Pengikut

maritime script

web site hit counter

About Me

Foto Saya
Konsultan Maritim
Jakarta Timur, DKI Jakarta, Indonesia
Konsultan Maritim,lembaga untuk pemberian pendidikan dan pelatihan bidang kemaritiman khususnya angkutan laut niaga termasuk penyediaan buku-buku terkait baik yang dikarang oleh blogger sendiri maupun buku lainnya.Buku yng dikRng oleh Drs. FDC. Connie Sudjatmiko, MM antara lain: 1. Pokok-pokok Pelayaran Niaga, 2. Sewa-menyewa Kapal, 3. Hukum Dagang Laut Bagi Indonesia, 4. Sistem Angkutan Peti Kemas, 5. Pabean Ekspor Impor, 6. Ensiklopaedia Maritim. Buku-buku tersebut dapat dipesan melalui blog ini.
Lihat profil lengkapku

Sponsored by

Jumat, 30 Juli 2010

PERJUANGAN MENGGEMPUR DOMINASI PERUSAHAAN BELANDA

Pada tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia, sampai kira-kira akhir dasawarsa enampuluhan, skema atau pola sistem pelayaran niaga Indonesia sangat bagus, walaupun pada masa itu sisa-sisa kekuasaan perusahaan pelayaran penjajah Belanda masih kental mendominasi pelayaran tersebut.
Pada masa penjajahan Belanda, kaum pribumi tidak diberi kesempatan berkiprah dalam bisnis pelayaran di tanah airnya sendiri. Kita masih ingat bahwa pada masa itu pelayaran niaga domestik di Indonesia berada di bawah monopoli perusahaan pelayaran yang bernama KPM, singkatan dari NV. Koninklijke Paketvaart Matschapij atau maskapai pelayaran kerajaan dan pelayaran luar negeri berada di bawah kekuasaan oligopoli usaha pelayaran yang dijalankan oleh beberapa perusahaan besar yang diberi ijin istimewa oleh penguasa, yaitu:
1. NV. KJCPL (Koninklijke Java Cina Paketvaart Lijnen yang menjalankan dinas pelayaran antara Indonesia (Hindia Belanda) dengan Cina, Jepang dan wilayah sekitar itu;
2. NV. SMN (Stoomvaart Matschappij Nederland), beroperasi dari Indonesia ke Eropa pergi pulang;
3. NV. NISM (Nederlansch Indie Stoomvaart Maatschapij) yang juga menjalankan trayek Indonesia – Eropa;
Kaum pribumi tidak diberi kesempatan ikut berkiprah dalam bisnis pelayaran, antara lain berdasarkan anggapan bahwa mereka tidak mempunyai kemampuan menyiapkan sarana dan prasarananya; memang hal ini harus kita akui kebenarannya karena perusahaan-perusahaan Belanda tersebut semuanya menjalankan usaha pelayaran terpadu, yaitu:
a. Memiliki dan atau mengoperasikan kapal-kapal;
b. Mempunyai pelabuhan dan dermaga sendiri;
c. Mempunyai gudang-gudang penyimpan barang muatan kapal;
d. Memiliki dan atau mengoperasi sarana kepelabuhanan seperti kapal tunda (tugboat), pelampung tambat kapal;
e. Kantor perusahaan lengkap.
Pada masa itu pelabuhan Tanjung Priok dikapling-kapling untuk keperluan perusahaan-perusahaan besar milik kaum penjajah, yaitu:
1. Pelabuhan I untuk perusahaan KPM yang melayani pelayaran interinsuler;
2. Pelabuhan II yang mempunyai dua dermaga dibagi dua yaitu dermaga barat untuk KJCPL dan SMN, dermaga timur untuk yang lainnya;
3. Pelabuhan III baru mempunyai satu dermaga yaitu barat untuk perusahaan NISM sedangkan dermaga timur baru dalam tahap perencanaan.
Ada juga pelabuhan Volker (pelabuhan Nusantara) yang diperuntukkan bagi usaha pelayaran lainnya terutama perusahaan pelayaran kecil-kecil yang beroperasi dalam pelayaran lokal dan kapal-kapal kecil lainnya. Untuk perahu layar ditempatkan di pelabuhan Sunda Kelapa, sampai sekarang.
Setelah Indonesia mencapai kemerdekaan, para pemimpin bangsa tidak tinggal diam tetapi berusaha keras mengambil alih, atau setidaknya ikut serta dalam sistem pelayaran niaga. Untuk itu beberapa peraturan dan kebijakan telah dikeluarkan tetapi semuanya mandul dihadang oleh konsorsium Belanda yang sangat kuat itu.
Barulah pada tahun 1954 usaha itu memperlihatkan tanda-tanda keberhasilan, setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah no.61 tahun 1954. Oleh karena usaha menerobos dominasi perusahaan Belanda tidak pernah berhasil, PP.61/1954 melakukan aksi gerilya dengan cara memecah-mecah usaha pelayaran dan yang terkait dengan itu menjadi sembilan jenis usaha yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri (supaya usaha nasional yang modalnya minim bisa beroperasi).
Demikianlah maka PP.61/1954 menetapkan keputusan tentang kesempatan pengusaha nasional mendirikan jenis-jenis usaha sebagai berikut:
1. Usaha pelayaran itu sendiri;
2. Usaha stevedoring (bongkar muat muatan kapal);
3. Usaha Perusahaan Muatan Kapal Laut (PMKL, belakangan berubah menjadi EMKL, Ekspedisi Muatan Kapal Laut yang selanjutnya berkembang menjadi usaha freight forwarding);
4. Usaha angkutan bandar (rede transport);
5. Usaha angkutan darat di pelabuhan (wal transport);
6. Usaha Veem (jasa pengurusan muatan kapal);
7. Usaha Pembungkusan (packagimg) barang;
8. Usaha penghitungan barang yang dikapalkan;
9. Usaha pemberian merk (shipping marks) pada muatan kapal;
Jelas bahwa pemilahan bidang-bidang usaha ke dalam sembilan jenis perusahaan yang berdiri sendiri itu menimbulakn inefisiensi yang hebat, tetapi tujuan pemerintah waktu adalah memang tujuan politis yaitu bagaimana menerobos masuk ke bidang usaha yang selama ini dikuasai Belanda secara mutalk. Yang penting pengusaha pribumi masuk dulu, soal inefisiensi nanti dibenahi belakangan, begitu tekad para pemimpin kita dulu.
Diperlukan waktu lima tahun sebelum pembukaan lahan-lahan usaha untuk kaum pribumi itu berhasil berjalan; keberhasilan itupun belum tentu terlaksana kalau tidak disertai dengan tindakan politis yang lebih besar, yaitu nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda.
Kita masih ingat pada tahun 1958 pemerintah memutuskan menasionalisasi semua perusahaan Belanda. Nasinonalisasi perusahaan dagang dan industri tampaknya berjalan lebih mulus tetapi perusahaan-perusahaan pelayaran melakukan perlawanan sengit.
Kapal kapal milik Belanda yang dinakhodai orang Belanda atau orang asing lainnya banyak yang kabur ke Singapore sehingga tidak terjangkau oleh tangan-tangan kekuasaan Indonesia tetapi kapal yang nakhoda dan perwiranya orang Indonesia banyak yang dapat lari ke pelabuhan Indonesia walaupun ada juga yang dipaksa lari ke Singapore.
Demikianlah maka pada tahun 1959 usaha menjungkalkan dominasi Belanda berhasil dan perusahaan nasional mulai dapat berusaha sesuai seperti yang diinginkan oleh para pemimpin bangsa

