Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Jumat, 24 September 2010

MARINE INSURANCE TANPA POLIS, BAGAIMANA ITU?

Prosedural penutupan persetujuan asuransi menetapkan bahwa persetujuan asuransi (asuransi apapun) harus dibuktikan dengan adanya surat perjanjian asuransi yang lazim disebut “polis asuransi” (insurance policy). Bahasa populernya sering diucapkan sebagai “tiada polis, tidak ada asuransi” atau “no policy, no insurance”.
Satu hal dalam semboyan ini yang perlu disimak adalah bahwa penerbitan polis, sebagai suatu surat perjanjian, produk hukum, memakan waktu lama yaitu satu minggui. Memang perusahaan asuransi umumnya sudah menyiapkan cetakan polis asuransi (blanko polis asuransi) dengan format standard tetapi jangan dilupakan bahwa pengisian substansi asuransi yang penting ke dalam polis yang akan diterbitkan untuk setiap persetujuan asuransi yang akan ditandatangani bersama antara tertanggung (the insured) dengan penanggung (the insurer) harus akurat dan untuk itu formulir polis tetap harus dibaca dengan teliti sebelum substansi dimasukkan dan untuk itu biasanya juga diperlukan membaca pokok-pokok persetujuan standard yang ada (sesuai ketentuan hukum positif dan sesuai pula dengan kebijakan dasar penanggung.
Jadi prosedur standard penerbitan polis yang memakan waktu satu minggu memang sudah wajar walaupun mungkin bisa ditekan menjadi tiga hari kerja, namun waktu tiga hari kerja itupun tetap lama kalau diingat bahwa aplikasi penutupan asuransi dimaukkan pagi hari ini dan kapal yang mengangkut barang yang (akan) diasuransikan itu berangkat sore nanti (pada hari yang sama). Kalau kapal sudah berangkat dan polis asuransi belum terbit, itu berarti muatan tertentu berangkat dalam proses pengangkutan laut tanpa dilindungi oleh asuransi.
Untuk menghindarkan terjadinya hal itu maka, sambil menunggu polis disiapkan, penanggung dapat menerbitkan “Cover Note” yang boleh kita sebut sebagai polis sementara, sekaligus polis ringkas karena hanya mencantumkan pokok-pokok persetujuan (substansi asuransi) sedangkan kalimat-kalimat bersandarkan hukum positif dan pokok kebijakan perusahaan asuransi, tidak disertakan. Dengan demikian cover note dapat disiapkan dalam waktu sepuluh menit sehingga pegawai importir yang mengajukan aplikasi penutupan asuransi dapat menunggunya.
Karena cover note merupakan polis sementara maka kalau polis sudah terbit dan sudah diserahkan kepada tertanggung, cover note batal demi hukum dan boleh diabaikan. Dalam praktek: disimpan dalam arsip transaksi impor yang bersangkutan.
Dari pembahasan di atas dapat dilihat bahwa belum siapnya polis diatasi dengan penerbitan cover note sehingga importir tidak merasa ragu menunggu kedatangan barang impornya yang sudah dalam proses berlayar karena pengangkutan barang tersebut dilindungi asuransi. Tetapi ada juga situasi di mana pengangkutan barang tidak dilindungi polis, tidak juga cover note, yaitu kalau jarak antara pelabuhan ekspor dengan pelabuhan impor barang terlalu dekat dan masa layar hanya memakan waktu (kurang dari) dua hari, misalnya ekspor dari Singapore ke Tanjung Priok.
Kalau pengapalan barang ekspor dari Singapore terjadi pada hari Sabtu, berkemungkinan barang tersebut tidak dilindungi asuransi kalau kapal yang mengangkut barang itu bertolak dari Singapore Sabtu sore hari dan kapal sudah tiba di Tanjung Priok hari Senin berikutnya, pagi-pagi sebelum kantor buka (atau Minggu tengah malam). Pada hari Sabtu kantor tutup tetapi pegawai operasional tetap bekerja namun hanya sampai jam duabelas, jadi tetap tidak dapat menerbitkan cover note walaupun penerbitan polis dapat ditunda.
Bagaimana mengatasi kemungkinan terjadinya pengangkutan barang impor yang tidak dilindungi asuransi seperti itu?
Dalam artikel yang blogger terbitkan kemarin, disarankan agar “frequent importer” memilih jenis penutupan “warehouse to warehouse cover”, untuk menghindarkan tidak terasuransikannya satu atau lebih dari satu shipment karena pegawai importir belum mengajukan “deklarasi asuransi” (insurance application letter).
Maka penulis juga menganjurkan agar “frequent importer” mengadakan kesepakatan dengan perusahaan asuransi langganannya untuk membuka “polis induk” berupa “Open Cover” atau “Open Policy”, dalam jenis polis induk mana disepakati tentang pokok-pokok persetujuan asuransi yang berlaku dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun) ke depan atau persetujuan tanpa batas waktu tetapi sampai penutupan mencapai jumlah tertentu misalnya kalau jumlah penutupan sudah mencapai USD.1.000.000.- maka Open Cover otomatis berakhir tetapi dapat diperpanjang secara otomatis pula (atau dengan kesepakatan baru).
Dengan adanya polis induk tersebut maka pengasuransian atas barang impor yang pengangkutannya berlangsung dalam waktu pendek seperti yang diulas di atas, tidak menjadi masalah karena polis dapat diterbitkan kapan saja, juga setelah barang tiba di gudang importir dan sudah habis diolah menjadi barang lain. Juga claim kepada underwriter, bila barang rusak atau hilang, dapat dilakukan kapan saja karena kalau kerugian terjadi saat polisnya belum ada maka claim dapat ditunda, yang penting kelengkapan administratif bagi pengajuan claim itu sudah disiapkan, seperti Survey Report.
Mekanisme ini juga menguntungkan bagi underwriter karena tertanggung bisa menyampaikan deklarasi asuransi misalnya sebulan sekali pada akhir bulan, juga penagihan premi asuransi dapat dilakukan sebulan sekali (atau tiga bulan sekali) sehingga pekerjaan menjadi lebih ringan.
Namun praktek tersebut membuka peluang bagi kecurangan di pihak tertanggung, yaitu hanya mengajukan aplikasi penutupan asuransi bagi transaksi kecil-kecil dan yang terkena risiko sementara untuk transaksi bernilai besar yang barangnya tiba dengan selamat di gudang, tidak diajukan aplikasi.
Untuk menangkal praktek nakal seperti itu, penanggung yang bonafide tentunya sudah mempunyai resepnya yang cespleng, antara lain dengan membangun kerjasama dengan perusahaan pelayaran yang diketahui menjadi langganan importir dalam pengapalan barang-barangnya dari seluruh dunia.
Dengan meminta cargo manifest dari perusahaan pelayaran tersebut, penanggung dapat mengetahui apakah importir pelanggannya itu melakukan malapraktik atau tidak dan kalau ditemukan indikasi tidak mengajukan aplikasi atas shipment besar (yang dia ketahui juga telah tiba dengan selamat) kecurangan itu dapat diungkap melalui sindiran bahwa tertanggung kelupaan mengajukan aplikasi atas shipment dengan Bill of Lading tertentu, sambil dia membuka manifest untuk menunjukkan shipment bernilai besar yang aplikasi asuransinya “kelupaan diajukan” itu.
Bisnis asuransi adalah bisnis kepercayaan, maka semua pihak seyogyanya menerapkan prinsip kepercayaan itu.

