir” saat ini, ada “satu dua unit” bus Kopaja dan Kopami bahkan Metro Mini yang berpenampilan apik, perangkat controlnya lengkap, berfungsi baik dan dilengkapi televisi dan audio system, joknya pun empuk berlapis busa tebal. Diharapkan jajaran Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Jokowi – Basuki segera menyebarkan intel untuk naik bus-bus apik tersebut dan mencatat pemilik armada, bagaimana metode perawatan dan operasi armadanya, apa harapannya dalam pembenahan system transportasi kota Jakarta ke depan. Lalu para “intel” menyampaikan informasi tersebut bagi penyusunan rancangan pembentukan organisasi pengelola bus sedang yang sehat untuk selanjutnya dijadikan acuan bagi pemberian kredit bus baru dalam rangka penataan transportasi kota Jakartayang baik. Biarlah pengalaman pahit di mana pengelolaan system angkutan tidak didasarkan pada metode universal yang sudah terbukti berhasil guna melainkan hanya didasarkan kepada pertimbangan subyektif para petinggi Jakarta yang tidak efektif.. Pemilik-pemilik bus sedang yang apik tersebut perlu tetap diijinkan beroperasi, setidaknya selama jangka waktu terbatas sementara pak Jokowi dan jajarannya menyiapkan pengadaan bus sedang baru yang sehat. Dari keseluruhan armada kumuh yang sudah uzur, barangkali totalnya mencapai 10% yang masih dapat diijinkan tetap beroperasi selama jangka waktu tertentu, dalam masa transisi itu. Langkah ini dapat menghemat pendanaan untuk hanya sekitar 1.800 unit bus sedang, yaitu separo dari bus uzur dikurangi 10% yang masih layak operasi. Kalau penggantian bus dapat dilaksanakan dalam waktu 2 tahun maka pada tahun 2013 mungkin hanya perlu disiapkan armada sebanyak 900 unit dengan anggaran Rp.450 milliar. Rasanya anggaran sebanyak itu dapat disiapkan dalam tahun 2013 dan pernyerahan armada kepada organisasi yang sudah disehatkan melalui system kredit yang difasilitasi oleh BUMN terpilih. Lebih lanjut penulis menyampaikan urun rembug ini selengkapnya dalam beberapa bab. Penataan angkutan kota secara bertahap, sekaligus juga dapat menepis keinginan sementara warga DKI agar penggantian bus sedang terlaksana secara instan, suatu hal yang tidak dianjurkan bagi system yang sudah terbengkalai lebih dari 30 tahun. Hal terpenting yang harus dijadikan patokan adalah konsistensi Gubernur DKI Jakarta dan jajarannya agar apa yang ditetapkan tidak bocor dan dibiarkan begitu seperti yang sudah-sudah. 1). Eksistensi, Fungsi dan Kondisi Terminal Bus. Sejak awal dimulainya system transportasi kota Jakarta, tahun 1970 atau sebelumnya, sudah ditetapkan bahwa terminal-terminal bus yang ada di Jakarta dibagi dalam beberapa kategori sebagai berikut: i).. Terminal Antar Kota, hanya boleh dikunjungi oleh bus AKAP (Antar Kota Antar Propinsi). Untuk Jakarta tidak ada bus AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi) karena Jakarta merupakan propinsi kota. Terminal Bus Pulogadung, terminal Kalideres, terminal Kampung Rambutan merupakan terminal untuk bus AKAP yang juga berfungsi sebagai terminal local, untuk angkutan kota. Dalam perkembangannya banyak terminal berubah fungsi dari terminal local menjadi terminal AKAP. Lihatlah misalnya terminal Tanjung Priok yang sebenarnya didesain sebagai terminal untuk angkutan kota tetapi sejak dua puluh tahun yang lalu berubah menjadi terminal AKAP seiring maraknya trayek bus AKAP jurusan Merak – Tanjung Priok, Bandung – Tanjung Priok dan lain-lain. Bus-bus sedang angkutan kota, mikrolet dan angkot kecil tergusur keluar karena terminal sudah dipenuhi bus-bus raksasa AKAP. Terminal bus Rawamangun juga bernasib sama, sudah digusur oleh bus AKAP jurusan Sumatra Barat. Melihat perkembangan tersebut, diharapkan Gubernur Jokowi menetapkan kembali pengkategorian terminal-terminal bus di Jakarta itu sesuai peruntukan aslinya dan selanjutnya ditata sesuai peruntukan itu. Orang bepergian dari Bandung ke Tanjung Priok, kalau harus turun di terminal Kampung Rambutan kan harus menambah biaya untuk berganti ke angkutan kota, begitu mungkin sanggahan orang yang tidak peduli keteraturan system angkutan. Mereka. yang bersikap seperti itu, bersifat egoistis dan tidak perduli dengan mekanisme penataan angkutan yang tertib padahal tidak ada yang dapat menjamin bahwa penumpang dari Bandung yang membeli tiket untuk tujuan Tanjung Priok, memang akan turun di Tanjung Priok dan bukan turun di Cempaka Putih misalnya. Di sinilah pentingnya penumpang dari luar kota harus turun di terminal antar kota untuk melanjutkan perjalanan dengan bus kota. Kalau semua bus dari luar kota langsung menuju terminal local, akibatknya dapat memunculkan terminal-terminal bayangan di sembarang tempat. Apakah ini yang dikehendaki? ii). Menyangkut kondisi terminal, mungkin ada baiknya Gubernur Jokowi juga meyambangi terminal Senen di mana mungkin pak Gub akan melihat pemandangan yang memprihatinkan: setiap supir angkot menghentikan mobilnya di dalam terminal, langsung membuka pintu mobilnya dan (maaf), currr, membuang hajat kecil seenaknya. Penulis tidak dapat menyalahkan kelakuan sopir yang tidak pantas itu karena sebagai supir, mereka satu hari mungkin harus B.A.K. lebih dari sepuluh kali, padahal setiap kali masuk ke kamar kecil di terminal yang kondisinya sangat tidak layak, harus membayar Rp.1.000.