DEADWEIGHT TONNAGE (BOBOT MATI KAPAL LAUT NIAGA)

DEADWEIGHT TONNAGE
(BOBOT MATI KAPAL LAUT NIAGA)
Tahun 1989 penulis artikel ini mengikuti lokakarya peningkatan mutu dosen-dosen Akademi Maritim seluruh Indonesia di Cisarua Bogor. Lebih dari 100 orang dosen dari seluruh Indonesia mengikuti lokakarya yang berlangsung 3 hari tersebut. Nara sumber yang memberikan bahan-bahan didatangkan dari Universitas Hasanudin Makassar, Fakultas Pertanian yang mempunyai jurusan Kelautan.
Sebenarnya lebih cocok kalau dari Universitas Pattimura Ambon yang mempunyai Fakultas Kelautan (bukan jurusan) dan lebih cocok lagi kalau dari Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) Jakarta tetapi tidak dipertimbangkan karena peserta lokakarya ada yang berasal dari Sekolah Tinggi atau Institut, jadi ya tidak bisa kalau instrukturnya berkadar lebih rendah padahal sesuai kebijakan pemerintah, nara sumber harus berasal dari lembaga pendidikan negeri. Lagi pula mayoritas peserta lokakarya adalah dosen-dosen yang berasal dari Akademi Maritim yang mengajarkan bidang kelautan yang ada kaitannya dengan bisnis (perdagangan ekspor-impor dan tidak ada yang berasal dari Akademi Perikanan. Adapun para narasumber tersebut dibantu juga oleh beberapa tenaga dari Jakarta.
Begitulah, setelah sesi pleno selesai dan dilanjutkan dengan sidang komisi-komisi, sidanf menjadi lebih seru berhubung forum menjadi lebih kecil dan lebih terfokus. Para nara sumber banyak yang berprofesi sebagai nakhoda kapal nelayan, selain dosen negeri senior. Suatu saat nara sumber membicarakan tentang tonase kapal yang kebanyakan bicara tentang Gross Ton.
Anehnya ketika penulis bertanya tentang bobot mati kapal (deadweight tonnage) tidak mendapat jawaban yang memadai, sampai sesi selesai dan nara sumber berganti. Dalam kesempatan rehat makan siang beberapa peserta kutanya tidak dapat atau tidak mau memberi jawaban yang diharapkan.
Penulis merasa keceawa, bagaimana ini, dalam lokakarya tingkat nasional nara sumbernya tidak dapat memberi informasi mengenai hal penting dalam bisnis pelayaran niaga, pertanyaan mengenai topik yang sangat penting dan sangat mendasar.
Malamnya penulis merenung seorang diri dan mendapatkan jawabannya: ya tidak mengeherankan, nara sumber tersebut, nakhoda kapal nelayan dan lulusan AUP (Akademi Usaha Perikanan) Ragunan Pasar Minggu, tidak pernah diajari tentang usaha mencari muatan, tidak pernah berhubungan dengan pedagang eksportir importir yang mengapalkan barang dagangannya.
Kapal nelayan mencari ikan dengan menjaringnya menggunakan pukat harimau atau alat lainnya dan setelah kapalnya penuh ikan, masuk ke pelabuhan ikan untuk mendaratkan ikan. Atau, pada kapal yang dilengkapi mesin-mesin pengolah ikan, langsung dijadikan ikan kalengan dan diturunkan di tempat atau pelabuhan sesuai rencana. Tidak ada kapal nelayan yang menjual ruang kapal, menjual jasa mengangkut barang milik pihak ke tiga.
Maka awak kapal nelayan lebih akrab dengan hitungan gross (nett tonnage juga tidak diperhatikan) sampai-sampai hafal kalau kapalnya menjaring ikan tuna sampai penuh, mendapat i8kan sekian ekor karena semua ruang kapalnya dipenuhi ikan tuna yang ukurannya kurang lebih sama semua.
Kalau anda membaca buku POKOK-POKOK PELAYARAN NIAGA karangan penulis artikel ini, anda akan mendapati batasan Bobot Mati Kapal Niaga “kemampuan kapal menerima bobot untuk membuat kapal tersebut tgerbenam pada garis air maksimum yang diijinkan”. Ada juga rumusan: “bobot mati kapal niaga adalah bobot kapal dalam keadaan penuh muatan dikurangi bobot kapal tersebut dalam keadaan kosong tanpa muatan).
Terkait dengan batas tersebut kita perlu bicara tentang Gross Registered Tonnage dan Nett Registered Tonnage (GRT) atau ukuran isi kapal penuh dan ukuran isi kapal kosong (diadopsi dari hukum maritim negeri Inggeris). Kapal nelayan tidak mengenal ukuran GRT karena ruang kapal nelayan tidak perlu didaftarkan kepada otoritas kemaritiman melainkan kepada otoritas perikanan.
Disebut Gross Registered Tonnage karena ukuran isi kotor kapal dapat ditunjukkan dari beberapa denominasi, maka ukuran yang didaftarkan kepada otoritas kemaritiman iktulah yang dijadikan patokan bagi penetapan berbagai jenis pungutan, biaya dan lain-lain. Misalnya biaya uang labuh (harbour dues atau biaya toll untuk melintas di terusan/kanal, umumnya ditetapkan berdasarkan hitungan Nett Registered Tonnage (NRT) padahal untuk memperoleh hitungan NRT, hitungan GRT dapat dikurangi dengan beberapa versi pengurangan yang legal. Adapun di Indonesia pembayaran uang labuh dihitung dari ukuran GRT kapal.
Hitungan Deadweight Tonnage sangat menentukan perolehan uang tambang (freight) kapal jenis general cargo carrier dan kapal bulk carrier. Tetapi untuk kapal peti kemas (container vessel) ukuran DWT tidak siginfikan karena yang dijadikan patok perhitungan adalah kapasitas (daya angkut) dalam hitungan TEU (Twentyfoot Equivalent Unit) yaitu unit peti kemas yang berukuran setara dengan peti kemas standard yang ukurannya setara dengan 20’ x 8’ x 8’ (PLT).