MARINE INSURANCE COVER

Pada umumnya negara-negara di dunia mewajibkan pebisnis mengasuransikan barang dagangan mereka yang berada dalam proses pengangkutan, baik pengangkutan melalui laut, udara maupun angkutan darat. Dalam blog ini penulis akan menyoroti pengasuransian barang yang diangkut dengan angkutan laut, sesuai domain blog yaitu Konsultan Maritim.
Meskipun demikian angkutan udara juga dapat masuk dalam bisnis Asuransi Maritim (dulu disebut Asuransi Laut) karena dalam banyak hal muatan pesawat udara, air cargo, pengasuransiannya juga menggunakan prinsip-prinsip asuransi atas barang yang diangkut dengan angkutan laut.
Kewajiban mengasuransikan barang ekspor-impor yang sedang berada dalam proses pengangkutan itu merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam menjaga kepentingan para pebisnis. Kongkritnya: kalau pengusaha menderita kerugian karena barang ekspor impornya hilang atau rusak karena bencana laut atau bencana di laut (perils of the sea atau perils on the sea), usahanya tidak perlu ambruk karena modalnya habis berhubung barangnya hilang/rusak melainkan hanya terganggu “sesaat” yaitu selama proses pengurusan ganti rugi dari penanggung (underwriter, perusahaan asuransi) yang telah mengambil alih risiko dalam pengangkutan barang di laut tersebut.
Importir atau eksportir yang mengasuransikan barangnya dapat memilih dari sekian banyak jenis risiko asuransi yang dirasakan pas untuk melindungi kepentingannya atas barang yang sedang dalam pengangkutan itu. Apakah dia akan memilih asuransi all risks including warrisk ataukah risiko total loss only, diputuskan setelah mempertimbangkan berbagai aspek.
Demikian juga apakah dia memilih penutupan “sejak awal sampai akhir” (dikenal sebagai penutupan warehouse to warehouse cover) ataukah jaminan dimulai sejak kapal berangkat dari pelabuhan pemuatan dan berakhir setelah barang yang diangkut itu dibongkar dari kapal tersebut di pelabuhan tujuan ( dikenal sebagai risiko waterborne clause) diputuskan berdasarkan berbagai aspek seperti jenis barang, probabilitas barang menderita kerusakan atau kehilangan dan lain-lain.
Pebisnis yang banyak kali melakukan transaksi impor-ekspor tidak dianjurkan memilih penutupan waterborne clause karena dikhawatirkan dia tidak mempunyai cukup waktu untuk melakukan penutupan asuransi atas satu transaksi dan transaksi lainnya. Bagi frequent importer seperti itu lebih cocok menutup asuransi warehouse to warehouse cover ataupun warehouse to warehouse cover plus (so many weeks) the goods are stored in importer’s warehouse. Misalkan importir produsen yang banyak mengimpor bahan baku secara rutin dan reguler, biasanya menyimpan bahan baku tersebut di gudangnya di dekat pabrik sekian hari/minggu sebelum barang dikeluarkan untuk diolah (dirakit dan sebagainya).
Mengenai risiko perang (war risks) mungkin masa kini dapat ditinggalkan karena jaman perang sepertinya sudah berlalu tetapi tengoklah pasal-pasal terkait pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang RI (aslinya: Wetboek van Koophandel warisan Hindia Belanda, karena KUHD-RI merupakan concordante dari undang-undang negara penjajahnya di mana undang-undang warisan Belanda itu secara de jure sampai sekarang masih berlaku karena anggota-anggota DPR kita “kelupaan” mereformasinya berhubung terlalu sibuk berbondong-bondong melakukan “studi banding” ke luar negeri).
Dalam pasal-pasal terkait itu anda akan membaca pasal yang mengatur tentang bahaya perang, termasuk bahaya perbudakan. Sebabnya, kalau kapal terjebak dalam situasi perang antara satu negara dengan negara lain, maka orang-orang yang berada di kapal itu (anak buah kapal, penumpang kecuali nakhoda) ditangkap oleh negara yang menang perang, dijadikan budak dan diperjual belikan di pasar. Nakhoda biasanya tidak ditangkap dan tidak dijadikan budak belian melainkan dibiarkan lepas supaya bisa pulang ke pangkalan dan memberitahu pemilik kapal di mana biasanya pemilik kapal mendatangi pasar budak dan menebusnya untuk dibawa pulang ke tempat asal.
Dalam jaman hubungan antar negara yang membaik sekarang ini, bahaya perbudakan boleh dikatakan sudah tidak lagi tetapi, ya itu tadi, karena anggota-anggota DPR “yang terhormat” lebih sibuk melakukan “studi banding” maka reformaasi hukum (menasionalkan undang-undang warisan penjajah) yang sudah sangat mendesak, belum tampak terpikirkan oleh mereka. Para praktisi hukum juga tetap asyik sebagai pengguna undang-undang yang disusun pada jaman kapal perahu layar itu dan kelupaan mengingatkan pihak legislatif untuk segera mengganti undang-undang kuno itu. Indikasi bahwa praktisi hukum (hakim, jaksa, pengacara) lebih asyik sebagai pengguna produk hukum jaman nabi Nuh itu dapat dilihat dari putusan menghukum terdakwa dengan denda Rp.7.500.- yanpa perduli bahwa nominal ini sebenarnya adalah Nf.7.500.- (tujuh ribu limaratus gulden Belanda berstandar emas).
Para praktisi hukum yang usianya belum 50 tahun, mungkin tidak pernah mendengar cerita dari dosennya bahwa sesaat setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 pemerintah RI mengambil keputusan mengharamkan segala sesuatu yang berbau Belanda: semua naskah berbahasa Belanda ditiadakan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; termasuk tentunya pasal-pasal undang-undang di segala bidang. Nominal nilai uang tidak (atau belum?) diganti dan tidak dapat diterjemahkan lalu DPR kelupaan terus selama 65 tahun maka denda seharga satu gelas wedang kopi tersebut masih diucapkan dengan lantang oleh Hakim Pengadilan Negeri.
Namun dalam amar keputusan Hakim dan ungkapan resmi lain dalam bahasa Indonesia, sering ditegaskan dengan definisi atau istilah dalam bahasa Belanda, karena takut salah interpretasi kalau frasa aslinya, dalam bahasa Belanda, tidak disertakan.. Wah, wah, wah.
Penulis ingin menekankan bahwa asuransi dengan penutupan warehouse to warehouse tersebut sesungguhnya merupakan gabungan dari asuransi maritim (marine insurance) dengan asuransi angkutan darat lokal, dari pelabuhan pembongkaran sampai di gudang importir untuk disimpan sebelum digunakan. Pada dasarnya asuransi maritim adalah untuk penutupan waterborne clause yaitu penanggung menjamin risiko sejak barang berangkat dari pelabuhan pemuatan sampai dibongkar di pelabuhan tujuannya.
Sudah dikatakan tadi bahwa jenis penutupan terakhir ini kurang cocok bagi pengimporan barang yang frekwesninya cukup tinggi, misalnya setiap minggu sekali atau beberapa kali dalam sebulan ada impor. Dalam praktek pengimporan seperti itu ada kemungkinan importir atau ekaportir kelupaan menutup asuransi pengangkutan darat lokal. Ekstrimnya: barang sudah datang jauh-jauh dari pelabuhan London dan dijamin asuransi sampai dibongkar dari kapal di pelabuhan Tanjung Priok tetapi setelah barang dibongkar dari kapal dan disimpan sementara di Container Yard pelabuhan tujuan, justru terbakar sebelum diambil dari CY untuk dibawa ke lokasi pabrik importir di luar pelabuhan untuk disimpan di gudng persediaan bahan baku.
Bagi pengimporan yang hanya satu kali (atau satu kali mengimpor dalam satu tahun), penutupan waterborne clause dapat dibenarkan karena di sini tidak ada rutinitas kegiatan yang berulang-ulang yang memungkinkan terjadinya kelupaan mengasuransikan lokal untuk satu atau beberapa shipment; banyak pihak dalam perusahaan importir yang dapat mengingatkan tentang asuransi angkutan darat lokal tersebut yang menyambung pada asuransi maritim yang sudah terputus karena barang sudah dibongkar dari kapal.
Mengenai jenis risiko asuransi untuk mana asuransi ditutup, pada umumnya dipilih risiko “all risks, with average” (disingkat AR/WA) Penutupan untuk risiko “with average” dianjurkan karena pelayaran kapal di laut dihadapkan kepada berbagai hadangan bencana dan risiko, termasuk keadaan darurat yang membawa situasi di mana pimpinan kapal harus mengambil keputusan untuk membuat pengorbanan (mungkin dengan membobol lambung kapal, membuang peti kemas yang miring menjuntai keluar dari kapal sebagai akibat cuaca buruk atau gelombang besar). dengan tujuan membuat pelayarannya selamat tiba di pelabuhan tujuan, pelabuhan singgahan (port of call) atau pelabuhan darurat yaitu pelabuhan yang sebenarnya bukan port of call tetapi terpaksa disinggahi untuk meminta bantuan darurat.
Dalam situasi serba darurat itu kapal juga (terpaksa) harus mengeluarkan biaya ekstra; di mana setelah tindakan-tindakan darurat diambil, kapal dapat melanjutkan pelayaran menuju ke pelabuhan tujuan, pelabuhan singgahan atau pelabuhan darurat walaupun dengan sebagian muatan rusak dan hilang dibuang ke laut. Ini adalah gambaran dari peristiwa “general average” yang ekstrim di mana dalam hukum maritim ditetapkan bahwa semua pihak yang terlibat dalam pelayaran yang mengalami general average tersebut (GA), termasuk pemilik muatan (baik yang mengasuransikan barangnya atau tidak), harus membayar kontribusi untuk membayar kerugian GA yang diderita.
Pengurusan GA sangat rumit, penulis blog ini pernah ikut serta dalam penanganan GA selama tiga setengah tahun “belum apa-apa”. Rekan saya Capt. Sutrisno Djajadiputro bahkan pernah mengatakan bahwa penanganan GA bisa mencapai sepuluh bahkan limabelas tahun.
Oleh karena itu saya menganjurkan agar importir (atau eksportir) bila mengambil risiko all risks, juga dengan tambahan WA dengan pemikiran bahwa kalau kapal yang mengangkut barangnya terkena GA, urusan dengan Average Adjuster diambil alih oleh underwriter dan tertanggung mengurus claim asuransinya kepada penanggung melalui prosedur biasa, seolah-olah barang diasuransikan tanpa GA.
Kamis, 23 September 2010

