Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Rabu, 23 Maret 2011

CHEIL JEDANG

Judul di atas merupakan kutipan nama perusahaan Korea (Selatan) di Jakarta yang berkantor di Menara Jamsostek jl Gatot Subroto, lantai 21. Perusahaan ini bergerak di bidang produksi pakan ternak yang diekspor antara lain ke Korea.
Pada tanggal 12 Pebruari 2011 blogger, penulis artikel ini, diberi kesempatan memberikan inhouse training kepada 24 orang karyawan lokal perusahaan tersebut, dalam materi ekspor terpadu. Penulis senang sekali dengan tugas itu karena menurut saya, ketrampilan mengerjakan transaksi ekspor tidak berdiri sendiri melainkan selalu terkait dengan beberapa ketrampilan lain dalam bidang bisnis seperti prosedur letter of credit (L/C), pengapalan barang ekspor, juga perasuransian dan masih ada lagi.
Seperti dapat dilihat pada profile blogger, saya telah menjalani pengalaman praktek dalam bidang-bidang yang terkait itu selama beberapa puluh tahun dan sampai saat ini, puji Tuhan, saya masih diberi kekuatan fisik dan mental untuk membagikan ilmu dan ketrampilan itu kepada anak didik di lembaga pendidikan formal tertentu. Dan juga mengerjakan hal yang sama bagi peminat lainnya.
Nama Cheil Jedang, dalam bahasa Korea, menurut manajer perusahaan berarti “gula manis”; karyawan dan eksekutif perusahaan tersebut, menurut pengamatan penulis, bekerja dengan tekun dan penuh kedisiplinan. Saat berbicara dengan manajer, bapak Drs. Harry Dwi Laksono, dalam persiapan diklat, penulis sempat menyampaikan keluhan bahwa pada diklat serupa yang penulis berikan kepada perusahaan Taiwan dan juga perusahaan yang berbasis di Perancis, pelaksanaannya kurang berjalan efektif karena sebentar-sebentar ada HP berdering lalu peserta diklat pamit keluar sebentar untuk menjawab telpon. Ada juga panggilan telepon yang dijawab di tempat, sehingga diklat banyak terganggu oleh kesibukan staf dan eksekutif sendiri, peserta diklat. Saat itu saya tidak mempunyai kesempatan mengantisipasi kemungkinan terjadinya gangguan pada proses diklat karena hanya menjalankan tugas yang jadwalnya sudah disusun oleh lembaga penyelenggara diklat.
Maka dalam pembicaraan dengan pak Harry menjelang pelaksanaan diklat, kuusulkan agar semua peserta diklat harus menyetel HPnya pada fitur silence dan hanya satu dua orang tertentu saja diijinkan menjawab panggilan telpon. Usul saya disetujui dan dalam pelaksanaan diklat tidak ada yang mengangkat telpon kecuali menjelang jam 15,00 untuk mendengarkan azan Asar.
Salah seorang peserta diklat menanyakan tentang syarat CFR plus FO, yang dirasakan membingungkan. Dalam syarat harga dan penyerahan barang sesuai ketentuan Incoterms banyak digunakan kondisi CFR, disebut juga C&F (Cost and Freight) yang menetapkan bahwa penjual (eksportir)menanggung biaya-biaya sampai barang dibongkar dari kapal pengangkutnya di pelabuhan tujuan. Biaya pembongkaran barang (muatan kapal) termasuk jenis biaya yang ditanggung oleh eksportir. Biasanya barang ekspor yang dijual dengan kondisi harga CFR diangkut menggunakan kapal liner service yang menetapkan bahwa penanganan barang dikerjakan oleh pihak kapal (pengangkut).
Di sisi lain syarat FO (Free out) merupakan bentuk persyaratan dalam pengangkutan berdasarkan voyage charter. Dalam pengangkutan melalui laut memang sering diterapkan kombinasi syarat penanganan barang (handling of goods/cargo) antara lain syarat “liner in, free out” disingkat “LIFO” yang menetapkan bahwa di pelabuhan pemuatan berlaku syarat “liner service” yang berarti kegiatan pemuatan menjadi tanggung jawab pengangkut tetapi di pelabuhan tujuan berlaku syarat “free out” yaitu pengangkut tidak bertanggung jawab atas pekerjaan pembongkaran barang dari kapal (harus dibaca: pembongkaran dikerjakan oleh pemilik barang).