CONTAINER TERGULING DI JALAN

Mungkin anda prnah mengamati berita foto di surat kabar di mana ditunjukkan gambar sebuah peti kemas (container tergul;ing di jalan raya), terjatuh dari trailer pengangkutnya .
Teks pada berita foto tersebut berbunyi: “Container jatuh dari trailer pengangkutnya akibat jalan yang rusak dan banyak lubang”. Wartawan surat kabar tersebut yang menyiapkan berita itu tentulah kurang jeli mengamati situasi, sekaligus tidak memperhatikan anatomi peti kemas an anatomi trailer atau chassis pengangkut peti kemas.
Setiap peti kemas mempunyai lubang pada keempat kakinya (corner post), ke dalam lubang mana dimasukkan perangkat locking pin (disebut juga twist lock), pena pengunci yang merupakan perangkat pengamanan peti kemas dalam proses pengangkutan. Perangkat locking pin dipasang pada trailer, chassis dan kapal pengangkut peti kemas. Bentuk dan ukurannya kurang lebih sama dengan kue bolu, terbuat dari baja berkekuatan besar dan dilengkapi dengan per tekan yang sangat kuat dan keras.
Kue bolu baja tersebut terdiri dari dua bagian, yaitu bagian atas ukurannya sedikit lebih kecil daripada ukuran lubang corner post dan bagian bawahnya berukuran sedikit lebih besar sehingga tidak dapat memasuki lubang melainkan tertahan di bawah lubang. Dengan handel, locking pin dimasukkan ke dalam lubang corner post lalu handel diputar ke arah lain sehingga pin bagian atas yang sudah masuk ke dalam lubang terputar menjadi berada pada posisi melintang dam karena bagian bawah lebih besar dan tidak dapat masuk ke dalam lubang maka pin dengan kokoh memegang peti kemas pada posisinya (karena bagian bawah tersebut ditekan oleh per yang sangat kuat).
Sudah dikatakan tadi bagian bawah kue bolu baja itu dilengkapi per yang sangat kuat sehingga kenek trailer yang bertubuh kekar juga kesulitan menanganinya kalau tidak dengan bantuan pipa yang dimasuikkan ke dalam handel pengungkit locking pin (panjang handel hanya sejengkal). Kalau tidak demikian, anak-anak nakal SMP yang suka nebeng trailer kosong, dapat mudah membuat peti kemas terguling jatuh.
Nah, dengan penjelasan itu anda dapat memahami bahwa berita tentang peti kemas jatuh karena jalan rusak, sama sekali tidak benar. Kalau benar container jatuh karena jalanan rusak maka trailer pengangkutnya pasti juga jatuh terguling dekat di depan container. Andapun, saya yakin, percaya dengan penjelasanku bahwa kalau locking pin berada dalam kondisi baik (intact), peti kemas tidak akan jatuh walaupun trailer pengangkutnya terguncang-guncang berjalan di jalan berlubang atau banyak batunya; trailer pasti terguling lebih dahulu sebelum pet kemasnya.
Kenyataannya dalam berita foto tersebut, beberapa kali blogger mengamati bahwa trailernya tegak berdiri agak jauh di depan peti kemas yang “tertidur” di jalan mulus dan oleh pengemudinya trailer sudah ditepikan. Ini membuktikan bahwa container terjatuh bukan karena jalanan rusak melainkan karena perangkat locking pin pada trailer rusak, tidak segera diperbaiki atau bahkan perangkat tersebut sudah patah atau copot.
Kita sering menyaksikan dengan prihatin locking pin yang rusak bukannya segera diganti baru melainkan hanya digunakan tali tambang untuk mengikat peti kemas pada posisi yang tidak ada locking pinnya. Ini sungguh tindakan sangat tidak bertanggung jawab sebab tali tambang mempunyai sifat mudah “molor”; kalau trailer berjalan beberapa puluh kilometer dipastikan ikatan menjadi longgar dengan akibat locking pin yang lain (3 buah) yang masih baik akan ikut mengalami kerusakan.
Ini juga merupakan pesan moral kepada petugas Dinas Perhubungan (Dishub) untuk benar-benar mengawai sarana angkutan umum yang mengangkut container dan kalau mendapati sarana angkutan tidak dilengkapi locking pin yang berfungsi sebagaimana mestinya, langsung saja dipinggirkan dan diperintahkan agar saat itu juga diperbaiki sebelum diijinkan berjalan lagi.
Kalau petugas Dishub mendapati bahwa locking pin tidak ada sama sekali dan bukannya rusak, trailer tetap ditahan di tepi jalan itu dan supirnya diharuskan pulang ke poolnya mengambil locking pin yang baru. Perbaikan locking pin dapat dilakukan oleh sembaran tukang las pinggir jalan, baik menggunakan alat las listrik atau las bakar.