KISAH KETERPURUKAN DJAKARTA LLOYD (2)

Beberapa waktu yang lalu penulis mengungkapkan awal keterpurukan PN. (sekarang PT) Djakarta Lloyd (DL); mohon maaf ceritanya terputus dan inilah kelanjutannya: pada tahun 1963 kapal yang dioperasikan oleh DL dan dicharter oleh eksportir untuk mengangkut kopra ekspor dari Indonesia ke Jepang. Dalam perjalanan balik ke Tanjung Priok kapal mendapat muatan tepung terigu dalam kantong; dalam pengangkutan itu kapal dioperasikan oleh PT. Affan Raya Lines yang berdomisili di Palembang.
Tercatat bahwa kapal, setelah menyelesaikan pembongkaran kopra, raung kapal tidak dibersihkan sebagaimana mestinya dan muatan impor ke Indonesia tersebut sudah dimuat ke kapal saat ruang muatan/palka masih belum steril dari bau (odour) kopra.
Akibatnya, terigu ditolak oleh importirnya karena seluruhnya berbau tengik; importir pun mengajukan claim kepada PT. Affan Raya Lines yang mengoperasikan kapal. PT. Affan Raya Line menyatakan tidak mampu membayar claim sebesar itu, sekaipun harus menjual semua aset perusahaan; maka hutang yang default itu diambil alih oleh Pemerintah RI.
Sebagaimana kita ketahui sekitar tahun enampuluhan Indonesia adalah eksportir utama kopra, bersaing dengan Pilipina. Mungkin karena begitu gencarnya ekspor kopra ke Jepang, terdapat suatu bentuk eforia di mana agen atau awak kapal menjadi lengah dan tidak mengontrol pembersihan ruang kapal secara benar. Palka belum 100% steril dari sisa bau (odour) muatan kopra, sudah dimuati dengan tepung terigu dalam kantong dengan akibat semua terigu menjadi tengik dan ditolak oleh importirnya. Siapa yang mau membeli tepung terigu berbau tengik, kecuali perusahaan yang memproduksi makanan ternak, dengan harga sudah sangat jatuh?
Pemerintah RI yang awal rahun 1960 menerima banyak sekali pampasan perang Jepang, merasa perlu berbaik-baik hati dengan Pemerintah Jepang. Untuk itu, hutang claim PT. Affan Raya Line (operator kapal) sebesar USD.600.000.- yang dinyatakan default, diambil alih oleh Pemerintah. Hutang dibayar oleh Pemerintah RI dengan kompensasi PT. Affan Raya Lines diakuisisi dan dimasukkan ke dalam PN. Djakarta Lloyd (DL), yang merupakan perusahaan dengan modal negara.
Entah bagaimana prosedur akuisisi diterapkan, tetapi yang tampak di permukaan adalah tidak adanya berita acara pengambilan aset perusahaan untuk mengganti hutang USD.600.000.- itu (apa betul Affan Raya tidak mempunyai total aset sebesar itu). Yang tampak justru masuknya orang-orang (pegawai/manajer) Affan Raya ke dalam DL sehingga DL tampak berjejal-jejal dipenuhi eks karyawan Affan Raya.
Direksi DL juga tampaknya tidak berani menyampaikan interupsi untuk melakukan seleksi atas karyawan/manajer bermutu yang layak diberi peran di DL. Ditambah lagi saat itu, akhir tahun 1963, beberapa mahasiswa Indonesia (populer disebut “mahasiswa pampasan perang Jepang” sudah menyelesaikan studinya di Jepang. Merekapun dimasukkan ke dalam jajaran pimpinan DL tanpa meninjau “track record” mereka dalam urusan usaha pelayaran niaga (business shipping).
Mulai sejak saat itu ihwal keterpurukan Djakarta Lloyd mulai menggejala di mana sekitar awal tahun 1970 perusahaan menggalakkan upaya pencarian muatan ekspor. Maka untuk itu direkrutlah anak-anak muda energik, dilengkapi kendaraan scooter Vespa untuk melakukan cargo canvassing dari para eksportir terutama PT-PT Niaga (dan PTPN, ditambah eksportir swasta nasional dan asing). Setiap pagi setelah absen di kantor dan mendapat instruksi dari pimpinan, mereka menyebar ke kantor-kantor eksportir mencari muatan outward cargo.
Celakanya, komitmen pengapalan barang ekspor yang mereka peroleh dari para eksportir tersebut, tidak diserahkan kepada atasan mereka di bagian Cargo Canvassing (sekarang sebutan itu tidak digunakan lagi karena dianggap vulgar; sebagai gantinya bagian Cargo Canvassing disebut bagian Marketing Jasa Pelayaran). Sore hari pada waktu pulang ke kantor, mereka mampir dulu ke kantor Maersk Line, American President Line dan lain-lain untuk menyerahkan Shipping Instruction (SI) yang mereka peroleh hari itu, untuk ...... mengutip uang lelah (baca: komisi).
Para cargo canvassers tersebut tidak merasa perlu menyetorkan shipping instuctions kepada atasannya karena Djakarta Lloyd justru meminta komisi dari eksporitr yang mengapalkan muatannya untuk diangkut dengan kapal Djakarta Lloyd sementara perusahaan swasta asing (dan nasional), sesuai perilaku dagang konvensional, memberikan komisi kepada pelanggan yang menyerahkan pengangkutan barang ekspornya kepada perusahaan pelayaran yang bersangkutan.
Perilaku buruk tersebut masih ditambah lagi dengan penerapan manajemen perusahaan yang tidak pernah mengoreksi/mempunish kesalahan anak buah (termasuk canvasser yang menyerahkan SI kepada perusahaan lain padahal mereka beroperasi dengan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaannya sendiri).
Sekarang sudah menjadi kenyataan: PT. Djakarta Lloyd (Persero) sudah menjadi perusahaan pelayaran gurem dengan kapal mini berdaya angkut 200 – 400 TEUs sementara perusahaan pelayaran tingkat dunia mengoperasikan kapal berdaya angkut 15.200 TEUs (alias sekitar 300.000 tonnes muatan sekali jalan). Apakah Pemerintah dan DPR mempunyai nyali untuk menghidupkan kembali perusahaan, yang sudah beberapa kali mengumumkan kepada karyawannya ketidakmampuan membayar gaji tersebut? Berapa uang rakyat akan dianggarkan untuk memfungsikan kembali mayat hidup itu. Sebagai mantan karyawan PN. Djakarta Lloyd (mengambil pensiun tunai pada tahun 1973) saya merasa ini bukan prioritas sekarang, lebih baik dananya untuk memaksimalkan produksi beras saja dulu.
Sementara itu, pada tahun 1972, penulis artikel ini sebagai pegawai DL yang sudah merasa sesak napas demgan perilaku operasi dan manajemen yang tidak sesuai pakem tersebut, mendengar rumor bahwa direksi DL akan mengangkat tenaga-tenaga sarjana. Mendengar info itu, penulis yang sudah sarjana sejak tahun 1965, merasa berbunga-bunga karena yakin akan memperoleh peningkatan peran tetapi ternyata tidak. Pada saat itu, kebetulan sahabatku, Mohamad Hasan Lamazie, (alm) seorang kapten Angkatan Darat diangkat sebagai direktur utama PN. Tundabara (belakangan menjadi PT. (Persero) Bahtera Adhi Guna). Track record pak Lamazie di bidang maritim/shipping memang kurang mantap tetapi beliau kuliah di AMI (Akademi Maritim Indonesia) bersama saya.
Maka dengan mantap aku segera menemuinya untuk menyampaikan lamaran kerja tetapi dari pembicaraan yang panjang lebar, kusimpulkan bahwa lamaranku tidak diterima. Kalimat krucial yang kucatat adalah “apa kamu sudah pikirkan masak-masak untuk kerja di sini”. Maka sayapun melayangkan surat lamaran ke perusahaan lain dan mendapat tempat sebagai Import Manager pada PT. Australia-Indonesian Milk Industries (PT. Indomilk) yang ternyata merupakan jebakan bagi saya (untuk dijebloskan ke penjara).
Kalau saya kurang mahir dalam pengurusan impor terutama prosedur kepabeanan, saya akan sudah masuk penjara untuk hal-hal yang kuketahui saja tidak, apa lagi mengerjakannya.
Saya akui bahwa nasib baik dan lindungan Tuhan YME sangat berperan di dalam kebebasanku dari manipulasi bea masuk yang terjadi di perusahaan tersebut (Agustus 1973 – Maret 1975). Semua dokumen yang diminta oleh majelis Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur) yang mengadili manipulasi itu, 22 berkas import documents = 66 customs documents dengan nilai manipulasi (bea masuk tidak dibayarkan kepada Kas Negara) senilai Rp.445.000.000.- (tahun 1973 – 1975) saya temukan untuk diserahkan kepada sidang masjelis, maka pemeriksaan atas diri saya pun dihentikan (ada kisahnya tersendiri, silahkan tunggu).
Rabu, 22 September 2010