- (di terminal Tanjung Priok malahan Rp.2.000,- karena memakai air PDAM). Penulis menyarankan agar di setiap terminal di Jakarta dibangun minimal dua unit kamar kecil yang kondisinya baik dan bebas bayar. Penjaga toilet sepanjang persyaratannya memungkinkan, diangkat sebagai pegawai negeri dengan tugas khusus menjaga kebersihan toilet tanpa memungut bayaran apapun. Bukankah setiap bus masuk terminal terkena retribusi, wajar kalau ahli-ahli akuntansi Pemprov DKI dapat menyusun system akuntansi yang dapat mengatur pembagian dana-dana untuk penyelenggaraan terminal termasuk untuk pengelolaan kamar kecil, di luar dana yang dihimpun dari retribusi terminal tersebut, yang harus disetorkan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Selain menyaksikan ulah supir angkot yang tidak terpuji itu, pak Jokowi juga mungkin masih sempat menyaksikan pemandangan yang tidak kurang memprihatinkan, di mana “satu juta” unit Mikrolet, Kopami, Kopaja, Metro Mini dan entah apa lagi termasuk bus AKAP AC antri kosong sampai memenuhi area terminal, satu kendaraan berjarak sejengkal dari kendaraan di depan di belakangnya. Maklumlah kendaraan yang ada pada antrian terdepan tidak akan berangkat meninggalkan terminal sebelum penumpangnya penuh, sesuai “hukum” operasi angkot yang berlaku, yaitu system setoran. Ke depan harus diterapkan aturan yang menetapkan: Metro Mini boleh “ngetem” berapa menit, bus sedang berapa menit, bus besar berapa menit (catatan: aturan itu sebenarnya bukan tidak ada tetapi setaip kali kendaraan diusir pegawai Dishub karena ngetem melebihi waktunya, keneknya segera turun dan menyelipa sekeping uang Rp.1.000.- atau Rp.500.- dan bus tidak jadi diperintahkan keluar dari terminal. Praktek busuk seperti ini harus dihentikan. Menyangkut terminal antar kota Pulogadung sebenarnya penulis berpendapat bahwa terminal ini tidak perlu dipindah melainkan dibangun bertingkat ke bawah dan ke atas sebagai berikut: dibangun basement tiga lantai yaitu basement 1). untuk terminal angkutan kota, basement 2). untuk bus AKAP yang baru datang melakukan service/revisi dan setelah itu turun ke basement 3) untuk istirahat menunggu keberangkatan (bagi bus malam). Lantai dasar untuk kendaraan angkutan kota, lantai tiga danseterusnya ke atas, mungkin sampai lantai ke-20 sesuai perhitungan investor, untuk perkantoran dan hotel bus AKAP yang dating menuju ke lantai 2 dan untuk itu pada pertigaan terminal Pulogadung dibangun system simpang susun untuk mengalirkan kendaraan dari Cakung langsung masuk terminal dan simpang lainnya mengalirkan kendaraan ke arah Jl. Pemuda. Penulis yakin investor berminat menanamkan modalnya dalam proyek ini mengingat strategisnya lokasi (bekas) terminal Pulogadung tersebut. 2). Penataan Pola Trayek Angkutan Kota. Sejak awal dimulainya system angkutan kota di Jakarta, yang bertepatan dengan mulai beroperasinya assembling mobil-mobil di Indonesia (Jakarta) tahun 1970, kita menyaksikan bahwa pola trayek angkutan kota di Jakarta ditentukan oleh pabrik pembuat mobil sedangkan peran Gubernur DKI dan Dishub tidak seberapa. Kalau pengusaha mobil berencana menjual bus sedang sekian unit, mereka merencanakan pembukaan trayek dari titik tertentu ke titik lainnya dan Dishub “didorong” menyetujui alokasi pengoperasian bus pada trayek itu. Pembukaan trayek-trayek angkutan kota di Jakarta pada masa itu tidak didasarkan pada studi keperluan angkutan bagi pengguna jasa transportasi kota melainkan pada pertimbangan penjualan mobil. Anda dapat melihatnya pada trayek-trayek bernomor awal, yang sampai sekarang masih beroperasi. Mulai awal tahun 1970 itu banyak sekali trayek-trayek yang tidak masuk akal, contohnya: trayek Metro Mini 01 jurusan Senen – Cempaka Putih sepanjang lima kilometer. Dari Cempaka Putih trayek ini hanya efektif sepanjang 1 km karena selepas dari kawasan Cempaka Putih masuk ke jl. Ahmad Yani, sudah ketemu dengan semua jenis bus yang menuju Senen. Aneh bahwa trayek seperti ini dapat bertahan sampai 40 tahun. Juga Metro Mini trayek 05 Senen – Rawasari (kurang dari 5 km) berhimpitan dengan trayek Mikrolet 35 yang jauh lebih panjang ke terminal Kampung Melayu dan Mikrolet trayek 46 jurusan Senen – Pulo Gadung.. Kedua bus Metro