Trailer tanpa locking pin.

Selain trailer yang locking pinnya rusak satu atau dua buah, ada juga trailer yang memang tidak dilengkapi dengan locking pin, seperti yang disaksikan oleh blogger saat mengantartkan taruna STIP melakukan peninjauan lapangan di pelabuhan Tanjung Priok beberapa waktu yang lalu (mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, STIP disebut taruna).
Menyaksikan bahwa ada trailer yang berlalu lalang beroperasi mengangkut peti kemas tetapi tanpa dilengkapi locking pin, blogger mendekati manajer yang melayani peninjauan tersebut untuk bertanya.
Pak, mengapa trailer model ini tidak dilengkapi locking pin, lalu di mana faktor keselamatannya? Blogger mengucapkan pertanyaan tersebut dengan nada tinggi supaya taruna mendengarkannya, termasuk mendengarkan jawaban si manajer. “Trailer model ini” kusebut, yaitu trailer tanpa locking pin tetapi mempunyai sepotong baja bersiku sebagai penghalang (Jawa: awer-awer).
Manajer menjawab: “Oh iya pak, trailer tanpa locking pin ini dimaksudkan supaya proses pembongkaran peti kemas berlangsung dengan cepat karena wharf assistant yang membantu operator gantry crane tidak harus mengamati dengan cermat posisi masuknya locikng pin pada lubang peti kemas. Faktor keamanannya adalah bahwa trailer ini hanya beroperasi di areal container yard (CY) pelabuhan untuk memindahkan peti kemas yang baru dibongkar dari kapal ke tempat penimbunannya di CY. Tidak diijinkan berjalan di jalan raya karena keamanannya tidak terjamin”.
Mendengar penjelasan itu blogger langsung menyampaikan kepada para taruna: “Inilah bukti kreativitas para eksekutif PT. (Persero) Pelabuhan II Tanjung Priok dalam menekan biaya investasi pelabuhan. Harga sebuah trailer mungkin tidak mencapai Rp.400.000.000.-, bandingkan dengan harga perangkat transtainer yang merupakan perlengkapan standar pelabuhan peti kemas. Ada yang tahu berapa harga transtainer?” saya bertanya. Seorang taruna menyahut: “Kalau tidak salah Rp.4.milyar pak”, kusahut lagi “Ya, berarti PT.Pelabuhan II Tanjung Priok menghemat biaya investasi 90%”.
Transtainer, atau nama resminya rubber tyred gantry crane adalah mesin pemindah peti kemas yang tidak dilengkapi kemudi, fungsinya untuk memindahkan peti kemas yang baru diturunkan dari kapal oleh gantry crane ke tempat penumpukannya di CY. Ada tugas lain juga yaitu mengatur tumpukan peti kemas (kalau yang di bawah diambil terlebih dahulu oleh importirnya maka yang di atasnya harus dipindahkan dulu).
Ada dua jenis transtainer, yang pertama adalah jenis small span, dapat melangkahi tiga baris peti kemas dan wide span dapat melangkahi enam baris. Di CY peti kemas ditumpuk empat tier (empat susun).
Dengan menggunakan trailer khusus pemindah peti kemas antar CY, pekerjaan juga dapat diselesaikan lebih cepat karena trailer bebas berjalan ke mana saja, tidak seperti transtainer yang hanya dapat maju dan mundur karena tidak dilengkapi kemudi.
Senin, 19 Juli 2010

Shipment Transformation (lanjutan 2)

Seorang sahabat yang baru saja membaca artikel berjudul Shipment Transformation (lanjutan), menelpon blogger untuk menanyakan apakah hitung-hitungan yang tercantum dalam artikel tersebut memang riil, berdasarkan tarip yang berlaku uptodate, atau bagaimana?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama blogger bertanya kepadanya kenapa kok kamu menelpon dan bukannya menulis saja dalam komentar? Dia jawab kalau telpon 'kan instant, tidak usah menyiapkan email out dan seterusnya.

Saya lanjutkan: untuk memperoleh angka yang uptodate realtime, anda dapat meng-klik saja Frfeight Conference yang ada dalam sistem pelayaran niaga dunia, yang daftarnya di internet ada seabreg, kata saya.

Hitung-hitungan dalam artikel tersebut dimaksudkan untuk memberikan gambaran apa yang kurang lebih dapat diperoleh perusahaan freight forwarder yang mengerjakan kegiatan stuffing barang ekspor -- sekaligus cargo consolidation, penyiapan muatan container ekspor sampai margin yang diharapkan dapat diperolehnya dari beinis memberikan pelayanan ekspor barang seperti itu.