SHIPS SCHEDULING

Bertanya kepada mahasiswa apakah kepanjangan dari singkatan ETA dan ETD, biasanya saya mendapat jawabam: ETA: Expected Time Arrival, ETD: Expected Time Departure (lihat: tidak ada kata “of” ditambahkan di muka “arrival” maupun “departure”).
Kedua jawaban yang salah itu dengan telanjang bin gamblang menunjukkan kekurang-cermatan mahasiswa kita menggunakan kosa kata bahasa asing (bahasa Inggeris) secara tidak cermat. Kita mengetahui bahwa bahasa Inggeris mempunyai berbagai kata sandang termasuk “ of ”, berbeda dari bahasa Indonesia yang boleh dikatakan serimg mengabaikan kata sandang.
Singkatan ETA dan ETD banyak kita temukan dalam material promosi, iklan perusahaan pelayaran niaga yang memublikasikan jadwal pelayaran kapal-kapalnya.
Perusahaan pelayaran kaliber dunia yang manajemennya mantap, lazim menyusun jadwal pelayaran kapal-kapalnya yang beroperasi liner service, untuk jangka waktu satu tahun di muka. Untuk keperluan itu mereka mengirimkan kepada para eksportir, lembaran tercetak rapi yang memuat nama-nama kapal, jadwal/rencana kedatangan dan keberangkatan kapal masing-masing dari pelabuhan yang akan disinggahi, berikut nomor voyage masing-masing, agar eksportir dapat menyusun rencana ekspornya dari bulan ke bulan ke depan dengan rapi.
Jadwal pelayaran satu tahun di muka tersebut, sudah barang tentu masif “bersifat kasar” dan belum dapat dijadikan pegangan bagi rencana pengapalan barang ekspor. Namun bagi eksportir adanya folder yang dicetak rapi itu setidaknya dapat dijadikan acuan bagi ekspor yang mungkin sudah mereka perseiapkan sejak dini.
Pada pihak ocean carrier sendiri, berjalan tiga bulan sejak dikirimkannya folder pertama tersebut perusahaan pelayaran mengirimkan lagi kepada eksportir pelanggannya itu, folder yang baru dengan nama kapal dan nomor voyage yang sama, sekarang dengan rencana pelayaran yang sudah di-update, namun juga masih belum akurat.
Di sisi lain eksportir yang sudah mempunyai rencana ekspor kepada mitra bisnisnya di negara lain, mulai dapat menyusun rancangan yang lebih mendekati perkiraan waktu yang lebih mendekati kesesuaian. Demikianlah maka rencana pelayaran yang disusun untuk kurun waktu satu tahun ke depan itu tiba pada penghujungnya yaitu tiga bulan sebelum rencana pelayaran yang sudah disiapkan oleh Divisi Operasi bersama dengan Divisi Traffic perusahaan pelayaran yang bersangkutan (tentu boleh saja nama “divisi” atau “department” tidak digunakan, sesuai sistem manajemen pada perusahaan pelayaran yang bersangkutan.
Dalam kurun waktu yang tiga bulan itu (atau kurang) rancangan pelayaran kapal-kapal itu (bukan lagi rencana) sudah mendekati ketepatan, maka di sini tidak tepat kita bicara tentang “ekspektasi” seperti disampaikan oleh mahasiswa itu karena, sebenarnya ETA dan ETD adalah singkatan dari estimated time of arrival dan estimated time of departure.
Kata expected (dari “expectation”, harapan, dalam versi jawaban mahasiswa yang disebutkan pada awal tulisan ini, tidak memberikan hitungan matematika yang jelas karena tidak diketahui apa sumber referensinya, apa dasar harapannya, berbeda dengan estimasi (versi ”estimated time of arrival/departure”) yang akan penulis ulas di bawah ini.
Misalkan MV. Adam, tanggal 10 September 2010 jam 20.00 waktu setempat tiba di pelabuhan dan sandar di dermaga tertentu di salah satu pelabuhan di Jepang dan dari sana akan berlayar langsung ke Jakarta (setelah menyelesaikan pemuatan peti kemas). Tanggal dan jam berapakah kapal akan tiba di Tanjung Priok?
Tanggal berapakah kapal tersebut diperkirakan tiba di pelabuhan Tanjung Priok (ETA) dan selanjutnya tanggal berapakah akan bertolak dari pelabuhan itu (ETD) dapat dihitung melalui metode matematika sederhana, sebagai berikut:
Di pelabuhan Jepang tersebut suatu kepastian sudah kita kantongi, yaitu bahwa KM. “Adam” sudah bersandar di dermaga pada salah satu pelabuhan di Jepang tanggal 20 September 2010 pukul 20.00 waktu setempat (pada saat tersebut kapal dalam keadaan siap memulai pekerjaan). ETD kapal tersebut dari pelabuhan itu dapat diketahui dengan menyimak berapa box peti kemas akan dibongkar di pelabuhan itu dan berapa box akan dimuat.
Katakanlah total peti kemas yang akan dibongkar adalah 600 dan akan memuat 400 box di mana pelayanan pembongkaran dan pemuatan tersebut menggunakan 4 gantry crane; maka setiap unit gantry crane mengerjakan pembongkaran untuk 150 box peti kemas, demikian juga produktivitas pemuatannya. Kalau crane sequence adalah 2,5 menit, berarti dalam satu jam gantry crane membongkar 60 : 2,5 menit= 24 box, berarti pula 600 box peti kemas terbongkar dalam waktu 600 : 4 x 24 box (600 : 96) = 6,25 jam = 6 jam 15 menit.
Setelah pembongkaran pei kemas selesai, dilanjutkan dengan pemuatan sebanyak 400 box yang diselesaikan dalam waktu 400 : 4 x 24 box = 400 : 96 box = 4, 17 jam = 4 jam 5 menit (dengan pembulatan ke atas). Jadi total waktu pembongkaran dan pemuatan adalah 6 jam 15 menit + 4 jam 5 menit, sama dengan 10 jam 20 menit.
Kapal siap bekerja mulai pukul 20 waktu setempat dan pekerjaan pembongkaran dan pemuatan diselesaikan dalam 10 jam 20 menit, maka kapal siap bertolak kembali dari pelabuhan Jepang tersebut pada pukul (pukul 20 + 10 jam 20 menit) = pukul 30 lewat 20 menit), sama dengan pukul 6.20 pagi keesokan harinya. Kalau dianggap bahwa untuk penyelenggaraan surat-menyurat, laporan dan lain-lain memerlukan waktu satu jam maka kapal akan siap lepas tali tambat pada pukul 7.20 pagi, langsung berlayar menuju Tanjung Priok.
Carilah dari peta dunia, jarak layar dari pelabuhan tersebut ke Tanjung Priok berapa mil laut, lalu laju jelajah kapal berapa knot, maka dengan mudah anda akan dapat memperkirakan tanggal berapa dan pukul berapa estimated time of arrival (ETA) kapal tersebut di Tanjung Priok.
Jangan lupa dipertimbangkan kemungkinan terjadinya badai, cuaca buruk dan lain-lain yang dapat memperkecil laju kapal saat berada pada lokasi di mana pada bulan-bulan tertentu biasanya ada badai melanda, termasuk kekuatannya (berapa knot kecepatan angin, berapa tinggi gelombang laut dan lain-lain). Besar kecilnya kapal dapat dijadikan bahan pertimbangan apakah kapal akan menerabas lokasi badai (dengan memperhitungkan kecepatan badai dan tinggi gelombang, diasosiasikan dengan besarnya kapal dan laju maksimumnya), ataukah kapal harus mencari perlindungan pada pulau pada lintasan badai, menunggu badai berlalu.
Dengan segala perhtungan dan pertimbangan itu, ditambah satu sampai dengan tiga hari toleransi maka anda dapat membuat estimasi kedatangan kapal di Tanjung Priok dengan akurasi yang diperkirakan pas.
Setelah kapal disandarkan di dermaga pelabuhan peti kemas Tanjung Priok, diulangi lagi prosedur penghitungan lama waktu kapal berada di pelabuhan sehingga sekaligus anda akan dapat menghitung ETD, estimated time of departure kapal tersebut dari pelabuhan Tanjung Priok, lalu menghitung juga ETA kapal tersebut di pelabuhan berikutnya yang akan menjadi port of call kapal tersebut setelah bertolak dari Tanjung Priok, begitu seterusnya tiada henti selama kapal masih beroperasi. Nah selamat menghitung estiamted time of arrival dan estimated time of departure kapal anda (bukan expected time arrival, bukan pula expected time departure).
Selasa, 21 September 2010