Mini tersebut, sekali berangkat penumpangnya tidak lebih dari 10 orang (aneh, kok tetap dapat beroperasi selama 40 tahun) sementara Metro Mini Trayek 15 Senen – Setia Budi pada awalnya cukup realistis karena keluar dari kawasan Setiabudi bisa langsung belok kanan masuk ke Jl. Sudirman. Belakangan harus belok kiri dan berputar di Jembatan Semanggi; dengan adanya perubahan ini penumpang tidak keberatan tetapi setelah belakangan lagi Metro Mini tersebut tidak dibenarkan berputar di Jembatan Semanggi melainkan harus berjalan terus ke barat dan berputar setelah melewati gedung Ratu Plaza pada putara yang dulu dikenal sebagai bundaran ‘tong bocor’ karena di bundaran itu ada patung yang bentuknya menyerupai drum yang airnya bocor. Tentu saja tidak ada penumpang yang bersedia membuang waktu untuk perjalanan tambahan sejauh itu yang tidak ada manfaatnya, maka trayek mati dengansendirinya dan oleh pemilik armada kendaraannya dialihkan ke trayek lain. Ada lagi trayek yang dirubah sendiri oleh pemilik armada atau supirnya, yaitu Mekrolet trayek 53 dari Mangga Dua ke terminal Pulo Gadung pp. Trayek ini sebenarnya dari Stasiun Beos melintasi Pademangan, Pasar Mobil Kemayoran menuju Galur, Rawasari – Cempaka Putih terus menyeberang bypass menuju kawasan elit Pulomas, Pulo Nangka dan keluar ke Jl. Perintis Kemerdekaan lalu belok kanan menuju terminal Pulo Gadung. Tidak sampai tiga bulan menjalankan trayek sesuai ketetapan Dishub tersebut, supir merasa perjalanannya hanya membuang-buang bensin saja sebab begitu memasuki kawasan elit Pulomas tidak satupun penumpang naik karena warga Pulomas umumnya punya mobil lebih dari satu. Pembantu rumah tangga saja belanja ke pasar diantar supir atau naik motor bebek. Maka supir mengambil jalan pintas: keluar dari kawasan Kemayoran belok kiri memasuki jl. Suprapto, lalu langsung bablas menyeberang Jakarta Bypass menuju terminal Pulogadung melalui jl. Perintis Kemerdekaan. Di sisi lain, di luar trayek-trayek super pendek yang tidak masuk akal itu, ada juga trayek lain yang panjangnya luar biasa, yang diberikan kepada bus sedang Kopaja atau Kopami dan Kowanbisata. Mengenai trayek luar biasa panjang ini, bukan pilihan penjual mobil melainkan kehebatan pemilik bus yang piawai mengendus trayek panjang dan gemuk. Lihatlah Kopaja 20 jurusan Senen – Lebak Bulus, juga Kopaja 86 Lebak Bulus Jakarta Kota. Trayek-trayek ini luar biasa panjangnya, luar biasa gemuk dan di sepanjang trayek banyak penumpang turun dan naik dalam jarak pendek-pendek sehingga mengundang pemilik bus lain, termasuk bus besar AC, ikutan mengambil trayek gemuk tersebut tetapi tentu saja tidak berani mengambil jalur yang sama presis dengan jalur perjalanan Kopaja melainkan dimodifikasi sedikit guna mencegah bentrok dengan awak Kopaja. Demikian juga Kowanbisata yang mengoperasikan bus sedang, mengambil trayek Pulo Gadung – Cileungsi dan Pulo Gadung – Lebak Bulus sementara Kopami mendapat trayek Senen – Muara Karang.. Untuk mencegah trayeknya yang gemuk ditiru oleh perusahaan bus lain, Kowanbisata mengopersikan juga bus besar selain bus sedang. Menyangkut pelaksanaan operasi trayek angkutan kota, lebih lanjut penulis mengamati adanya peristiwa yang aneh di mana bus transjakarta (busway) trayek Dukuh Atas -- terminal Pulogadung yang melewati Jl. Pemuda, tidak lagi masuk ke terminal melainkan berputar balik di perempatan T.U.G.A.S. Keputusan pengelola busway koridor 4 (Pemprov DKI) mengubah jalur ini saya pandang sebagai kekalahan pemprov DKI melawan premanisme. Pemprov DKI menyerah kalah kepada para preman. Sudah lama masyarakat pengguna angkutan kota mengeluhkan kelakuan supir-supir angkutan, berupa bus besar dan bus sedang yang datang dari Jl. Pemuda tidak mau masuk terminal Pulogadung tetapi beruptar balik di ujung pasar Pulogadung (dekat lapangan pengujian kendaraan angkutan yang sudah dipindahkan ke tempat lain) sehingga pengguna jasa angkutan kota harus berjalan kaki cukup jauh. Hanya Mikrolet yang masuk terminal, yaitu Mikrolet 46 dan Mikrolet 27 jurusan kampung melayu. Aneh bahwa Pemprov DKI bukannya menertibkan situasi di terminal yang semrawut supaya busway nyaman masuk/keluar ke/dari terminal melainkan mengikuti jejak supir lain yang bersifat premanistis. Angkutan kota yang datang dari Cakung dan Perintis Kemerdekaan tetap memasuki terminal karena relative tidak mengalami kesulitan teknis. 