Freight Forwarder yang mempunyai peluang memperoleh margin seperti itu juga diasumsikan merupakan perusahaan yang (cukup) besar dan memelihara kelengkapan kerja sebagai berikut:
a. Mempunyai, atau mengoperasikan gudang Container Freight Station di luar pelabuhan di mana dia dapat mengerjakan stuffing barang-barang secara bebas tidak terganggu oleh kendala apapun;
b. Mempunyai armada angkutan darat konvensional (truck-truck biasa, bukan tronton dan bukan truck gandengan), untuk menjemput barang ekspor breakbluk dari lokasi pengumpulannya di pedalaman untuk dibawa ke CFS termaksud;
c. Mempunyai atau mengoperasikan armada container chassis dan atau container trailer yang mencukupi;
d. Mempunyai staff cargo packer, cargo consolidator yang mumpuni ditambah staff yang menguasai prodosedur kepabeanan lengkap, termasuk yang mempunyai sertifikat PPJK yang diberikan oleh Pusdiklat Bea dan Cukai;
e. Bermodal kuat;
f. Manajemennya kuat.

Perusahaan freight forwarder, atau perusahaan logistics yang dicirikan di atas, sebagaimana digambarkan dalam artikel berjudul Shipment Transformation dan Shipment Transformation (lanjutan), bukan saja dapat mempraktekkan kegiatan "jemput bola" free of charge, tetapi sebagaimana digambarkan, tidak memungut bayaran apapun bagi hampir semua pelayanan yang diberikannya kepada pelanggannya, eksportir garment yang berlokasi di Garut tersebut.

Bayaran ditagih bagi jasa yang diberikan oleh pihak ke-3 yaitu kereta api dan perusahaan trucking yang melaksanakan pengangkutan container dari stasiun KA Kampung Bandan/Beos sampai pelabuhan Tangjung Priok serta kegiagtan kepelabuhanan yang trkait, dan perusahaan pelayaran tentunya.

Dengan pelayanan yang serba gratir tersebut, freight forwarder yang juga menurunkan biaya pengangkutan "ocean carrier" masih dapatmemperoleh margin yang cukup besar. Itulah kekuatan jenis perusahaan freight forwarder besar; bagi freight forwarder lain yang belum sekuat itu, tentunya berat untuk memberikan pelayanan free of charge untuk hampir semua jenis pelayanan yang diperlukan bagi penyiapan dan pelaksanaan pengapalan barang ekspor dan dalam hal demikian tentunya peluangnya untuk mendapat customer besar juga lebih terbatas. Tidak seperti yang digambarkan dalam artikel di mana eksportir, sekali transaksi ekspor mengapalkan 28 box peti kemas.

SHIPMENT TRANSFORMATION (lanjutan) SHIPMENT TRANSFORMATION (lanjutan)

SHIPMENT TRANSFORMATION (lanjutan)

Bagaimana Forwarder Menekan Biaya Freight angkutan laut,
secara legal

Telah diketahui bahwa dalam sistem angkutan peti kemas minimum pengapalan adalah satu peti kemas namun, bagi eksportir yang mengapalkan barang kurang dari satu peti kemas, less-than-container load (LCL) tidak tertutup kemungkinan ikut serta dalam bisnis pengangkutan itu dengan catatan bahwa dia harus membayar biaya angkutan individual, dihitung sekian tonne/40 kaki kubik barang yang dikapalkan dikalikan tarip individual.
Sebagai catatan kedua: semua eksportir yang mengapalkan barang kurang dari satu peti kemas tersebut harus rela barang ekspornya dicampur, digabungkan (=dikonsolidasikan) ke dalam satu peti kemas yang dikapalkan ke pelabuhan tujuan yang sama. Sudah pasti pihak cargo consolidator menguasai teknis penggabungan, terutama bahwa semua dan setiap barang yang digabungkan tidak saling merusak.
Segi lain dari praktek konsolidasi barang ekspor adalah bahwa freight forwarder yang mengoperasikan Private CFS yang berlokasi di luar pelabuhan mempunyai peluang mengumpulkan pendapatan dari kegiatan mengkonsolidasi kan banyak LCL shipments di mana shipment-shipment tersebut, setelah dikonsolidasikan, dikapalkan sebagai satu FCL shipment. Praktek yang dikenal sebagai shipment transformation ini mula-mula dianggap mengandung nuansa penipuan karena pengirim barang sebenarnya menghajatkan pengiriman barang LCL tetapi oleh forwarder dirubah menjadi FCL.
Telah kita lihat pula bahwa pihak ocean carrier yang melaksanakan pengangkutan antar benua atas muatan-muatan peti kemas itu, belakangan mengakui bahwa praktek shipment transformation yang dikerjakan oleh freight forwarder itu justru membantu ocean carrier memperkecil despatch kapal di pelabuhan. Padahal keberadaan kapal di pelabuhan (port time) merupakan sisi non-produktif kapal dibandingkan dengan saat kapal berada di laut (kapal sedang berlayar, sea time) yang merupakan sisi produktif kapal.
Aspek penting lain akan dicoba digambarkan dalam uraian berikut ini, di mana eksportir mendapat manfaat-lebih dari kiprah freight forwader mengerjakan praktek shipment transformation.
Digambarkan, freight forwarder mendapat order pengiriman barang ekspor dari pabrik garment di Garut sebanyak 252.000 stel celana dan jacket jeans di mana tiap 6 kodi pakaian tersebut dikemas ke dalam carton box berukuran PxLxT 100 x 60 x 50 cM.
Perusahaan freight forwarding yang mengerjakan proyek pengangkutan barang ekspor ini mempunyai armada angkutan darat yang cukup sehingga transport jalan raya dari Garut ke stasiun kereta Gede Bage bandung hanya sedikit menggunakan jasa transportasi umum. Hampir semua keperluan transpor ditangani sendiri.
Barang ysng disekspor tersebut, yaitu celana dan jacket jeans diserahkan kepada perwakilan freight forwarder di Garut dan oleh forwarder akan dikapalkan dalam status FCL shipment door-to-door, menggunakan 28 box peti kemas 20’. Beberapa informasi penting lain mengenai shipment tersebut dapat dicatat:
1. Ruang dalam peti kemas berukuran 580 x 210 x 210 cM yang berarti stuffable inner space = 25,578 M3 tiap peti kemas;
2. Biaya stuffing di gudang eksportir di Garut, pengangkutan darat dari Garut ke stasiun Kereta Api Gede Bage Bandung, Rp.180.000.- tiap container;
3. Handling charge di Gede Bage Rp.50.000.- per box container;
4. Biaya angkutan Gede Bage – Kampung Bandan, termasuk handling charge untuk memindahkan peti kemas dari gerobak KA di stasiun KA Kampung Bandan ke trailer yang akan membawanya ke pelabuhan Tanjung Priok Rp.300.000.- per box;
5. Biaya trucking Kampung Bandan – terminal pelabuhan Tanjung Priok, sampai peti kemas diangkat ke kapal oleh gantry crane Rp.100.000.- per box;
6. Handling charges peti kemas di Tanjung Priok, termasuk THC Rp.125.000.- per box;
7. Ocean freight rate Tanjung Priok – Tokyo, (box rate) USD.1.500.- per box;
8. Handling charges di Tokyo, termasuk THC USD.100.- per box;
9. Local transport Tokyo port to hinterland USD.100,- per box;
10. Agency fee Tokyo USD.100.- per box;
11. Exchange Rate USD.1,- = IDR.9.000.-