Blogger Buzz: Super Simple: Your Creative Canvas

Blogger Buzz: Super Simple: Your Creative Canvas
Minggu, 19 September 2010

INCHMAREE CLAUSE

Syarat Inchmaree Clause dicantumkan dalam Polis Asuransi Kapal Laut (Marine Hull Insurance) bila tertanggung menginginkan penutupan asuransinya juga meliputi kerusakan dan kerugian yang terjadi karena peristiwa yang tidak kasat mata (damage or loss due to latent causes) seperti poros baling-baling patah, boiler meledak, cacat pada lambung kapal dan lain-lain.
Kasus bermula pada tahun 1887 yang melibatkan persengketaan antara Thames & Imersey Marine Co. versus Hamilton, Fraser & co.menyangkut kerugian kapal Inchmaree di mana pihak underwriter menolak membayar claim karena beranggapan bahwa kerugian yang dialami oleh kapal tersebut bukan karena marine perils melainkan karena cacat pada kapal itu sendiri. Sebagaimana diketahui asuransi maritim menutup risiko untuk kerugian yang terjadi karena marine perils, baik berupa perils of the sea maupun perils on the sea sesuai ketentuan dalam polis.
Berdasarkan pada dalil penolakan membayar claim serta tuntutan tertanggung agar ganti rugi yang mereka alami dibayar oleh penanggung, pihak British Underwriters mengajukan petisi kepada DPR Inggeris (the House of Lord) agar nenetapkan fatwa yang dapat dijadikan pegangan bagi para marine underwriters di belakang hari jika mengalami peristiwa yang serupa.
Setelah mempelajari kasus yang disengketakan itu di mana penolakan membayar claim kepada kapal Inchmaree diputuskan oleh sebuah Pengadilan Inggeris, the House of Lord menetapkan bahwa penyebab dari peristiwa seperti yang dialami oleh kapal Inchmaree tidak pas dengan definisi “all other perils” , yaitu peristiwa-peristiwa yang dapat disetarakan dengan marine perils untuk mana penanggung wajib memberikan ganti rugi kepada tertanggung atas kerugian yang dideritanya akibat peristiwa yang dialami oleh kapal yang dioperasikannya.
Dari fatwa the House of Lord tersebut dapat disimpulkan bahwa kerugian karena latent causes tidak diganti ole penanggung, kecuali kalau tetanggung mencantumkan permintaan penutupan sesuai fatwa tentang Inchmaree Clause.
Jumat, 17 September 2010