3). Sistem Operasi Angkutan Kota. Kelakuan supir angkot seperti digambarkan di atas, yaitu operasi dengan system setoran, sudah sejak awal tahun 1970 dikritik oleh banyak pengamat perkotaan tetapi setelah Gubernur KDKI Jakarta berganti sekian kali, sampai sekarang masih saja system setoran dipraktekkan. Kalau ditanyakan kepada pemilik armada mengapa memilih system setoran, jawabannya pasti: kalau digaji, tidak ada yang mau jadi supir, mereka semua memilih system setoran. Kalau benar semua pemilik armada bus sedang angkutan kota bersikap seperti itu, merupakan wewenang Gubernur untuk menetapkan apakah ke depan system itu akan dilestarikan ataukah harus dirubah menjadi system yang berlaku universal yaitu bahwa pengusaha bus adalah pemilik armada, yang seperti sudah dicanangkan oleh pak Jokowi bahwa pemilik-pemilik bus sedang perorangan harus membentuk organsisasi (perusahaan) dan perusahaan itu juga harus sehat. Bahwa mengelola perusahaan angkutan dirasakan sulit tetapi kalau pemilik armada bus sedang memilih untuk beropeasi menggunakan metode lama (system setoran), sebaiknya mereka dipsersilahkan keluar saja dari system yang akan dibentuk dan ditetapkan oleh Gubernu Jokowi. Sudah disebutkan di atas bahwa sejak tahun 1970 pengamat transportasi berteriak-teriak mengingatkan Pemerintah terkait bahwa operasi dan manajemen angkutan bus yang normal adalah bahwa operator bus adalah pemilik amada (perusahaan yang memiliki armada) dan supir adalah pegawai perusahaan. Supir-supir atau pramudi pada perusahaan transjakarta adalah juga pegawai yang digaji oleh pengelola busway karena pemilik armada adalah operatornya. Sebagaimana sudah dicanangkan oleh Gubernur Jokowi, pemilik perorangan Metro Mini harus membentuk perusahaan (bergabung ke dalam perusahaan yang sehat) untuk dapat memperoleh bus baru pengganti yang sudah uzur dan tidak layak jalan.. Di Jakarta, selama ini pemilik armada memilih system operasi yang gampang yaitu bis diserahkan kepada supir yang harus setor setiap hari, berarti pengusaha transport adalah supir dan pemilik armada menyewakan kendaraannya kepada supir. Tidak mengherankan bahwa selama 40 tahun lebih banyak warga Jakarta terbunuh oleh ulah supir ugal-ugalan saling berebut penumpang, saling serobot dan berhenti di tengah jalan untuk menghalangi bus di belakangnya supaya tidak mendahului, penumpang dioper seenaknya karena supir akan berputar balik kea rah berlawanan yang penumpangnya lebih banyak. Menyangkut operasi angkutan kota tersebut, dalam kaitan ini mungkin boleh diingatkan bahwa pada masa pemerintahan Presiden Soeharto yang otoriter yang ditiru oleh penguasa yang lebih rendah, sebenarnya beberapa petinggi pada jajaran Pemprov DKI ada yang bertindak egalistis dengan memerintahkan dipasangnya sticker “sesama bus kota dilarang saling mendahului” pada semua bus besar angkutan kota. Slogan tersebut sampai sekarang masih sering diucapkan tetapi terbatas sebagai materi lelucon yang tidak lucu. “Ciri khas” dalam pemerintahan Suharto adalah banyaknya aturan-aturan ditetapkan namun dibiarkan saja semua orang tidak mematuhinya. Penulis yakin pak Jokowi tidak termasuk pemimpin yang mempunyai karakter seperti itu. Dalam pemerintahan Gubernur Jokowi slogan semacam itu tidak diperlukan karena yang penting adalah konsistensi pelaksanaan operasi bus angkutan kota sesuai system yang sudah ditetapkan. Spanduk, gambar dilukis di badan jalan juga tidak diperlukan karena yng diurus adalah manusia, maka manusia yang mempunyai akal budi itu menolak diatur oleh slogan atau anjuran; yang adalah barang mati. Anjuran: “berhenti di lampu merah harus di belakang garis putih” banyak disiarkan di stasiun radio maupun ditayangkan di televise tetapi dampaknya tidak tampak. Pelaku lalu lintas sudah tahu aturan itu, tidak ingin diingatkan oleh benda mati berupa tulisan atau gambar. Lain halnya kalau peringatan, anjuran atau larangan disampaikan oleh manusia, yaitu Polantas atau anggota Dishub. Awal pemerintahan Gubernur Jokowi, memang system masih berjalan dalam pola lama di mana kendaraan angkutan kota kebanyakan tidak mengambil penumpang yang menunggu di halte melainkan di tempat lain. Kalau supir ditanya mengapa tidak menaikkan penumpang dari halte, pasti akan dijawab penumpangnya menunggu di tempat lain, ya saya berhenti di sana tetapi kalau sebaliknya penumpang ditanya mengapa menunggu bus di luar halte, menjawab: tidak ada bus yang berhenti di halte pak. Siapa yang benar? Yang benar adalah bahwa tidak ada petugas Dishub yang mengawasi bus angkutan kota yang tidak disiplin itu. Menjadi tugas Gubernur Jokowi untuk mengatur penugasan pegawai-pegawai lapangan, terutama dari Dinas Perhubungan Darat. Program mendidik masyarakat untuk mematuhi aturan harus dijalankan, mungkin memelukan waktu yang cukup lama, sampai sepuluh tahun, sampai rakyat terbiasa dengan aturan itu dan tidak perlu diawasi lagi. Pada awal masa mendidik masyarakat supaya mematuhi aturan itu, harus dilakukan tindakan pegawasan yang ketat dan pemaksaan (untuk mematuhi aturan, bukan menghukum yang tidak terkait ketaatan atas system). Siapapun yang tidak