Berdasarkan informasi tersebut di atas susunlah perhitungan yang menunjukkan margin yang dapat diharapkan oleh freight forwarder yang mengerjakan transaksi pengapalan ekspor dengan biaya USD.100.- per M3 (tarip resmi Individual Rate adalah) USD.120.- per M3.
Biaya freight tersebut sangat murah mengingat bahwa tidak ada biaya apapun ditagih dari eksportir sejak eksportir menyerahkan komoditas ekspor itu dalam carton box di gudangnya di Garut.
Semua kegiatan sejak stuffing sampai barang tiba di pelabuhan Tanjung Priok di bawah portal gantry crane ditanggung oleh fregiht forwarder, kecuali biaya independent surveyor dan biaya pemeriksaan Pabean yang dilakukan di gudang eksportir, karena memang biaya-biaya tersebut merupakan tanggung jawab eksportir.


Penyelesaian hitungan biaya produksi pengangkutan peti kemas:

1. Keperluan peti kemas: volume carton box yang diperlukan untuk mengemas barang ekspor  100 x 60 x 50 = 0,300 M3 per carton box, berarti untuk 252.000 stel pakaian jeans  252.000 : 20 = 12.600 kodi, tiap 6 kodi memerlukan satu carton, maka diperlukan  12.600 kodi : 6 = 2.100 carton box
2. Volume barang ekspor =2.100 carton box x 0,300 M3 = 630,000 M3
3. Space peti kemas 20’ bersih = 23,020 M3 tiap box
4. Untuk ekspor 252.000 stel pakaian jeans diperlukan peti kemas sebanyak: 630,000 : 23,020 =27,267 dibulatkan menjadi 28 box peti kemas jenis dry goods container (sisa ruang pada peti kemas ke-28 dimanfaatkan untuk perhitungan forwarder sendiri)