INCHMAREE CLAUSE

Syarat Inchmaree Clause dicantumkan dalam Polis Asuransi Kapal Laut (Marine Hull Insurance) bila tertanggung menginginkan penutupan asuransinya juga meliputi kerusakan dan kerugian yang terjadi karena peristiwa yang tidak kasat mata (damage or loss due to latent causes) seperti poros baling-baling patah, boiler meledak, cacat pada lambung kapal dan lain-lain.
Kasus bermula pada tahun 1887 yang melibatkan persengketaan antara Thames & Imersey Marine Co. versus Hamilton, Fraser & co.menyangkut kerugian kapal Inchmaree di mana pihak underwriter menolak membayar claim karena beranggapan bahwa kerugian yang dialami oleh kapal tersebut bukan karena marine perils melainkan karena cacat pada kapal itu sendiri. Sebagaimana diketahui asuransi maritim menutup risiko untuk kerugian yang terjadi karena marine perils, baik berupa perils of the sea maupun perils on the sea sesuai ketentuan dalam polis.
Berdasarkan pada dalil penolakan membayar claim serta tuntutan tertanggung agar ganti rugi yang mereka alami dibayar oleh penanggung, pihak British Underwriters mengajukan petisi kepada DPR Inggeris (the House of Lord) agar nenetapkan fatwa yang dapat dijadikan pegangan bagi para marine underwriters di belakang hari jika mengalami peristiwa yang serupa.
Setelah mempelajari kasus yang disengketakan itu di mana penolakan membayar claim kepada kapal Inchmaree diputuskan oleh sebuah Pengadilan Inggeris, the House of Lord menetapkan bahwa penyebab dari peristiwa seperti yang dialami oleh kapal Inchmaree tidak pas dengan definisi “all other perils” , yaitu peristiwa-peristiwa yang dapat disetarakan dengan marine perils untuk mana penanggung wajib memberikan ganti rugi kepada tertanggung atas kerugian yang dideritanya akibat peristiwa yang dialami oleh kapal yang dioperasikannya.
Dari fatwa the House of Lord tersebut dapat disimpulkan bahwa kerugian karena latent causes tidak diganti ole penanggung, kecuali kalau tetanggung mencantumkan permintaan penutupan sesuai fatwa tentang Inchmaree Clause.
Kamis, 02 September 2010