mengikuti aturan harus dipaksa supaya patuh Dinas Perhubungan bertanggung jawab untuk memaksimalkan pelaksanaan aturan operasi bus kota agar sesuai desainnya. Selama ini pegawai Dishub yang beroperasi di jalan lebih banyak mengutip pungutan liar dari supir yang melanggar aturan, bukan untuk mengatur lalu lintas.. Memang tugas Gubernur DKI ini sangat berat karena melibatkan penambahan personil dalam jumlah besar, tetapi sesuai dengan tekad Gubernur Jokowi untuk membenahi Jakarta, tentunya pak Jokowi dan pak Basuki dapat mengerahkan ahli-ahli terkait untuk menyusun rancangan yang masuk akal, berapapun biaya yang harus disediakan untuk itu karena kalau pembenahan Jakarta berhasil, akan menjadi panutan bagi pemerintahan daerah lainnya di Indonesia. Ini merupakan pekerjaan besar yang harus dipersiapkan dengan matang supaya operasionalnya sungguh-sungguh mantap dan perlu dilakukan penambalan dan penyulaman. 4). Penanganan Masalah Banjir. Banjir besar di Jakarta pertama kali terjadi pada tahun 1996 sehingga waktu itu ada seorang warga kawasan elit Pulomas yang meninggalkan begitu saja rumahnya berikut mobil-mobil miliknya (warga Pulomas umumnya memiliki lebih dari satu rumah). Kemudian terjadi lagi banjir besar tahun 2002 dan tahun 2007 sehingga ada yang beranggapan Jakarta mempunyai tradisi banjir besar lima tahunan. Sesaat setelah banjir besar kedua tahun 2002 seorang warga Pulomas menulis surat ke harian Kompas untuk mengajak masyarakat mengeruk danau Ria-rio yang terletak di sebelah kanan pengadilan negeri Jakarta Timur. Mengejutkan bahwa ajakan manis itu tidak mendapat sambutan dari siapapun padahal diyakini bahwa warga yang tentunya adalah hartawan, diduga menyiapkan dana secukupnya untuk inisiatif mengeruk danau. Sudah banyak yang lupa bahwa danau Ria-rio sebenarnya adalah lubang galian untuk memperoleh tanah bagi pengurukan lahan bagi pembangunan jalan raya Jakarta Bypass. Penggalian dimulai tahun 1960 dengan kedalaman sampai setinggi pohon kelapa. Setelah danau terbentuk, sekaligus difungsikan sebagai tempat untuk parkir sementara kelebihan air dari sungai Sunter kalau sedang banjir. Untuk itu di belokan sungai pada ujung danau dipasang pompa besar untuk menyedot air sungai untuk dibuang ke danau. Kalau aliran air sungai sudah normal kembali, air pada danau disedot untuk dibuang kembali ke sungai. Penulis tidak mengetahui apakah pompa sedot-semprot besar itu msih ada di tempatnya ataukah sudah dipindahkan ke lokasi lain. Gubernur Jokowi telah menyuarakan niatnya untuk mengeruk sungai-sungai yang ada di Jakarta yang tentunya juga termasuk mengeruk danau (situ). Penulis tergerak lagi mengajukan pemikiran untuk mengeruk danau Ria-rio yang tahun 2002 dulu pernah saya tulis tetapi batal dikirimkan, begini: pengerukan menggunakan metode yang biasa dikerjakan menggunakan bucket dredger (kapal keruk timba). Untuk itu dapat digandeng siswa-siswa SMK (dulu STM) untuk membangun mesin bucket dredger yang ditempatkan di atas pontoon terbuat dari drum bekas supaya dapat dipindah-pindahkan di atas danau. Lumpur dan sampah yang ditangguk dalam ember, dialirkan melalui talang yang dibangun dari tengah danau (lokasi pengerukan) menuju ke tepi danau. Tepian danau untuk menampung hasil pengerukan dapat dibuat dengan menancapkan jajaran kayu-kayu dolken selebar 2-3 meter. Kayu dolken bekas banyak dijual di sekitar danau dan harganya cukup murah. Hasil kerukan danau tidak dibuang langsung keluar karena dapat menimbulkan pencemaran lingkungan Setelah beberapa bulan lumpur dan sampah dibiarkan di tepian danau dan menjadi kering, barulah ditawarkan kepada peminat yang memerlukan tanah urug secara gratis. Dengan mekanisme ini proyek dapat membuka pekerjaan dua kali dalam setahun, pertama saat pelaksanaan pengerukan dan yang kedua saat membuang hasil kerukan keluar karena sudah kering. Anak-anak muda yang belum pekerjaan diyakini akan senang mendapat pekerjaan itu yang hanya sedikit memerlukan tenaga fisik mencangkul tanah Memang pekerjaan normalilasi kantong-kantong air di Jakarta memerlukan waktu yang cukup, tidak dapat dikerjakan sekali gebrak selesai. Mungkin penormalan danau Ria-rio memerlukan waktu penyelesaian dua tahun tetapi setelah pekerjaan selesai dikerjakan dan air danau sudah normal kembali, dapat dijadikan sarana hiburan dan pariwisata air. Sekitar sepuluh tahun yang lalu memang terbetik berita tentang pengusaha yang berminat membuka bisnis pariwisata dan kuliner di danau Ria-rio tetapi mandeg begitu saja, mungkin karena pengusaha bingung bagaimana caranya menormalkan kembali permukaan air danau yang saat itu ketinggian air hanya sekitar sejengkal dari permukaan. 