Perhitungan biaya produksi Pengangkutan Barang Ekspor

1. Bagaimana Forwarder Menekan Biaya Freight angkutan laut,
secara legal

Telah diketahui bahwa dalam sistem angkutan peti kemas minimum pengapalan adalah satu peti kemas namun, bagi eksportir yang mengapalkan barang kurang dari satu peti kemas, less-than-container load (LCL) tidak tertutup kemungkinan ikut serta dalam bisnis pengangkutan itu dengan catatan bahwa dia harus membayar biaya angkutan individual, dihitung sekian tonne/40 kaki kubik barang yang dikapalkan dikalikan tarip individual.
Sebagai catatan kedua: semua eksportir yang mengapalkan barang kurang dari satu peti kemas tersebut harus rela barang ekspornya dicampur, digabungkan (=dikonsolidasikan) ke dalam satu peti kemas yang dikapalkan ke pelabuhan tujuan yang sama. Sudah pasti pihak cargo consolidator menguasai teknis penggabungan, terutama bahwa semua dan setiap barang yang digabungkan tidak saling merusak.
Segi lain dari praktek konsolidasi barang ekspor adalah bahwa freight forwarder yang mengoperasikan Private CFS yang berlokasi di luar pelabuhan mempunyai peluang mengumpulkan pendapatan dari kegiatan mengkonsolidasi kan banyak LCL shipments di mana shipment-shipment tersebut, setelah dikonsolidasikan, dikapalkan sebagai satu FCL shipment. Praktek yang dikenal sebagai shipment transformation ini mula-mula dianggap mengandung nuansa penipuan karena pengirim barang sebenarnya menghajatkan pengiriman barang LCL tetapi oleh forwarder dirubah menjadi FCL.
Telah kita lihat pula bahwa pihak ocean carrier yang melaksanakan pengangkutan antar benua atas muatan-muatan peti kemas itu, belakangan mengakui bahwa praktek shipment transformation yang dikerjakan oleh freight forwarder itu justru membantu ocean carrier memperkecil despatch kapal di pelabuhan. Padahal keberadaan kapal di pelabuhan (port time) merupakan sisi non-produktif kapal dibandingkan dengan saat kapal berada di laut (kapal sedang berlayar, sea time) yang merupakan sisi produktif kapal.
Aspek penting lain akan dicoba digambarkan dalam uraian berikut ini, di mana eksportir mendapat manfaat-lebih dari kiprah freight forwader mengerjakan praktek shipment transformation.
Digambarkan, freight forwarder mendapat order pengiriman barang ekspor dari pabrik garment di Garut sebanyak 252.000 stel celana dan jacket jeans di mana tiap 6 kodi pakaian tersebut dikemas ke dalam carton box berukuran PxLxT 100 x 60 x 50 cM.
Perusahaan freight forwarding yang mengerjakan proyek pengangkutan barang ekspor ini mempunyai armada angkutan darat yang cukup sehingga transport jalan raya dari Garut ke stasiun kereta Gede Bage bandung hanya sedikit menggunakan jasa transportasi umum. Hampir semua keperluan transpor ditangani sendiri.
Barang ysng disekspor tersebut, yaitu celana dan jacket jeans diserahkan kepada perwakilan freight forwarder di Garut dan oleh forwarder akan dikapalkan dalam status FCL shipment door-to-door, menggunakan 28 box peti kemas 20’. Beberapa informasi penting lain mengenai shipment tersebut dapat dicatat:
1. Ruang dalam peti kemas berukuran 580 x 210 x 210 cM yang berarti stuffable inner space = 25,578 M3 tiap peti kemas;
2. Biaya stuffing di gudang eksportir di Garut, pengangkutan darat dari Garut ke stasiun Kereta Api Gede Bage Bandung, Rp.180.000.- tiap container;
3. Handling charge di Gede Bage Rp.50.000.- per box container;
4. Biaya angkutan Gede Bage – Kampung Bandan, termasuk handling charge untuk memindahkan peti kemas dari gerobak KA di stasiun KA Kampung Bandan ke trailer yang akan membawanya ke pelabuhan Tanjung Priok Rp.300.000.- per box;
5. Biaya trucking Kampung Bandan – terminal pelabuhan Tanjung Priok, sampai peti kemas diangkat ke kapal oleh gantry crane Rp.100.000.- per box;
6. Handling charges peti kemas di Tanjung Priok, termasuk THC Rp.125.000.- per box;
7. Ocean freight rate Tanjung Priok – Tokyo, (box rate) USD.1.500.- per box;
8. Handling charges di Tokyo, termasuk THC USD.100.- per box;
9. Local transport Tokyo port to hinterland USD.100,- per box;
10. Agency fee Tokyo USD.100.- per box;
11. Exchange Rate USD.1,- = IDR.9.000.-

Berdasarkan informasi tersebut di atas susunlah perhitungan yang menunjukkan margin yang dapat diharapkan oleh freight forwarder yang mengerjakan transaksi pengapalan ekspor dengan biaya USD.100.- per M3 (tarip resmi Individual Rate adalah) USD.120.- per M3.
Biaya freight tersebut sangat murah mengingat bahwa tidak ada biaya apapun ditagih dari eksportir sejak eksportir menyerahkan komoditas ekspor itu dalam carton box di gudangnya di Garut.
Semua kegiatan sejak stuffing sampai barang tiba di pelabuhan Tanjung Priok di bawah portal gantry crane ditanggung oleh fregiht forwarder, kecuali biaya independent surveyor dan biaya pemeriksaan Pabean yang dilakukan di gudang eksportir, karena memang biaya-biaya tersebut merupakan tanggung jawab eksportir.


Penyelesaian hitungan biaya produksi pengangkutan peti kemas:

1. Keperluan peti kemas: volume carton box yang diperlukan untuk mengemas barang ekspor  100 x 60 x 50 = 0,300 M3 per carton box, berarti untuk 252.000 stel pakaian jeans  252.000 : 20 = 12.600 kodi, tiap 6 kodi memerlukan satu carton, maka diperlukan  12.600 kodi : 6 = 2.100 carton box
2. Volume barang ekspor =2.100 carton box x 0,300 M3 = 630,000 M3
3. Space peti kemas 20’ bersih = 23,020 M3 tiap box
4. Untuk ekspor 252.000 stel pakaian jeans diperlukan peti kemas sebanyak: 630,000 : 23,020 =27,267 dibulatkan menjadi 28 box peti kemas jenis dry goods container (sisa ruang pada peti kemas ke-28 dimanfaatkan untuk perhitungan forwarder sendiri)




Perhitungan biaya produksi Pengangkutan Barang Ekspor

1. Stuffing, transport Garut – Gede Bage: 28 box x Rp.180.000.- = Rp. 5.040.000.-
2. Handling charge Gede Bage : 28 box x Rp. 50.000.- = Rp. 1.400.000.-
3. Transport Gede Bage – Kp. Bandan : 28 box x Rp.300.000.- = Rp. 8.400.000.-
4. Transpt Kp. Bandan – Terminal Tg.Pr : 28 box x Rp.100.000.- = Rp. 2.800.000.-
5. Handling charges & THC Tg. Priok : 28 box x Rp. 50.000.- = Rp. 1.400.000.-
---------------------
Total local cost ................... = Rp. 19.040.000.-




Perhitungan biaya-biaya dalam valuta asing

1. Ocean Box Freight Tg. Priok – Tokyo = 28 box x USD.1.500.- = USD.42.000.-
2. Handling charges Tokyo, incld THC = 28 box x USD. 100.- = USD. 2.800.-
3. Local transport, Tokyo – hinterland = 28 box x USD. 100.- = USD. 2.800.-
4. Agency fee, Tokyo = 28 box x USD. 100.- = USD 2.800.-
-------------------
Totcal cost, foreign exchange = USD.50.400.-

Currency exchange = Rp.19.040.000.- : Rp. 9.000.00.- x USD.1.- = USD 2.115.60.-
Total costs payable abroad = USD.50.400.-
-------------------
Grand total, production cost .........................................= USD.52.515.60-




Rekonsiliasi pendapatan dan biaya-biaya yang dikeluarkan:

Individual freight diterima dari eksportir = 630,000 M3 x USD.100.- = USD.63.000.-
Total production cost expended = USD.52.515.60
-----------------------
Total margin gained = USD.10.484.40.-

Jadi dari kegiatan mengerjakan pengapalan barang ekspor tersebut freight forwarder
dapat memperoleh pendapatan bersih sebesar USD.10.484,40 ditambah keuntungan dari
kegiatan-kegiatan yang terkait yang dikerjakannya sendiri yang memang untuk itu forwarder
menagih bayaran dari eksportir namun tentunya kegiatan-kegiatan itu tidak dikerjakan
secara prodeo melainkan sudah ada perhitungannya.
Keputusan freight forwarder tidak mengenakan biaya untuk stuffing barang di gudang eksportir,
biaya-biaya angkutan sampai peti kemas diangkat oleh gantry crane di pelabuhan ekspor
Tanjung Priok tidak terlepas dari taktik mencari pelanggan besar yang setia menggunakan jasa
perusahaannya. Tetapi tentunya semua “cost accounting” sudah dihitung secara cermat.

Stuffing, transport Garut – Gede Bage: 28 box x Rp.180.000.- = Rp. 5.040.000.-
2. Handling charge Gede Bage : 28 box x Rp. 50.000.- = Rp. 1.400.000.-
3. Transport Gede Bage – Kp. Bandan : 28 box x Rp.300.000.- = Rp. 8.400.000.-
4. Transpt Kp. Bandan – Terminal Tg.Pr : 28 box x Rp.100.000.- = Rp. 2.800.000.-
5. Handling charges & THC Tg. Priok : 28 box x Rp. 50.000.- = Rp. 1.400.000.-
---------------------
Total local cost ................... = Rp. 19.040.000.-




Perhitungan biaya-biaya dalam valuta asing

1. Ocean Box Freight Tg. Priok – Tokyo = 28 box x USD.1.500.- = USD.42.000.-
2. Handling charges Tokyo, incld THC = 28 box x USD. 100.- = USD. 2.800.-
3. Local transport, Tokyo – hinterland = 28 box x USD. 100.- = USD. 2.800.-
4. Agency fee, Tokyo = 28 box x USD. 100.- = USD 2.800.-
-------------------
Totcal cost, foreign exchange = USD.50.400.-

Currency exchange = Rp.19.040.000.- : Rp. 9.000.00.- x USD.1.- = USD 2.115.60.-
Total costs payable abroad = USD.50.400.-
-------------------
Grand total, production cost .........................................= USD.52.515.60-




Rekonsiliasi pendapatan dan biaya-biaya yang dikeluarkan:

Individual freight diterima dari eksportir = 630,000 M3 x USD.100.- = USD.63.000.-
Total production cost expended = USD.52.515.60
-----------------------
Total margin gained = USD.10.484.40.-

Jadi dari kegiatan mengerjakan pengapalan barang ekspor tersebut freight forwarder
dapat memperoleh pendapatan bersih sebesar USD.10.484,40 ditambah keuntungan dari
kegiatan-kegiatan yang terkait yang dikerjakannya sendiri yang memang untuk itu forwarder
menagih bayaran dari eksportir namun tentunya kegiatan-kegiatan itu tidak dikerjakan
secara prodeo melainkan sudah ada perhitungannya.
Keputusan freight forwarder tidak mengenakan biaya untuk stuffing barang di gudang eksportir,
biaya-biaya angkutan sampai peti kemas diangkat oleh gantry crane di pelabuhan ekspor
Tanjung Priok tidak terlepas dari taktik mencari pelanggan besar yang setia menggunakan jasa
perusahaannya. Tetapi tentunya semua “cost accounting” sudah dihitung secara cermat.
Jumat, 16 Juli 2010

Sedikit tentang kapal catamaran

Anda tentunya tahuntentang kapal catamaran bukan? Belum, nah ini dia: kapal catamaran boleh anda sebut sebagai kapal lunas ganda, satu unit kapal laut yang mempunyai dua lunas (sehingga sebenarnya kapal tersebut juga mempunyai dua lambung yang masing-masing dibangun di atas lunas yang berbeda.

Pertimbangan memasang dua lunas itu tentu saja untuk meningkatkan laju kapal di mana kalau kapal mendapat angin haluan maka para pelaut di kapal tersebut, dengan "memainkan" layar-layar depan (pada kapal layar tentunya) maka angin haluan tersebut bisa "dipaksa" menghembus di bawah lambung ysng berdampak mengangkat lambung kapal dan dengan demikian laju kapal ditingkatkan.

Hal yang lebih penting lagi, apakah anda sudah mengetahuinya, adalah bahwa nenek moyang kita orang pelaut itu, pada abad pertengahan (sekitar abad 16 - 17) sudah mengenal kapal catamaran dan melayarkannya pula sampai sejauh Madagascar dan pantai timur Afrika sana. Nenek moyang itupun membangun kapal catamaran dengan cara yang amat sangat praktis dan pragmatis, begini: dua unit kapal yang sama dan sebangun (bahasa shippingnya: kapal-kapal sister ships) disandingkan pada lambung, lalu di bagian paling atas kapal dpakukan lembaran-lembaran papan tebal. Pada bagian lambung, arah atas, juga diberi penguat seperlunya.

Penulis blog ini tidak mempunyai informasi apakah di atas hamparan papan-papan itu diberi bangunan "super structure" tetapi rasanya tidak karena akan memberikan tambahan beban atas pada kapal, mengacaukan titik berat dan meta centrum kapal.

Demikianlah serba sedikit tentang kapal catamaran di mana sebenarnya anda sudah mengetahui namun kurang memperhatikan karena yang banyak kita lihat adalah kapal catamaran untuk keperluan olah raga di mana kapal harus berkecepatan tinggi dan mudah diolah gerak.