KOEBROEK

Pada masa penjajahan Belanda dahulu, sekitar tahun 1941 atau 1942, sebagai anak kecil yang belum sekolah saya pernah terheran-heran menyaksikan seorang petani ditangkan polisi (Marsose) karena membawa seekor ayam betina yang baru dibelinya di pasar. Apa kesalahan orang itu, pikir saya, kulihat sendiri pak tani membeli ayam di pasar, bukannya mencuri.
Lama sesudah itu baru saya mengetahui peroalannya, yaitu si bapak membawa ayam dengan cara yang tidak benar yaitu ditenteng pada kakinya yang diikat sehingga menimbulkan penderitaan bagi ayam tersebut.
Ayam ‘kan hendak disembelih untuk dinikmati sebagai ayam goreng, sate ayam dan sebagainya. Maka berilah ayam tersebut sedikit kenikmatan dalam sisa hidupnya sebentar lagi, yaitu dibawa dengan diletakkan di dalam “kreneng”, yaitu sejenis anyaman rautan bambu seperti yang digunakan untuk mewadahi buah-buahan namun dengan jarak anyaman lebih besar supaya kaki ayam mudah masuk dicelah anyaman. Ayam juga dapat duduk pada kreneng sehingga kalau ditenteng terasa nyaman. Demikian sekelumit perilaku yang penuh kepedulian dari penjajah Belanda yang merampok harta sumber daya kita selama ratusan tahun.
Bagaimana praktek pengangkutan ayam hidup dewasa Ini? Setiap hari kita menyaksikan duapuluh, tigapuluh ekor ayam potong diikat kedua kakinya lalu semua disatukan agar dapat diletakkan di atas sadel motor bebek yang dilarikan dengan kecepatan 60 km per jam. Sungguh perlakuan yang kejam tanpa peduli bahwa satu dua hari lagi ayam akan disembelih untuk dijual sebagai daging ayam, atau dimasak menjadi sate ayam dan sebagainya.
Ah, ayam dibegitukan saja diributkan, begitu mungkin komentar anda. Kekejaman itu belum cukup? Masih ada lagi yang lebih “hebat”, yaitu memuat sapi ke (dan membongkarnya kembali) dari kapal laut dengan cara diikat pada kedua tanduknya, lalu sling yang mengikat tanduk sapi itu diangkat. Wah, ini lagi, komentar anda. Memuat sapi kan hanya memakan waktu lima menit, begitu juga membongkarnya kembali dari kapal. Bersakit sedikit tak apalah, toh sapi (juga: kerbau) akan mengalami kenikmatan dalam perjalanan nenuju pelabuhan lain di mana sapi akan dinaikkan ke atas truck untuk diangkut ke pasar hewan.
Tidak, tidak ada kenikmatan sama sekali yang dapat dialami oleh sapi yang dimuat dengan cara yang sangat kejam itu. Sungguh sangat keterlaluan perlakuan orang Indonesia yang menganut paham Pancasila ini memperlakukan hewan yang akan menjadi santapannya yang lezat setelah sapi disembelih nantinya.
Ketahuilah, sekitar tanduk sapi (juga: kerbau) merupakan pusat syaraf yang mengontrol dan mengatur semua gerak hewan itu. Kalau tanduk diikat dan dibebani berat tuguhnya dalam rangka diangkat pada pemuatan dan pembongkaran, pusat syarat menderita trauma hebat; pengalaman lima menit diangkat pada tanduknya itu berakibat sapi menjadi linglung, pusing dan mual, tidak mau makan.
Tetapi pedagang sapi yang tidak perduli dengan penderitaan itu, bukannya berusaha mengurangi penderitaan melainkan menambahinya dengan, setelah sapi tiba di tujuan dan sebelum dijajakan di pasar hewan, digelonggong, yaitu dipaksa minum air sebanyak-banyaknya dengan cara mulutnya dimasuki selang plastik besar dan air digelontorkan dengan kecepatan penuh. Tujuannya supaya sapi yang tadinya kurus karena tidak mau makan, tampak seolah-olah mempunyai tubuh normal dan beratnya bertambah sehingga pembeli sapi berminat menawarnya.
Lalu bagaimana seharusnya? Beberapa tahun yang lalu, dalam suatu program pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk eksekutif Wanhai Shipping, semua peserta diklat (25 orang) berteriak memprotes ketika saya memberikan advis agar staff Wanhai menolak menandatangani backdated bill of lading (B/L) karena dapat menimbulkan komplikasi hukum di belakang hari, terutama kalau barang ekspor dikapalkan ke negara yang administrasinya (sangat) teratur di mana sedikit penyimpangan (dicrepancy) pasti dipertanyakan atau diusut.
Bapak kuno, praktek backdating sudah biasa pak, kalau kita tidak mengikutinya tidak mendapat muatan.
Backdated B/L adalah B/L (sebagai surat perjanjian pegangkutan melalui laut) yang ditandatangani pada suatu tanggal yang lebih awal daripada tanggal sebenarnya di mana muatan di muat ke kapal, untuk menyiasati klausul letter of credit yang menetapkan latest shipment date pada tanggal tertentu. Backdated B/L dikeluarkan karena pada latest shipment date tersebut pemuatan barang ekspor belum terlaksana karena satu dan lain hambatan.
Kalau pemuatan barang ekspor belum terlaksana pada tanggal terakhir itu, pejabat Bea dan Cukai juga mungkin tidak bersedia menandatangani dokumen fiat muat (persetujuan untuk memuat barang ekspor) sehingga ekspor terancam gagal.