5). Mengatasi Kemacetan. Tidak banyak yang memperhatikan bahwa kemacetan lalu lintas di Jakarta bukan semata-mata karena jumlah kendaraan, terutama kendaraan pribadi jauh lebih banyak dibandingkan dengan panjang jalan yang tersedia. Banyak karakter-karakter lain yang terlibat, salah satunya adalah sifat sgois pengguna kendaraan pribadi. Kemacetan pada penggal-penggal jalan tertentu terjadi semata-mata karena pengguna mobil pribadi egoistis dan tidak peduli dengan pengguna jalan yang lain. Tengok saja jalan Pemuda yang pada jam pulang sekolah mobil-mobil pribadi parkir tiga sampai empat lajur yang tidak menyisakan ruang untuk dilintasi kendaraan lain, demikian juga jl. Senen Raya di depan sekolah favorit..Pada penggal jalan tersebut mobil-mobil pribadi pengantar-jemput anak sekolah parkir sampai tiga lapis yang memacetkan lalu lintas. Sekali dua kali memang Polantas atau Dishub melakukan razia tetapi setelah petugas meninggalkan lokasi, kemacetan terulang kembali. Pola penanganan kemacetan dengan mengadakan razia model lama itu sudah saatnya ditinggalkan, diganti dengan penerapan ketegasan mematuhi aturan lalu lintas, rambu-rambu dilarang parkir harus dipatuhi secara konsisten. Jaman sekarang supir mobil pribadi umumnya mengantongi telepon genggam, demikian juga murid sekolah sejak kelas II SD sudah menenteng-nenteng HP. Mengapa tidak memanfaatkan teknologi modern ini? Di satu sisi petugas Dishub dan atau Polantas menjalankan tugas mengawasi pelaksanaan pematuhan rambu larangan parkir. Supir yang mencoba-coba melanggar larangan parkir diusir dan dianjurkan mencari tempat lain yang tidak dilarang parkir. Kalau jam pelajaran selesai, murid atau ibunya menelpon supir supaya mengambil anaknya yang menunggu di depan gedung sekolah. Diharapkan Wakil Gubernur mengumpulkan pejabat-pejabat Dinas Perhubungan DKI Jakarta untuk membicarakan keperluan tenaga-tenaga lapangan untuk mengawasi pelaksanaan kepatuhan rambu-rambu dilarang parkir yang dipasang di penggal jalan di depan sekolah-sekolah favorit. Pada tahap awal petugas-petugas lapangan Dishub perlu dikawal anggota-anggota Brimob karena diperhitungkan bahwa pengawasan atas rambu dilarang parkir di depan sekolah-sekolah favorit itu akan mendapat perlawanan dari para juru parkir jalanan yang diganggu piring nasinya itu. Diharapkan pengawalan oleh Brimob ini tidak berlangsung terlalu lama dan kalau parkir di penggal jalan biang kemacetan itu sudah aman maka anggota Brimob dapat ditarik kembali. Supir-supir mobil pribadi pengantar-jemput anak sekolah juga diharapkan sudah menyesuaikan diri menempatkan parkir mobilnya di tempat jauh yang tidak dilarang parkir. Kalau parkir di penggal jalan pemicu kemacetan sudah dapat diamankan, langkah selanjutnya adalah menangani lokasi kemacetan dengan karakter lain yaitu lokasi-lokasi yang luas jalannya berubah sehingga menimbulkan bottle neck. Untuk mengatasi kemacetan seperti itu langkah penanganannya tentunya adalah dengan menempatkan petugas-petugas lapangan Dishub untuk mengatur lalu lintas. Jadi kesimpulannya adalah bahwa untuk mengatasi kemacetan di Jakarta, apapun karakternya, perlu penempatan tenaga-tenaga lapangan Dinas Perhubungan dan anggota polisi Lalu Lintas dalam jumlah yang cukup. Mudah-mudahan dalam pertemuan antara Wakil gubernur dengan pejabat-pejabat Dinas Perhubungan dapat menghasilkan kesimpulan tentang keperluan penambahan tenaga-tenaga lapangan agar pengawasan lapangan betul-betul berjalan sesuai kebutuhan nyata. Jangan mengulangi praktek yang selama ini terjadi dan sampai hari ini imbasnya masih kita rasakan. Tengoklah di terminal Pulogadung misalnya. Pada terminal sebesar itu tidak terlihat petugas lapangan Dishub. Kalaupun ada satu orang yang berdiri di tempat di mana mikrolet-mikrolet berputar balik, kegiatannya tidak lebih mengutip uang receh dari supir. Praktek seperti harus diakhiri.
Senin, 22 Oktober 2012
GUBERNUR JOKOWI BENAHI KEMACETAN Sangat melegakan langkah awal Gubernur KDKI Jakarta meninjau Terminal Kampung Melayu yang berujung pada tekad pak Gub meremajakan 4.200 Metro Mini, Kopaja dan bis-bis sedang lainnya yang memang sudah tidak layak jalan. Penulis artikel ini mencoba urun rembug dalam upaya pembenahan Sistem transportasi Jakarta, berdasarkan pengalaman penulis menggunakan transportasi kota Jakarta sejak awal tahun 1970-an sampai sekarang. Urun rembug ini penulis bagi dalam beberapa bagian, supaya lebih efisien. Sebagai pembicaraan awal dapat disampaikan bahwa mungkin tidak prtlu kesemua 4.200 unit bus kota ukuran sedang tersebut perlu diganti karena sampai “detik terakhir” saat ini, dari antara bus-bus kumuh yang sudah tidak layak jalan itu, ada juga satu dua unit bus Kopaja dan Kopami bahkan Metro Mini yang berpenampilan apik, perangkat control lengkap dan berfungsi baik bahkan dilengkapi televisi dan audio system, joknya pun empuk berlapis busa tebal. Rasanya bus-bus apik tersebut perlu tetap diijinkan beroperasi, setidaknya dalam jangka wamtu terbatas, walupun kendaraan tersebut sudah tergolong uzur. Dengan demikian dana yang harus disiapkan untuk peremajaan angkutan kota Jakarta dapat seikit dikurangi. 