Kombinasi syarat CFR/FO dalam banyak hal disebabkan pengangkut, operator kapal tidak mengetahui tentang pelabuhan di mana barang harus dibongkar dari kapal, oleh karena itu eksportir memilih untuk tidak menyetujui penutupan persetujuan dengan kondisi CFR “yang biasa” karena kalau nanti ternyata kapal yang mengangkut barang ekspor itu tidak dapat melakukan pemongkaran di pelabuhan tujuan, urusan menjadi rumit dan semua pihak tidak dapat menemukan solusi untuk mengatasi kemacetan dalam pembongkaran barang.
Bagi ekspor ke Indonesia hal semacam itu tidak aneh sebab banyak barang yang diekspor ke Indonesia harus dibongkar di tempat terpencil di Indonesia timur yang tidak dikenal oleh eksportirnya di sana. Bahkan si importirnya sendiri, yang berdomisili di Indonesia, mungkin juga tidak mengenal situasi di tempat itu. Dengan menyepakati kondisi CFR/FO, eksportir dengan tegas meletakkan penyelesaian kesulitan pembongkaran barang ke tangan importir.
Pertanyaan lain yang diajukan dalam sesi adalah: apa dasarnya perusahaan fregiht forwarder (FF) dapat menerbitkan bill of lading sendiri sedangkan FF bukan perusahaan pelayaran, saya jelaskan begini: perkembangan bidang usaha FF signifikan pada dasawrsa tujuhpuluhan (di negara-negara maju, sedangkan di Indonesia FF mulai masuk awal tahun 1973, itupun masih sebatas EMKL plus). FF menawarkan jasa untuk mengerjakan segala jenis kegiatan yang seharusnya dikerjakan oleh eksportir dan importir mulai dari mengajukan permohon ijin, pengepakan, persiapan pengapalan barang termasuk membuka Letter of Credit (L/C) pada bank devisa dan seterusnya, semua bisa dilayani kalau eksportir merasa tidak perlu (atau tidak dapat) mengerjakannya sendiri. Demikian juga dari sisi importir sebagai penerima barang yang ditransaksikan.
Pada dasawarsa tujuh-puluhan itu house bill of lading yang diterbitkan olej FF ditolak dalam prosedur negosiasi dokumen pada bank devisa (di Indonesia) yang menangani penyaluran L/C karena dalam L/C yang dipegang oleh pejabat bank, jels-jelas disebutkan importir minta ocean bill of lading sementara house b/l tidak diterbitkan oleh perusahan pelayaran sehingga tidak diakui sebagai ocean B/L. Namun tidak lama sesudah itu sistem dan mekanisme perdagangan ekspor-impor dapat menerima hose B/L sebagai kelengkapan negosiasi dokumen pada negotiating bank sehingga sudah tidak ada masalah lagi apakah ekspor dilengkapi ocean B/L, Combined-transport B/L ataukah house B/L.
Perkembangan masih berlanjut, FF yang menjalankan kegiatan shipment transformation (lihat artikel terkait dalam blog ini) dalam jumlah besar sehingga dapat mengapalkan secara FCL shipment minimal satu slot kapal peti kemas, dapat menutup persetujuan slot charter dengan pemilik atau opeator kapal itu. Dengan sendirinya biaya angkutan yang harus dibayar oleh FF untuk sekian banyak peti kemas FCL itu (jauh) lebih murah jika dibandingkan dengan membayar freight berdasarkan box rate yang juga murah. Dalam kasus itu, FF diakui sebagai NVOCC (Non-vessel-operating Common Carrier atau perusahaan pengangkutan umum yang tidak mengoperasikan kapal), maka boleh menerbitkan B/L menggunakan formulirnya sendiri walaupun perusahaan itu tidak mengoperasikan kapal.
Inilah segi positif dari “sepak terjang” FF yang diakui sebagai “arsitek pengangkutan” yang mampu menekan biaya pengangkutan melalui laut tanpa melanggar peraturan, tanpa melanggar prosedur yang berlaku. Tidak mengherankan kalau banyak perusahaan ekspor menyukai tawaran jasa freight forwarder yang banyak memberikan pelayanan penanganan barang ekspor free of charge dari margin yang diperoleh dari selisih biaya angkutan muatan peti kemas.
Rabu, 02 Maret 2011

SEMINAR CABOTAGE

Hari Jumat, 25 Pebruari 2011 Corps Alumni Akademi Ilmu Pelayaran (CAAIP), di kampus STIP Marunda mengadakan seminar sehari mengenai implementasi azas cabotage” bertajuk “Dari Kampus Membangun Dunia Maritim”.