Mungkin staff eksportir yang menyaksikan pelaksanaan pemuatan merogoh tasnya untuk mengambil amplop berisi uang pungli kepada petugas Pabean itu tetapi si petugas menanggapi: tidak usah pakai pungli mas, perpanjang saja L/C-nya, kirim SMS kepada importir, toh kapal masih enam jam lagi baru bertolak).
Menanggapi protes para peserta diklat yang menggebu-gebu tersebut saya balik bertanya: siapakah yang menetapkan latest shipment date tersebut dan kapankah penetapan itu buat?.
Tidak ada peserta diklat yang (bersedia) memberikan jawaban sehingga pertanyaan terpaksa saya jawab sendiri. Latest shipment date ditetapkan oleh importir, biasanya setelah mengadakan korespondensi dan atau negosiasi seperlunya dengan eksportirnya, berdasarkan perhitungan waktu di mana barang ekspor akan diterima oleh importir dan disiapkan untuk pemasaran (atau pengolahan).
Katakanlah penetapan saat terakhir barang ekspor harus dimuat ke kapal pengangkutnya itu terjadi satu bulan sebelumnya (di saat mana importir membuka L/C), berarti eksportir mempunyai waktu satu bulan untuk mempersiapkan barang ekspor. Kalau waktu tigapuluh hari berlalu dan pemuatan belum terlaksana lalu meminta perpanjangan L/C, ngapain saja eksportir selama waktu satu bulan itu? Kecuali kalau dalam waktu itu terjadi hambatan serius misalnya pabrik terbakar, ada banjir besar, tetapi kalau tidak ada halangan, seharusnya pemuatan sudah terlaksana sesuai rencana.
Importir yang mnerima permintaan eksportir agar memperpanjang masa berlakunya L/C (mengubah latest shipment date) pasti memenuhi permintaan itu tetapi disertai ancaman lain kali cari pemasok lain saja, banyak kok, daripada tetap berbisnis dengan eksportir yang tidak becus seperti ini. Nah, menyadari ancaman yang tidak diucapkan ini, eksportir berusaha dengan segala cara agar ekspor terealisasi, kalau perlu ya dengan suatu ancaman untuk tidak mengapalkan barang ekspornya pada perusahaan itu, kecuali kalau dia mengeluarkan backdated B/L.
Apakah anda bersedia menjalankan bisnis yang disertai ancaman dan pemerasan seperti itu, tanya saya yang tidak mendapat jawaban.
Kembali kepada pemuatan sapi, alat bantu pemuatan sapi hidup yang seharusnya digunakan adalah apa yang disebut koebroek (Bld., koe = sapi, broek = rok, jadi: rok sapi), bentuknya berupa selembar terpal segi empat dengan ukuran 60 x 200 cm yang keempat sudutnya dilengkapi cincin sangat kuat untuk menautkan sling tali tambang manila.
Cara kerjanya: koebroek dihamparkan di lantai dermaga atau geladak kapal lalu sapi didorong ke atas broek. Setelah pada posisi yang tepat kedua ujung broek ditangkupkan, maka sling tali manila dapat disangkutkan pada takal kapal untuk selanjutnya diangkat menuju kapal (pemuatan) atau menuruni kapal (pembongkaran). Dengan demikian sapi merasa nyaman tidak tersiksa.
Pedagang sapi tidak menyukai cara kerja seperti ini karena makan waktu lama, diapun berpotensi terkena denda demurrage kalau menggunakan kapal berdasarkan persetujuan voyage charter yang menetapkan masa pemuatan dan pembongkaran tertentu. Demurraeg dibayar kalau pemuatan atau pembongkaran dielesaikan lebih lama dari alokasi waktu yang disetujui. Daripada menyetujui pelaksanaan pemuatan dan pembongkaran sapi hidup dengan cara yang sesuai dengan azas Pancasila tetapi terkena demurrage, kerjakan dengan cara yang super kejam tetapi menjamin laba pedagang, yaitu sapi diikat pada kedua tanduknya lalu diangkat.
Di sini juga berlaku “mekanisme” pemerasan yaitu kalau perusahaan pelayaran atau nakhoda kapal menolak cara kerja “ikat tanduk” itu, pedagang tidak mau lagi memberi muatan kepadanya (atau tidak mau lagi mencharter kapalnya).
Namun penulis artikel ini tetap menyarankan agar cara memuat dan membongkar sapi menggunakan koebroek dibudayakan kembali secara konsekwen. Pejabat tertinggi terkait harus dapat memaksakan berlakunya sistem ini; melalui Syahbandar pelabuhan muat sapi, upaya pemaksaan itu dapat dilakukan melalui pemuatan nama kapal ke dalam daftar hitam (blacklist) kalau menolak cara kerja itu. Juga nakhoda yang tidak melakukan cara itu dilarang memasukkan kapalnya ke pelabuhan itu.
Solusi lain yang tidak kejam, yang dapat penulis anjurkan adalah kepala daerah (gubernur, bupati) di mana di daerahnya terdapat pelabuhan pemuatan sapi (untuk dijual antar pulau), demikian juga pelabuhan yang banyak menerima pengapalan sapi hidup, membangun semacam jembatan atau lorong untuk mengalirkan sapi ke dan dari kapal. Dengan adanya lorong khusus tersebut maka boleh saja koebroek tidak digunakan karena sapi-sapi dapat digiring naik ke kapal (dan turun dari kapal) tanpa mengalami penderitaan dan siksaan yang sebetulnya juga merugikan pedagang sendiri.