1). Eksistensi, Fungsi dan Kondisi Terminal Bus. Sejak awal dimulainya system transportasi kota Jakarta, tahun 1970 atau sebelumnya, sudah dicanangkan ditetapkannya kategorisasi terminal di Jakarta, yaitu: a. Terminal Antar Kota yang hanya boleh dikunjungi oleh bus AKAP (Antar Kota Antar Propinsi). Bus AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi) di Jakarta tidak ada karena Jakarta adalah propinsi kota, berbeda dari propinsi Jawa Barat misalnya, yang mempunyai banyak kota dalam propinsi itu. Terminal Bus Pulogadung, terminal Kalideres, terminal. Terminal untuk angkutan AKAP pada umumnya juga berfungsi sebagai terminal untuk angkutan kota tetapi terminal yang lain sebaiknya hanya ditetapkan sebagai terminal regional, hanya untuk angkutan kota. Dalam perkembanangannya banyak terminal bus berubah fungsi dan menjadi runyam, lihatlah sebagai contoh terminal Tanjung Priok yang sebenarnya didesain sebagai terminal untuk melayani kendaraan angkutan kota tetapi sejak sepuluh tahun yang lalu berubah fungsi menjadi terminal bus AKAP seiring dengan maraknya trayek bus AKAP (Merak – Tanjung Priok, Bandung – Tanjung Priok dan lain-lain). Bus-bus sedang angkutan kota, mikrolet dan angkot kecil telah tergusur keluar karena terminal sudah dipenuhi oleh bus-bus raksasa AKAP. Terminal bus Rawamangun juga bernasib sama, sudah tegusur oleh bus AKAP jurusan Sumatra Barat. Melihat perkembangan tersebut, diharapkan Gubernur Jokowi menetapkan kembali pengkategorian terminal-terminalbus di Jakarta, mana yang sebagai terminal untuk bus AKAP dan yang lainnya sebagai terminal untuk angkutan kota. Kalau sudah dtitetapkan demikian, tentunya Gubernur bersama dengan jajaran Dihub DKI harus mengamankan pelaksanaan fungsi tersebut tanpa kemungkinan perubahan fungsi sampai kapanpun, sampai Gubernur Jokowi – Ahok sudah tidak lagi menjabat Gubernur. Disadari bahwa keputusan tersebut akan mendapat tentangan dai pengusaha bus dan awak bus yang mengkritik bahwa Gubernur tidak berpihak kepada rakyat kecil yang mati-matian berjuang menekan biaya angkutan. Orang bepergian dari Bandung ke Tanjung Priok, kalau harus turun di terminal Kampung Rambutan kan harus menambah biaya untuk berganti ke angkutan kota, begitu mungkin sanggahan mereka. Orang-orang yang bersikap demikian itu, tentulah bersikap egoistis dan tidak perduli dengang mekanisme penataan angkutan yang tertib padahal mereka tidak dapat menjamin bahwa penumpang bus dari Bandung misalnya, semua bertujuan Tanjung Priok karena banyak juga yang tujuan akhirnya adalah Rawamangun, Kali Malang dan lain-lain dan hal itu akan menimbulkan timbulnya terminal bayangan. Apakah ini yamg harus diputuskan oleh Gubernur DKI. Menyangkut kondisi terminal, mungkin ada baiknya Gubernur Jokowi meyambangi terminal Senen di mana mungkin pak Gub masih sempat melihat pemandangan yang mengenaskan yaitu: setiap supir angkot menghentikan mobilnya di dalam terminal, langsung membuka pintu mobilnya dan (maaf), currr, membuang hajat kecil. Penulis tidak dapat menyalahkan kelakuan sopir yang tidak pantas itu karena sebagai supir, mereka satu hari mungkin harus B.A.K. lebih dari sepuluh kali, padahal setiap kali masuk ke kamar kecil di terminal yang kondisinya sangat tidak layak, harus membayar Rp.1.000.- Maka disarankan agar di setiap terminal dapat dibangun minimal dua unit kamar kecil yang kondisinya baik dan bebas bayar. Bukankah setiap bus masuk terminal terkena retribusi, wajar dong kalau ahli-ahli akuntansi Pemprov DKI dapat menyusun suatu system akuntansi yang dapat mengatur pembagian dana-dana untuk penyelenggaraan terminal, di luar dana yang dihimpun dari retribusi terminal yang harus disetorkan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB). Selain menyaksikan ulah supir angkot yang tidak terpuji itu, pak Jokowi juga mungkin masih sempat menyaksikan pemandangan yang tidak kurang memprihatinkan, di mana “satu juta” mikrolet, Kopami, Kopaja dan entah apa lagi termasuk bus kota AC antree kosong sampai memenuhi areal terminal, satu kendaraan hanya berjarak sejengkal dari kendaraan di depan di belakangnya. Kendaraan yang ada pada antrian terdepan tidak akan berangkat meninggalkan terminal sebelum penumpangnya penuh, itulah “hokum” yang berlaku. Kelakuan supir angkutan seperti ini memang tidak hanya terjadi di terminal Senen melainkan di terminal manapun di seputar Jakarta. Sistem operasi seperti ini tentunya sudah menjadi