Seorang peserta seminar, tampaknya dari kalangan non-shipping business namun menaruh minat dalam masalah cabotage, bertanya kepada blogger: apa Indonesia sudah siap pak menjalankan kebijakan cabotage; saya dengar untuk dapat menjalankan rezim cabotage dengan benar, negara harus memiliki kekuatan armada niaga yang besar sementara kepemilikan armada niaga Indonesia begitu minim tidak sebanding dengan besarnya negara maritim Indonesia
Sebelum menjawab pertanyaan itu, blogger balik bertanya dengan terlebih dahulu menyebutkan bahwa beberapa negara tidak menjalankan kebijakan cabotage melainkan memilih menjadi negara free entry, lebih dikenal sebagai kebijakan free of convenience, FOC (bendera kemudahan).
Bapak hafal ketigabelas negara FOC, kebijakan “menyewakan” bendera nasionalnya; saya melanjutkan: waktu saya kuliah empatpuluh tahun yang lalu, dosen saya gemar menyebutkan tentang PANLIHCO, Panama, Liberia, Honduras dan COsta Rica, empat sekawan negara maritim yang secara tradisional nenerapkan keijakan menyewakan bendera nasional kepada siapa saja yang berminat. Sekarang “anggota FOC” telah meningkat menjadi 13 negara, mayoritas adalah negara pulau nan kecil mungil yang tidak mempunyai sumber daya alam (karena itu getol menyewakan benderanya sebagai sumber pendapatan)
Mengapa pak dosen itu juga menyebutkan tentang penyewaan bendera sebab pada negara maritim cabotage, pemberian izin bagi kapal untuk mengibarkan bendera nasional berarti bahwa kapal itu diakui sebagai waganegaranya, berarti bahwa kalau kapal tersebut mengalami ancaman dan atau serangan dari negara asing maka negara yang bendera nasionalnya dikibarkan oleh kapal itu akan memberikan pembelaan yang diperlukan.
Sama seperti pembelaan terhadap warganegara Indonesia yang mendapat ancaman di Mesir dan negara Afrika lain dewasa ini, orang Indonesia yang berada di kapal berbendera merah putih juga mendapat pembelaan dari Pemerintah Indonesia, jika diserang di negara lain.
Tidak demikian halnya dengan kapal yang tidak terdaftar pada negara cabotage. Negara FOC, yang bendera nasionalnya dipinjam-kibarkan oleh entah kapal milik siapa, tidak merasa perlu membela awak kapal (dan penumpang) yang ada di kapal itu, yang entah warga negara mana. Wong pengibaran bendera nasionalnya hanya atas dasar sewa kok. Kibarkan, bayar sewa sekian dollar per tahun dan kalau masa persewaan habis, bayar lagi tanpa peduli kapalnya sudah keropos, mesinnya berjalan endut-endutan atau lainnya, kinerja substandar. Kalau diserang di negara asing, uruslah sendiri
Pihak yang mendorong Pemerintah Indonesia beralih ke regime FOC, mempunyai misi supaya negara Indonesia bersikap cuek terhadap kapal dan isinya, yang mengibarkan benera merah putih. Saya sungguh tidak rela terhadap sikap mau enaknya sendiri saja seperti itu.
Lebih lanjut, menyangkut negara FOC yang ada saat ini, lihatlah bahwa negara-negara itu sebagian besar adalah negara gurem tanpa sumber daya alam, jadi dapat dipahami kalau pengelola negara itu mencari sumber apa saja yang ada, termasuk (atau: terutama?) menyewakan bendera nasional. Relakah kita sebagai bangsa bahari, tanpa mau membina usaha kemaritiman, mempersamakan diri dengan negara gurem tanpa sumber daya alam itu? Bahwa saat ini situasi negara masih memprihatinkan, itu menjadi tanggung jawab kita untuk memperbaikinya dengan segala daya upaya, bukannya lari mencari cara enak: mengutip “uang bendera’ recehan yang toh tidak cukup untuk APBN sebuah propinsi.
Kalau ada pengusaha nasional, yang “ngotot” memperjuangkan agar Indonesia menerapkan sistem FOC, menjadi tugas KADIN Indonesia dan INSA untuk menyadarkannya, bahwa berwiraswasta bukan sekedar “cari makan” tetapi menyangkut juga ide-ide yang lebih luhur.
Blogger ingin menyampaikan ilustrasi lain tentang situasi memprihatinkan yang memerlukan pembenahan, yang menjadi tanggung semua warga negara Indonesia. Ada seorang profesor doktor Indonesia yang saat break, mendapat pinjaman buku dalam suatu seminar yang diikutinya. di Singapore. Buku yang tidak ditemukannya di Jakarta itu, seketika dibawanya ke kios fotocopy terdekat untuk disalin (reproduksi). Penjaga kios yang adalah pemilik, dengan takzim menolak memfotocopy buku itu semuanya, dengan alasan pegawainya sedang sibuk semua. Diminta supaya buku ditinggal saja dan hasil kopian diantarkan besok siang (alasan sebenarnya: dia akan terlebih dahulu meminta ijin repeoduksi dari pihak/instansi terkait).
Dengan pongah pak profesor menukas: malam nanti saya harus kembali ke Jakarta, bagaimana bisa menunggu anda mengantarkan ke tempat seminar? Sudah, tak fotocopy sendiri saja! Tetap dengan takzim pemilik kios menyahut. “Ya monggo kalau gitu”. Baru beberapa belas halaman buku difotocopy, datang seseorang yang menanyakan siapa yang memberi ijin anda memfotocopy buku itu. Pak profesor menyorongkan mukanya ke arah pemilik kios sebagai jawaban atas pertanyaan itu, tanpa melepaskan tangannya dari mesin fotocopy. Yang ditunjuk segera menyangkal: “Maaf, kami tidak memberikan ijin memfotocopy, kami menyewakan mesin fotocopy.
Singkat cerita, “pendatang baru” yang ternyata pegawai Jawatan Pajak itu mengambil solusi dengan menagih royalty pengarang, laba penerbit, pajak dan denda, lalu menuliskan nominal yang harus dibayar. Merasa terpojok, pak profesor merogoh koceknya untuk membayar tagihan itu dan setelah petugas pajak beranjak dari kios mengantongi hasil tagihan, “tidak lupa” profesor nyeletuk. “Ala, paling uangnya dikantongi sendiri”.Pemilik kios yang mendengar celetukan itu tersenyum saja sambil mengangkat bahunya tanpa berkata-kata (tetapi pasti dia membatin: “Itu kan di negara anda prof, di sini mah kagak gitu”.
Sementara itu pengusaha yang mendorong supaya sistem FOC diterapkan Indonesia, partinya tidak memikirkan bagaimana membenahi amburadulnya administrasi negara seperti yang digambarkan dalam cerita kasus fotocopy buku di atas itu.
Bahwa wiraswastawan, pengusaha harus mendapat laba dari entreprise yang dijalankannya, itu tentunya merupakan suatu keniscayaan, namun orientasi laba semata-mata tanpa memperdulikan pembinaan negara patut disesalkan. Negara maritim besar yang memiliki sumber daya alam sangat banyak, Indonesia, tidak patut kalau harus menyewakan bendera nasionalnya demi mengejar recehan registration fee kapal-kapal yang diijinkan mengibarkan benderanya melalui kebijakan FOC.
Penulis pernah mnyajikan artikel dalam blog ini, bahwa negara maritim maju telah membina industri maritimnya sejak akhir dasawarsa enampuluhan, dengan hasil bahwa kapal baru, berapapun tonasenya dapat diserahkan kepada pemesan pada awal bulan ketujuh sejak kontrak pemesanan ditandatangani semenatara di Indonesia prosedur itu membutuhkan waktu dua kali lebih lama. Ini yang harus segera dibenahi karena kalau masa pembangunan kapal seperitu itu “dilestarikan”, Indonesia tetap tidak akan menjadi negara maritim yang benar. Cost of money untuk kapal yang dibangun di galangan Indonesia (minimal) dua kali lebih mahal bung, bagaimana mau membangun kapal dengan harga bersaing?
Di sisi lain pembinaan armada niaga nasional sesuai amanah regime cabotage juga terganjal oleh ketentuan hukum positif, Kitab Undang-undang Hukum Perdagangan yang menetapkan bahwa “kapal Indonesia” adalah kapal yang 2/3 bagian modalnya dimiliki oleh warga negara Indonesia. Inilah hambatan paling mematikan karena di satu sisi pengusaha nasional Indonesia masih minim dalam permodalan tetapi di sisi lain untuk dapat menjadi pemilik kapal Indonesia harus menyediakan dana sendiri (equity capital) 67% dari harga kapal.
Mengapa tidak ada ahli hukum, pengacara yang berinisiatif untuk mengadvokati revisi atas ketentuan itu, dengan mendorong DPR supaya mengubah pasal undang-undang yang mematikan itu? Kalau misalnya besaran 67% itu dapat diturunkan menjadi 10%, mungkin banyak pengusaha pelayaran Indonesia yang berlomba-lomba membeli kapal untuk didaftarkan di negara sendiri.