pemikiran Gunermur Jokowi, mungkin realsisasinya menunggu saat yang tepat. Menyangkut system operasi angkutan kota seperti itu, sudah sejak lama penulis berkeyakinan – walaupun tidak permah menghitungnya – bahwa sebenarnya jumlah armada angkutan kota di Jakarta jauh melebihi kebutuhannya. Masyarakat merasa jumlah bus tidak cukup karena bus hanya keluar meninggalkan terminal kalau sudah penuh padahal seharusnya ada system keberangkat kendaraan angkutan kota. Maksudnya: jenis angkot kecil bolen “ngetem” berapa menit, jenis mikrolet berapa menit, bu sedang berapa menit dan bus besar berapa menit, tidak seperti selama ini di mana setiap kendaraan angkutan kota “ngetem” semaunya saja, kalau belum penuh belum mau berangkat. Memang sekali dua kali ada petugas Dishub yang berinisiatif “mengsir” keluar kendaraan yang terlalu lama menunguu penumpng tetapi biasanya leneknya turun menyelipan sekeping uang Rp.500.- atau Rp.1.000.- dan mobil boleh menambah masa “ngetem”=nya. 2). Penataan Pola Trayek. Sejak awal dimulainya system angkutan kota di Jakarta, yang bertepatan dengan mulai beroperasinya assembling mobil-mobil di Indonesia (Jakarta) tahun 1970, kita menyaksikan bahwa pola trayek angkutan kota di Jakarta banyak ditentukan oleh pabrik-pabrik pembuat mobil sedangkan peranan Gubernur DKI dan Dishub tidak seberapa. Kalau pengusaha mobil berencana menjual bus sedang sekian unit, mereka merencanakan pembukaan trayek dari titik tertentu ke titik lainnya dan Dishub “didorong” menyetujui alokasi pengoperasian bus pada trayek itu. Pembukaan trayek-trayek angkutan kota di Jakarta tidak didasarkan pada studi keperluan angkutan pada titik-titik perjalanan penumpang melainkan pada pertimbangan penjualan mobil. Pada awal pengoperasian system angkutan kota di Jakarta, awal tahun 1970 banyak sekali pola-pola trayek yang tidak masuk akal, contohnya: Trayek Metro Mini 01 (Senen – Cempaka Putih), dari Cempaka Putih efektif panjangnya hanya satu kilometer karena begitu keluar dari kawasan Cempaka Putih masuk ke Jl. Ahmad Yani, ketemu dengan semua jenis angkutan kota yang menuju terminal Senen. Juga trayek 05 Senen – Rawasari di mana kedua trayek Metro Mini tersebut panjangnya hanya 5 kilometer dengan penumpang tidak sampai 10 orang setiap kali berjalan. Entah bagaimana pemilik bus tersebut membiayai operasinya. Trayek 15 Senen – Setia Budi, Metro Mini pada awalnya cukup realistis karena keluar dari kawasan Setiabudi bisa langsung belok kanan masuk ke Jl. Sudirman, juga saat kendaraan harus belok kiri dan berputar di Jembatan Semanggi supir dan penumpang tidak keberatan tetapi Metro Mini tidak dibenarkan berputar di situ melainkan harus berputar dip erempatan “tong bocor” tidak ada penumpang yang naik sehingga Metro Mini Trayek 15 mati dengan sendirinya. Pengusaha (baca: sopir) menyiasati situasi itu dengan memindahkan kendaraannya untuk beroperasi pada trayek lainnya. Di sisi lain, di luar trayek-trayek super pendek yang tidak masuk akal, ada juga trayek lain yang panjangnya luar biasa, tetapi diberikan kepada bus sedang Kopaja atau Kopami. diberikan kepada Kopaja atau Kowanbisata untuk mobil sedang. Mengenai trayek luar biasa panjang ini, mungkin bukan penjual mobil yang berpera menentukannya melainkan pengusaha bus yang piawai mngendus trayek gemuk. Lihatlah Kopaja 20 jurusan Senen – Lebak Bulus, juga Kopaja 86 Lebak Bulus Jakarta Kota. Trayek-trayek ini luar biasa panjangnya, luar biasa gemuk dan di sepanjang trayek banyak penumpang turun dan naik dalam jarak pendek-pendek sehingga banyak bus lain, termasuk bus besar AC, ikutan mengambil trayek gemuk tersebut tetapi tentu saja tidak berani mengambil jalur yang sama presis dengan jalur perjalanan Kopaja melainkan dimodifikasi sedikit guna mencegah bentrok dengan awak Kopaja. Demikian juga Kowanbisata yang mengoperasi bus sedang, mengambil trayek Pulo Gadung – Leuwiliang dan Pulo Gadung – Lebak Bulus. Untuk mencegah trayek gemuk ini ditiru oleh perusahaan bus lain, Kowanbisata mengoperssikan juga bus besar selain bus sedang. Memang hanya satu dua bis yang penuh kenyamanan ini walupun tanpa AC, tetapi yang pasti bis serba nyaman itu ada saat Gubernur Jokowi mencanangkan niatnya membenahi system angkutan kota khususnya dari jenis bis sedang. Yang tentunya dilaksanakan secara betahap sesuai ketersediaan anggaran yang ada, lebih khusus lagi dengan menggunakan sisa anggaran tahun 2012 yang belum dipakai. Sejalan dengan pemikiran itu maka penulis artikel ini menyarankan agae pak Jokowi pertama-tama menginventarisir dulu bisi-bis sedang yang sangat layak jalan tersebut, dikumpulkan berapa unitkah bis-bis nyaman tersebut dapat terkumpul untuk selanjutnya diberi hak beroperasi selama jangka waktu tertentu misalnya lima tahun.